"Mau bahas," jawab Anwar yang akhirnya menyerah.Jason melirik Rensia, sebagai isyarat agar Rensia menyatakan syaratnya.Rensia menopang dagunya. Dia tahu jelas bisa bernegosiasi saja sudah merupakan kemenangannya yang terbesar. Meskipun dia mampu menjebloskan Yosep ke penjara, dia juga akan dibenci Keluarga Karim jika terus membuat keributan.Dia tahu para tetua di Keluarga Karim lebih mementingkan harga diri dan kehormatan keluarga daripada nyawa. Jika mereka tahu dia sudah mempermalukan Keluarga Karim di depan umum, mereka pasti tidak akan membiarkannya hidup tenang. Dia bersusah payah untuk kembali bukan hanya untuk menjatuhkan Yosep.Setelah berpikir sebentar, Rensia menatap Yosep. "Aku mau kembali ke kantor pusat dan menjabat posisi yang sama dengan Yosep.""Kamu ... atas dasar apa?" kata Yosep dengan kesal."Atas dasar pengalamanku di luar negeri selama bertahun-tahun ini. Hasil kerjaku lebih bagus dari kamu, kemampuanku juga di atas kamu. Kamu bisa duduk di posisi ini hanya kar
Seperti sekarang ini, Anwar bahkan merasa Rensia bisa menyusahkan Yosep karena Rensia terlalu kekanak-kanakan dan tidak tahu malu. Sementara itu, dia hanya seorang ayah tegas yang sedang memberikan pelajaran pada putrinya yang bandel.Sementara itu, Yosep hanya berdiri di samping dan menikmati perlakuan istimewa itu dengan tenang, seolah-olah itu adalah hal yang wajar.Rensia menatap Yose dan tersenyum sinis. "Kenapa? Nggak berani? Dasar pembunuh. Selama aku nggak mencabut laporan, kamu akan dicap pembunuh seumur hidupmu dan Keluarga Karim nggak akan menerima seorang pembunuh. Kecuali kamu bunuh aku dan pembunuh bayaran itu sekarang juga."Melihat Yosep hanya menggigit bibirnya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun, Rensia malah tertawa makin keras. "Kenapa nggak bertindak? Oh, aku tahu, kamu nggak bisa menemukan pembunuh bayaran itu, 'kan?"Tubuh Yosep langsung menegang dan menatap Rensia dengan tatapan muram. Dia sudah menduga pengakuan pembunuh bayaran itu pasti berhubungan dengan
"Rekam medis? Kamu masih curiga?" tanya Arya balik."Ya. Kalau ada terlalu banyak kebetulan, pasti ada alasan di baliknya," jawab Jason yang berpikiran tajam. Dari tatapan Verica, dia tahu masalah ini pasti belum selesai.Arya menganggukkan kepala. "Dia itu temannya direktur rumah sakit, pasti ada arsipnya di rumah sakit. Aku pergi mencarinya."Mendengar perkataan itu, Janice memberanikan dirinya untuk bertanya satu hal. "Ibuku bilang dia yang mengkremasi jenazah temannya, dia nggak punya alasan untuk membohongi kami. Tapi, Arya juga bilang direktur rumah sakit mengenal Nyonya Verica. Dari ini saja sudah kelihatan jelas mereka adalah dua orang yang berbeda."Setelah berpikir sejenak, Arya bertanya balik, "Kenapa teman ibumu bisa meninggal?""Bunuh diri dengan lompat ke sungai," jawab Janice."Kalau begitu, ini memang bukan salah ibumu. Kalau nggak segera diangkat dan apalagi kalau cuacanya sedang buruk, orang yang meninggal karena melompat ke sungai biasanya nggak bisa dikenali keluarg
Verica mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan membuka data yang dikirimkannya ke asistennya Bayu. "Lihatlah, kamu masih ingat orang ini?"Leah merasa sangat familier saat melihat wanita yang ada di dalam video itu, tetapi dia tidak bisa langsung mengingatnya sampai wanita itu memperkenalkan dirinya. "Chelsea? Temannya Janice? Dulu aku merasa dia agak mirip Janice, tapi sekarang terlihat benar-benar sangat mirip setelah berdandan. Ibu, kenapa kamu kirim data ini ke asistennya Ayah?"Verica menjawab dengan ekspresi tak berdaya, "Ini adalah wanita yang diinginkan ayahmu. Sebelumnya juga ada beberapa, tapi Ibu sudah bantu dia singkirkan semuanya. Mereka semua ... punya kemiripan dengan Chelsea ini."Leah terdiam cukup lama. Setelah berpikir sejenak, dia akhirnya mengerti maksud dari perkataan Verica. "Janice? Ayah punya maksud terhadap Janice ....""Ya. Kalau nggak, kenapa aku bisa sampai begitu panik? Ayahmu memanfaatkan hubunganmu dengan Pak Jason bukan untuk urusan bisnis, tapi untuk
Janice sengaja berkata lebih keras, "Dia datang untuk minta maaf pada ibuku. Katanya dia juga diinjak oleh orang lain, jadi nggak sengaja injak ibuku, bahkan dia bilang harus menemukan orang itu."Napas Verica tiba-tiba tersendat. "Waktu itu orangnya banyak, mungkin juga nggak sengaja.""Sengaja atau nggak, biar Keluarga Karim yang memutuskan," kata Janice dengan tegas.Selesai berbicara, Janice melirik Jason, seakan-akan memberi isyarat bahwa semua akan ditangani olehnya. Metode Jason sudah terkenal di Kota Pakisa, membuat siapa pun merasa gentar.Wajah Verica tampak sedikit pucat. Dia segera menggandeng Leah. "Kalau begitu, kami nggak akan mengganggu istirahat Bu Ivy. Kami pamit dulu."Keduanya berbalik hendak pergi.Namun, saat itu Janice mengeluarkan parfum dan menyemprotkannya dua kali di tubuhnya. Aroma anggrek yang khas langsung menarik perhatian Verica dan Leah.Verica menoleh cepat, menatap botol parfum itu. Urat di pelipisnya tampak menonjol. Leah pun terhenti sejenak, ikut m
Ivy menghela napas. "Dia sendiri yang meracik parfum itu saat berkunjung ke laboratorium, jadi aku bingung kenapa kamu bisa mencium aroma ini di tubuh Verica? Apa itu cuma kebetulan?"Dia bahkan menatap Janice dengan sorot mata penuh harapan.Janice menggeleng. "Bu, aku yakin sekali.""Kok bisa? Itu jelas nggak mungkin," tegas Ivy."Bu, mungkin saja teman kerjamu memberikan parfum itu juga kepada orang lain?""Dia nggak pernah bilang begitu padaku."Petunjuk pun terputus.Jason maju selangkah. "Kamu yakin dia sudah meninggal?"Ivy terdiam sejenak. "Tentu saja, kami yang antarkan jenazahnya untuk kremasi. Jason, aku tahu apa yang kamu maksud, tapi kalau dia masih hidup, masa aku nggak bisa mengenalinya saat dia berdiri di depanku?""Memang waktu pertama kali aku melihat Verica, aku sempat ragu. Tapi sifatnya sama sekali berbeda dengan temanku itu."Jason hanya menggumam pelan, tidak lagi berbicara.Suasana di kamar pasien mendadak sunyi mencekam. Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu, memb