Rachel mendekat dan mencium aroma sabun cuci piring. "Aku beli yang wangi melati, apa terlalu menyengat?" Dia segera meraih spons dari tangan Janice."Lepaskan saja, biar aku yang bereskan. Lagian, kamu ini tamu, malah cuci piring. Aku jadi nggak enak hati."Tidak ada nada pamer dalam suaranya, dan Janice bisa mendengarnya dengan jelas. Namun, melihat Rachel tersenyum polos tanpa curiga, Janice semakin merasa bersalah dan wajahnya semakin pucat.Rachel memperhatikan perubahan ekspresinya dan langsung cemas. "Astaga, kamu nggak alergi melati, 'kan? Wajahmu pucat sekali! Duduklah sebentar, aku akan buatkan teh untukmu.""Terima kasih."Janice mengikuti Landon keluar dari dapur.Di belakangnya, Rachel berkata dengan manja, "Jason, kenapa kamu tega biarin Janice cuci piring? Biar aku saja."Baru saja Rachel hendak mengulurkan tangannya, Jason langsung menghalanginya, "Nggak usah, biar aku saja."Mendengar itu, Janice hanya bisa tersenyum dingin dalam hati, lalu mempercepat langkahnya menin
Saat sosok itu mendekat, lampu sensor di atas kepala Janice tiba-tiba padam."Ah!" Janice berteriak kaget, begitu juga sosok itu. Sosok itu hampir kehilangan keseimbangan dan terjatuh.Tepat pada saat itu, lampu sensor kembali menyala. Begitu melihat wajah masing-masing, mereka sama-sama tertegun dan refleks menutup mulut yang terbuka lebar."Janice!""Kak Naura! Kamu hampir membuatku mati ketakutan!" Janice menepuk dadanya.Naura bersandar pada dinding. "Aku juga hampir mati ketakutan! Kukira tadi itu hanya suara gema langkah kakiku sendiri."Janice terkekeh-kekeh, lalu menggandengnya naik ke lantai atas. Sepanjang jalan, Naura mengeluh tentang lift yang rusak di waktu yang tidak tepat.Keduanya terlalu asyik mengobrol hingga tidak menyadari pintu di lantai bawah sedikit bergetar.Di dalam sana, seorang pria yang menyamar sebagai penghuni bertarung dengan brutal. Meskipun lawannya adalah Jason, dia tetap tidak menahan diri.Saat sadar dirinya tidak bisa mengalahkan Jason, pria itu men
Obat ini sebenarnya untuk menstabilkan emosinya setelah kembali dari Norgia.Saat hendak memasukkan pil ke mulutnya, Janice teringat peringatan Arya. Jika bisa menghindari obat ini, lebih baik tidak mengonsumsinya.Pada akhirnya, Janice meletakkan pil itu kembali dan memilih untuk bermain ponsel. Namun, begitu menyalakan layar, hal pertama yang muncul di berandanya adalah unggahan Rachel.Rambut Rachel digulung santai dengan beberapa helai rambut basah yang masih menjuntai. Jelas, dia baru selesai mandi. Yang lebih mencolok adalah dia mengenakan piama Jason.[ Mirip anak kecil yang pakai baju orang dewasa, 'kan? Hehe. ]Rachel tersenyum bahagia. Namun, saat Janice melihatnya, tubuhnya langsung terasa panas. Karena dia juga pernah memakai piama itu.Janice sontak bangkit, lalu menggosok kulitnya dengan kuat hingga lengan, leher, dan dadanya memerah, bahkan lecet.Setelah merasakan sakit, dia baru berhenti. Dia menatap kedua tangannya yang kini berlumuran darah di sela-sela jari.Tanpa r
Janice belum pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Refleks pertamanya adalah mundur, tetapi dia sudah terpojok di trotoar, tepat di depan tembok pembatas. Sudah tidak ada jalan keluar.Saat roda motor hampir menghantamnya, Janice mengangkat tangan untuk melindungi kepalanya. Detik berikutnya, dia mendengar suara benturan keras. Motor itu menabrak sesuatu dan terguling ke tanah.Dengan napas masih tersengal, Janice menurunkan tangannya dan melihat motor yang tadi melaju ke arahnya kini sudah terguling ke dalam taman bersama pengendaranya.Sementara itu, yang menabrak motor itu adalah ... mobil Jason. Jason melangkah keluar dari mobil mewahnya, mantel panjang hitam yang dikenakannya berkibar seiring langkahnya yang tegas.Dalam beberapa langkah, Jason sudah sampai di depan pria yang terjatuh itu dan langsung menarik kerahnya.Pria itu langsung memohon dengan nada ketakutan, "Pak Jason, maaf, aku nggak sengaja! Tadi tiba-tiba rem motorku blong, jadi aku nggak bisa menghindar! A
Rachel sudah mulai terbiasa memanggil Ivy dengan sebutan kakak. Kelihatannya, Ivy juga sudah mengakuinya."Hm." Janice melangkah maju dan duduk. Dari sudut matanya, dia melihat daftar tamu. "Sebanyak ini tamunya?"Rachel tersenyum. "Ini masih sedikit! Kami cuma mengundang keluarga dan orang-orang penting saja. Sisanya baru akan diundang saat pernikahan nanti."Janice melihat daftar nama yang hampir mencapai 200 orang dan langsung terdiam. Keduanya berasal dari keluarga besar, yang paling mereka miliki adalah koneksi.Ivy menyadari kecanggungan Janice dan mengalihkan topik, "Rachel, tadi kita sampai mana?""Oh, aku tanya soal urutan sembahyang sebagai istri Jason. Ribet sekali!" Rachel memanyunkan bibirnya."Nggak ribet. Jason adalah pewaris utama dan akan menjadi Kepala Keluarga Karim di masa depan. Apa pun harus mengutamakan dia. Karena kamu istrinya, tentu saja kamu yang pertama," jelas Ivy.Mendengar itu, Rachel menopang dagunya dan matanya berbinar penuh kekaguman. "Aku tahu dia me
Dua kotak itu berisi dua jenis gaun tidur. Yang satu bergaya imut, yang satu lagi lebih seksi. Namun, tidak terlalu terbuka, hanya memiliki beberapa desain yang menggoda.Rachel takut Janice tidak bisa melihat dengan jelas, jadi dia sengaja mengeluarkan kedua gaun tidur itu dan membandingkannya di depan cermin. Tidak cukup hanya dengan membandingkan pada diri sendiri, dia juga menempelkan gaun itu ke tubuh Janice."Janice, aku benar-benar iri padamu. Kamu cantik, tubuhmu juga sempurna, pakai apa pun pasti terlihat bagus."Janice terdiam, diam-diam menyesuaikan napasnya agar tetap tenang sebelum tersenyum ringan. Secara refleks, dia menolak gaun tidur itu dengan mendorongnya sedikit."Kamu juga cantik. Pakai saja dua-duanya secara bergiliran.""Lalu, mana yang harus kupakai duluan? Aku berencana mengenakannya di malam pertunangan. Pilihkan yang bisa membuat Jason ... terpana."Rachel agak malu, tetapi tatapannya penuh dengan cinta yang tulus. Menatap wanita yang begitu bebas mengekspres
Rachel mengangkat syal itu dan melihatnya. Dia memasukkan jarinya ke lubang kecil di kainnya, lalu terkekeh-kekeh. "Malah robek. Mungkin dia lupa membuangnya. Ini juga bukan gayanya, bahannya bukan kasmir, jadi nggak lembut sama sekali. Simpan saja dulu.""Baik."Rachel adalah calon istri Jason, jadi para pelayan tidak berani membantahnya. Mereka segera mengambil syal itu dan memasukkannya ke salah satu kotak di sebelahnya.Setelah selesai berkemas, Rachel melihat sekeliling ruang pakaian. Penuh dengan kopernya dan pakaian yang sudah dia putuskan untuk disingkirkan. Bagaimana jika Jason melihatnya dan menganggapnya berantakan?"Tolong bantu aku bereskan ini. Kalau kalian suka beberapa pakaian di dalamnya, kalian boleh mengambilnya.""Terima kasih, Nona!"Para pelayan membawa semua kotak keluar dari ruangan dengan cekatan.....Janice kembali ke tempat tinggal Ivy. Saat ini, Ivy sedang mengatur tempat duduk para tamu.Begitu melihat Janice dari sudut matanya, dia menggigit bibirnya dan
Saat pertama kali melihat syal itu, Janice sudah terkejut. Dia sendiri yang telah membuangnya ke tempat sampah. Bagaimana bisa muncul di tempat tinggal Jason? Kecuali, Jason benar-benar mencarinya di truk sampah.Namun, setelah mendengar ucapan pelayan itu, Janice langsung merasa bagaimana syal itu bisa kembali ke tangan Jason sudah tidak penting lagi. Pada akhirnya, itu tetaplah sampah.Jason pasti tahu Janice mengunjungi tempat tinggalnya, jadi membuang syal itu begitu saja. Apa maksudnya? Janice tentu mengerti.Pelayan itu menatap Janice dan bertanya, "Nona, apa masih ada urusan lain?"Janice melepaskan pegangannya dan menggeleng. "Nggak ada."Pelayan itu menarik syalnya sedikit dan kembali bekerja. Janice melihat kain merah itu menghilang dari pandangannya. Telapak tangannya terluka karena mencengkeram terlalu keras, tetapi dia sama sekali tidak merasakan sakit.Dia hanya bisa tersenyum pahit dan kembali sadar, lalu berbalik dan melihat Ivy mulai menyuruh orang-orang memindahkan ha
Sebelum dia sempat berbicara, lengannya sudah lebih dulu dicengkeram erat oleh pria itu. Dengan suara benturan keras, sepanci sup hangat yang baru saja matang langsung tumpah.Tatapan Jason tajam, jemarinya menegang, matanya merah, auranya penuh kemarahan dan niat membunuh. "Kenapa kamu harus mencarinya?"Rachel mendongak dengan kesakitan, menatap pria yang mengerikan itu dengan air mata mengalir. "Jarang sekali aku melihatmu sepanik ini. Kamu marah? Kalau marah, lampiaskan saja padaku!"Melihat air matanya, Jason seperti melihat kutukan yang memaksanya melepaskan cengkeramannya. Namun, Rachel malah menangis semakin keras. Dia melangkah pelan, ingin mendekatinya.Jason justru mundur dua langkah, menghindari sentuhannya. Mata hitam legamnya redup, seperti tenggelam dalam kabut yang hening, memandang Rachel seperti menatap laut tanpa gelombang.Rachel terisak-isak. "Kamu bahkan nggak mau marah padaku? Kenapa kamu rela melakukan apa saja demi dia?""Kakakku bantu Janice cari apartemen, la
Di bandara, Landon mengulurkan tangan untuk mengambil koper Janice. "Janice, aku minta maaf. Aku benar-benar nggak tahu Rachel bisa sebodoh itu.""Nggak apa-apa, toh aku juga akan pergi. Malah harus terima kasih karena kamu sudah menyiapkan semuanya untuk keberangkatanku secepat ini."Tatapan Janice tenang, tetapi dari sudut matanya, dia terus melirik ke arah luar bandara.Landon tahu dia masih belum rela pergi. Mungkin belum rela meninggalkan tempat di mana dia tumbuh, atau keluarga, atau mungkin seseorang.Landon mencoba menenangkan, "Mau telepon dulu sebentar buat pamitan?"Janice mengalihkan pandangan dan menggeleng. "Nggak usah. Ibuku itu cengeng, sekali nangis nggak bisa berhenti. Aku nggak sanggup dengarnya."Meskipun begitu, suara Janice terdengar serak dan menahan tangis. Bahkan untuk mengucapkan selamat tinggal pada ibunya pun tidak bisa, mana mungkin dia bisa merelakan semudah itu?Setelah Janice menenangkan diri, Landon berkata dengan lembut, "Ayo, aku sudah minta Zion siap
"Awalnya aku berniat membawa semua ini masuk ke liang kubur, nggak akan pernah kukatakan. Tapi tadi, waktu kamu bicara ke anak kecil itu, aku seperti baru terbangun dari mimpi.""Aku tersesat begitu lama, sampai lupa kalau dulu aku menolong dia bukan karena mengharapkan balasan, tapi karena aku benar-benar mencintainya."Rachel tersenyum, tampak bahagia dan penuh rasa puas. Dia menopang wajahnya dengan kedua tangan, seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta pada Jason."Kamu tahu nggak? Sebenarnya dia nggak secuek itu. Dia suka bantu orang, kadang senyumannya juga luar biasa manis. Dia cuma nggak suka banyak bicara.""Hm." Janice mengangguk. Dia tahu.Rachel tersenyum getir. "Tentu kamu tahu. Kalian sudah kenal lama. Jadi, Janice, bisakah kamu jangan rebut dia dariku? Aku benar-benar nggak bisa melepaskan dia."Janice menatap Rachel dan menjelaskan pelan, "Kalian itu suami istri, nggak ada yang bisa rebut dia darimu.""Bukan, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kamu ...." Senyuman Rac
Janice terkejut mendengar suara Rachel. Gelas sudah menempel di bibirnya. Dia tidak tahu harus meminumnya atau tidak.Rachel melanjutkan, "Pura-pura minum, lalu taruh pelan-pelan."Janice tidak memahami maksudnya, tetapi tetap menurut. Dia berpura-pura mengangkat kepalanya seperti sedang minum, lalu perlahan meletakkan kembali gelas itu ke meja.Dengan suara pelan, Janice bertanya, "Kenapa?"Rachel tersenyum getir. "Karena di dalam jus itu ada obat penggugur kandungan."Tangan Janice yang menggenggam gelas langsung mengencang, hampir ingin melemparkannya. Akan tetapi, dia tidak bisa menebak maksud Rachel sekarang, jadi tidak berani bertindak sembarangan.Rachel tetap berbicara seperti sedang mengobrol santai, "Tenang saja. Dosisnya nggak cukup buat langsung bikin kamu keguguran. Paling cuma bikin tanda-tanda awal, kayak nyeri perut sedikit."Mendengar Rachel mengucapkan kata-kata itu dengan tenang, bulu kuduk Janice berdiri. Dia pun merasa panik. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa R
Saat itu juga, pegawai toko kue memecah keheningan yang canggung dan berat di antara mereka."Kak, jus dan red velvet cheesecake-nya, silakan dinikmati.""Terima kasih."Janice menunduk, lalu mulai mengaduk jusnya perlahan dengan sendok panjang, memutar-mutar potongan buah di dalamnya.Rachel menatap makanan di depannya sekilas. Dengan nada seperti menginterogasi, dia bertanya, "Anak itu ... anak siapa?"Kling! Suara nyaring terdengar saat sendok di tangan Janice menabrak dinding gelas. Namun, dia sama sekali tidak berhenti, tetap lanjut mengaduk, seperti tidak terjadi apa-apa.Dari luar, Janice tampak tenang. Di mata Rachel, itu justru terlihat seperti upaya menyembunyikan sesuatu.Wajah Rachel yang pucat menjadi merah karena emosi. Dengan geram, dia berucap, "Jadi, kamu memang hamil."Dada Janice naik turun. Dia tidak tahu bagaimana Rachel bisa tahu tentang kehamilannya. Yang dia tahu sekarang adalah kalaupun Rachel membawa hasil USG dengan namanya tertulis di situ, dia tetap harus t
Pemantik api Jason baru saja menyala, tetapi akhirnya dipadamkan kembali. Rokok yang sudah setengah menyala itu pun dilemparkan ke atas meja.Norman menyodorkan semangkuk sup lagi kepadanya. "Pak Jason, silakan."Ujung jari Jason menyentuh bibir mangkuk yang masih mengepulkan uap hangat. Dia bertanya dengan datar, "Kapan dia berangkat?""Lusa."Jason menatap mangkuk di tangannya tanpa berkata-kata lagi.Dalam keheningan itu, mereka berdua tidak menyadari bahwa Rachel sedang bersembunyi di luar pintu.Wanita itu bersandar pada dinding di sebelah pintu, mendongak membiarkan air mata jatuh tanpa suara.Begitu mendengar suara dari dalam ruangan, Rachel buru-buru menopang tubuh pada dinding dan kembali ke kamarnya.Saat melangkah masuk, dia baru menyadari sejak dia tinggal di kamar ini, Jason telah mengosongkan semua barang pribadinya. Dia tetap dia. Jason tetap Jason.Rachel jatuh terduduk di tepi ranjang. Entah sudah berapa lama berlalu, dia mengambil ponsel dan mengirim pesan ke Janice.
Saat keluar lagi, Arya dan Norman berdiri di ruang tamu, menatap Janice dengan tatapan bingung.Norman lebih dulu melangkah maju. "Kamu kenapa? Obat maag yang dulu dibeli Pak Jason itu obat maag terbaik, nggak mungkin nggak sembuh-sembuh."Menghadapi keraguan itu, Janice tahu apa yang sedang dicurigai oleh Norman. Apa yang terjadi di acara tunangan waktu itu, sebagai asisten pribadi Jason, Norman pasti tahu semua dengan jelas.Lambung Janice yang tegang kembali berkontraksi. Dia menelan ludah dua kali dengan paksa agar bisa menahannya."Sejak ibuku kecelakaan, aku jadi sering lupa minum obat. Mungkin jadi makin parah.""Oh, begitu ya?"Norman mendekat, seolah-olah sengaja membiarkan Janice mencium aroma sabun dari tubuhnya.Janice menggertakkan gigi dan menahannya, lalu menatap Norman dengan tenang.Norman mengernyit kuat, tetapi akhirnya mundur dengan sopan."Maaf, Bu Janice.""Nggak apa-apa."Janice baru saja ingin menghela napas lega, tetapi kemudian sadar Arya menatapnya tanpa berk
Janice memelototi Arya. Arya terkekeh-kekeh. "Tolonglah, anggap saja bantu aku sekali ini saja ya? Dia belakangan ini bahkan nggak mau minum obat."Janice menarik napas dalam-dalam. Mengingat Arya pernah membantunya, akhirnya dia setuju juga."Mau masak di mana?""Ada tempat yang bisa dipakai, dekat kok. Tunggu sebentar ya."Arya pergi mengambil mobil, sementara Janice mengirim pesan ke Landon.[ Aku mau ngobrol sebentar sama Arya, kamu pulang duluan saja. ][ Oke. ]Tak lama kemudian, Janice naik ke mobil Arya. Di perjalanan, mereka mampir membeli bahan-bahan yang diperlukan.Karena Arya sering harus bekerja malam, dia membeli apartemen kecil dekat rumah sakit. Sekitar 10 menit kemudian, mereka sampai di apartemen itu.Begitu pintu dibuka, yang terlihat adalah ruangan yang bersih dan rapi ... dan juga Norman?"Pak Norman? Kenapa kamu di sini?" tanya Janice dengan kaget."Dia semalam nginap di sini," jawab Arya sambil membuka lemari dan mengambilkan sandal sekali pakai untuk Janice.Ja
Rachel menggigit bibirnya sebentar, lalu tersenyum dan berkata, "Rem kursi rodanya rusak, jadi Janice terjatuh saat mendorongku."Jason mengernyitkan alisnya, lalu langsung berbalik ke arah Janice. Baru saja hendak mengatakan sesuatu, Janice sudah bersandar di pelukan Landon dengan tenang. Dia ingin mendekat, tetapi Rachel menarik tangannya."Pak Jason, ayo kita pergi," kata Rachel.Jason tidak mengatakan apa-apa dan langsung mendorong kursi roda Rachel untuk pergi. Begitu sampai di lantai bawah, mobil sudah menunggu mereka.Rachel berbalik dan melihat ke arah Janice dan Landon. "Sayang sekali aku nggak bisa hadir di pesta pertunangan kalian. Kalian berencana kapan menikah? Aku pasti akan hadir."Dalam sekejap, suasana di tempat itu menjadi hening.Janice menggigit bibirnya karena merasa canggung. Sebenarnya, sebelum datang ke sini, dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi desakan dari Rachel. Namun, saat benar-benar menghadapi Rachel dengan nada bicaranya yang lembut sekaligus am