Share

Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu
Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu
Author: Hawa Hajari

1. Obrolan Dedy dan Rara

Wati yang tiba-tiba terjaga dari tidur memutuskan untuk mengambil minum.

Dengan pelan, ia membuka pintu kamar agar tidak terdengar deritan dari engsel pintu yang belum pernah diminyaki. Wati tidak ingin membangunkan Dedy yang tengah tidur dengan istri keduanya di kamar seberang.

Sayangnya, ketika kaki Wati melewati kamar madunya itu, terdengar suara-suara mencurigakan dari dalam sana. 

Wati tidak ingin mendengarkan, tetapi rasa penasaran akhirnya menguasai dirinya. Dengan berjinjit,  Wati pun berhenti di depan pintu kamar madunya.

“Kamu hebat, Mas. Selalu perkasa,” bisik Rara dari dalam kamar.

“Kamu juga hebat, Sayang. Tidak seperti Wati yang tidak tahu caranya melayani suami di kasur,” balas Dedy juga berbisik.

Meskipun kedua orang itu berbisik-bisik, tetapi sunyinya suasana malam membuat bisikan itu terdengar baik oleh telinga Wati–yang berada di luar pintu kamar. 

Wati mengepalkan tangan yang gemetar. 

Dihina suami sendiri di depan madu, siapa yang tidak geram? Padahal, ia tak pernah menolak melayani Dedy di kasur dalam kondisi apapun. Dedy minta permainan dengan gaya apapun, juga tidak pernah Wati tolak. Dedy sudah berbohong kepada adik madunya itu!

“Kenapa kamu enggak menceraikan dia saja sih, Mas?” bisik Rara lagi.

“Buat apa? Wati bisa membantumu mengerjakan pekerjaan rumah, jadi enggak perlu repot-repot membayar pembantu,” sahut Dedy masih berbisik.

Rara terkikik kecil. Suara yang keluar dari mulutnya seperti ditahan dengan tangan.

“Betul juga. Kamu pintar, Mas,” ujar Rara.

“Iya, dong. Aku nggak mau tangan halusmu ini kasar karena mencuci dan mengerjakan pekerjaan rumah lain. Biar tangan ini membelai-belaiku saja,” imbuh Dedy.

“Tetapi, bagaimana kalau nanti Wati mengadu kepada keluarganya kalau di sini dijadikan babu?” tanya Rara cemas.

“Tak usah khawatir. Dia itu yatim piatu. Enggak punya keluarga lagi buat tempat mengadu,” jawab Dedy tenang.

Di balik pintu, Wati menggigit bibirnya dengan perasaan tertusuk. Air mata turun mengalir di pipi. Ia membalik badan, lalu kembali masuk ke dalam kamarnya dengan langkah hati-hati seperti keluarnya tadi. Rasa hausnya sudah hilang.

Wati menangis diam-diam di balik bantal. Sengaja menutupi isaknya agar tidak ketahuan. Ternyata sebusuk itu Dedy yang pernah memintanya menjadi istri.

Dulu, Dedy melamarnya sambil berlutut seperti adegan di film-film romantis. Ternyata, semua itu hanya siasat demi mendapatkan yang diinginkannya. Setelah manisnya didapat, sepah dibuang.

Ke mana janji Dedy dulu saat meminta izinnya untuk menikah lagi? Janji bahwa hidup mereka akan lebih baik setelah Dedy menikah dengan Rara. Ternyata semua itu hanya pemanis bibir. Nyatanya, semua itu hanya taktik licik untuk mendapatkan izin Wati saja!

Tanpa sadar, tangan Wati mengepal. "Tega kamu, Mas...."

****

Wati teringat dulu saat mereka baru pertama kali menikah. 

Dedy masih bekerja serabutan, sementara Wati mengurus rumah tangga dan tidak bekerja di luar rumah. Terkadang, Dedy mendapatkan uang, terkadang tidak. Oleh karena itulah, rezeki yang didapat pada hari ini harus dapat disisihkan untuk esok hari. Berjaga-jaga kalau besok tidak ada lagi uang yang didapat.

Berlauk makan ikan asin dan sambal sudah jadi makanan yang sering dijalani. Satu hari bisa masak saja Wati sudah sangat bersyukur. Sering kali terjadi, satu butir telur dijadikan telur dadar dengan menambahkan air dan tepung terigu yang banyak agar dapat dimakan berdua.

Oleh karena itulah, saat mendapatkan pekerjaan sebagai kuli angkut barang di toko kelontong di pasar, Dedy maupun Wati sama-sama bersorak gembira.

Toko kelontong itu dimiliki oleh seorang janda bernama Rara. Usia Rara lebih tua lima tahun daripada Dedy. Namun, wajahnya tidak terlihat lebih tua dari Dedy. Banyak menghabiskan waktu kerja di bawah terik sinar matahari telah membuat wajah Dedy lekas keriput akibat terbakar matahari.

Semenjak saat itu, kehidupan Wati dan Dedy menjadi jauh lebih baik. Gaji yang diterima oleh Dedy memang tidak besar, tapi dengan adanya kepastian uang setiap bulan maka Wati bisa berhemat dan mengatur keuangan.

Akan tetapi, belum lama mengecap rasa tentram dalam berumah tangga, cobaan sudah datang lagi! 

Pada suatu hari, Dedy mengatakan niatnya untuk menikah lagi. Tidak main-main, wanita yang ingin dinikahinya adalah Rara–bosnya sendiri!

“Kalau aku menikahi Rara yang kaya, kita tidak akan hidup susah seperti ini lagi. Enggak perlu mikir lagi harus berhemat uang buat makan sampai akhir bulan,” bujuk Dedy.

“Tapi, Mas. Apa tidak ada cara selain menikah lagi?” tanya Wati yang berkeberatan.

“Apa kamu cemburu? Kamu pikir aku tidak cinta lagi kepadamu?” tanya Dedy.

“Jelas, Mas. Siapa wanita yang ingin dimadu? Siapa wanita yang tidak cemburu?” jawab Wati.

“Kamu jangan cemas, Wati. Meskipun aku menikahi Rara, tapi cinta sejatiku tetap kamu,” tambah Dedy lagi, tangannya mengelus kepala Wati.

Ya, itu perkataan Dedy dulu. Tetapi, sekarang? Apa yang didengar Wati tadi di kamar madunya sudah menghancurkan perasaan Wati.

Wati menangis tersedu-sedu. Apabila hatinya terbuat dari kaca, maka pastilah bentuknya sudah hancur berkeping-keping seperti kaca yang dibanting ke lantai. Tega sekali Dedy berkata begitu kepada madunya!

Apakah dulu dia dilamar hanya untuk dimanfaatkan dan disia-siakan? Jahat sekali! Wati tak menyangka ada manusia berhati se-tan macam Dedy. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Wati menghapus air mata. Ia duduk memeluk lutut di kasur busa tipis di dalam kamar. 

Sementara tulangnya masih bisa merasakan kerasnya lantai saking tipisnya alas tidurnya, Rara di kamar seberang tidur nyaman dengan spring bed kualitas nomor satu.

Akan tetapi, dia bisa apa? Rumah besar ini milik Rara. Semua isinya pun milik Rara. Saat memasuki rumah ini, bisa dikatakan Wati hanya membawa badan berbalut pakaian lusuh. Wati masih ingat pandangan mata menghina dari sorot mata Rara saat itu.

“Ini istri pertamamu, Mas?” tanya Rara kepada Dedy.

“Iya, Sayang. Terima dia tinggal di sini, ya. Jangan usir dia, kasihan. Dia tidak punya keluarga dan siapa-siapa lagi selain aku,” pinta Dedy saat itu.

Rara menatap Wati dari ujung kepala hingga ujung kaki. Selama memandang, mulut Rara tak berhenti cemberut dan mencebik. Wati sendiri hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap mata madunya. Dari segi apapun, ia kalah pamor dibandingkan madunya yang kaya.

“Ya, sudah! Aku terima dia di sini. Tetapi jangan mimpi di sini dia bakal ongkang-ongkang kaki,” ketus Rara.

“Jangan khawatir, Sayang. Wati ini orangnya rajin. Dia juga pandai memasak dan berbenah. Dia tidak akan merepotkanmu,” kata Dedy halus membujuk.

“Kita lihat saja nanti. Ingat, kamu tinggal menumpang di sini jadi harus tahu diri. Makan dan tinggal di sini jangan dianggap gratis,” sembur Rara lagi.

Ingatan-ingatan itu terus membayangi Wati bagaikan kaset rusak, hingga akhirnya Wati tanpa sadar terlelap di kasurnya yang tak nyaman itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
bodoh dan miskin. perpaduan yg pas buat dihina
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status