Share

2. Gaun Rara

“Mbak, kalau nyuci baju yang bener, dong! Lihat, gaun mahalku jadi rusak gara-gara kamu cuci pakai mesin,” marah Rara kepada Wati.

Sejak ayam berkokok di luar jendela kamarnya, Wati telah berada di dapur–memasak makanan untuk Dedy dan Rara, menyapu dan mengepel, mencuci piring dan mengelap perabotan rumah, juga mencuci dan menjemur pakaian. Tapi, madunya yang baru bangun ini tiba-tiba datang dan memarahinya?

Wati tertunduk dalam, tak berani menatap apalagi membalas ucapan Rara. Namun, tangannya mengepal–menahan emosi yang bercampur-aduk.

“Lihat, nih! Manik-manik kristalnya jadi copot semua. Rusak gaun mewahku. Kamu mana bisa ganti, sih,” ejek Rara lagi.

“Maaf, Ra. Aku enggak sengaja,” lirih sekali Wati menjawab. Dalam hatinya, ada rasa takut untuk mengganti gaun tersebut karena dia tidak punya uang sama sekali.

  

“Maaf, maaf! Enak saja minta maaf. Apa dengan maaf gaunku bisa kembali?” cibir Rara, berlagak  tidak peduli.

“Biar nanti aku jahitkan lagi manik-manik yang lepas dari gaunmu, ya. Jangan beritahu Dedy,” bujuk Wati semakin lirih.

Wati paling takut bila Dedy memarahinya karena telah membuat kesal Rara. Di sini, Rara lah ratunya. Sayang, Wati baru sadar tadi malam.

“Memangnya, kamu bisa beli manik-manik kristal yang sama? Ini kristal Swarovski, tahu!” bentak Rara lagi.

Wati kini hampir menangis. Andaikan ia punya keterampilan, tentu ia bisa mencari kerja untuk mendapatkan uang. Dengan uang itu, ia bisa keluar dari rumah ini. Tidak akan lagi dia diperlakukan menjadi babu oleh madunya seperti ini.

“Ada apa ini, pagi-pagi kok sudah ribut-ribut?” tanya Dedy yang tiba-tiba muncul.

Dedy sudah mengenakan kemeja yang rapi dengan celana kain. Bahkan, wajahnya pun sudah dicukur rapi. Dedy terlihat tampan. Penampilannya tidak lagi mirip kuli angkut.

Semenjak menikah dengan Rara, jabatan Dedy sudah naik menjadi pengelola toko kelontong Rara. Rara menjadi kasir–memegang kunci kotak uang–dan Dedy menangani barang-barang yang datang dari supplier. Sungguh, serasi sekali!

“Ini lho, Mas. Mbak Wati nyuci bajuku saja rusak. Baju halus dicuci pakai mesin.  Huh, enggak becus!” semprot Rara dengan wajah bersungut-sungut.

Dedy menatap Wati tajam.

“Ma-maaf, Mas. Aku enggak sengaja.” 

Ketakutan di wajah Wati tertangkap oleh mata Dedy. Setelahnya, pria itu menghela napas.

“Mulai sekarang, semua baju Rara kamu cuci tangan saja. Biar bajuku saja yang dicuci pakai mesin,” putus Dedy–berlagak bijak.

Mendengar itu, Wati menundukkan kepala–menahan emosi yang semakin memuncak. Dia harus tetap mengendalikan diri. Dia tidak punya siapa-siapa di luar sana. Jika ingin bertarung, dia harus punya strategi dan senjata. Kalau sekarang, saatnya belum tepat!

“Ya, Mas,” sahut Wati pada akhirnya.

Dedy pun mengangguk puas. Sayangnya, Rara masih tidak setuju. 

Dengan bersungut-sungut, adik madunya itu berkata kasar, “Mas, dia enggak mungkin bisa ganti gaunku!” 

Rara melemparkan baju di tangannya ke wajah Wati, membuat Wati gelagapan.

“Sudah, Sayang. Jangan marah-marah terus, dong. Nanti hilang cantiknya,” rayu Dedy seraya mencolek dagu istri keduanya.

“Kamu sudah sarapan, belum? Ayo kita sarapan dulu, lalu berangkat ke toko,” ajak Dedy lembut.

Dedy merangkul bahu Rara dan mengajaknya menjauhi ruang belakang.

Tak lama, suara piring beradu sendok terdengar di meja makan. 

Dedy dan Rara sarapan pagi berdua dengan makanan yang dimasak oleh Wati. 

Wati sendiri tidak diajak makan oleh mereka berdua. Hal ini dikarenakan Rara yang selalu melarang Wati makan bersama di meja makan. Baginya, Wati hanya layak makan di dapur seorang diri.

Ya, keduanya semakin menunjukkan keberanian mereka–menjadikan Wati sebagai upik abu–saat Wati yang seharusnya lebih berhak karena dirinya lah istri pertama Dedy.

******

“Aku tidur di sini malam ini,” kata Dedy yang mendatangi Wati di kamarnya. Dengan percaya diri, pria itu langsung mengunci pintu kamar setelah masuk.

Wati terkejut. 

Tidak biasanya Dedy mau tidur di kamarnya yang sempit dan lebih mirip gudang. Selain kamarnya memang tidak nyaman, Rara jarang mengizinkan Dedy mengunjungi Wati.

“Mas? Mbak Rara?” tanya Wati dengan bola mata membulat.

“Dia tidur karena kecapekan. Padahal, malam ini aku sedang ingin,” bisik Dedy di telinga Wati.

Dedy langsung meraih tubuh Wati dan memeluknya, membuat Wati gemetaran. Lama tidak disentuh membuat Wati sudah lupa rasanya.

“Tapi, aku tidak pandai memuaskanmu, tidak seperti Rara,” lirih Wati dengan hati pedih. Ia teringat akan ucapan Dedy pada malam sebelumnya.

Seketika Dedy terkejut. “Siapa bilang? Perempuan itu enggak perlu berbuat apa-apa lelaki pasti bisa puas,” bisik Dedy sambil menciumi telinga Wati.

Wati terpelongo. 

Jawaban Dedy berbeda sekali dengan ucapannya kemarin malam. Tangan Dedy berusaha membuka baju Wati, tetapi Wati menahan tangan itu.

“Apa kamu cinta aku, Mas?” tanya Wati seraya menatap mata Dedy.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
penulis goblok dg tokoh cerita dungu tanpa batas
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status