“Mbak, kalau nyuci baju yang bener, dong! Lihat, gaun mahalku jadi rusak gara-gara kamu cuci pakai mesin,” marah Rara kepada Wati.
Sejak ayam berkokok di luar jendela kamarnya, Wati telah berada di dapur–memasak makanan untuk Dedy dan Rara, menyapu dan mengepel, mencuci piring dan mengelap perabotan rumah, juga mencuci dan menjemur pakaian. Tapi, madunya yang baru bangun ini tiba-tiba datang dan memarahinya?
Wati tertunduk dalam, tak berani menatap apalagi membalas ucapan Rara. Namun, tangannya mengepal–menahan emosi yang bercampur-aduk.
“Lihat, nih! Manik-manik kristalnya jadi copot semua. Rusak gaun mewahku. Kamu mana bisa ganti, sih,” ejek Rara lagi.
“Maaf, Ra. Aku enggak sengaja,” lirih sekali Wati menjawab. Dalam hatinya, ada rasa takut untuk mengganti gaun tersebut karena dia tidak punya uang sama sekali.
“Maaf, maaf! Enak saja minta maaf. Apa dengan maaf gaunku bisa kembali?” cibir Rara, berlagak tidak peduli.
“Biar nanti aku jahitkan lagi manik-manik yang lepas dari gaunmu, ya. Jangan beritahu Dedy,” bujuk Wati semakin lirih.
Wati paling takut bila Dedy memarahinya karena telah membuat kesal Rara. Di sini, Rara lah ratunya. Sayang, Wati baru sadar tadi malam.
“Memangnya, kamu bisa beli manik-manik kristal yang sama? Ini kristal Swarovski, tahu!” bentak Rara lagi.
Wati kini hampir menangis. Andaikan ia punya keterampilan, tentu ia bisa mencari kerja untuk mendapatkan uang. Dengan uang itu, ia bisa keluar dari rumah ini. Tidak akan lagi dia diperlakukan menjadi babu oleh madunya seperti ini.
“Ada apa ini, pagi-pagi kok sudah ribut-ribut?” tanya Dedy yang tiba-tiba muncul.
Dedy sudah mengenakan kemeja yang rapi dengan celana kain. Bahkan, wajahnya pun sudah dicukur rapi. Dedy terlihat tampan. Penampilannya tidak lagi mirip kuli angkut.
Semenjak menikah dengan Rara, jabatan Dedy sudah naik menjadi pengelola toko kelontong Rara. Rara menjadi kasir–memegang kunci kotak uang–dan Dedy menangani barang-barang yang datang dari supplier. Sungguh, serasi sekali!
“Ini lho, Mas. Mbak Wati nyuci bajuku saja rusak. Baju halus dicuci pakai mesin. Huh, enggak becus!” semprot Rara dengan wajah bersungut-sungut.
Dedy menatap Wati tajam.
“Ma-maaf, Mas. Aku enggak sengaja.”
Ketakutan di wajah Wati tertangkap oleh mata Dedy. Setelahnya, pria itu menghela napas.
“Mulai sekarang, semua baju Rara kamu cuci tangan saja. Biar bajuku saja yang dicuci pakai mesin,” putus Dedy–berlagak bijak.
Mendengar itu, Wati menundukkan kepala–menahan emosi yang semakin memuncak. Dia harus tetap mengendalikan diri. Dia tidak punya siapa-siapa di luar sana. Jika ingin bertarung, dia harus punya strategi dan senjata. Kalau sekarang, saatnya belum tepat!
“Ya, Mas,” sahut Wati pada akhirnya.
Dedy pun mengangguk puas. Sayangnya, Rara masih tidak setuju.
Dengan bersungut-sungut, adik madunya itu berkata kasar, “Mas, dia enggak mungkin bisa ganti gaunku!”
Rara melemparkan baju di tangannya ke wajah Wati, membuat Wati gelagapan.
“Sudah, Sayang. Jangan marah-marah terus, dong. Nanti hilang cantiknya,” rayu Dedy seraya mencolek dagu istri keduanya.
“Kamu sudah sarapan, belum? Ayo kita sarapan dulu, lalu berangkat ke toko,” ajak Dedy lembut.
Dedy merangkul bahu Rara dan mengajaknya menjauhi ruang belakang.
Tak lama, suara piring beradu sendok terdengar di meja makan.
Dedy dan Rara sarapan pagi berdua dengan makanan yang dimasak oleh Wati.
Wati sendiri tidak diajak makan oleh mereka berdua. Hal ini dikarenakan Rara yang selalu melarang Wati makan bersama di meja makan. Baginya, Wati hanya layak makan di dapur seorang diri.
Ya, keduanya semakin menunjukkan keberanian mereka–menjadikan Wati sebagai upik abu–saat Wati yang seharusnya lebih berhak karena dirinya lah istri pertama Dedy.
******
“Aku tidur di sini malam ini,” kata Dedy yang mendatangi Wati di kamarnya. Dengan percaya diri, pria itu langsung mengunci pintu kamar setelah masuk.
Wati terkejut.
Tidak biasanya Dedy mau tidur di kamarnya yang sempit dan lebih mirip gudang. Selain kamarnya memang tidak nyaman, Rara jarang mengizinkan Dedy mengunjungi Wati.
“Mas? Mbak Rara?” tanya Wati dengan bola mata membulat.
“Dia tidur karena kecapekan. Padahal, malam ini aku sedang ingin,” bisik Dedy di telinga Wati.
Dedy langsung meraih tubuh Wati dan memeluknya, membuat Wati gemetaran. Lama tidak disentuh membuat Wati sudah lupa rasanya.
“Tapi, aku tidak pandai memuaskanmu, tidak seperti Rara,” lirih Wati dengan hati pedih. Ia teringat akan ucapan Dedy pada malam sebelumnya.
Seketika Dedy terkejut. “Siapa bilang? Perempuan itu enggak perlu berbuat apa-apa lelaki pasti bisa puas,” bisik Dedy sambil menciumi telinga Wati.
Wati terpelongo.
Jawaban Dedy berbeda sekali dengan ucapannya kemarin malam. Tangan Dedy berusaha membuka baju Wati, tetapi Wati menahan tangan itu.
“Apa kamu cinta aku, Mas?” tanya Wati seraya menatap mata Dedy.
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas