Share

Bab 3

Aku berusaha mencari jalan keluarnya, supaya bisa keluar dari masalah ini. Tidak mungkin semua ini di biarkan dalam jangka panjang.

“Mungkin sarapannya terlalu pagi, jadi masih pagi udah lapar lagi,” jawab mamak sambil menggendong putriku.

“Ya ampun mamaaaaaakk,” ucapku dengan mata berkaca-kaca.

Berarti istrinya benaran enggak masak itu, pagi di sana, siang di situ, malam di sana. Hadeh.

Aku menggerutu sendiri sambil menyapu, mencari cara supaya mereka kapok untuk makan di rumahku.

Setelah seharian main di rumah mamak, akhirnya aku pulang setelah jam menunjukkan pukul empat sore. Aku tahu mereka tidak akan datang hari ini aku memasakkan telur dadar sambal kecap untuk malam ini. Enggak lupa juga aku membeli sesuatu untuk memberikan kejutan ke mereka.

Malam ini rumah terasa damai, aku dan suami duduk bercerita sambil bersenda gurau bersama anak-anak. Setelah aku teringat mereka seketika aku diam.

“Dek, kenapa?” tanya suamiku.

Aku tidak menjawab, aku menulis sesuatu di status w******p setelah mengirimnya kupersilahkan suamiku membacanya.

“Dek, Adek yakin? Adek buat status kalau besok mau masak asam pedas patin? Dek, besok kan jatah mereka datang,” ucap mas suamiku memandangku dengan tatapan heran.

“Memang sengaja,” ucapku.

Aku melirik sambil tersenyum memandang mas suamiku yang sedang menepuk jidat. Aku bertekat akan memberikan kejutan untuk mereka.

# # # #

Samar-samar aku mendengar suara ponsel berdering, aku langsung duduk lalu meraih ponsel yang ada di meja rias.

‘Oalah, alarm,' gumamku.

Aku tidak mau rencanaku gagal kali ini. Walau masih kurasakan berat mata ini untuk terbuka, tetap saja aku paksakan bangun dari tidurku.

Aku beranjak dari duduk sambil bermalas-malasan, kuletakkan ponsel kembali ke meja rias mencium putri kecilku dan berlalu ke dapur.

“Mamak, masak dulu, ya, sayang.”

Dengan semangat aku memasak asam pedas patin dan juga kejutan untuk mereka. Dua macam sayuran aku masak pagi ini maka aku bangun lebih awal. Aku harus selesai semua sebelum putri kecilku bangun.

Dalam waktu 3jam semua sudah selesai dari masak, cuci pakaian, jemur kain, sapu lantai sampai ke sapu halaman. Aku melihat ke kamar ternyata putra sulungku sudah tidak ada. Mungkin di kamar mandi.

“Latif,” panggilku dengan suara agak keras.

“Di kamar mandi, Mak,” jawabnya sambil menyiramkan air ke tubuhnya.

'Loh kapan lewatnya?' batinku.

Aku mengecek kembali meja makan yang sudah tersusun rapi ternyata masih ada yang kurang yaitu kopi. Karena kalau mas suamiku bangun yang di cari itu kopi, bukan aku, ya sudah buat dulu itu si kopinya.

Setelah membuat kopi, semua bahan, kopi, gula, teh, aku susun di dalam kardus lalu kumasukkan ke dalam kamar. Kali ini aku mencoba untuk menjadi orang pelit.

“Mas, bangun!” ucapku memegang lengan suamiku setelah meletakkan kardus berisi kopi bubuk sachet di atas almari.

Suamiku tidak merespon, sepertinya dia benar-benar lelah dengan pekerjaannya semalam. Kali ini aku menepuk pipinya.

“Bangun, sudah siang,” ucapku saat suamiku membuka mata.

Setelah beberapa menit membuka matanya, suamiku beranjak dari tidurnya terlihat sedikit sempoyongan berjalan ke arah dapur. Aku melipat kain selimut juga sedikit merapikan sprei.

“Dek, Adek!” panggil mas suamiku sedikit berteriak.

Seketika aku berjalan cepat untuk menghampirinya.

“Ada apa?” tanyaku setelah melihatnya melongo menatap sarapan pagi sudah tersusun rapi.

“Adek mimpi apa?” tanyanya.

Dia memegang tudung saji sambil beberapa kali mengedip-ngedipkan matanya, mungkin karena setengah tidak percaya aku sudah siap semua jam segini.

“Kok pagi-pagi sudah bahas mimpi sih, Mas? Bahas yang lain kenapa?” ucapku dengan nada sedikit ngambek.

“Ya ampun, Dek, pagi-pagi sudah rapi semua malam tadi mimpi apa, istriku tercinta?” tanya mas suamiku dengan memberikan nada panjang.

Aku berhenti di pintu dapur sambil tersenyum, ada sedikit kebahagiaan di hatiku melihat suamiku pagi-pagi sudah merasa takjub.

“Aku kira ada apa, Mas,” ucapku cekikikan.

“Dek, adek kok masak asam pedas patin betulan sih? Enak di merekalah?” tanya suamiku sambil menutup kembali tudung saji.

“Sudah, mandi dulu sana! Habis itu sarapan. Masalah mereka biar, Adek, yang atur,” ucapku tersenyum sambil sedikit mendorong lengan suamiku.

Suamiku berjalan ke kamar mandi sambil menggelengkan kepala. Entah apa yang ada di pikirannya. Pasti dia penasaran apa yang aku lakukan nanti. Hiks.

Berhubung suamiku masih mandi, aku mengambil ponsel yang ada di dalam kamar.

“Mak, ikat pinggangku di mana?” tanya Latif putra sulungku.

“Di laci, Nak,” jawabku sambil berjalan menuju meja makan.

Aku mengambil beberapa kali foto masakanku pagi ini. Tapi hanya asam pedasnya, tidak yang lainnya.

# # # #

“Mak, uang jajan, Adek, mana?” tanya Fatir, anak ke duaku.

“Ini,” aku mengeluarkan uang empat ribu rupiah dari dalam saku bajuku.

“Mak, tambah kenapa!” rengeknya.

Merengek dengan wajah memelas itu adalah senjatanya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

“Segitu juga sudah banyak, Dek, sudah sarapan juga ‘kan?” ucapku sambil membenahi seragamnya.

“Kawan adek, lima ribu.”

“Beda seribu doang ‘kan? Lagian rumah mereka itu jauh, Dek.”

“Ya sudah angkat saja yang jauh rumahnya,” ucapnya sambil merengek.

Fatir menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi sambil menatapku dengan rasa kecewa.

“Ya ampun perkara uang seribu mau di pindahkan rumahnya,” ucapku tertawa.

“Mak, nanti jatahnya, Pakde, ke sini, ya?” tanya anak sulungku yang dari tadi juga sedang sarapan.

“Iya,” jawabku singkat.

Mungkin dia heran, kenapa mamakku baik hari ini? Biasanya masak seadanya kalau jatah mereka ke sini tapi kenapa hari ini mamak masak ikan?

# # # #

Seperti biasa, sore ini aku melakukan aktivitas awal dengan mengangkat pakaian. Tapi bedanya kali ini tidak langsung aku lipat melainkan aku letakkan begitu saja di keranjang pakaian.

Kulanjutkan menyapu, cuci piring dan lain-lain. Di sela-sela waktu aku sambil menjaga anakku, kalau bahasa Jawa itu nyambi. Setelah semua selesai aku mengambil ponsel lalu aku upload asam pedas yang kuambil pagi tadi fotonya dengan judul “Asam pedas sedap.”

Tidak lama suara motor Supra berhenti tepat di depan rumahku dan aku yakin pasti itu mereka. Aku melihat jam ternyata jam 17.30 wib.

'Tidak sia-sia aku memasakkan khusus untuk mereka sore ini.’ batinku.

“Dipuu, sudah mandi ya? Sudah wangi, segar, cantik,” ucap istrinya mencium putri kecilku.

“Sudahlah, Bude. Mamak yang belum mandi,” ucapku tersenyum.

Aku tersenyum saat mereka menghampiriku dengan perasaan tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi nanti.

“Bang, bisa minta tolong antar Latif sama Fatir pangkas rambut?” tanyaku pada abang sepupuku.

“Boleh,” ucapnya sambil menghidupkan sebatang rokok.

Sebenarnya dari awal tidak ada rencana untuk Latif sama Fatir pangkas rambut, tapi entah dari mana otakku menemukannya.

Setelah mereka berangkat aku meletakkan putriku duduk di sampingku, aku mengambil sekeranjang pakaian yang belum aku lipat. Satu persatu aku lipat dengan saksama. Ceritanya itu menghayati.

“Lipat kain ini kerjaan yang paling membosankan ya, Kak,” ucapku.

“Iya, Kakak juga belum lipat kain, nantilah kalau mau tidur.”

Sebenarnya Aku mengulur waktu mencari kesibukan untuk mereka supaya mereka tidak secepatnya teringat oleh makanan. Supaya mereka kecewanya dalem gitu.

Aku melihat jam di ponsel menunjukkan pukul tujuh, Suamiku pulang, yang pangkas rambut pulang, pakaian juga sudah selesai. Aku menata semua pakaian di dalam almari. ‘semua tersusun dengan rapi.’ batinku tersenyum.

“Kak, aku mandi dulu ya, tolong lihat kan Dipuu,” ucapku sambil menyampirkan sebuah handuk di pundakku.

“Loh, enggak ada kopi ya, Ta? Gula pun enggak ada,” tanya abang sepupuku.

Aku mencari sumber suara, ternyata Abang sepupuku sedang berada di dapur.

'Duh, buka tudung saji enggak dia ya?' batinku.

“Enggak, Bang, belum belanja,” sahutku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status