Aku berusaha mencari jalan keluarnya, supaya bisa keluar dari masalah ini. Tidak mungkin semua ini di biarkan dalam jangka panjang.
“Mungkin sarapannya terlalu pagi, jadi masih pagi udah lapar lagi,” jawab mamak sambil menggendong putriku.“Ya ampun mamaaaaaakk,” ucapku dengan mata berkaca-kaca.Berarti istrinya benaran enggak masak itu, pagi di sana, siang di situ, malam di sana. Hadeh.Aku menggerutu sendiri sambil menyapu, mencari cara supaya mereka kapok untuk makan di rumahku.Setelah seharian main di rumah mamak, akhirnya aku pulang setelah jam menunjukkan pukul empat sore. Aku tahu mereka tidak akan datang hari ini aku memasakkan telur dadar sambal kecap untuk malam ini. Enggak lupa juga aku membeli sesuatu untuk memberikan kejutan ke mereka.Malam ini rumah terasa damai, aku dan suami duduk bercerita sambil bersenda gurau bersama anak-anak. Setelah aku teringat mereka seketika aku diam.“Dek, kenapa?” tanya suamiku.Aku tidak menjawab, aku menulis sesuatu di status w******p setelah mengirimnya kupersilahkan suamiku membacanya.“Dek, Adek yakin? Adek buat status kalau besok mau masak asam pedas patin? Dek, besok kan jatah mereka datang,” ucap mas suamiku memandangku dengan tatapan heran.“Memang sengaja,” ucapku.Aku melirik sambil tersenyum memandang mas suamiku yang sedang menepuk jidat. Aku bertekat akan memberikan kejutan untuk mereka.# # # #Samar-samar aku mendengar suara ponsel berdering, aku langsung duduk lalu meraih ponsel yang ada di meja rias.‘Oalah, alarm,' gumamku.Aku tidak mau rencanaku gagal kali ini. Walau masih kurasakan berat mata ini untuk terbuka, tetap saja aku paksakan bangun dari tidurku.Aku beranjak dari duduk sambil bermalas-malasan, kuletakkan ponsel kembali ke meja rias mencium putri kecilku dan berlalu ke dapur.“Mamak, masak dulu, ya, sayang.”Dengan semangat aku memasak asam pedas patin dan juga kejutan untuk mereka. Dua macam sayuran aku masak pagi ini maka aku bangun lebih awal. Aku harus selesai semua sebelum putri kecilku bangun.Dalam waktu 3jam semua sudah selesai dari masak, cuci pakaian, jemur kain, sapu lantai sampai ke sapu halaman. Aku melihat ke kamar ternyata putra sulungku sudah tidak ada. Mungkin di kamar mandi.“Latif,” panggilku dengan suara agak keras.“Di kamar mandi, Mak,” jawabnya sambil menyiramkan air ke tubuhnya.'Loh kapan lewatnya?' batinku.Aku mengecek kembali meja makan yang sudah tersusun rapi ternyata masih ada yang kurang yaitu kopi. Karena kalau mas suamiku bangun yang di cari itu kopi, bukan aku, ya sudah buat dulu itu si kopinya.Setelah membuat kopi, semua bahan, kopi, gula, teh, aku susun di dalam kardus lalu kumasukkan ke dalam kamar. Kali ini aku mencoba untuk menjadi orang pelit.“Mas, bangun!” ucapku memegang lengan suamiku setelah meletakkan kardus berisi kopi bubuk sachet di atas almari.Suamiku tidak merespon, sepertinya dia benar-benar lelah dengan pekerjaannya semalam. Kali ini aku menepuk pipinya.“Bangun, sudah siang,” ucapku saat suamiku membuka mata.Setelah beberapa menit membuka matanya, suamiku beranjak dari tidurnya terlihat sedikit sempoyongan berjalan ke arah dapur. Aku melipat kain selimut juga sedikit merapikan sprei.“Dek, Adek!” panggil mas suamiku sedikit berteriak.Seketika aku berjalan cepat untuk menghampirinya.“Ada apa?” tanyaku setelah melihatnya melongo menatap sarapan pagi sudah tersusun rapi.“Adek mimpi apa?” tanyanya.Dia memegang tudung saji sambil beberapa kali mengedip-ngedipkan matanya, mungkin karena setengah tidak percaya aku sudah siap semua jam segini.“Kok pagi-pagi sudah bahas mimpi sih, Mas? Bahas yang lain kenapa?” ucapku dengan nada sedikit ngambek.“Ya ampun, Dek, pagi-pagi sudah rapi semua malam tadi mimpi apa, istriku tercinta?” tanya mas suamiku dengan memberikan nada panjang.Aku berhenti di pintu dapur sambil tersenyum, ada sedikit kebahagiaan di hatiku melihat suamiku pagi-pagi sudah merasa takjub.“Aku kira ada apa, Mas,” ucapku cekikikan.“Dek, adek kok masak asam pedas patin betulan sih? Enak di merekalah?” tanya suamiku sambil menutup kembali tudung saji.“Sudah, mandi dulu sana! Habis itu sarapan. Masalah mereka biar, Adek, yang atur,” ucapku tersenyum sambil sedikit mendorong lengan suamiku.Suamiku berjalan ke kamar mandi sambil menggelengkan kepala. Entah apa yang ada di pikirannya. Pasti dia penasaran apa yang aku lakukan nanti. Hiks.Berhubung suamiku masih mandi, aku mengambil ponsel yang ada di dalam kamar.“Mak, ikat pinggangku di mana?” tanya Latif putra sulungku.“Di laci, Nak,” jawabku sambil berjalan menuju meja makan.Aku mengambil beberapa kali foto masakanku pagi ini. Tapi hanya asam pedasnya, tidak yang lainnya.# # # #“Mak, uang jajan, Adek, mana?” tanya Fatir, anak ke duaku.“Ini,” aku mengeluarkan uang empat ribu rupiah dari dalam saku bajuku.“Mak, tambah kenapa!” rengeknya.Merengek dengan wajah memelas itu adalah senjatanya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.“Segitu juga sudah banyak, Dek, sudah sarapan juga ‘kan?” ucapku sambil membenahi seragamnya.“Kawan adek, lima ribu.”“Beda seribu doang ‘kan? Lagian rumah mereka itu jauh, Dek.”“Ya sudah angkat saja yang jauh rumahnya,” ucapnya sambil merengek.Fatir menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi sambil menatapku dengan rasa kecewa.“Ya ampun perkara uang seribu mau di pindahkan rumahnya,” ucapku tertawa.“Mak, nanti jatahnya, Pakde, ke sini, ya?” tanya anak sulungku yang dari tadi juga sedang sarapan.“Iya,” jawabku singkat.Mungkin dia heran, kenapa mamakku baik hari ini? Biasanya masak seadanya kalau jatah mereka ke sini tapi kenapa hari ini mamak masak ikan?# # # #Seperti biasa, sore ini aku melakukan aktivitas awal dengan mengangkat pakaian. Tapi bedanya kali ini tidak langsung aku lipat melainkan aku letakkan begitu saja di keranjang pakaian.Kulanjutkan menyapu, cuci piring dan lain-lain. Di sela-sela waktu aku sambil menjaga anakku, kalau bahasa Jawa itu nyambi. Setelah semua selesai aku mengambil ponsel lalu aku upload asam pedas yang kuambil pagi tadi fotonya dengan judul “Asam pedas sedap.”Tidak lama suara motor Supra berhenti tepat di depan rumahku dan aku yakin pasti itu mereka. Aku melihat jam ternyata jam 17.30 wib.'Tidak sia-sia aku memasakkan khusus untuk mereka sore ini.’ batinku.“Dipuu, sudah mandi ya? Sudah wangi, segar, cantik,” ucap istrinya mencium putri kecilku.“Sudahlah, Bude. Mamak yang belum mandi,” ucapku tersenyum.Aku tersenyum saat mereka menghampiriku dengan perasaan tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi nanti.“Bang, bisa minta tolong antar Latif sama Fatir pangkas rambut?” tanyaku pada abang sepupuku.“Boleh,” ucapnya sambil menghidupkan sebatang rokok.Sebenarnya dari awal tidak ada rencana untuk Latif sama Fatir pangkas rambut, tapi entah dari mana otakku menemukannya.Setelah mereka berangkat aku meletakkan putriku duduk di sampingku, aku mengambil sekeranjang pakaian yang belum aku lipat. Satu persatu aku lipat dengan saksama. Ceritanya itu menghayati.“Lipat kain ini kerjaan yang paling membosankan ya, Kak,” ucapku.“Iya, Kakak juga belum lipat kain, nantilah kalau mau tidur.”Sebenarnya Aku mengulur waktu mencari kesibukan untuk mereka supaya mereka tidak secepatnya teringat oleh makanan. Supaya mereka kecewanya dalem gitu.Aku melihat jam di ponsel menunjukkan pukul tujuh, Suamiku pulang, yang pangkas rambut pulang, pakaian juga sudah selesai. Aku menata semua pakaian di dalam almari. ‘semua tersusun dengan rapi.’ batinku tersenyum.“Kak, aku mandi dulu ya, tolong lihat kan Dipuu,” ucapku sambil menyampirkan sebuah handuk di pundakku.“Loh, enggak ada kopi ya, Ta? Gula pun enggak ada,” tanya abang sepupuku.Aku mencari sumber suara, ternyata Abang sepupuku sedang berada di dapur.'Duh, buka tudung saji enggak dia ya?' batinku.“Enggak, Bang, belum belanja,” sahutku.Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak
"Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku
"Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal
"Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be
"Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter
"Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me