Share

Bab 4

“Latif, belikan top kopi, ya! Dua ribu kan harganya?” tanya abang sepupuku menatapku sambil menyodorkan uang lima ribu rupiah kepada Latif.

Abang sepupuku mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana. Mengeluarkan selembar uang senilai lima ribu rupiah.

“Iya,” jawabku.

“Kembaliannya untukmu, ya,” ucap abang sepupuku kepada Latif.

“Iya, Terima kasih, Pakde,” ucap Latif sambil mengambil uangnya.

Saat Latif hendak berangkat ke warung, Wulan datang menghampiri Latif yang masih berada di dekat pintu.

“Sini, Bude, ada uang dua ribuan ini,” ucap kakak sepupuku sambil mengambil uang yang sudah di tangan Latif lalu memberikan uang dua ribu rupiah.

Aku hanya tersenyum menggelengkan kepala melihatnya. Mungkin hatiku sakit, tapi aku tidak harus memperlihatkannya karena kami bukan orang yang kekurangan.

“Dek, makan yuk!” ucap suamiku.

“Belum mandi lagi.”

“Sudah enggak apa-apa, toh masih wangi kan?”

“Masih, dong,” ucapku tersenyum manis menahan tawa.

Aku berjalan menuju dapur di ikuti kakak sepupuku dari belakang, lalu ia berhenti di pintu tengah.

“Bang, Kak, makan!” ucapku berdiri di dekat meja makan sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.

Abang sepupuku menghampiri meja makan lalu membuka tudung saji.

“Loh kok gori (nangka muda)? Tapi yang di upload asam pedas patin tadi?” tanyanya melongo.

“Itu sarapan kami pagi tadi, kalau sore ini kami memang masak gori alias nangka muda. Enak loh,” ucapku sambil melirik suamiku yang cengar-cengir.

"Yuk, pulang! Kita masak mi saja!" Terdengar nada kecewa dari abang sepupuku, "ayolah, kita pulang! Masak mi di rumah!" imbuhnya dengan nada tinggi.

Abang sepupuku berbalik arah, berjalan perlahan selangkah demi selangkah ke arah luar.

“Bang, sini loh makan bareng! Enak ini,” ucapku sedikit berteriak.

“Enggaklah, pulang saja masak mi,” jawabnya kecewa.

Aku dan suami cekikikan ketika mendengar suara motor mereka, akhirnya malam ini kami makan malam dengan nyaman. Tidak dengan hati yang dongkol. Walaupun hanya dengan sayur nangka muda tapi terasa begitu nikmat saat kita makan dengan hati yang lapang.

“Kok bisa, Adek, dapat ide seperti ini?” tanyanya di sela-sela kami makan malam.

“Iya kemarin itu, Mamak bilang kalau abang itu enggak suka sayur nangka muda,” jawabku menjelaskan.

Aku mengambilkan sepiring nasi untuk anak-anakku, tidak lupa mengambilkan ikan patin goreng yang sebelumnya sudah aku sisihkan di atas rak.

“Kira-kira mereka bakal kapok enggak ya, Dek?”

“Mungkin ya kesini lagilah, Pak,” timpal anakku sambil mengunyah.

“Enggak tahu, Mas, yang penting malam ini kita aman,” ucapku tersenyum.

# # # #

“Mak, tadi pakde lucu kali ya, kan, kenapa coba enggak kaya kemarin itu dia beli mi sendiri di masak sendiri,” ucap Latif padaku.

“Mereka enggak mau modal lagi, Nang, kan kalau masak di rumah kita harus tiga atau empat. Kalau masak di rumah mereka dua saja sudah cukup.”

Sebenarnya aku tidak pantas untuk berbicara hal ini pada anakku yang usianya masih belia, tapi apa boleh buat, anakku sudah terlanjur tahu sifat mereka.

“Padahal kalau dilihat-lihat, mereka lebih kaya dari kita.”

Aku hanya mengangkat bahu, tidak ingin melanjutkan pembicaraan yang belum seharusnya ia pahami.

“Hayo, ngerumpi ya, awas nanti orangnya kedengaran,” ucap suamiku yang tiba-tiba berada di sampingku.

“Kedengaran ya, malah bagus,” celetuk Latif yang benar-benar kesal.

Aku dan suami hanya bisa tertawa, kami masih mengerti bagaimana sakit hatinya anakku tadi di beri uang tapi di ambil lagi. Mungkin karena masih anak-anak jadi tidak bisa memakluminya.

“Tidur, Nang! Sudah malam,” ucapku pada Latif yang masih kesal.

Tanpa menjawab Latif langsung masuk ke dalam kamar sambil membawa bantal guling kesayangannya.

“Awas jangan berpikir tentang Bude, lho. Nanti ke bawa mimpi,” ucap suamiku tertawa lepas.

“Hus!” Aku mencubit lengannya.

Setelah lama kami berbincang, kami pun masuk ke dalam kamar untuk istirahat. Aku menghempaskan tubuh ke ranjang sambil menghela nafas panjang.

“Jangan lega dulu, siapa tahu besok datang lagi kan?” celoteh suamiku seakan mengerti kelegaan hatiku malam ini.

“Mas, lihat ini!” Aku menyodorkan ponselku pada mas suami.

“Wah, enaknya, komentar, Dek!” ujar suamiku.

Tampak dua bungkus nasi padang dengan lauk nila bakar di tambah sayur dan juga sambal. Sudah jelas ini istrinya yang malas masak bukan karena mereka tidak mampu. Apa mungkin karena bawaan si cabang bayi ya? Entahlah.

“Malas, mau komen apa coba?” jawabku mendengus kesal. Jangankan komen, memberi like saja aku enggak mau.

“Duh, yang makan enak, enggak bagi-bagi, seperti itu, Dek,” suamiku memandang cermin yang ada di hadapan sambil mengusap-usap wajah.

Aku melirik suamiku yang masih asyik memandang wajahnya. Apa maksud mereka coba? Beli lauk itu mampu, bahkan beli nasi bungkus sekalipun. Tapi kenapa mereka selalu memilih makan di rumahku? Apa maksudnya? Aku harus menyelidiki ini semua.

“Malas, nanti jadi panjang ceritanya.”

“Ya sudah, yuk tidur, sudah malam,” ucap suamiku naik ke ranjang.

Aku belum bisa tidur, aku keluar dari aplikasi F******k lalu aku menekan aplikasi YouTube untuk melihat-lihat resep masakan sampai akhirnya aku tertidur.

# # # #

“Hari ini, Pakde bakal ke sini enggak ya, Mak?” tanya putra sulungku.

“Kayanya enggaklah,” jawabku sambil mengambilkan nasi untuknya.

Pagi ini terasa hening, terasa nyaman seperti saat kami berada di kampung suami dulu. Tidak ada orang yang bikin rusuh seperti mereka.

“Mak, masak gori (nangka muda) saja lagi,” timpal anak keduaku tertawa.

“Kembunglah kita, Nang,” sahut suamiku tertawa lepas.

Pagi ini kami sarapan nasi goreng, belum terpikirkan akan masak apa aku hari ini, biasa aku belanja sendiri di kedai yang berada di ujung jalan, tapi untuk hari ini aku malas karena malam nanti ada pasar di dekat rumah.

“Mas, berangkat dulu ya, Dek,” ucap suamiku menyalamiku.

“Iya,” jawabku sambil mencium punggung tangannya.

Setelah mereka semua berangkat, Aku mulai membereskan meja makan yang berantakan. Mencuci piring lalu menyusunnya ke rak. Menyapu, mengepel, dan mencuci pakaian. Sebelum aku selesai mencuci pakaian putri kecilku terbangun dari tidurnya.

“Anak, Mamak, sudah bangun, ya,” ucapku padanya sambil mencium pipinya.

Aku ikut rebahan di sampingnya sambil memikirkan masak apa hari ini. Sambil menyusui aku membuka aplikasi F******k melihat ada kabar apa hari ini. Setelah beberapa saat aku beranjak dari rebahan membawa putri kecilku mandi lalu menyuapinya sarapan.

Semua beres, tinggal mencari sayuran untuk makan siang dan makan malam. Aku pergi ke warung terdekat sambil menggendong, Putriku, berniat untuk membeli indomie goreng.

Saat aku membuka pintu, terlihat dari kejauhan motor Supra ke arah rumahku.

‘Dih, mereka, lagi,’ batinku.

“Adek, pagi-pagi mau ke mana? Ih sudah mandi ya,” ucapnya begitu sampai di teras rumahku.

“Enggak ke mana-mana, Bude, Cuma mau cari matahari saja,” jawabku.

Aku menghentikan langkahku di halaman rumah, berayun-ayun menggendong putriku. Kuurungkan niatku yang akan pergi ke warung.

“Devan, kerja?” tanya abang sepupuku.

“ Kerjalah,” jawabku singkat.

Aku mendengus kesal, pandanganku jauh ke depan memandang indahnya pemandangan pagi. Melihat-lihat orang-orang yang sibuk mondar-mandir dengan aktivitas mereka masing-masing.

“Masak apa, Ta?” tanya abang sepupuku.

“Enggak masak, sarapan nasi goreng saja tadi, sekarang juga sudah habis wong goreng cuma dikit doang,” celotehku.

Aku mengikuti langkah mereka dari belakang yang masuk ke rumahku, seperti biasa, Abang sepupu langsung masuk ke dapur memasak air untuk buat kopi.

“Kakak, masak pepaya muda,” timpal kakak sepupuku.

“Aku, belum masak, belum tahu juga mau masak apa, stok di kulkas sudah habis,” ucapku sambil meletakkan putriku ke sofa.

Aku tetap memasang wajah masam, tapi mereka tidak menghiraukannya. Wulan menghidupkan televisi lalu duduk menghadap kipas angin yang baru saja ia nyalakan.

“Enggak kerja apa, Bang?” tanyaku.

“Enggak, besok kerjanya.” jawabnya sambil menghidupkan sebatang rokok.

Aku meletakkan putriku ke pangkuan kakak sepupuku, aku meninggalkan mereka di ruang tamu pergi ke kamar mengambil ponsel.

“Ta, Dipuu kakak bawa ke rumah neneknya, ya,” ucap kakak sepupuku dengan suara sedikit keras.

“Tapi kopi belum di minum?”

“Nanti saja,” jawab Abang sepupuku.

Tidak lama terdengar suara motor mereka meninggalkan halaman rumahku, langsung aku mengirim pesan pada adik keduaku, Era.

[Dek, ke rumah mamak, yok, ada Wulan di sana.]

[Oke.]

Aku memasukkan ponsel ke dalam tas mini milikku sambil berjalan ke warung dekat rumah untuk membeli lauk makan siang nanti, tidak lain itu adalah telur.

“Loh, Dipuu mana, Kak?” tanya Bu Endah pemilik warung terkejut melihatku tanpa putriku.

“Itu di bawa ke rumah mamak tadi sama, Kakak,” jawabku.

“Eh, yang motor putih itu, ya, kakakmu? Kok hampir setiap hari dia datang ke rumah kalian? Ngapain?” tanyanya beruntun.

Aku diam sejenak, ternyata diam-diam ada juga yang memperhatikan kedatangan mereka ke rumahku.

“Ya main, Bu,” jawabku singkat tanpa mengatakan apa pun lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status