“Latif, belikan top kopi, ya! Dua ribu kan harganya?” tanya abang sepupuku menatapku sambil menyodorkan uang lima ribu rupiah kepada Latif.
Abang sepupuku mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana. Mengeluarkan selembar uang senilai lima ribu rupiah.“Iya,” jawabku.“Kembaliannya untukmu, ya,” ucap abang sepupuku kepada Latif.“Iya, Terima kasih, Pakde,” ucap Latif sambil mengambil uangnya.Saat Latif hendak berangkat ke warung, Wulan datang menghampiri Latif yang masih berada di dekat pintu.“Sini, Bude, ada uang dua ribuan ini,” ucap kakak sepupuku sambil mengambil uang yang sudah di tangan Latif lalu memberikan uang dua ribu rupiah.Aku hanya tersenyum menggelengkan kepala melihatnya. Mungkin hatiku sakit, tapi aku tidak harus memperlihatkannya karena kami bukan orang yang kekurangan.“Dek, makan yuk!” ucap suamiku.“Belum mandi lagi.”“Sudah enggak apa-apa, toh masih wangi kan?”“Masih, dong,” ucapku tersenyum manis menahan tawa.Aku berjalan menuju dapur di ikuti kakak sepupuku dari belakang, lalu ia berhenti di pintu tengah.“Bang, Kak, makan!” ucapku berdiri di dekat meja makan sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.Abang sepupuku menghampiri meja makan lalu membuka tudung saji.“Loh kok gori (nangka muda)? Tapi yang di upload asam pedas patin tadi?” tanyanya melongo.“Itu sarapan kami pagi tadi, kalau sore ini kami memang masak gori alias nangka muda. Enak loh,” ucapku sambil melirik suamiku yang cengar-cengir."Yuk, pulang! Kita masak mi saja!" Terdengar nada kecewa dari abang sepupuku, "ayolah, kita pulang! Masak mi di rumah!" imbuhnya dengan nada tinggi.Abang sepupuku berbalik arah, berjalan perlahan selangkah demi selangkah ke arah luar.“Bang, sini loh makan bareng! Enak ini,” ucapku sedikit berteriak.“Enggaklah, pulang saja masak mi,” jawabnya kecewa.Aku dan suami cekikikan ketika mendengar suara motor mereka, akhirnya malam ini kami makan malam dengan nyaman. Tidak dengan hati yang dongkol. Walaupun hanya dengan sayur nangka muda tapi terasa begitu nikmat saat kita makan dengan hati yang lapang.“Kok bisa, Adek, dapat ide seperti ini?” tanyanya di sela-sela kami makan malam.“Iya kemarin itu, Mamak bilang kalau abang itu enggak suka sayur nangka muda,” jawabku menjelaskan.Aku mengambilkan sepiring nasi untuk anak-anakku, tidak lupa mengambilkan ikan patin goreng yang sebelumnya sudah aku sisihkan di atas rak.“Kira-kira mereka bakal kapok enggak ya, Dek?”“Mungkin ya kesini lagilah, Pak,” timpal anakku sambil mengunyah.“Enggak tahu, Mas, yang penting malam ini kita aman,” ucapku tersenyum.# # # #“Mak, tadi pakde lucu kali ya, kan, kenapa coba enggak kaya kemarin itu dia beli mi sendiri di masak sendiri,” ucap Latif padaku.“Mereka enggak mau modal lagi, Nang, kan kalau masak di rumah kita harus tiga atau empat. Kalau masak di rumah mereka dua saja sudah cukup.”Sebenarnya aku tidak pantas untuk berbicara hal ini pada anakku yang usianya masih belia, tapi apa boleh buat, anakku sudah terlanjur tahu sifat mereka.“Padahal kalau dilihat-lihat, mereka lebih kaya dari kita.”Aku hanya mengangkat bahu, tidak ingin melanjutkan pembicaraan yang belum seharusnya ia pahami.“Hayo, ngerumpi ya, awas nanti orangnya kedengaran,” ucap suamiku yang tiba-tiba berada di sampingku.“Kedengaran ya, malah bagus,” celetuk Latif yang benar-benar kesal.Aku dan suami hanya bisa tertawa, kami masih mengerti bagaimana sakit hatinya anakku tadi di beri uang tapi di ambil lagi. Mungkin karena masih anak-anak jadi tidak bisa memakluminya.“Tidur, Nang! Sudah malam,” ucapku pada Latif yang masih kesal.Tanpa menjawab Latif langsung masuk ke dalam kamar sambil membawa bantal guling kesayangannya.“Awas jangan berpikir tentang Bude, lho. Nanti ke bawa mimpi,” ucap suamiku tertawa lepas.“Hus!” Aku mencubit lengannya.Setelah lama kami berbincang, kami pun masuk ke dalam kamar untuk istirahat. Aku menghempaskan tubuh ke ranjang sambil menghela nafas panjang.“Jangan lega dulu, siapa tahu besok datang lagi kan?” celoteh suamiku seakan mengerti kelegaan hatiku malam ini.“Mas, lihat ini!” Aku menyodorkan ponselku pada mas suami.“Wah, enaknya, komentar, Dek!” ujar suamiku.Tampak dua bungkus nasi padang dengan lauk nila bakar di tambah sayur dan juga sambal. Sudah jelas ini istrinya yang malas masak bukan karena mereka tidak mampu. Apa mungkin karena bawaan si cabang bayi ya? Entahlah.“Malas, mau komen apa coba?” jawabku mendengus kesal. Jangankan komen, memberi like saja aku enggak mau.“Duh, yang makan enak, enggak bagi-bagi, seperti itu, Dek,” suamiku memandang cermin yang ada di hadapan sambil mengusap-usap wajah.Aku melirik suamiku yang masih asyik memandang wajahnya. Apa maksud mereka coba? Beli lauk itu mampu, bahkan beli nasi bungkus sekalipun. Tapi kenapa mereka selalu memilih makan di rumahku? Apa maksudnya? Aku harus menyelidiki ini semua.“Malas, nanti jadi panjang ceritanya.”“Ya sudah, yuk tidur, sudah malam,” ucap suamiku naik ke ranjang.Aku belum bisa tidur, aku keluar dari aplikasi F******k lalu aku menekan aplikasi YouTube untuk melihat-lihat resep masakan sampai akhirnya aku tertidur.# # # #“Hari ini, Pakde bakal ke sini enggak ya, Mak?” tanya putra sulungku.“Kayanya enggaklah,” jawabku sambil mengambilkan nasi untuknya.Pagi ini terasa hening, terasa nyaman seperti saat kami berada di kampung suami dulu. Tidak ada orang yang bikin rusuh seperti mereka.“Mak, masak gori (nangka muda) saja lagi,” timpal anak keduaku tertawa.“Kembunglah kita, Nang,” sahut suamiku tertawa lepas.Pagi ini kami sarapan nasi goreng, belum terpikirkan akan masak apa aku hari ini, biasa aku belanja sendiri di kedai yang berada di ujung jalan, tapi untuk hari ini aku malas karena malam nanti ada pasar di dekat rumah.“Mas, berangkat dulu ya, Dek,” ucap suamiku menyalamiku.“Iya,” jawabku sambil mencium punggung tangannya.Setelah mereka semua berangkat, Aku mulai membereskan meja makan yang berantakan. Mencuci piring lalu menyusunnya ke rak. Menyapu, mengepel, dan mencuci pakaian. Sebelum aku selesai mencuci pakaian putri kecilku terbangun dari tidurnya.“Anak, Mamak, sudah bangun, ya,” ucapku padanya sambil mencium pipinya.Aku ikut rebahan di sampingnya sambil memikirkan masak apa hari ini. Sambil menyusui aku membuka aplikasi F******k melihat ada kabar apa hari ini. Setelah beberapa saat aku beranjak dari rebahan membawa putri kecilku mandi lalu menyuapinya sarapan.Semua beres, tinggal mencari sayuran untuk makan siang dan makan malam. Aku pergi ke warung terdekat sambil menggendong, Putriku, berniat untuk membeli indomie goreng.Saat aku membuka pintu, terlihat dari kejauhan motor Supra ke arah rumahku.‘Dih, mereka, lagi,’ batinku.“Adek, pagi-pagi mau ke mana? Ih sudah mandi ya,” ucapnya begitu sampai di teras rumahku.“Enggak ke mana-mana, Bude, Cuma mau cari matahari saja,” jawabku.Aku menghentikan langkahku di halaman rumah, berayun-ayun menggendong putriku. Kuurungkan niatku yang akan pergi ke warung.“Devan, kerja?” tanya abang sepupuku.“ Kerjalah,” jawabku singkat.Aku mendengus kesal, pandanganku jauh ke depan memandang indahnya pemandangan pagi. Melihat-lihat orang-orang yang sibuk mondar-mandir dengan aktivitas mereka masing-masing.“Masak apa, Ta?” tanya abang sepupuku.“Enggak masak, sarapan nasi goreng saja tadi, sekarang juga sudah habis wong goreng cuma dikit doang,” celotehku.Aku mengikuti langkah mereka dari belakang yang masuk ke rumahku, seperti biasa, Abang sepupu langsung masuk ke dapur memasak air untuk buat kopi.“Kakak, masak pepaya muda,” timpal kakak sepupuku.“Aku, belum masak, belum tahu juga mau masak apa, stok di kulkas sudah habis,” ucapku sambil meletakkan putriku ke sofa.Aku tetap memasang wajah masam, tapi mereka tidak menghiraukannya. Wulan menghidupkan televisi lalu duduk menghadap kipas angin yang baru saja ia nyalakan.“Enggak kerja apa, Bang?” tanyaku.“Enggak, besok kerjanya.” jawabnya sambil menghidupkan sebatang rokok.Aku meletakkan putriku ke pangkuan kakak sepupuku, aku meninggalkan mereka di ruang tamu pergi ke kamar mengambil ponsel.“Ta, Dipuu kakak bawa ke rumah neneknya, ya,” ucap kakak sepupuku dengan suara sedikit keras.“Tapi kopi belum di minum?”“Nanti saja,” jawab Abang sepupuku.Tidak lama terdengar suara motor mereka meninggalkan halaman rumahku, langsung aku mengirim pesan pada adik keduaku, Era.[Dek, ke rumah mamak, yok, ada Wulan di sana.][Oke.]Aku memasukkan ponsel ke dalam tas mini milikku sambil berjalan ke warung dekat rumah untuk membeli lauk makan siang nanti, tidak lain itu adalah telur.“Loh, Dipuu mana, Kak?” tanya Bu Endah pemilik warung terkejut melihatku tanpa putriku.“Itu di bawa ke rumah mamak tadi sama, Kakak,” jawabku.“Eh, yang motor putih itu, ya, kakakmu? Kok hampir setiap hari dia datang ke rumah kalian? Ngapain?” tanyanya beruntun.Aku diam sejenak, ternyata diam-diam ada juga yang memperhatikan kedatangan mereka ke rumahku.“Ya main, Bu,” jawabku singkat tanpa mengatakan apa pun lagi.“Oh, ibu kira ada apa gitu yang di kerjakannya. Soalnya setiap hari loh, ya sudah,. Terimakasih, ya, Kak,” ucapnya setelah memberikan kembaliannya padaku. Jarak antara warung dengan rumahku tidak terlalu jauh, hanya selisih dua rumah saja. Maka dari itu mungkin beliau selalu melihat motor abang sepupuku sering parkir di halaman rumah. # # # # “Tuh, Mamakmu, sudah datang. Pakde, mau pulang,” ucap abang sepupuku seolah berbicara pada putriku. Aku hanya tersenyum saat mereka berpamitan pulang pada Mamak yang sedang di dapur, juga Nenek yang ada di kamar. Suara motor tidak lagi kedengaran. Aku pergi ke dapur menemui, Mamak. “Mak, tumben mereka enggak makan, ya? Mamak masak apa rupanya?” tanyaku. “Siapa bilang enggak makan, itu piring kotor siapa itu,” ucap mamak mendengus kesal. Beberapa piring kotor menumpuk di wastafel, aku mendengus sambil menggelengkan kepala. “Apa susahnya selesai makan itu di cuci piringnya, coba?” Mamak tersenyum memandangku, andai aku punya keberanian past
RegitaRegita, memilih berpisah dengan suami untuk membebaskan hati dan pikiran yang selalu di sakiti oleh keluarga suami bahkan suaminya sendiri. Suami dan keluarganya selalu saja mencemoohnya karena sudah berusia delapan tahun Regita tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga mereka. Hingga suatu saat Regita memiliki bukti kehamilan. Bukti itu di genggam oleh Regita, saat dia akan memberikan pada suami, betapa hancurnya kala itu suaminya pulang dengan membawa seorang wanita untuk di jadikan istri tanpa izin dari suaminya. Bukti kehamilan itu di genggam erat oleh Regita. Dia memilih untuk pergi dan membesarkan anaknya sendirian. Mampukah Regita merawat anaknya sendiri? Bagaimana cara Regita memberitahu perihal sang ayah pada anaknya kala anaknya nanti dewasa?
Zaky mengejar ayahnya sampai ke dalam rumah. Aku membiarkan begitu saja karena kalau aku ikut mengejarnya nanti ada pula yang salah paham. “Eh, itu mobil, pak RT!” ucapku memandang ke arah sebuah mobil yang akan masuk ke halaman rumah, Mila. Tanpa basa-basi Wulan langsung saja jalan ke sana, menemui Mila. Sedangkan aku masuk dulu ke rumah mengambil putriku yang masih bermain di dalam. Sambil berjalan aku membenahi baju anakku di bagian leher yang terlihat kendor akibat dari gilingan mesin cuci. “Iya, enggak apa-apa, kok. Cuman luka sedikit aja,” ucap Mbak Mila saat aku baru sampai di sana. “Walah, jadi berapalah habis untuk obatnya itu?” tanya Wulan memandang kening yang di perban. Aku duduk di samping Wulan, mbak Mila menatapku. “Eh, Mbak Thalia,” sapanya padaku. Aku nyengir dan menganggukkan kepala lalu ikut nimbrung apa yang sedang mereka bahas. Mas Harman pergi lagi keluar. Saat Mila mendengar suara motornya, Mila diam sambil menundukkan kepala. Ingin rasanya aku membantu ma
Mamak menatapku dengan kening mengerut. Aku cekikikan lalu duduk di depannya. Hari ini hatiku puas betul rasanya.“Kenapa, Ta?” tanya mamak padaku. Aku menggeleng sambil terus tersenyum.Sore ini aku pulang tidak membawa putriku. Dia di minta mamak untuk tidur bersamanya malam ini. Aku melihat isi kulkas, hanya ada telur dan bunga kol saja.Aku meracik semua bahan, lalu memasaknya dengan rasa semangat. Tidak mungkin dia akan datang karena kejadian siang tadi.“Assalamualaikum...,” ucapan salam terdengar sampai dapur.Aku terpaku setelah sadar itu adalah suara kakak sepupuku. Dia masuk sambil meletakkan gawainya di meja makan.Dia masuk ke kamar mandi sambil membuka hijab lalu menyampirkannya di pintu. Memakai celana legging, hingga lekuk di bagian bokong hingga paha terlihat jelas. “Masak, apa, Ta?” tanyanya saat keluar dari kamar mandi sambil membenahi baju bagian bawah.“Ni!” sahutku memandang sayuran yang sedang kubolak-balikkan. Dia duduk di meja makan sambil memegang gawainya.
“Sekarang kutanya, Mas! Kemarin kamu suruh aku untuk bilang ke dia supaya enggak makan lagi di rumah ini. Terus kenapa tadi kamu bilang kasihan? Apa coba maksudmu itu?” tanyaku sambil merengut. Aku membuka hijab lalu mencampakkannya begitu saja di meja rias. Dia memandangku sambil tetap memegang gawainya.“Mas sudah enggak mau ikut campur lagi, Dek, itu terserah kamu saja sekarang. Soalnya kalau di ributkan bikin malu juga, sih,” jawabnya. Dia meletakkan gawai di meja riasku yang ada di dekat ranjang, membenahi hijabku yang menimpa beberapa kosmetik lalu merayap ke tempat di mana dia biasa tidur.Berarti aku sendiri yang harus mencari cara bagaimana untuk ke depannya. Enggak mungkin aku melarang kalau tidak ada pendukung.Aku berpura-pura tidur lelap sampai kubunyikan suara dengkuran di saat tidur. Aku menunggu waktu untuk bisa memegang gawainya supaya lebih leluasa untuk aku memeriksanya.Aku mendengar suara dengkurannya sangat keras, ternyata dia sudah masuk dalam perangkap. Perlaha
Aku tersenyum melirik ke arah, Mila. Begitu juga dengan Mila yang melirik ke arahku.Wulan masuk ke dalam kamarnya, beberapa saat kemudian dia keluar dengan membawa sebuah ponsel miliknya. Dia duduk menghadapku sambil memegang ponsel.“Oh, ya, enaklah. Datang tinggal makan, uda kenyang, pulang!” sahutku sambil tertawa lepas. Aku dan Mila tertawa sambil saling pandang. Dia tertawa getir.Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. Yang penting aku bisa makan di rumahnya, bukan itu yang aku tuju. Aku bisa buat dia harus masak lagi untuk malam nanti. Hiks.Setelah aku selesai makan, kuletakkan begitu saja piring kotor bekasku makan di meja makan. Kuambil satu gelas air putih lalu meneguknya hingga habis. Gelas kotor itu kuletakkan di sebelah piring.“Jangan! Pakai ini saja!” ujarku pada Mila yang akan mengambil gelas bekasku minum tadi. Aku mengambilkan dua gelas bersih kuberi padanya dan anaknya.“Kak, piringnya sudah bersih semua, loh,” ucap Mila melihat ke sekeliling dapur yan
“Kok enggak ucapkan salam, Mas?” tanyaku saat Devan melintas begitu saja di ruang keluarga. Dia hanya menoleh ke arahku tanpa menjawab pertanyaan dariku.Aku memutarkan otomatis setrika sambil melihat jam yang menempel di dinding. Ternyata sudah jam sepuluh malam, tidak terasa sudah dua jam aku duduk dan menyetrika di sini. Aku mematikan televisi lalu menyusulnya ke belakang. Ternyata dia sedang duduk di meja makan dengan menopang dagu.“Mas,” panggilku lirih karena malam ini semua anakku sudah pada tidur. Dia hanya menatapku sesaat. Kali ini tatapannya sinis padaku.“Apa salahku?” tanyaku. Dia mendehem untuk memperlancar suaranya.Inilah Devan, kalau ada masalah selalu diam. Bukan nasehati atau apalah gitu. Malah semakin diam. Dia diam karena ada masalah kerjanya entah karena dia memikirkan dengan kelakuanku siang tadi.Padahal aku ingin sekali cerita padanya mengenai Mila. Tapi sekarang aku malah jadi takut. Sepinya malam ini membuat perasaanku semakin sepi lagi tanpa adanya suara
“Lihatlah sendiri itu di meja!” ucapku ketus tanpa memandangnya. Dia sudah duduk di kursi dengan gaya bak ratu sedang duduk di istana.“Kakak, lapar, belum makan,” ucapnya sambil membuka tudung sajiku. Aku hanya diam tidak menawarkannya untuk makan. Aku acuh tak acuh padanya, sok sibuk dengan pekerjaanku. Karena masih pagi, pekerjaan yang harus aku lakukan itu masih banyak dan menumpuk.Aku perlahan membereskan tempat tidur, karena di kasur masih ada putriku, aku pelan-pelan menarik selimut yang sedikit melilit di kakinya supaya dia tidak terbangun. Menumpuk beberapa bantal di sudut ranjang, lalu merapikan meja riasku yang kelihatan berantakan.“Ta! Kakak pulang, ya,” ucapnya padaku di pintu kamar. Suaranya mengisi ruangan akhirnya putriku pun terbangun.“Ma_ma_k,” ucapnya sambil menangis. “Kakak ini loh, tahu anakku masih tidur pun berkoar-koar,” ucapku ketus sambil merengut. Dia tertawa terbahak-bahak melihatnya.Dia tidak merasa bersalah, malah dia berlalu meninggalkan kamarku.