Share

Bab 4

Author: Aong_Zee
last update Last Updated: 2022-02-16 22:40:37

“Latif, belikan top kopi, ya! Dua ribu kan harganya?” tanya abang sepupuku menatapku sambil menyodorkan uang lima ribu rupiah kepada Latif.

Abang sepupuku mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana. Mengeluarkan selembar uang senilai lima ribu rupiah.

“Iya,” jawabku.

“Kembaliannya untukmu, ya,” ucap abang sepupuku kepada Latif.

“Iya, Terima kasih, Pakde,” ucap Latif sambil mengambil uangnya.

Saat Latif hendak berangkat ke warung, Wulan datang menghampiri Latif yang masih berada di dekat pintu.

“Sini, Bude, ada uang dua ribuan ini,” ucap kakak sepupuku sambil mengambil uang yang sudah di tangan Latif lalu memberikan uang dua ribu rupiah.

Aku hanya tersenyum menggelengkan kepala melihatnya. Mungkin hatiku sakit, tapi aku tidak harus memperlihatkannya karena kami bukan orang yang kekurangan.

“Dek, makan yuk!” ucap suamiku.

“Belum mandi lagi.”

“Sudah enggak apa-apa, toh masih wangi kan?”

“Masih, dong,” ucapku tersenyum manis menahan tawa.

Aku berjalan menuju dapur di ikuti kakak sepupuku dari belakang, lalu ia berhenti di pintu tengah.

“Bang, Kak, makan!” ucapku berdiri di dekat meja makan sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.

Abang sepupuku menghampiri meja makan lalu membuka tudung saji.

“Loh kok gori (nangka muda)? Tapi yang di upload asam pedas patin tadi?” tanyanya melongo.

“Itu sarapan kami pagi tadi, kalau sore ini kami memang masak gori alias nangka muda. Enak loh,” ucapku sambil melirik suamiku yang cengar-cengir.

"Yuk, pulang! Kita masak mi saja!" Terdengar nada kecewa dari abang sepupuku, "ayolah, kita pulang! Masak mi di rumah!" imbuhnya dengan nada tinggi.

Abang sepupuku berbalik arah, berjalan perlahan selangkah demi selangkah ke arah luar.

“Bang, sini loh makan bareng! Enak ini,” ucapku sedikit berteriak.

“Enggaklah, pulang saja masak mi,” jawabnya kecewa.

Aku dan suami cekikikan ketika mendengar suara motor mereka, akhirnya malam ini kami makan malam dengan nyaman. Tidak dengan hati yang dongkol. Walaupun hanya dengan sayur nangka muda tapi terasa begitu nikmat saat kita makan dengan hati yang lapang.

“Kok bisa, Adek, dapat ide seperti ini?” tanyanya di sela-sela kami makan malam.

“Iya kemarin itu, Mamak bilang kalau abang itu enggak suka sayur nangka muda,” jawabku menjelaskan.

Aku mengambilkan sepiring nasi untuk anak-anakku, tidak lupa mengambilkan ikan patin goreng yang sebelumnya sudah aku sisihkan di atas rak.

“Kira-kira mereka bakal kapok enggak ya, Dek?”

“Mungkin ya kesini lagilah, Pak,” timpal anakku sambil mengunyah.

“Enggak tahu, Mas, yang penting malam ini kita aman,” ucapku tersenyum.

# # # #

“Mak, tadi pakde lucu kali ya, kan, kenapa coba enggak kaya kemarin itu dia beli mi sendiri di masak sendiri,” ucap Latif padaku.

“Mereka enggak mau modal lagi, Nang, kan kalau masak di rumah kita harus tiga atau empat. Kalau masak di rumah mereka dua saja sudah cukup.”

Sebenarnya aku tidak pantas untuk berbicara hal ini pada anakku yang usianya masih belia, tapi apa boleh buat, anakku sudah terlanjur tahu sifat mereka.

“Padahal kalau dilihat-lihat, mereka lebih kaya dari kita.”

Aku hanya mengangkat bahu, tidak ingin melanjutkan pembicaraan yang belum seharusnya ia pahami.

“Hayo, ngerumpi ya, awas nanti orangnya kedengaran,” ucap suamiku yang tiba-tiba berada di sampingku.

“Kedengaran ya, malah bagus,” celetuk Latif yang benar-benar kesal.

Aku dan suami hanya bisa tertawa, kami masih mengerti bagaimana sakit hatinya anakku tadi di beri uang tapi di ambil lagi. Mungkin karena masih anak-anak jadi tidak bisa memakluminya.

“Tidur, Nang! Sudah malam,” ucapku pada Latif yang masih kesal.

Tanpa menjawab Latif langsung masuk ke dalam kamar sambil membawa bantal guling kesayangannya.

“Awas jangan berpikir tentang Bude, lho. Nanti ke bawa mimpi,” ucap suamiku tertawa lepas.

“Hus!” Aku mencubit lengannya.

Setelah lama kami berbincang, kami pun masuk ke dalam kamar untuk istirahat. Aku menghempaskan tubuh ke ranjang sambil menghela nafas panjang.

“Jangan lega dulu, siapa tahu besok datang lagi kan?” celoteh suamiku seakan mengerti kelegaan hatiku malam ini.

“Mas, lihat ini!” Aku menyodorkan ponselku pada mas suami.

“Wah, enaknya, komentar, Dek!” ujar suamiku.

Tampak dua bungkus nasi padang dengan lauk nila bakar di tambah sayur dan juga sambal. Sudah jelas ini istrinya yang malas masak bukan karena mereka tidak mampu. Apa mungkin karena bawaan si cabang bayi ya? Entahlah.

“Malas, mau komen apa coba?” jawabku mendengus kesal. Jangankan komen, memberi like saja aku enggak mau.

“Duh, yang makan enak, enggak bagi-bagi, seperti itu, Dek,” suamiku memandang cermin yang ada di hadapan sambil mengusap-usap wajah.

Aku melirik suamiku yang masih asyik memandang wajahnya. Apa maksud mereka coba? Beli lauk itu mampu, bahkan beli nasi bungkus sekalipun. Tapi kenapa mereka selalu memilih makan di rumahku? Apa maksudnya? Aku harus menyelidiki ini semua.

“Malas, nanti jadi panjang ceritanya.”

“Ya sudah, yuk tidur, sudah malam,” ucap suamiku naik ke ranjang.

Aku belum bisa tidur, aku keluar dari aplikasi F******k lalu aku menekan aplikasi YouTube untuk melihat-lihat resep masakan sampai akhirnya aku tertidur.

# # # #

“Hari ini, Pakde bakal ke sini enggak ya, Mak?” tanya putra sulungku.

“Kayanya enggaklah,” jawabku sambil mengambilkan nasi untuknya.

Pagi ini terasa hening, terasa nyaman seperti saat kami berada di kampung suami dulu. Tidak ada orang yang bikin rusuh seperti mereka.

“Mak, masak gori (nangka muda) saja lagi,” timpal anak keduaku tertawa.

“Kembunglah kita, Nang,” sahut suamiku tertawa lepas.

Pagi ini kami sarapan nasi goreng, belum terpikirkan akan masak apa aku hari ini, biasa aku belanja sendiri di kedai yang berada di ujung jalan, tapi untuk hari ini aku malas karena malam nanti ada pasar di dekat rumah.

“Mas, berangkat dulu ya, Dek,” ucap suamiku menyalamiku.

“Iya,” jawabku sambil mencium punggung tangannya.

Setelah mereka semua berangkat, Aku mulai membereskan meja makan yang berantakan. Mencuci piring lalu menyusunnya ke rak. Menyapu, mengepel, dan mencuci pakaian. Sebelum aku selesai mencuci pakaian putri kecilku terbangun dari tidurnya.

“Anak, Mamak, sudah bangun, ya,” ucapku padanya sambil mencium pipinya.

Aku ikut rebahan di sampingnya sambil memikirkan masak apa hari ini. Sambil menyusui aku membuka aplikasi F******k melihat ada kabar apa hari ini. Setelah beberapa saat aku beranjak dari rebahan membawa putri kecilku mandi lalu menyuapinya sarapan.

Semua beres, tinggal mencari sayuran untuk makan siang dan makan malam. Aku pergi ke warung terdekat sambil menggendong, Putriku, berniat untuk membeli indomie goreng.

Saat aku membuka pintu, terlihat dari kejauhan motor Supra ke arah rumahku.

‘Dih, mereka, lagi,’ batinku.

“Adek, pagi-pagi mau ke mana? Ih sudah mandi ya,” ucapnya begitu sampai di teras rumahku.

“Enggak ke mana-mana, Bude, Cuma mau cari matahari saja,” jawabku.

Aku menghentikan langkahku di halaman rumah, berayun-ayun menggendong putriku. Kuurungkan niatku yang akan pergi ke warung.

“Devan, kerja?” tanya abang sepupuku.

“ Kerjalah,” jawabku singkat.

Aku mendengus kesal, pandanganku jauh ke depan memandang indahnya pemandangan pagi. Melihat-lihat orang-orang yang sibuk mondar-mandir dengan aktivitas mereka masing-masing.

“Masak apa, Ta?” tanya abang sepupuku.

“Enggak masak, sarapan nasi goreng saja tadi, sekarang juga sudah habis wong goreng cuma dikit doang,” celotehku.

Aku mengikuti langkah mereka dari belakang yang masuk ke rumahku, seperti biasa, Abang sepupu langsung masuk ke dapur memasak air untuk buat kopi.

“Kakak, masak pepaya muda,” timpal kakak sepupuku.

“Aku, belum masak, belum tahu juga mau masak apa, stok di kulkas sudah habis,” ucapku sambil meletakkan putriku ke sofa.

Aku tetap memasang wajah masam, tapi mereka tidak menghiraukannya. Wulan menghidupkan televisi lalu duduk menghadap kipas angin yang baru saja ia nyalakan.

“Enggak kerja apa, Bang?” tanyaku.

“Enggak, besok kerjanya.” jawabnya sambil menghidupkan sebatang rokok.

Aku meletakkan putriku ke pangkuan kakak sepupuku, aku meninggalkan mereka di ruang tamu pergi ke kamar mengambil ponsel.

“Ta, Dipuu kakak bawa ke rumah neneknya, ya,” ucap kakak sepupuku dengan suara sedikit keras.

“Tapi kopi belum di minum?”

“Nanti saja,” jawab Abang sepupuku.

Tidak lama terdengar suara motor mereka meninggalkan halaman rumahku, langsung aku mengirim pesan pada adik keduaku, Era.

[Dek, ke rumah mamak, yok, ada Wulan di sana.]

[Oke.]

Aku memasukkan ponsel ke dalam tas mini milikku sambil berjalan ke warung dekat rumah untuk membeli lauk makan siang nanti, tidak lain itu adalah telur.

“Loh, Dipuu mana, Kak?” tanya Bu Endah pemilik warung terkejut melihatku tanpa putriku.

“Itu di bawa ke rumah mamak tadi sama, Kakak,” jawabku.

“Eh, yang motor putih itu, ya, kakakmu? Kok hampir setiap hari dia datang ke rumah kalian? Ngapain?” tanyanya beruntun.

Aku diam sejenak, ternyata diam-diam ada juga yang memperhatikan kedatangan mereka ke rumahku.

“Ya main, Bu,” jawabku singkat tanpa mengatakan apa pun lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 58

    Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 57

    "Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 56

    "Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 55

    "Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 54

    "Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter

  • Pembalasan untuk Sepupu Celamitan   Bab 53

    "Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status