Share

Bab 2

“Loh, kok nasi tinggal sedikit? Malam ini teman mas itu mau datang, Dek, numpang makan katanya istrinya malas masak. Istrinya itu memang pemalas sih maka suaminya numpang makan sana sini, dan malam ini dia akan numpang di rumah kita,” penjelasan dari suamiku sungguh panjang lebar.

“Ya sudah ajak saja, Mas, ke sini. Nanti Adek masak lagi,” ucapku tersenyum.

“Ya ampun rajinnya istriku, terima kasih ya Allah, Engkau telah memberiku istri yang rajin, amin,” ucap suamiku sambil menengadahkan telapak tangan.

“Lebai,” ucap Wulan sewot.

Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. ‘Kena dirimu kali ini, Bu.’ batinku.

“Ya sudah, kami pamitlah ya, sudah kenyang pulang kaya pacet,” Wulan sedikit tergopoh-gopoh karena terlalu lama duduk bersila. Badannya memang besar sih.

Wulan membenahi hijab anaknya sambil sesekali bercanda dengan putri bungsuku.

“Makan apa kita malam ini, Dek?” tanya suamiku saat kakak dan abang iparku tepat berdiri di pintu.

“Nila, Nanti Adek panggang kan nila terus bikin sambal kecap ya,” jawabku tersenyum menoleh ke suamiku yang masih saja bersandar di dinding.

“Loh kok enggak bilang dari tadi kalau ada lauk yang bisa di masak? Kan kakak bisa nunggu kamu masak,” timpal Wulan menghentikan langkahnya.

“Kan enggak ada rencana mau masak, Kak.”

“Nila bakar sambal kecap, enak itu,” ucap abang sepupuku sambil memperlihatkan gerakan ragu untuk pulang.

‘Semoga pulang, semoga pulang, semoga pulang.’ kataku terus dalam hati.

“Abang pulang dulu ya, Ta, Van.”

'Alhamdulillah,' gumamku sambil mengangguk.

Aku dan suamiku berdiri di pintu untuk menghirup udara segar setelah kepergian mereka sambil tersenyum lebar.

“Mas, siapa yang mau datang nanti?” tanyaku ketika mereka sudah meninggal halaman rumahku.

“Mana ada,” jawabnya singkat tanpa memandangku.

Aku mencubit pipinya.

“Ya sudah, Dek, di masak nilanya biar mas jaga, Dipuu,” ucap suamiku sambil cekikikan dan mengelus pipinya.

“Mana ada nila, ikan nila dari Hongkong,” jawabku sambil tertawa terbahak-bahak.

“Adek, ih, Mas kira ada benaran ikan nilanya,” ucap suamiku mencubit pinggangku.

Aku kira suamiku paham aku sedang berakting, ternyata tidak, dan nyatanya suamiku malah mengharap betul nila bakar. Aku tertawa cekikikan sambil menutup mulutku.

“Adek, kira pun teman mas itu benaran ada,” jawabku sambil tertawa lepas.

“Pasti terbayang-bayang itu nila bakar sambal kecap di mata mereka ya kan, Dek, sama kaya, Mas,” ucap suamiku tertawa sambil masuk ke dalam rumah.

“Awas mimpiin nila ya, Mas,” ucapku.

Kami tertawa bersamaan. Rumah ini terlihat nyaman banget setelah kepergian mereka, kembali seperti surga. Tapi setelah aku melihat dapur kembali lagi hatiku menggerutu. Ada ya manusia aneh seperti mereka, sadar diri numpang makan tapi selesai makan boro-boro nyuci piring, peralatan masak tadi pun berantakan begitu saja.

Pasti setelah mereka sampai di rumah tinggal tidur, tidak lagi memikirkan piring kotor dan lain-lain. Bisa mengerjakan pekerjaan lain sedangkan aku malam-malam begini masih bergelut dengan piring kotor.

# # # #

Pagi telah tiba, dengan semangat aku mengerjakan pekerjaan rumah karena ingin main ke rumah mamak. Karena dari malam tadi mas suami terbayang-bayang sama nila, pagi ini aku masakan ceker ayam. Jauh ya, dari nila ke ceker. Hiks.

“Mas, sarapan sudah matangnih,” ucapku sambil memindahkan sup ceker ke dalam mangkuk.

“Dek, jadi nila panggang sambal kecapnya?” tanya suamiku sambil berjalan ke arah dapur.

Aku menatapnya sekilas lalu kembali fokus dengan sup ceker yang kutuang ke mangkuk.

“Jadi, sambal kecapnya saja, nila bakarnya enggak jadi.”

“Ya ampun,” ucap suamiku nyengir.

“Hmm, enaknya ini nilanya, Dek, awas Dek kena durinya,” ucap suamiku sambil menggerogoti ceker.

Aku melirik dengan mata tajam sambil menahan tawa, bagaimana tidak melihat tingkah suamiku yang sudah rindu dengan nila panggang.

“Besok, kalau ada waktu libur lagi kita ke rumah abang ya, Dek, mancing nila lagi. Kemarin juga sudah di tanya kapan pulang,” ucap suamiku lagi.

Aku hanya menganggukkan kepala sambil meletakkan piring kotor. Setelah mas suamiku berangkat kerja, aku mengemasi salin anakku ke dalam tas kecil berisi minyak telon, pempes, kaus dalam dan juga celana. Dikarenakan anak kami tidak memakai bedak, aku tidak membawanya, tidak punya bedak juga iya sih. Pernah punya tapi dalam kemasan kecil aja setahun lamanya belum habis-habis. Jadi aku buangtuh si bedak takut kadaluarsa.

Lupakan masalah bedak, kembali ke isi tas, aku juga memasukkan ponsel ke dalam tas. Setelah semua beres, aku menggendong anakku dan berjalan ke arah pintu,

“Assalamualaikum ....“

“Waalaikummussalam ....,“ jawabku sambil celinguk ke arah pintu melihat siapa yang datang.

'Hm kakak sepupu satu lagi,' gumamku setelah membuka pintu dapur.

“Ada apa, Kak?”

“Enggak ada, main saja,” jawabnya singkat sambil berjalan ke arah kursi yang ada di dapur.

Kak Evi, kakak sepupu yang tinggalnya tidak jauh dari rumah. Tapi Yo sesekali saja dia datang ke rumahku.

“Aku baru mau ke rumah, Mamak,” ucapku sambil meletakkan tas kecilku di meja.

“Masak apa, Dek?” tanyanya tanpa merespon ucapanku.

“Itu, sup ceker, makan kak,” tawarku.

Dia beranjak dari duduknya tanpa mengatakan sepatah kata pun, berjalan ke arah tudung sajiku lalu mengambil sebuah ceker memakannya begitu saja, setelah habis ambil lagi, dan lagi.

“Makan sajalah, Kak,” ucapku karena sedikit geli melihatnya kelakuannya.

“Kakak bawa sayurnya sajalah, sudah makan tadi masak pepaya muda,” ucapnya sambil celingukan mencari mangkuk.

Jelas-jelas beberapa mangkuk menumpuk di depan matanya, matanya masih juga jelalatan ke sana ke sini.

“Ambillah, Kak,” ucapku yang tak tahu harus menjawab apa.

“Enggak ada mangkuk ya?” tanyanya.

“Itu ada, Kak,” jawabku menunjukkan mangkuk yang tersusun di rak.

“Pake ini saja,” ucapnya memegang toples tinggi milik adikku.

Pantas saja lama mencari wadah, ternyata yang dia inginkan wadah yang besar.

“Itu punya, Era, Kak,” jelasku.

“Iya enggak apa-apa nanti kakak pulangkan,” jawabnya sambil mewadahi sayur sup.

Awalnya aku kira supaya mudah untuk membawanya, tapi setelah aku tersadar, ‘Ya ampun, ini mah merampas namanya.’ batinku.

Toples ukuran tinggi di isi setengah ke atas sayur, lah itu yang tersisa tinggal seberapa coba? Saat dia mewadahi itu toples segera kulihat sisa sup yang ada di mangkuk sayur. Aku enggak tega melihatnya, habis di rampas cekernya hanya tinggal beberapa saja. “Aduh,” gumamku kesal.

“Ya sudah sana ke rumah mamak, Kakak mau pulanglah mau tidur,” ucapnya sambil keluar dari rumahku.

Hm sudahlah lupakan, toh baru kali ini juga kan. Belum tahu ke depannya bagaimana. Kalau saja sama dengan Wulan, mau enggak mau kumenangis...

Sebelum sampai di rumah mamak, dari kejauhan aku melihat motor Supra putih parkir di depan rumah mamak.

“Loh, mereka di sini?” gumamku.

Dengan cepat aku melangkahkan kaki sudah tidak sabar siapa pemilik motor itu, tapi aku yakin kalau itu adalah abang sepupuku karena kebetulan dia memang punya dua motor. Ternyata, benar.

Aku terus berjalan ke dapur di mana mereka sedang sarapan, aku sengaja duduk di dekat mereka.

“Sarapan, Ta!” ucap mamak yang lagi sarapan.

“Sudah, Mak, anak mamak ini rajin jadi pagi-pagi sudah sarapan. Enggak kelaparan dan cari-cari makan di rumah orang,” jawabku sambil melirik ke arah Wulan yang sedang sarapan juga.

Tidak sedikitpun Wulan merespon ucapanku, dia tengah asik dengan lauk yang sedang ia santap. Duduk di lantai dengan makan menggunakan tangan itu memang nikmat.

“Masak apa, Ta?” tanya mamak.

“Ceker, tapi sudah habis, takut ada yang datang lagi cari makan jadi di habiskan sekalian tadi, Mak,” ucapku.

“Asemlah,” timpal Wulan tertawa terbahak-bahak sambil melihat ke arah suaminya yang sedang makan juga.

Aku melirik ke arah anaknya yang sedang sarapan juga dengan lauk mi instan. Mungkin karena lauk mamak pedas maka anaknya di masakkan mi instan.

'Ya ampun aku kira bakal marah, ternyata malah tertawa. Berarti memang orangnya bebal dong? Enggak gampang sakit hati.’ batinku.

“Kemarin jadi manggang nilanya?” tanya Wulan sambil meletakkan piring kotor.

“Jadilah,” jawabku tanpa ragu.

Saat mamak menatapku, aku mengedipkan mata memberi isyarat kalau aku sedang berbohong. Aku tahu pasti nanti mamak bakal merepet.

“Asemlah orang sudah siap makan baru masak,” ucapnya melirik ke arahku.

“La kakak lebih asemlah, orang repot-repot masak tibanya matang, kakak tinggal kan,” celetukku.

Mereka hanya tertawa, Mamak memandangku memberi isyarat kalau tidak boleh seperti itu. Tapi memang mereka sudah kelewatan.

Setelah mereka selesai makan aku membantu mamak membereskan piring kotor, karena seperti biasanya mereka tidak memikirkan piring kotor.

“Mak, kok bisa seperti itu ya?” tanyaku sambil mencuci piring.

“Itu istrinya masak nangka muda, abangmu enggak suka katanya,” jawab mamak.

Mamak masih saja membela mereka karena mamak belum tahu kalau mereka hampir setiap hari makan di rumahku.

“Loh tau suaminya enggak suka kenapa di masak coba?” tanyaku lagi.

“Mungkin enggak ada sayuran lain.”

Aku ingin sekali menyadarkan mamak supaya mamak tahu betapa tidak wajarnya kelakuan mereka.

‘Apa mungkin jika sayur yang tidak di sukai suami di masak juga? Apa enggak ada sayuran lain?' batinku.

“Ah mamak ini,” gerutuku jengkel karena mamak selalu menilai positif.

“Tapi istrinya tadi kan makan juga, Mak, berarti kan mereka sama-sama lapar, Mak? Masa iya udah sarapan, sarapan lagi?” tanyaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status