Share

Bab 5

“Oh, ibu kira ada apa gitu yang di kerjakannya. Soalnya setiap hari loh, ya sudah,. Terimakasih, ya, Kak,” ucapnya setelah memberikan kembaliannya padaku.

Jarak antara warung dengan rumahku tidak terlalu jauh, hanya selisih dua rumah saja. Maka dari itu mungkin beliau selalu melihat motor abang sepupuku sering parkir di halaman rumah.

# # # #

“Tuh, Mamakmu, sudah datang. Pakde, mau pulang,” ucap abang sepupuku seolah berbicara pada putriku.

Aku hanya tersenyum saat mereka berpamitan pulang pada Mamak yang sedang di dapur, juga Nenek yang ada di kamar. Suara motor tidak lagi kedengaran. Aku pergi ke dapur menemui, Mamak.

“Mak, tumben mereka enggak makan, ya? Mamak masak apa rupanya?” tanyaku.

“Siapa bilang enggak makan, itu piring kotor siapa itu,” ucap mamak mendengus kesal.

Beberapa piring kotor menumpuk di wastafel, aku mendengus sambil menggelengkan kepala.

“Apa susahnya selesai makan itu di cuci piringnya, coba?”

Mamak tersenyum memandangku, andai aku punya keberanian pasti sudah kuadukan mereka ke orang tuanya.

“Masih pagi sudah berkeliaran mencari makan di rumah orang,” ucapku kesal.

“Mungkin, istrinya lelah karena sedang hamil, bisa jadi seperti itu, 'kan?” ucap mamak tanpa memandangku.

Aku memandang mamak yang sedang bermain di lantai dapur bersama putriku. Aku ingin seperti mamak yang terus berpikir positif. Tapi sayangnya sulit untukku melakukannya.

“Sudahlah, mungkin jika dia sudah melahirkan, tidak akan seperti ini,” ujar mamak.

“Tapi kalau masih berkelanjutan bagaimana, Mak?” tanyaku sambil membereskan meja makan.

Mamak hanya diam, mungkin aku sudah keterlaluan. Secara tidak langsung aku memaksa mamak untuk membicarakan semua ini ke abangnya, bapak dari abang sepupuku.

Aku menggulung lengan bajuku, bersiap untuk mencuci piring, aku enggak rela kalau mamak mencuci piring bekas makan mereka. Aku memandangi langkah kaki mamak yang sedang jalan menuju arah luar sampai akhirnya langkahan kaki itu tidak terlihat lagi.

'kakak sepupu yang satu lagi itu katanya mau ke sini. Tapi enggak sampai-sampai,' gerutuku sambil mencuci piring.

“Mak, aku pulang,” Aku pamit pada mamak setelah selesai mencuci piring.

Mamak hanya menganggukkan kepala sambil senyam-senyum memandangku memberi isyarat padaku untuk mendengarkan cerita tetangganya yang sedang duduk di teras, menceritakan tantang, Wulan. Setelah mendengar nama Wulan, kuurungkan niatku untuk pulang, aku duduk di sebelah mamak sambil menatap, Bu Eli.

"Pas dia makan lontong, aku kira dia yang buat sendiri! Jadi, aku bilang mau," ujar Bu Eli, lalu dia menarik napas panjang, "dia jawab, enggak ada lagi, Bik. Ini beli online, jadi cuma sedikit!" imbuh, Bu Eli dengan mempraktekkan gaya centil Wulan saat berbicara.

“Terus?” tanya mamak penasaran sambil membenahi duduknya.

Aku mengambil putriku dari tangan mamak, lalu kususui.

“Waktu kutanya, masak apa, Lan? Dia jawab belum masak. Mau makan apa coba itu suaminya?” lanjutnya.

“Bibi, enggak tanya, rencana mau masak apa, gitu?” tanyaku penasaran sambil memandangnya.

Suasana hening saat kami menyadari ada seorang pengendara motor menuju ke arah kami.

“Bu, ini rumah bibinya, Wulan, ya?” tanyanya setelah motor berhenti.

“Iya, dengan siapa, ya?” tanyaku penasaran.

Pengendara motor itu membuka helm lalu mencari sesuatu di dalam tas yang berukuran besar. Persis seperti kurir pengantar barang.

“Maaf, Bu, ini pesanan Wulan. Katanya saat ini, Mbak Wulan sedang tidak ada di rumah maka dia memberi alamat rumah ini waktu saya telpon tadi,” jelasnya sambil memberikan bingkisan berukuran sedang.

“Kenapa ngantarnya ke sini? Kan ada rumahnya,” tanyaku dengan nada tinggi karena terbawa emosi.

Apa maksudnya memberikan alamat rumah mamakku? Sedangkan rumahnya ada, rumah ibunya juga ada.

“Sudah di bayar?” tanyaku.

“Belum,” pria itu menggelengkan kepala pelan.

Sudah kuduga. Kenapa harus kami yang selalu kena imbasnya. Aku mendengus kesal saat mamak bertanya harga barang yang harus di bayarnya. Dari pada aku naik tensi mending aku pamit pada mamak untuk pulang.

Setelah mendengar cerita tadi, aku dilema. Antara menyalahkan abangku yang tidak bisa mendidik istri atau menyalahkan Wulan yang terlalu malas masak. Aku berjalan menuju rumah sambil terus berpikir tentang apa yang harus aku lakukan.

[Dek, kenapa tadi enggak jadi ke rumah, mamak?] tulisku di messenger sambil berjalan kaki lalu kukirim kan pada Era, adikku.

[Mendadak ada tetangga datang tadi, Kak,] tidak lama balasan kuterima.

'Pantas saja tidak datang,' batinku. Aku meneruskan perjalanan pulang.

Sore ini aku memasak cah kangkung, tidak banyak karena beli di warung. Berhubung malam nanti ada pasar, aku tidak membeli apa-apa lagi selain kangkung. Aku memasak sambil menggendong putriku.

“Semua sudah selesai, tinggal kita lagi mandi, Dek,” ujarku pada putriku saat menggendongnya masuk ke dalam kamar.

Tidak terasa suara adzan berkumandang, tidak lama suamiku pun pulang. Di belakangnya di susul oleh Abang sepupuku.

“Lho, kok datang?” ucapku keceplosan. Sangat terkejut melihat mereka datang lagi.

“Weh sudah mandi, ya,” ucap kakak sepupuku mengambil putriku dari dekapanku.

“Sudahlah, Bude, sudah malam juga, kan,” jawabku.

Dia hanya tertawa cekikikan mendengar jawabanku, Aku menatap suamiku yang cengar-cengir menahan tawa. Aku kesal, malah dia merasa geli.

“Masuk, Kak! Magrib,” ucapku tanpa memandangnya dan kutinggalkan begitu saja.

Mereka mengikutiku dari belakang untuk masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, menyalakan televisi dan juga kipas angin. Padahal magrib adalah waktu untuk beribadah, ini malah mencari hiburan. Mau di nasehatin nanti di bilang sok alim.

“Kakak, mau ke pasar nanti, maka ke sini dulu,” ujarnya sekilas memandangku lalu mengalihkan pandangannya kembali ke layar televisi.

“Ohh ...” jawabku singkat.

'Padahal sudah terbiasa, kenapa pakai basa basi segala coba? Bikin kesel hati saja,' gumamku.

Aku menatap jam yang melingkar di dinding menunjukkan pukul tujuh, perut terasa perih karena dari sore memang belum makan. Aku perlahan berjalan ke dapur berniat untuk makan seorang diri, tapi di susul oleh Abang sepupuku.

“Masak apa, Ta?”

“Cah kangkung.”

Tanpa basa-basi dia mengambil sebuah piring lalu ikut makan di sebelahku. Tidak lama istrinya pun ikut ke dapur dengan beralasan mencari air mineral. Padahal mau cari makan itu, pakai basa-basi cari minum segala.

“Dipuu, mana, Kak?” tanyaku terkejut saat melihatnya sendiri ke dapur.

“Itu sama, Abangnya,” jawabnya sambil mencomot sebuah bakwan yang ada di meja menggunakan tangan kiri, karena tangan kanannya sedang memegang sebuah gelas. Tidak sopan!

Secepatnya aku menghabiskan nasi di piringku, karena takut terjadi apa-apa dengan putri kecilku. Aku belum bisa mempercayai begitu saja untuk memberikan putriku pada putraku.

“Kok udahan, Ta,” tanya abang sepupuku saat melihatku beranjak dari duduk.

“Iya, takut, Dipuu kenapa-kenapa,” jawabku sambil berjalan ke ruang keluarga.

Mereka berdua sibuk makan di dapur, Aku bermain bersama anak-anak di ruang keluarga.

“Dek, Mas, keluar dulu bentar, ya,” ucap Devan mencium putriku.

“Enggak ikut makan?” ucapku memandangnya.

“Nanti saja, enggak enak sudah di tunggu kawan, sebentar saja kok enggak lama,” jawabnya sambil berjalan ke arah luar.

Benar tidak lama, tiga puluh menit kemudian, suara motor Devan terdengar, Devan sudah pulang. Kakak dan Abang sepupuku masih duduk nonton televisi. Aku memberikan putriku pada kakak sepupuku.

Aku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil, saat aku sampai di meja makan, kuperiksa tudung saji.

‘Astagfirullah, sayurnya habis? Devan belum makan, berarti aku masak malam ini hanya untuk mereka?’ batinku dengan mata berkaca-kaca.

“Makan yuk, Bang, Kak!” terdengar ucapan suamiku dari dapur.

Aku duduk di kursi sambil nangis batin, kalau begini terus aku benar-benar tidak kuat rasanya. Suamiku berdiri di pintu tengah memandangiku, aku sadar kalau suamiku memandangiku tapi aku tetap memandang dengan pandangan kosong.

“Dek, kenapa?”

“Sayurnya habis, Mas.”

Suamiku diam, aku merasa bersalah, kenapa tidak aku sisihkan terlebih dahulu untuk suamiku? Kenapa aku terlalu bodoh?

“Ya sudah enggak apa-apa, Dek, mas makan diluar saja,” jawabnya pergi meninggalkanku.

Aku tertegun, mau menjawab tapi enggak tahu harus jawab apa. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokanku, tidak ada sepatah kata pun yang bisa kuucapkan.

Aku kembali ke ruang keluarga dengan hati yang sakit dan mata berkaca-kaca, aku mengambil putriku lalu kutinggalkan mereka berdua begitu saja.

“Mau tidur, ya?” tanya kakak sepupuku menatapku.

Aku hanya menganggukkan kepala dan berlalu ke kamar. Aku tidak bisa berpikir, pikiranku pergi entah ke mana.

Aku tahu kelakuan mereka saat ini di luar batas kewajaran, sampai-sampai, Devan benar-benar kecewa. Tapi aku harus apa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status