Share

Bab 6 Kak Nada dan Mas Rama

"Assalamualaikum, Melodi!"

Aku buru-buru berjalan ke depan setelah mendengar suara salam dari arah pintu utama. Sudah bisa aku pastikan, jika itu suara Mamaku.

"Kamu dari mana, sih? Bayimu ditinggal sendirian di sini?"

Saat aku keluar dari dapur, ternyata Mama dan Papa sudah berada di ruang tv. Tentu saja Mama menegurku karena lalai sudah meninggalkan Raka sendirian.

"Iya, aku tadi kebelet, jadinya ditinggal sebentar," kataku berbohong.

Bukan hanya Mama dan Papa yang datang. Ada juga anak serta menantu perempuannya yang ikut bersama mereka.

"Aduh, Mel, gemoy banget, bayimu." Kak Naura mengelus gemas pipi bayiku. Dia adalah istri Mas Adam—Kakak tertuaku.

Sedangkan Kak Nada, yang tak lain adalah kakak keduaku, ia langsung duduk dengan wajah datarnya. Entah kenapa dia sepertinya tidak terlalu bahagia dengan kelahiran putraku.

"Nad, kamu gak pengen pegang atau gendong keponakan barumu? Siapa tahu, kamu jadi ketularan dan ingin segera menikah setelah menggendong bayi." Papa berujar kepada putri keduanya itu.

Bukannya menjawab, Kak Nada malah berdecak seraya mengangkat kaki dan melipatnya di sofa yang ia duduki.

Aku dan Kak Naura saling berpandangan, lalu mengangkat kedua bahuku menanggapi sikap tak peduli dari Kak Nada.

Dari dulu, aku dan Kak Nada memang tidak terlalu dekat. Justru aku malah dekat dengan kakak iparku dibandingkan dengan kakak kandungku sendiri.

Apalagi setelah aku menikah dan pindah rumah, aku semakin jauh dan renggang dengannya. Dia pun tidak pernah berkirim pesan denganku kalau tidak ada yang penting untuk dibahas.

"Anak-anak gak dibawa, Kak?" Aku mengalihkan perhatianku kepada Kak Naura yang duduk tidak jauh dariku.

"Anak-anak sekolah, Dek. Nanti setelah pulang, Kakak suruh mereka untuk dibawa ke sini sama Mbaknya."

Mbak Naura memiliki sepasang anak kembar yang kini berusia lima tahun. Kak Naura sendiri memiliki butik busana muslim yang ia kelola bersama keluarganya.

Mama mertuaku datang dari arah dapur dengan membawa nampan. Dia tidak datang sendiri, tapi dengan Bi Mina yang mengekor di belakangnya.

Mama Tuti menyimpan nampan di atas meja, lalu ia bersalaman kepada kedua orang tuaku dan juga kedua kakakku.

Kini tatapan keluargaku mengarah pada Bi Mina yang menyuguhkan minuman dingin kepada keluargaku. Dia tidak berani mengangkat kepala, hanya mengangguk pelan tanda hormat. Setelah itu, Bi Mina kembali ke belakang.

"Itu, keluarganya Bu Tuti?" tanya Mama pada mertuaku.

Mama Tuti menggeleng cepat. "Bukan, Bu Besan. Mana mungkin saya punya saudara yang bentukannya begitu. Itu pembantu di rumah ini."

Kini Mama melihatku dengan lekat.

"Bukan aku yang bawa, tapi Mas Rama. Waktu aku pulang dari rumah sakit, sudah ada di sini." Aku berkata sebelum Mama dan Papa bertanya.

"Emang gak ada pembantu yang lebih tinggi, gitu? Gue kira tadi ponakannya Rama, eh pas liat mukanya, ternyata tua!" Kak Nada tergelak diakhir kalimatnya.

Aku sedikit tidak enak dengan ucapan Kak Nada. Bukan maunya Bi Mina juga memiliki tubuh mungil seperti itu. Kalau sudah takdir Tuhan, ya mau gimana lagi.

Meski aku juga tidak menyukai Bi Mina, tapi aku tidak berani harus menghina fisik yang ia miliki.

*

Pukul empat sore, Mas Rama pulang. Dia datang bersamaan dengan Kakak laki-lakiku.

Kami pun berbincang dengan menikmati minuman dan cemilan di sore hari ini. Suasana di rumahku jadi rame karena kehadiran keluargaku. Juga adanya kedua anak Kak Naura yang selalu berceloteh ria. Mereka saling berebut ingin memegang bayiku yang aku simpan di box bayi di ruang keluarga.

"Mbak, bawa Raka ke kamar atas saja, ya. Aduh, capek aku harus ngawasin dua bocah ini." Mas Adam memberikan perintah pada pengasuh anaknya.

Raka pun dibawa Mbaknya si kembar ke kamarku. Sekarang kedua anak Kak Naura beralih berebut duduk di pangkuan Papa yang tak lain adalah kakek mereka.

Tidak lama mereka diam, keduanya kini berlari saling mengejar dan tertawa. Aku sampai mengelus dada melihat keaktifan mereka berdua.

"Mel, Rama ke mana? Ke kamar mandi, kok lama banget?" ujar Papa menanyakan menantu lelakinya.

"Gak tahu," kataku. Namun, pikiranku melayang jauh mencurigai suamiku.

Menyebalkan. Sejak pulang dari rumah sakit dan mendapati beberapa kejadian tentang Mas Rama dan Bi Mina, aku selalu saja berpikiran buruk kepada keduanya.

"Nyabun kali, Pah."

Aku langsung menoleh ke arah Mas Adam yang tengah duduk lesehan di lantai sembari menikmati pijitan Kak Naura di pundaknya.

"Nyabun apa, Dam?"

"Masa Papah, gak ngerti nyabun. Pria yang istrinya tengah nifas, pastinya mencari pelarian. Kalau enggak jajan di luar, ya pasti nyabun. Iya, gak, Yang?" ujar Mas Adam mendongak melihat istrinya. Dan hanya dijawab dengan cubitan oleh Kak Naura.

"Ih, jijik Mas, masa iya kayak gitu. Nggak mungkin Mas Rama jajan di luar," ucapku menyanggah candaan Mas Adam.

Mereka tidak tahu jika orang yang mereka bicarakan memang sudah memiliki tempat lain untuk melepaskan jiwa kelelakiannya. Dan orangnya pun ada di rumah ini.

Saat ini di ruang keluarga hanya ada aku dan Papa, serta pasangan suami istri yang selalu mesra itu. Mama Tuti, aku suruh ia untuk beristirahat di kamar tamu. Kasihan, ibu mertuaku belum beristirahat sejak kedatangannya dari Cianjur tadi.

Sedangkan Mamaku, dia pergi ke kamarku menemani cucu barunya dengan ditemani pengasuhnya si kembar.

Kak Nada?

Ah, aku tidak tahu ke mana dia. Kalau pergi, tidak pernah bilang mau ke mana dan dengan siapa. Kalaupun ditanya, jawabnya selalu tidak pasti.

Penasaran dengan keberadaan suamiku, aku memutuskan untuk mencarinya ke kamar mandi.

"Si Mel, sepertinya mau mencari suaminya, tuh. Curiga 'kan kamu, Mel!" teriak Mas Adam. Aku tidak menanggapinya dan terus berjalan ke arah tujuanku.

Huh, menyebalkan Mas Adam ini. Sudahlah aku memang curiga, malah terus dikomporin.

Tujuan pertamaku adalah kamar mandi yang ada di dapur. Bisa saja Mas Rama berada di sana dengan pembantu itu. Namun, aku tidak menemukannya di sana. Hanya ada Bi Mina yang tengah mencuci piring.

Aku keluar dari dapur, berjalan ke lantai dua. Namun tidak menemukan suamiku juga di sana.

Terus di mana Mas Rama berada?

Apa di kamar tamu bersama Ibunya?

Untuk membuktikan rasa penasaranku, aku turun lagi ke lantai bawah. Berjalan ke arah kamar tamu. Ada dua kamar tamu di bawah sini, dan aku tidak tahu kamar mana yang tadi dimasuki ibu mertuaku.

"Aduh." Aku mengaduh saat kakiku ditubruk Azzam yang tengah dikejar oleh adiknya–Azzura.

"Tante Mel, mau ke mana?" tanya Azzura yang kini berdiri bersebelahan dengan kakak kembarnya.

"Cari Om Rama, Sayang. Kalian lihat?" tanyaku balik pada kedua keponakanku itu.

"Tuh, lagi di kamar sama Tante Nada!" ujar Azzam sembari berlari menyusul adiknya yang lebih dulu pergi.

Kak Nada dan Mas Rama, di kamar.

Ngapain?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status