Share

Part - 03 Lala Melarikan Diri

Sebenarnya Lala tidak semiskin yang Glenn kira. Bahkan dirinya adalah putri bungsu dan pemilik 'Harani Hospital'. Siapa yang tidak mengenal mereka?

'Harani Hospital' merupakan rumah sakit terbesar berpusat di kota Burgundy, yang cabangnya hampir ada di setiap provinsi. Kiprah pasangan Harjito Pribadi dan Iriani Retno Wulandari pun tidak diragukan lagi dalam dunia kesehatan. Mereka adalah tokoh yang sangat dikenal.

Lalu, mengapa Lala sampai terdampar di kota Violens?

Tidak! Dirinya tidak terdampar. Lala pergi atas kemauannya sendiri.

Suatu Malam Harjito mengajak Lala ke ruang kerjanya untuk membicarakan sesuatu. Lala tidak begitu dekat dengan Ayahnya, dan jarang sekali di minta mendatangi ruang kerjanya.

Ini pasti penting.

Mengapa tiba-tiba detak jantung Lala bekerja lebih cepat? Atau Lala sudah melakukan sebuah kesalahan sehingga Harjito sampai memanggilnya?

"La," Harjito memulai percakapan.

"Iya, Yah," jawab Lala kemudian

"Ayah bangga, kamu bisa lulus SMU dengan nilai yang sangat memuaskan," ucap Harjito dengan senyuman yang melengkung sempurna di bibirnya. Mereka duduk berhadap-hadapan yang hanya terhalang meja berbentuk persegi di antara mereka.

"Terimakasih, Yah. Lala janji akan selalu buat ayah bangga," jawab Lala lega.

"Hmmmmmm........ jadi hanya ini yang mau ayah katakan. Atau setelah ini ayah akan memberikanku hadiah?” batin Lala sambil memikirkan hadiah apa yang bakal dia minta nantinya.

"Bagus, ayah bahagia mendengarnya, La. Ayah juga sudah mempersiapkan jurusan apa untuk kuliahmu nanti. Besok pagi jam sembilan siapkan berkas-berkasmu, Pak Darmin akan membantumu mengurus pendaftaran!" ucap Harjito Pribadi kepada sang putri.

"Tapi Yah, Lala sudah mendaftar di Universitas Nuansa lewat jalur prestasi, dan kebetulan diterima," ucap Lala pelan dengan pandangan tertunduk. Sebab sudah dipastikan, setelah ini dirinya akan dimarahi. Mengingat, dari awal Papanya ingin dirinya mengambil fakultas kedokteran.

"Baiklah universitas kamu bisa pilih di mana pun, asal jurusannya tetap ambil kedokteran?" 

Lala terdiam. Hari ini adalah hari yang paling ditakutkan. Sama seperti yang telah dilewati kedua kakaknya. Ini perkara sensitif bagi keluarga mereka.

Sanggupkah Lala menolak seperti kedua kakaknya?

"Lala ambil jurusan Sastra, Yah" ucap Lala sepelan mungkin, bahkan dirinya berharap Harjito tidak mendengarnya.

BRAKKK!!! 

Celakanya Harjito cukup mendengar dengan jelas apa yang telah Lala ucapkan. Harjito menggebrak meja kerjanya. Senyum yang semula terbit sekarang terbenam kembali. Wajah Harjito memerah menahan amarah.

"Batalkan! Apa tidak ada satu pun anak Ayah, yang mau mendengarkan keinginan orang tuanya?!”

Harjito meninggalkan Lala sendiri di ruangan itu. Sepertinya sangat kecewa dengan keputusan Lala.

Selang berapa menit kemudian, Lala pun keluar dari ruang kerja Harjito menuju kamarnya, dengan menahan beribu kesedihan.

Sesampai di kamar itu Lala menumpahkan semua kesedihannya dalam tangis.

Bukankah selama ini dirinya sudah menjadi anak penurut. Lala selalu mengiyakan semua ucapan Ayah dan Bundanya mengingat dirinya adalah anak perempuan satu-satunya.

Lala tak pernah ingin membuat kedua orang tuanya kecewa. Kesedihan mereka adalah kesedihan bagi Lala. Tapi bolehkah untuk saat ini Lala sedikit menawar. Lala tidak sanggup jika dipaksa menjadi dokter.

"Lala......" Suara halus itu menghentikan tangisnya sejenak. Lala mengangkat wajahnya yang sedari tadi dibenamkan dalam boneka Teddy Bearnya. 

"Bunda...." ucap Lala. Bahkan dirinya tidak mengetahui sejak kapan Iriani masuk ke dalam kamarnya.

"Bunda sudah tahu. Tadi Lala berantem sama Ayah 'kan?" ucap Iriani seraya meraih dan memeluk putrinya. Tubuh Lala semakin bergetar dalam dekapan sang Bunda.

"Turuti kemauan Ayahmu, Nak. Orang tua sudah tentu tahu yang terbaik buat putrinya" ucap Iriani sambil membelai rambut cokelat Lala. Kemudian mengusap-usap punggungnya berulang kali.

"Tapi Bunda, keinginan Lala sendiri gimana?"

"Dengerin. Bunda dulu juga sepertimu. Bunda juga melawan kakekmu, saat bunda diminta ambil fakultas kedokteran. Bunda sangat marah ketika dipaksa. Kamu tahu sendiri 'kan cita-cita bunda ingin jadi chef? Tapi akhirnya Bunda menepikan ego Bunda. Dan lihatlah! Sekarang Bunda bisa jadi dokter. Bunda dan ayah bisa memiliki rumah sakit. Coba pikir jika saat itu bunda melawan. Belum tentu bunda sesukses ini, Nak."

Lala menatap mata teduh Iriani, mencari kebohongan dari sorot mata itu. Tapi Lala gagal, Lala tidak menemukan apa pun, kecuali kejujuran dan ke dalaman kasih seorang Ibu.

"Tapi kenapa harus Lala, Bunda?"

"Lala, Ayah dan Bunda hanya ingin salah satu anaknya menjadi dokter, Nak. Kami sudah cukup kecewa dengan kedua kakakmu?" ucap Iriani sambil membelai rambut Lala.

Lala mengangguk sedih, mengingat dua kakak kesayangannya tidak bisa memenuhi harapan orang tuanya. Reno memilih menjadi sarjana pertanian dan sekarang bekerja di daerah pelosok, untuk bisa mengembangkan ilmunya dan menghindari konflik dengan Ayahnya.

Sementara Adrian tengah menyelesaikan kuliahnya di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Adrian tetap tinggal serumah dengan orang tuanya, karena memang dia punya karakter cuek.

"Coba, Lala berpikir dulu. Dinginkan hati dan tenangkan diri. Tidak perlu ambil keputusan sekarang, nanti jika Lala sudah mantap dengan pilihan Lala. Beritahu Bunda."

Lala mengangguk. Maniknya melepas langkah Iriani yang beranjak meninggalkannya.

Wanita berusia berusia empat puluh tahun itu keluar dari kamar, dan kembali menutup pintu. "Lala butuh waktu untuk berpikir" batin Iriani berkata dan memutuskan meninggalkan putrinya sendiri.

Selang beberapa saat. Irama ketukan pintu itu terdengar begitu nyaring. Lala mengusap air matanya yang tetap saja mengalir dengan deras. "Semoga bukan Ayah yang ke sini," batin Lala ketakutan. 

Kreeekkkk !!!

Derit pintu terbuka menampakkan seorang cowok berwajah ganteng. Iya. Dia adalah Adrian. Kakak ke dua Lala.

"Ngapain nangis, Dek?" tanyanya kemudian ketika mendapati sang adik tengah menangis dan memeluk boneka Teddy Bear berwarna coklat itu.

Lala tidak menjawab tapi segera melompat dari kasurnya dan memeluk kakaknya erat-erat.

"Kak, apa kau bisa membantuku?" tanya Lala menatap wajah kakaknya serius. Ide gila mulai terbesit dipikirannya untuk tetap mewujudkan mimpinya.

Iya jurusan sastra memang sedikit dilirik orang. Tapi itu tidak membuatnya berubah pikiran. Sejak kecil Lala begitu mencintai karya sastra dan tulisan-tulisan indah.

Lala kecil suka ngomong sendiri, membayangkan dirinya seorang putri dan boneka-boneka miliknya adalah kurcaci-kurcaci yang menjadi obyek halunya.

Ketika duduk di bangku SMP, Lala mulai suka menulis. Tulisan pertamanya dimuat di majalah dinding sekolah. Tidak terkira senangnya hati Lala saat itu.

Itulah titik awal kecintaan Lala pada karya sastra. Dirinya begitu rajin mengikuti lomba menulis puisi di pentas seni setiap akhir tahun di sekolahnya.

"Hooiii, jadi nggak minta bantuannya?" 

"Jadi Kak, tapi...."

"Tapi apa? Jangan yang aneh-aneh ya?"

Adrian duduk di kursi dekat meja belajar adiknya. Tatapannya mulai terfokus pada rak sebelah kiri kamar itu. Ruangan ini lebih pantas di sebut perpustakaan, dari pada kamar seorang gadis.

"Lala mau kabur dari rumah, Kak?"

"Apa?! Jangan bilang kau sudah punya pacar, ya?"

"Kak, Lala hanya ingin kabur. Bukannya mau kawin lari," ucap Lala kesal.

"Masih kecil kamu itu, Dek. Jangan main kabur-kaburan masih bau kencur, bau bawang, bau kunyit.... jangan macam-macam!"

"Kakak pikir Lala bumbu seblak? Kak, bantu Lala ya?"

"Nggak! Kamu masih di bawah umur dek. Apa siap hamil? Apa siap melahirkan?"

"Lalu apa bedanya dengan kakak? Pacar kakak bahkan seumuran dengan Lala?"

"Dek, tapi 'kan?"

"Nggak ada tapi, apa kakak sudah nggak sayang sama Lala?" ucap Lala sedih. Bulir air mata pun kembali menetes Lala kembali duduk di bibir ranjangnya. 

Menyadari Lala sedih. Adrian mendekat, karena dirinya paling tidak bisa melihat seorang gadis mengeluarkan senjata utamanya, yaitu nangis. Herannya kenapa semua wanita yang dikenalnya selalu menangis untuk menyelesaikan masalah mereka.

"Coba jelaskan mau minta bantuan apa?" ucap Adrian lembut.

"Ini bukan tentang pacar, Kak. Lala juga takut pacaran takut ketemu cowok playboy macam kakak."

"Huss! Itu bukan playboy, Dek. Tapi kakak memang best seller," ucap Adrian.

"Bantu Lala pergi ke kota Violens, Lala diterima di fakultas sastra di kampus itu, jadi ......."

"Kakak tahu, kamu harus berjuang dan kakak akan mendukungmu! Tapi jika Ayah sampai tahu tamatlah riwayat kakak nantinya,"

"Aah, Kak Adrian cemen, penakut!" kata Lala kecewa.

"Bukan gitu Dek, tapi kalo Ayah sampai menghentikan biaya kuliah kakak, gimana?" Ucapannya serius.

"Lala nggak peduli! Tolong kak anterin sampai terminal saja. Ayah nggak bakal tahu. Lala janji,"

"Hmmm.... tapi apa kamu sanggup hidup sendiri di kota itu, Dek? Kamu tahu hidup di kota orang itu keras? Bahkan sejak bayi, kamu tidak pernah berpisah dengan Bunda"

"Aku bukan bayi, aku sudah besar, aku harus berjuang demi mimpiku kak, yang paling penting aku tidak mau jadi dokter kak, titik."

***

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status