Kepergian Lala ke kota Violens sungguh sebuah dilema. Antara mewujudkan cita-cita orang tua atau mewujudkan cita-citanya sendiri. Ini sudah seperti makan buah simalakama.
Lala sudah resah, dalam otaknya banyak mengatur strategi. Pergi tidak, pergi tidak, kata-kata itu terus berputar di kepala cantiknya.
Nampaknya suasana pun mendukung rasa cemasnya. Terlihat di meja makan pagi itu, tidak ada kehangatan sama sekali. Biasanya mereka sarapan sambil membicarakan apa pun. Terkadang juga bercanda dan saling meledek.
Namun suasana pagi ini cukup dingin. Sedingin hati Harjito. Raut wajah lelaki itu memberitakan moodnya belum membaik.
Hampir setengah jam berlalu, hanya suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring terdengar memenuhi ruangan itu.
Nasi goreng favorit buatan Bi Narti yang biasanya terasa lezat, pagi ini juga terasa begitu hambar bagi Lala. Lala menyendoknya dengan malas.
Padahal Bi Narti sudah memasak nasi goreng spesial sayur. Lala memang pecinta sayuran. Setiap kali Bi Narti bikin nasi goreng, Lala selalu meminta ditambahkan potongan wortel, tomat, sawi, dan kubis. Tapi selera makan pagi ini cukup buruk, sayuran yang menggodapun tidak berhasil menarik perhatian Lala.
Wajah Lala masih terlihat sembab dengan kantong mata yang terlihat jelas. Sepertinya ini dampak menangis semalam.
"Lala. Ayah minta berkas-berkasmu sudah siap, pukul sembilan nanti. Pak Dirman Akan menjemputmu!" ucap Harjito akhirnya memulai percakapan.
"Tapi, Yah," lirih Lala tanpa berani menatap sang Ayah.
"Ini perintah, Lala. Jangan kecewakan harapan Ayah! Seperti dua kakakmu!" ucap Harjito sambil melirik tajam ke arah Adrian.
Adrian yang merasa tersindir memperlambat gerakan mulut yang tengah mengunyah sarapannya. Tapi Adrian sudah terbiasa disindir-sindir seperti itu. Adrian tetap melanjutkan sarapannya tanpa sedikit pun terganggu.
"Putuskan sekarang, Lala!" Kembali suara Harjito menggema.
"A - aku ... tetap mau melanjutkan kuliah di fakultas sastra, Yah," jawab Lala masih teguh dengan pendiriannya.
"Lala, dengarkan kata ayahmu sekali ini saja, Nak," bujuk Iriani.
"Tapi Bunda, Lala sudah memutuskan," ucap Lala dengan tatapan memohon pertolongan pada sang Bunda.
"Ingat Lala, jika kamu melawan Ayah. Akibatnya Ayah akan mencabut semua fasilitas yang pernah Ayah berikan!" Tuan Harjito Pribadi meninggalkan meja makan, dalam hatinya berpikir pasti putri kecilnya itu akan mengurungkan niatnya. Dia masih terlalu kecil untuk hidup sendiri di luar tanpa fasilitas apa pun.
Harjito yakin, dengan sedikit ancaman Lala pasti menurut. Mengingat gadis itu begitu patuh padanya. Berbeda dengan ke dua anak laki-lakinya.
"Pikirkan baik-baik, Nak," ucap Iriani lembut. Kemudian menyusul langkah suaminya.
Pasangan suami istri itu segera bersiap berangkat. Keduanya memang selalu tepat waktu dalam bekerja. Mereka hanya punya waktu sebentar di rumah. Sisanya mereka dedikasikan waktunya untuk bekerja. Mungkin itu juga salah satu kesuksesannya.
Harjito dan Iriani mampu membangun 'Harani Hospital'. Sebuah harapan besar jika salah satu dari anaknya bisa meneruskan kerja keras mereka. Apa itu salah?
Namun sepertinya keberuntungan tidak berpihak pada mereka. Anaknya tidak satu pun yang tertarik pada dunia kedokteran.
Setelah kedua orang tuanya pergi, sepasang kakak beradik beda usia dua tahun itu saling pandang.
"Gimana dek? Sudah siap?!" tanya Adrian. Menanyakan misi mereka semalam.
"Sudah, Kak" jawab Lala pendek.
"Oh, kakak kira berubah pikiran. Ya sudah habiskan dulu nasi gorengmu, jangan cuma diaduk-aduk terus," kata Adrian.
Lala kembali menatap nasi goreng di depannya dengan tatapan malas. Tapi, kata Bi Narti setiap makan harus habis. Mengingat itu Lala memaksa menghabiskannya.
"Apa kamu yakin dengan keputusan ini, Dek?"
Lala mengangguk sebagai jawaban.
"Kita pergi sekarang saja kak, takut Pak Darmin keburu ke sini," ucap Lala.
Gadis itu melangkah menuju kamarnya dan mengambil ransel yang sudah dia siapkan semalam. Kemudian mencari Bi Narti.
"Bi, nanti jika Pak Darmin ke sini, tolong serahkan ini ya," Ucap Lala sambil mengulurkan amplop yang berisi sepucuk surat untuk kedua orang tuanya. Tekad Lala sudah bulat, pagi ini lala pergi.
Lala pergi dengan membawa ransel yang telah diisi dengan beberapa helai baju dan berkas-berkas kuliahnya.
Ini pertama kali Lala merantau, yang hanya berbekal uang tabungannya. Pikiran seorang gadis yang baru lulus SMU. Merasa tabungan yang hanya sedikit itu sudah cukup digunakan memenuhi semua kebutuhan di sana.
"Ingat, jangan bandel di kota orang ya, Dek,"
"Oke, Kak!"
"Jangan pacaran?!"
"Bagaimana denganmu, Kak?! Harusnya nasehat itu kakak ucapkan pada dirimu sendiri,"
"Aku laki-laki dek, tidak banyak resiko jika berpacaran!"
"Maksud, Kak Adrian?"
"Ya, kalo cewek 'kan bisa hamil dek. Kalo cowok 'kan tidak?"
"Maksudnya?!" Lala mencubit lengan kakaknya yang sedang menyetir mobil.
Ciiittttt!!!
Adrian kaget dan lengannya kesakitan bekas cubitan Lala. Reflek kakinya menginjak rem, dan mobil berhenti mendadak.
"Arggghh," tubuh Lala sampai menubruk dashboard. "Kakak, kenapa berhenti mendadak, sih!"
"Dek, jangan bercanda! Bahaya, kakak lagi nyetir!" ucap Adrian kesal. "Untung saja kondisi jalan sepi!"
"Iya deh, maaf. Kak, jika Lala sudah nggak di rumah, jaga Bunda ya. Jangan cewek mulu yang diurus!
"Hmmmm....." jawab Adrian.
“Jangan hmmm saja, aku tidak mau ponakanku lahir di luar nikah,”
"Jangan repot memikirkanku. Aku tahu batasan, yang penting jaga diri. Nanti sampai sana cari kos dulu, yang deket kampus. Terus istirahat."
"Lala sudah memikirkannya, kak,"
"Apa tabunganmu cukup, Dek?"
"Cukup kak, tabungan Lala banyak kok," ucap Lala percaya diri.
Mereka sudah sampai di terminal. Setelah memarkir mobilnya, Adrian menggandeng tangan kecil Lala. Memasuki terminal untuk mencari Bus menuju kota Violens.
"Sepuluh ribu tiga, sepuluh ribu tiga," para pedagang sibuk menawarkan dagangannya, asap knalpot dan deru mesin dari bus yang lalu lalang cukup menyambut tantangan bagi Lala.
"Mau ke mana, Bang?" tanya seorang lelaki berseragam biru, ditilik dari rupanya sedikit seram karena melihat kumis tebal yang membingkai bibir hitamnya. Tapi bapak itu kelihatan ramah dan baik, terlihat dari senyum yang selalu menghias wajahnya.
"Kota Violens, Bang!" jawab Adrian.
"Kota Violens. Sini, Bang!!" teriak seorang kondektur sambil melambaikan tangannya.
Adrian memeluk Lala kuat-kuat, setelah itu mengizinkan tubuh kecil itu masuk di Bus.
Lala masuk ke dalam bus yang sudah hampir penuh itu, mata lentiknya mencari kursi yang masih kosong dan segera mendaratkan pantatnya.
Ranselnya dia peluk di pangkuan, kabarnya di bus banyak copet. Lala harus waspada dan tidak boleh lengah. Karena mulai sekarang dia harus bisa menjaga dirinya sendiri.
"Geser kak," seorang pria berperawakan gemuk mengagetkannya. Lala beringsut merapat ke dinding bus. Hingga dirinya masih menemukan Adrian berdiri di sana. Lala melambaikan tangan ke arah kakaknya.
Adrian balas melambaikan tangan. Setelah Bus berjalan Adrian pun beranjak pulang, dengan segala doa yang dia panjatkan untuk adik tercintanya.
Hawa panas mulai terasa karena bus ini benar-benar sarat muatan. Tenggorokan Lala terasa begitu kering. Lala mengeluarkan botol air mineral dari dalam ransel dan meminumnya.
"Mau ke mana Dek?" tanya si Abang yang duduk di sebelahnya.
"Kota Violens, kak!" jawab Lala sambil menutup kembali botol air mineralnya dan kembali menyimpan di dalam ranselnya. Kemudian Lala mengusap bibirnya dengan tissu.
Sudah sepuluh menit Bus ini melaju, orang yang duduk di samping Lala pun, seperti dinina bobokan sudah tertidur.
Pandangan Lala terlempar keluar menikmati perjalanan ini. Ada sedikit rasa kosong di sudut jiwanya. Lala merasa benar-benar sendiri sekarang. Ada sedikit takut bercampur khawatir mulai menguasainya.
“Selama menjadi orang baik, pasti akan dipertemukan dengan orang baik pula,” Lala bermonolog menenangkan dirinya sendiri.
Hal yang harus dilakukan, dirinya harus bisa membaur dengan orang di sekitarnya dan sejenak membuang predikatnya sebagai putri dari pemilik 'HARANI HOSPITAL'
Akankah Lala mampu menghadapi kerasnya kehidupan di kota Violens?
Nyatanya Lala sekarang malah terlibat masalah dengan Glenn.
***
BERSAMBUNG
Setelah acara tiup lilin dilanjut acara pemotongan kue. Seperti biasa Lala memberi potongan pertama kue itu untuk Ayahnya. Harjito menerima suapan dari putrinya itu kemudian mengucapkan kalimat selamat diikuti rentetan doa.Acara cukup sederhana tetapi meriah dan keluarga inti datang semua. Setelah potong kue sudah selesai, Adrian yang bertindak seolah-olah menjadi MC. Memberitahukan acara selanjutnya yaitu hiburan yang akan diisi oleh bintang tamu.Lala bingung. Pasti Adrian hanya bercanda. Mana ada bintang tamu? Tetapi pandangan Lala seakan terkesima. Ketika dari pintu depan yang terbuka lebar datanglah rombongan tamu. di barisan paling depan Glenn, Sintia dan Herlambang. Setelah itu nampak Wijaya-Ririn, Alan-Dewi, Rega - Winda. Mereka memasuki ruangan dengan penuh senyum.Tampak para keluarga menyalami mereka sambil tersenyum."Lala maukah kamu menjadi istriku?" tanya Glenn lugas tanpa sedikitpun keraguan di depan keluarga besarnya. Pria itu mengeluarkan kotak berisi cincin yang ak
"Jadi, kamu dari mana saja?" hardik Harjito mengetahui putrinya baru saja pulang. Bahkan Lala baru beberapa langkah masuk ke dalam rumah. "Euhm ...." "Jangan banyak alasan! Kamu pasti menemui laki-laki pengecut itu kan?" "Namanya Glenn, Yah!" sahut Lala pelan. "Bagiku dia laki-laki nggak punya nama, karena tidak berani menunjukkan nyalinya. Masuk ke dalam kamar dan mulai hari ini kamu di bawah pengawasan, Ayah!" perintah Harjito. "Tapi, Yah!" "Tidak ada tapi! Ayah sudah terlalu banyak memberimu kebebasan! Dan sekarang nggak! Orang yang kesana kemari bersamamu harus orang yang memiliki status jelas! Bukan para pengecut seperti yang sudah-sudah!" putus Harjito. Pria itu telah memantau aktifitas putrinya akhir-akhir ini dan sebagian besar waktunya habis bersama Glenn. Lala masuk ke dalam kamarnya. Dan memberi kabar Glenn bahwa beberapa hari ke depan mereka tidak bisa bertemu. Anehnya Glenn menanggapinya biasa saja. Semua pesan yang ia kirim panjang lebar hanya mendapat jawaban.
"Lala, Glenn, angin apa yang membawa kalian hingga sudi mampir ke gubug Bapak?" tanya Wijaya penuh haru seraya mengulurkan tangan pada dua tamunya.Lala segera menyambut uluran tangan Wijaya dan mencium punggung tangannya. Meskipun hubungannya dengan Alan kandas, beliau tetaplah calon mertuanya. Mengingat sekarang Lala menjalin hubungan dengan putranya yang lain.Melihat antusiasnya respon Lala dalam menyambut uluran tangan itu. Glenn pun melakukan hal yang sama. Kemudian Glenn kembali duduk seraya berucap, "Maaf jadi kedatanganku ke sini ingin memohon restu pada, Anda!" ucap Glenn kaku. Diperlakukan demikian Wijaya tidak sakit hati. Mungkin saja Glenn belum bisa mengakui jika dirinya adalah Ayah kandungnya. Wijaya yakin kedatangan putranya kali ini merupakan terbukanya jalan bagi hubungan mereka. Lambat laun pasti Glenn akan menerimanya."Ooh ... Apakah kamu akan menikahi, Lala?" tanya Wijaya. Sedikit banyak Wijaya tahu kisah cinta di antara mereka. "Benar! Saya akan melamarnya, se
Glenn mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dalam hatinya masih bimbang.Dia berpikir apakah keputusannya ini sudah benar? Atau dia hanya seorang robot yang mengiyakan keinginan dua orang yang sangat disayanginya, Lala dan Sintia."Kenapa wajahmu tegang sekali Glenn?" tanya Lala setelah menilik raut muka laki-laki di sampingnya yang begitu serius. Tampak banyak beban di sana sudah seperti mau mengerjakan tugas negara dan jika gagal maka hidup akan menjadi taruhan."Ehmm ... Nggak La, aku hanya bingung mau ngomong apa nanti, jika sudah sampai!" sahut Glenn."Astaga! Kita bukan ingin wawancara kerja! Juga bukan ingin presentasi proposal! Jadi jangan terlalu serius, biarlah dialog mengalir dengan sendirinya, nanti jika sudah sampai juga bakal tahu mau ngomong apa!" sahut Lala."Tapi, La! Aku nggak enak, pasalnya kemarin aku menolak mereka! Jujur saja aku kecewa pada mereka!
"Kalian curang! Aku nggak dipeluk?" Protes Glenn.Sintia melepaskan pelukannya, menatap gadis pilihan putranya itu. Gadis yang sudah mengembalikan putranya untuk lebih semangat untuk hidupnya."Ish ... Cemburu? Lihatlah nanti Mama bahkan lebih sayang sama mantu daripada sama anak sendiri!" ucap Sintia."Terserah Mama, deh! Jadi kapan kita melamar Lala, Ma?" tanya Glenn."Jadi kamu benar-benar mau kawin?!" Sintia terlihat kaget dengan keputusan Glenn."Nikah, Ma, bukan kawin!" protes Glenn."Iya maksud mama Nikah. Apa kalian tidak mau tunangan dulu mungkin. Lagipula Lala kan masih kuliah baru semester satu!" jawab Sintia.Glenn menggeleng tidak setuju dengan usul mamanya. "Nggak Ma, aku nggak yakin bisa menjaga diri!""Sudah kebelet banget ya?" goda Sintia."Bukan, Ma. Maksud ak
"Ma, nanya apaan sih!" sahut Glenn menyelamatkan keadaan. Laki-laki itu kemudian menyerahkan minuman dingin untuk Lala, Lala segera menerimanya karena memang haus."Bisa buka tutupnya nggak?"Glenn meminta kembali menyadari jika Lala sering kesulitan membuka tutup botol minuman dingin.Setelah membukanya Glenn menyerahkan kembali."EHEM!!" deheman Sintia mengusik kegiatan keduanya."Mama apa nggak ada acara pergi ke rumah nenek? Atau pergi ke mall?! Tumben betah amat?" tanya Glenn, sembari memberi kode buat mamanya agar meninggalkan mereka berdua di ruangan itu.Tetapi sayangnya kode itu tidak diterima dengan baik, "Jadi apa lagi rencana kalian setelah kemarin main pembatu-pembantuan? Apa sekarang ada ide lain untuk mengelabuhi mama agar meninggalkan kalian berdua! Ingat jika sepasang manusia berlainan jenis bersama dalam suatu ruangan maka pihak ketiga adalah setan!" Sintia menegaskan ag