Share

10. Kucing Nakal

PT Prima Jaya Propertindo, Tbk merupakan sebuah perusahaan developer besar. William sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan CEO dari perusahaan developer milik keluarga Subrata itu. Kelak dialah yang akan mengemban tanggung jawab terbesar di perusahaan. Dia bakal memegang hampir semua area manajerial perusahaan, dan berperan menjembatani seluruh elemen perusahaan dengan para karyawannya. Juga bertanggung jawab membuat semua keputusan terkait perusahaan. Tak heran jika sejak sekarang dia sudah mulai digembleng dan diawasi ketat oleh dewan komisaris dan para eksekutif di perusahaan itu. Membuatnya berkubang dengan kesibukan sepanjang waktu.

William saat ini ditempa di bagian legal dan perencanaan. Dia bertanggung jawab memantau tim yang merencanakan suatu kawasan perumahan secara umum yang dilengkapi fasilitas penunjang. Bersama tim ahli, dia turut menganalisa kebutuhan perusahaan tentang lokasi, dan juga lingkungan di sekitar bangunan, kemudian berdiskusi dengan tim arsitek tentang desain bangunannya. Seringkali dia ditugaskan turun lapangan bersama timnya yang melakukan survei lingkungan dan lokasi tanah yang terletak di luar kota yang jauh dari Jakarta. Hal itu membuat Jelita terbiasa ditinggal pergi William untuk beberapa hari. Tapi gadis itu tak merasa takut saat sendirian di rumah William. Sebab rumah ini berada dalam sebuah komplek perumahan kelas atas yang keamanannya terjaga ketat dan cctv terpasang di mana-mana.

"Lita, aku pergi dulu. Titip rumah dan jaga dirimu baik-baik," kata William beberapa saat sebelum keberangkatannya ke Surabaya untuk mengurus sebuah proyek perumahan.

"Siap, Bang." Jelita mengangguk dan tersenyum. Ini bukan pertama kalinya dia ditinggal keluar kota oleh William, tetapi majikannya ini seperti masih saja belum yakin pada kemampuannya menjaga dan mengurus rumah. Maka iapun berkata, "Tenang, Bang. Saya tahu cara pakai tabung pemadam kebakaran dan punya nomor-nomor penting yang bisa dihubungi kalau terjadi gawat darurat."

"Awas saja kamu ... kalau sampai rumahku terbakar," kata William sambil menjitak pelan kening Jelita.

Jelita nyengir sambil mengikuti langkah William yang menyeret kopornya menuju halaman rumah, di mana taksi yang akan membawanya ke bandara sudah menunggu.

Setelah taksi yang membawa William pergi, Jelita memasuki rumah. Ada banyak pekerjaan yang harus dia bereskan. Iapun mengaktifkan robot untuk menyapu dan mengepel. Sementara si robot bekerja, dia mengelap kaca jendela sambil mendengarkan musik. Kemudian memotong rumput di taman dan membersihkan kolam ikan. Istirahat sebentar, lalu lanjut menyeterika pakaian. Sama sekali tiada keluhan lelah dari bibirnya, sebab dia mengerjakan semua itu dengan gembira. Bekerja sebaik-baiknya adalah cara dia mensyukuri pekerjaan yang dia miliki.

Dia harus pandai-pandai mengatur waktu agar cukup belajar untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi nanti. William sudah mendaftarkannya bimbingan belajar secara online sehingga Jelita tetap bisa mengerjakan tugasnya sebagai pembantu sambil belajar. Jelita memanfaatkan waktu diskusi dengan mentornya sebaik mungkin, sebab sudah lama vakum belajar. Banyak materi pelajaran yang mulai terlupakan dan harus dia ingat lagi dengan cepat. Untung saja dia suka membaca dan menghafal sehingga bisa mengejar ketertinggalannya.

"Hoaam ...." Jelita mengulet dan menutup laptop usai melakukan bimbingan belajar online. Lalu melirik jam dan ternyata sudah sore. Iapun ingin mandi berendam di dalam bathtub.

Saat berendam, tubuh Jelita terasa rileks hingga membuatnya mengantuk. "Gawat. Bisa-bisa aku ketiduran di sini dan tenggelam," gumamnya sambil beranjak dari dalam bathtub. Jelita kemudian mengambil dua buah handuk, satu ia lilitkan di rambutnya yang basah dan satu lagi untuk tubuhnya.

Dengan lotion wangi strawberry kesukaannya ia mengusapi setiap bagian tubuhnya dan tercekat memandangi bekas jahitan luka masa kecilnya di sekitar paha. Seketika ia teringat bagaimana si emak pernah memukulinya tanpa ampun saat dirinya masih enam tahun, dengan kayu yang diambil serampangan dari pagar. Puas memukul, emaknya panik melihat darah merembes dari balik rok Jelita kecil yang sobek. Rupanya ada paku menempel pada kayu yang dipakai si emak buat memukulinya tadi.

Sekecil itu, ia terpaksa berperang melawan perih yang menancapkan rasa sakitnya hingga ke tulang saat kulitnya harus dibersihkan, disuntik, lalu dijahit. Nyerinya minta ampun. Tapi ia tak berani menangis, melihat betapa seramnya wajah si emak yang memandanginya dengan tatapan marah alih-alih menyesal.

Dokter Puskesmas yang menangani Jelita kecil memberi teguran keras pada emaknya, "Bisa-bisanya Ibu memukuli anak sendiri sampai seperti ini? Bagaimana kalau anak ini sampai lumpuh? Tolong kendalikan diri kalau marah!" Suara si dokter terdengar meninggi, ada nada marah teramat jelas di dalamnya.

Tapi si emak malah balik membentak,"Memangnya saya gila mencelakai anak sendiri?! Sudah saya bilang nggak sengaja ya nggak sengaja, ... Pak Dokter masih nuduh aja! Mana saya tahu ada paku nempel di sana?!" omelnya ramai. Membuat para perawat dan bidan tergopoh-gopoh mengeluarkan si emak dari ruang tindakan sebelum keributan itu menjadi panjang dan memanas.

Si dokter geleng-geleng kepala kemudian menatap Jelita dengan iba. "Kalau ibumu menggila lagi, pergilah menjauh dan cari tempat aman dan perlindungan, sampai emosi ibumu itu reda. Kamu harus belajar melindungi dirimu sendiri sejak sekarang, oke?" pesannya sambil menepuk-nepuk lembut pipi Jelita yang membisu. "Menangislah ..., nggak apa-apa, karena ini memang sakit, kamu bebas menangis di sini," ucapnya trenyuh melihat Jelita ketakutan bahkan hanya untuk menangis. Dan si dokter mengangguk-angguk seraya tersenyum miris begitu tangis Jelita langsung meledak di depannya.

Jelita menghela napas panjang ketika semua ingatan itu melintas di kepalanya seperti potongan-potongan film. Masih ada rasa sedih yang terasa menggigit, tapi tak sekuat dulu. Waktu seakan membantu menyembuhkan luka batinnya semasa kecil. "Aku baik-baik saja sekarang." Dia berbisik seraya mengusap-usap bekas luka jahitnya.

'Meow ...!'

Jelita kaget mendengar suara kucing di balik pintu kamarnya yang tertutup. “Jangan-jangan itu si oren yang suka pup di rumput taman. Sekarang lancang ya dia masuk-masuk rumah!”

Buru-buru dia ke luar kamar, ingin mengusir kucing itu, masih dengan handuk yang melilit di tubuhnya.

"Nah, benar kan dia! Husss. Husss. Pergi sana, kucing bandel ...!" omel Jelita karena kucing itu justru melompat ke sana-sini seperti sengaja meledeknya. Jelita was-was, takut kucing itu menyengol vas kemudian pecah.

"Aawh!" Jelita terpeleset genangan air yang ternyata pipis si kucing. "Kucing sialaaan!" jeritnya teramat kesal.

“Meow!”

Kucing itupun kabur melompati jendela begitu mendengar teriakan Jelita yang melengking marah.

Sementara itu, William yang berada di Surabaya sedang beristirahat di sebuah hotel usai melakukan pekerjaannya di sana. Dia baru saja mandi dan duduk di sofa sambil menyelonjorkan kaki, membiarkan televisi menyala bukan untuk ditonton, tapi untuk membunuh keheningan belaka. Pria itu membuka-buka isi ponselnya dan membalas beberapa chat dan juga email, setelah itu mengakses rekaman cctv rumahnya. Sekonyong-konyong jantungnya bak dikejut listrik begitu mengecek area lantai atas di mana Jelita sedang menghambur ke luar dari dalam kamarnya dengan tubuh hanya berlilitkan handuk. Handuk itu terlalu minim, hanya sanggup menutupi pangkal pahanya. Gadis itu mengejar kucing lalu terpeleset di lantai dan handuk itu terlepas dari tubuhnya.

"Apa-apaan—"

William menutup mata, tetapi ... dia telanjur melihatnya!

***

Indy Shinta

Enjoy reading & vote :)

| Sukai
Komen (10)
goodnovel comment avatar
Mersy Ngama
makin seru lanjutkan
goodnovel comment avatar
Mersy Ngama
makin seru lanjutkan
goodnovel comment avatar
rosita sari
wkwkwkw apa²an, taunya rumahnya ada cctv hehe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status