Share

9. Teman Bicara

Jelita bekerja rajin dan disiplin. Dia tak suka menunda-nunda pekerjaaan sekecil apapun. Rumah William jadi tampak lebih bersih dan rapi sejak Jelita menjadi pembantu di rumah itu. Jelita juga punya selera yang baik tentang makanan, sehingga William nyaris tak pernah melewatkan makanan apapun yang dimasak olehnya. Hal itu membuat Nyonya Cindy jadi tenang karena putera bungsu kesayangannya itu tak pernah melewatkan waktu sarapan. William punya riwayat sakit lambung, karena itulah Nyonya Cindy selalu menyarankan pembantu yang pintar masak buat William agar makanan buat puteranya itu terurus baik.

Jelita pun memang bertekad ingin menunjukkan kepada William bahwa dia memang layak dipekerjakan bukan hanya atas dasar iba semata. Agar jika nanti William harus memilih antara dirinya atau  Bik Yuni, maka pria itu akan memilih dirinya karena dia memang layak dipilih karena kemampuannya bekerja yang baik daripada Bik Yuni.

Karena Jelita gesit, maka pekerjaannya jadi lebih cepat selesai. Itu membuatnya jadi punya waktu untuk membaca buku-buku William. Seringkali saat pulang malam, William mendapati Jelita tertidur di sofa sambil mendekap sebuah buku. Membuat pria itu tersenyum melihat kesenangan gadis itu dalam melahap buku-bukunya. Padahal bukunya tak melulu komik dan novel. Ada banyak buku popular non fiksi yang dimilikinya, bagus dibaca untuk membuka wawasan dan ternyata Jelita juga menyukainya. Gadis ini benar-benar suka membaca rupanya.

“Apa kamu tak berniat lanjut kuliah, Ta?” tanya William di sela-sela waktu sarapan mereka. William memang selalu mengajak Jelita makan bersama sambil mengobrol. Bersama Bik Yuni, dia tak pernah seperti ini. Bik Yuni benar-benar berfungsi sebagai asisten rumah tangga saja, sedangkan Jelita terasa lebih dari itu, gadis ini bisa juga menjadi teman bicaranya.

“Niat mah ada, Bang. Tapi kuliah itu kan mahal biayanya, apalagi kalau kuliah di kampus swasta. Prioritas saya kan membiayai hidup dulu, bukan kuliah.”

William merasa trenyuh. Keluarganya kaya raya dengan harta ratusan miliar. Ibunya pengusaha agrobisnis yang sukses, ayahnya yang sekarang sudah meninggal juga dulunya seorang pengusaha. Kedua abangnya juga masing-masing sudah punya perusahaan. Dan dirinya sendiri saat ini sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan eksekutif di sebuah perusahaan properti karena perusahaan itu milik almarhum ayahnya. Secara finansial mereka ada di atas rata-rata kebanyakan masyarakat di negeri ini. Sementara itu ada banyak orang kurang beruntung seperti Jelita, yang sebenarnya cukup pintar tapi tak punya uang buat dana pendidikan sehingga tak bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

“Kalau kamu memang serius ingin kuliah, persiapkan dirimu baik-baik sejak sekarang. Soal biaya tak perlu kamu pusingkan.”

Jelita nyaris menjatuhkan sendok yang sedang dipegangnya karena kaget.

“Ada beasiswa yang mendukungmu.” William berkata penuh janji. Perusahaan keluarganya punya program beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Dan lewat rekomandasi langsung dari William, tentu saja Jelita bisa mendapatkan beasiswa itu secara penuh dan tanpa perlu menunggu proses seleksi yang panjang. Dia juga berniat akan menambahkan uang saku buat Jelita dari kantong pribadinya.

Jelita kehilangan kata-kata. Dia menepuki pipinya sendiri, seperti sedang membangunkan dirinya dari mimpi. Melihatnya William jadi tertawa.

“Dengar, Lita. Saat ini industri berubah cepat. Informasi mengalir deras. Lapangan pekerjaan hari ini bisa saja lenyap tahun depan dan berbagai lapangan pekerjaan baru akan bermunculan. Era semakin dinamis. Kamu perlu memperluas jaringan sejak sekarang, dan kampus adalah salah satu tempat terbaik untuk menciptakan jaringanmu. Manfaatkan sebaik-baiknya lingkunganmu.” William berkata sambil melanjutkan sarapannya, mengabaikan keterkejutan Jelita usai mendengar kabar baik soal beasiswanya itu.

“Saya bingung bagaimana caranya berterima kasih sama Abang.” Akhirnya Jelita mendapatkan suaranya kembali setelah sejak tadi speechless.

“Kuliah saja sampai lulus dan wisuda. Lalu jadikan ilmu itu sebagai bekalmu untuk meningkatkan kualitas hidup. Kamu nggak mau selamanya jadi pembantu, kan? Maka jadilah sesuatu yang lebih baik dari itu. Itulah caranya berterima kasih, bukan berterima kasih padaku, tetapi kepada Tuhan yang sudah memberimu kesempatan ini.”

Mata Jelita berkaca-kaca, kemudian dia mengangguk penuh janji. Jika kesempatan kuliah itu betulan datang padanya, dia akan belajar sungguh-sungguh sampai lulus jadi Sarjana.

Rasanya Jelita masih belum mempercayai ini. Kuliah, adalah salah satu impian besarnya. Dia sebenarnya sempat melepaskan impian itu mengingat dia hanyalah gadis miskin dan tinggal di kampung yang aksesnya dengan dunia luar cukup terbatas karena infrastruktur daerahnya yang menyedihkan, belum lagi begal di mana-mana. Bisa lulus SMA saja sudah sangat bagus, sebab untuk mencapai sekolahnya dulu dia harus melewati perkebunan karet yang rawan begal belum lagi jalanannya yang banyak lubang menganga. Jika musim hujan tiba jalanan itu lebih mirip kubangan kerbau. Juga, bagaimana bisa memikirkan tentang kuliah jika perutnya saja menjerit lapar setiap hari? Jelita harus bekerja tentu saja, menghidupi diri sendiri karena ibunya sudah tiada. Meskipun saat itu dia masih punya bapak, tapi bapaknya itu nyaris tak pernah menafkahinya karena uangnya banyak dikeruk oleh keluarga bapaknya yang rakus. Tapi si bapak pun tampaknya memang lebih mendedikasikan diri dan uangnya untuk keluarganya saja daripada untuk anak semata wayangnya sendiri. Jelita bisa menerima ketidakadilan bapaknya soal itu, tapi dia sungguh tak terima saat si bapak menginjak-injak harga dirinya lewat upaya pemerkosaan malam itu.

Ah. Betapa bahagianya Jelita sekarang, sebab dengan hijrahnya dia ke Jakarta, dia jadi mendapatkan kehidupan baru yang lebih baik. Meskipun dirinya hanyalah pembantu, tetapi William tak memandangnya dengan sebelah mata. Majikannya itu justru memberi support besar. Memiliki hubungan dengan orang-orang baik seperti William dan Nyonya Cindy adalah rezeki besar yang amat dia syukuri.

“Pikirkan mulai sekarang tentang jurusan yang ingin kamu ambil, Ta.” William membuka diskusi dengan Jelita dan memberinya wawasan tentang berbagai jurusan di perguruan tinggi, lalu memintanya untuk memilih. Kemudian Jelita bilang ingin kuliah di bidang ekonomi dan bisnis.

“Apa karena belakangan ini kamu baru saja membaca buku tentang perencanaan keuangan independen?” tebak William sambil tertawa. Dia kemarin melihat Jelita sedang asyik membaca buku itu sambil selonjoran di sofa, saking asyiknya sampai tak mendengar tegurannya hingga William harus memanggilnya berulang kali.

Jelita tertawa dan mengangguk. “Buku itu memotivasi saya, Bang. Saya jadi sadar kalau saya bukan lagi bocah ingusan yang hanya bertanggung jawab pada sebongkah celengan ayam yang isinya uang recehan. Saya sudah masuk usia produktif dan harus memprogram setiap tujuan keuangan pribadi agar efektif di masa sekarang dan nanti. Syukur-syukur, bisa memberi dampak secara finansial juga bagi lingkungan.”

“Pria yang jadi suamimu nanti pastilah orang yang beruntung. Kamu baik, cantik, rajin, juga pintar.”

Jelita nyaris tersedak mendengar pujian itu keluar langsung dari mulut William. Apa dia bilang tadi? Dirinya cantik? Gadis itupun tersipu-sipu mendengarnya.

“Tapi menurut saya, justru perempuan yangs menjadi istri Abang nantilah orang yang beruntung. Abang baik, tampan, pintar, dan sudah mapan.” Jelita balas berkata tanpa berani menatap wajah William. Sebab melalui ekor matanya dia bisa menangkap jika pria itu sedang menatap wajahnya lekat-lekat, membuat jantung Jelita berdetak cepat dan berlompatan.

***

Indy Shinta

Yuk, klik vote novel ini jika kamu menyukai ceritanya. Happy reading :)

| 2

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status