Share

7. Cepat Belajar

"Nah, aku akan memberi training singkat padamu. Kuharap kamu cepat belajar, aku terlalu sibuk kalau harus mengajarimu lagi besok-besok.”

William meluangkan waktu di hari libur terakhirnya ini untuk memberikan training pada Jelita. Dia menjelaskan banyak hal terkait pekerjaan yang perlu dilakukan Jelita dirumahnya. Juga mengajari gadis itu cara memakai beragam peralatan rumah tangga.

'Canggih banget,' pikir Jelita takjub saat William mengajarinya cara menggunakan remote untuk menyalakan fungsi robot buat menyapu, memvakum, dan mengepel lantai.

"Oya. Kalau ini namanya diffuser, alat untuk aromaterapi. Ini gunanya bisa buat terapi pernapasan, peningkatan mood, relaksasi, pemurnian udara, dan banyak lagi, tergantung dari essential oil yang digunakan." William menjelaskan sambil menunjukkan stok essential oil yang dia miliki dan menerangkan masing-masing manfaatnya.

"Tolong dinyalakan saat aku pulang kerja, selama 30 menit atau sampai satu jam saja, biar aroma ruangan jadi nyaman dan bikin rileks." William kemudian menjelaskan cara pakai alat bernama diffuser itu.

William juga mengajari Jelita cara menggunakan seterika uap, lalu mengajaknya memasuki walk in closet yang membuat gadis itu terpana. Di dalam ruangan itu ada banyak sekali pakaian yang terlipat dan tergantung rapi dan juga berbagai aksesori penunjang penampilan, dengan berbagai merk mahal dan terkenal. Pria itupun menjelaskan bagaimana nanti Jelita mengatur semua pakaian yang sudah diseterikanya agar jangan salah masuk lemari dan membuat William bingung mencari-cari saat membutuhkan. Rupanya setiap lemari punya peruntukan tersendiri sesuai dengan jenis pakaian.

'Ini udah kayak toko saja.' Jelita membatin sambil berdecak kagum.

Jelita diajari juga cara memakai tabung pemadam kebakaran. "Perhatikan baik-baik." Pria itu mulai menjelaskan. "Pertama-tama, kamu tarik kunci pengaman atau segelnya. Lalu pegang bagian ujung selang dan arahkan ujung selang ke sumber api. Kemudian tekan tuas, dan kibaskan ujung selang pada sumber api secara perlahan sampai api padam," kata William sambil mempraktikkan di halaman belakang rumah yang cukup aman untuk melakukan latihan itu.

William kemudian menyuruh Jelita mencoba. "Terpenting jangan panik, tarik napas yang dalam agar kamu bisa tetap tenang dan fokus," katanya.

Jelita mengangguk dan melakukannya dengan serius.

"Bravo!"

William mengacungi jempol melihat Jelita mempraktikkannya dengan baik.

Tadinya Jelita pikir jadi pembantu itu gampang, karena pekerjaannya seperti aktivitas sehari-hari di rumah. Rupanya tak sesederhana yang dia bayangkan, ternyata banyak hal yang baru diketahuinya setelah di sini. Dia merasa bodoh. Ternyata mengurus rumah sebagus ini ada ilmunya dan butuh keterampilan tersendiri. Ada banyak macam alat rumah tangga yang serba canggih, bahkan cairan zat untuk kebersihannya saja ada bermacam-macam. Wawasannya tentang mengurus rumah jadi bertambah setelah training singkatnya dengan William selama 2 jam tadi. Jelita tak mengira majikannya itu bakal sesabar itu mengajarinya.

'Dia sebenarnya baik, hanya saja bakal marah kalau ada yang mengganggunya bekerja.' Jelita menyimpulkan dan akan mengingat hal itu baik-baik.

'Sayang sekali aku cuma sebulan saja kerja di sini.' Pikiran itu tiba-tiba menggelayutinya.

"Semoga majikan saya yang baru nanti bisa sama baiknya seperti Abang."

William mengerutkan kening dan memandangi Jelita. "Majikan yang baru?"

"Saya kan harus pindah kerja dari sini kalau Bik Yuni sudah balik nanti. Abang bilang mau merekomendasikan saya ke teman-teman Abang, kan?"

"Ya lihat-lihat dululah. Kamu layak apa nggak buat kurekomendasikan. Atau—" Tiba-tiba pria itu diam tak melanjutkan.

"Atau?" Jelita bertanya dengan raut penasaran. "Atau apa, Bang?" desaknya tanpa sadar karena William masih saja diam.

"Atau kamu pulang saja ke kampung, bekerja sama mamiku."

"Jangan, Bang!" Jelita menggeleng keras. "Saya nggak mau balik ke kampung. Tolong rekomendasikan saya ke teman-teman Abang saja ya? Saya mau kerja di Jakarta, nggak mau balik ke kampung."

William tertegun. Pertama kalinya dia mendengar suara gadis itu merengek.

"Bang ..., tolong ya, Bang?" Rengekan itu terdengar penuh harap.

'Matanya ... cantik.' William diam-diam mengagumi kejernihan sepasang bola mata Jelita yang sejak tadi menyorot penuh permohonan kepadanya.

"Aku lapar. Masak dulu sana yang enak, kalau nggak enak maka jawabanku juga nggak."

Jelita kini tersenyum. Matanya berbinar-binar. Harapannya terasa kembali membumbung tinggi. Memasak sesuatu yang enak bukanlah hal sulit baginya. Bukannya besar kepala, Jelita hanya merasa percaya diri saat diberi tantangan itu. "Mau dimasakin apa, Bang?" tanyanya antusias.

"Aku nggak suka dikasih pertanyaan itu, bikin aku ikut mikir aja, padahal kamu yang mau masak. Kamu pikir sendiri deh, yang penting rasanya enak."

"Siap, Bang.”

Jelita beranjak menuju dapur, meninggalkan William yang tertawa lirih memperhatikan tingkahnya yang imut.

'Apa begini rasanya punya adik perempuan?' pikir William, sebab Jelita membuatnya merasa ingin memanjakan dan melindunginya.

"Awwh ...!"

William kaget mendengar pekikan dari dapur, iapun lekas memburu Jelita ke sana. Dia terkaget-kaget melihat darah mengucur di tangan Jelita, ada pisau tergeletak di sebelahnya.

"Astaga, Lita!"

"Ma-maaf, Bang."

William kesal karena gadis itu terlihat takut mendengar bentakannya barusan. Padahal dia tak berniat membentak, tapi kekagetan membuat suaranya jadi meninggi.

"Maaf apanya sih? Mestinya pisau itu yang minta maaf sama kamu andai dia bisa ngomong!" William mengomel sambil menarik tangan Jelita ke wastafel dan membuka air kran yang lekas mengguyur tangan Jelita.

William melirik Jelita yang hanya memejamkan matanya menahan pedih, tanpa sedikitpun suara keluh sakit lolos dari bibirnya. Padahal rasanya pasti pedih, pisau dapurnya tak ada yang tak tajam.

"Kalau mau nangis nggak apa-apa, Ta. Jangan ditahan-tahan. Perih kan ini?"

Bibir Jelita justru melengkung membentuk senyum.

"Bisa-bisanya kamu malah senyum?" omel William.

William tiba-tiba teringat luka bakar di tubuh Jelita. 'Ini mungkin nggak ada apa-apanya dibanding pedihnya air panas yang pernah membuat kulitnya melepuh dulu. Makanya dia bisa setenang ini,' pikirnya iba.

"Tunggu sebentar," kata William sambil mematikan kran, kemudian dia berlari-lari kecil mengambil kotak P3K untuk mengobati dan memplester luka iris di tangan Jelita.

"Kamu nggak usah masak. Aku beli saja makanan online. Kamu mau dipesanin apa, hmm?"

"Abang saja yang mikirin deh, kan Abang yang mau pesan. Apa saja yang penting enak."

William tertawa sambil menjitak pelan kening Jelita. "Uh, kamu tuh ya!"

Jelita tercengang, tak menyangka sang majikan bakal bersikap sesantai ini kepadanya.

***

Indy Shinta

Halo, pembaca yang baik. Semoga kalian suka ceritanya ya. Silakan tinggalkan komentar atau klik vote sebagai dukungan untuk buku ini. Happy reading :)

| 3
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Hadi Priswanto
bagus banget ceritanya
goodnovel comment avatar
Subaedah Sambara
lanjut aku sukaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status