"Nah, aku akan memberi training singkat padamu. Kuharap kamu cepat belajar, aku terlalu sibuk kalau harus mengajarimu lagi besok-besok.”
William meluangkan waktu di hari libur terakhirnya ini untuk memberikan training pada Jelita. Dia menjelaskan banyak hal terkait pekerjaan yang perlu dilakukan Jelita dirumahnya. Juga mengajari gadis itu cara memakai beragam peralatan rumah tangga.
'Canggih banget,' pikir Jelita takjub saat William mengajarinya cara menggunakan remote untuk menyalakan fungsi robot buat menyapu, memvakum, dan mengepel lantai.
"Oya. Kalau ini namanya diffuser, alat untuk aromaterapi. Ini gunanya bisa buat terapi pernapasan, peningkatan mood, relaksasi, pemurnian udara, dan banyak lagi, tergantung dari essential oil yang digunakan." William menjelaskan sambil menunjukkan stok essential oil yang dia miliki dan menerangkan masing-masing manfaatnya.
"Tolong dinyalakan saat aku pulang kerja, selama 30 menit atau sampai satu jam saja, biar aroma ruangan jadi nyaman dan bikin rileks." William kemudian menjelaskan cara pakai alat bernama diffuser itu.
William juga mengajari Jelita cara menggunakan seterika uap, lalu mengajaknya memasuki walk in closet yang membuat gadis itu terpana. Di dalam ruangan itu ada banyak sekali pakaian yang terlipat dan tergantung rapi dan juga berbagai aksesori penunjang penampilan, dengan berbagai merk mahal dan terkenal. Pria itupun menjelaskan bagaimana nanti Jelita mengatur semua pakaian yang sudah diseterikanya agar jangan salah masuk lemari dan membuat William bingung mencari-cari saat membutuhkan. Rupanya setiap lemari punya peruntukan tersendiri sesuai dengan jenis pakaian.
'Ini udah kayak toko saja.' Jelita membatin sambil berdecak kagum.
Jelita diajari juga cara memakai tabung pemadam kebakaran. "Perhatikan baik-baik." Pria itu mulai menjelaskan. "Pertama-tama, kamu tarik kunci pengaman atau segelnya. Lalu pegang bagian ujung selang dan arahkan ujung selang ke sumber api. Kemudian tekan tuas, dan kibaskan ujung selang pada sumber api secara perlahan sampai api padam," kata William sambil mempraktikkan di halaman belakang rumah yang cukup aman untuk melakukan latihan itu.
William kemudian menyuruh Jelita mencoba. "Terpenting jangan panik, tarik napas yang dalam agar kamu bisa tetap tenang dan fokus," katanya.
Jelita mengangguk dan melakukannya dengan serius.
"Bravo!"
William mengacungi jempol melihat Jelita mempraktikkannya dengan baik.
Tadinya Jelita pikir jadi pembantu itu gampang, karena pekerjaannya seperti aktivitas sehari-hari di rumah. Rupanya tak sesederhana yang dia bayangkan, ternyata banyak hal yang baru diketahuinya setelah di sini. Dia merasa bodoh. Ternyata mengurus rumah sebagus ini ada ilmunya dan butuh keterampilan tersendiri. Ada banyak macam alat rumah tangga yang serba canggih, bahkan cairan zat untuk kebersihannya saja ada bermacam-macam. Wawasannya tentang mengurus rumah jadi bertambah setelah training singkatnya dengan William selama 2 jam tadi. Jelita tak mengira majikannya itu bakal sesabar itu mengajarinya.
'Dia sebenarnya baik, hanya saja bakal marah kalau ada yang mengganggunya bekerja.' Jelita menyimpulkan dan akan mengingat hal itu baik-baik.
'Sayang sekali aku cuma sebulan saja kerja di sini.' Pikiran itu tiba-tiba menggelayutinya.
"Semoga majikan saya yang baru nanti bisa sama baiknya seperti Abang."
William mengerutkan kening dan memandangi Jelita. "Majikan yang baru?"
"Saya kan harus pindah kerja dari sini kalau Bik Yuni sudah balik nanti. Abang bilang mau merekomendasikan saya ke teman-teman Abang, kan?"
"Ya lihat-lihat dululah. Kamu layak apa nggak buat kurekomendasikan. Atau—" Tiba-tiba pria itu diam tak melanjutkan.
"Atau?" Jelita bertanya dengan raut penasaran. "Atau apa, Bang?" desaknya tanpa sadar karena William masih saja diam.
"Atau kamu pulang saja ke kampung, bekerja sama mamiku."
"Jangan, Bang!" Jelita menggeleng keras. "Saya nggak mau balik ke kampung. Tolong rekomendasikan saya ke teman-teman Abang saja ya? Saya mau kerja di Jakarta, nggak mau balik ke kampung."
William tertegun. Pertama kalinya dia mendengar suara gadis itu merengek.
"Bang ..., tolong ya, Bang?" Rengekan itu terdengar penuh harap.
'Matanya ... cantik.' William diam-diam mengagumi kejernihan sepasang bola mata Jelita yang sejak tadi menyorot penuh permohonan kepadanya.
"Aku lapar. Masak dulu sana yang enak, kalau nggak enak maka jawabanku juga nggak."
Jelita kini tersenyum. Matanya berbinar-binar. Harapannya terasa kembali membumbung tinggi. Memasak sesuatu yang enak bukanlah hal sulit baginya. Bukannya besar kepala, Jelita hanya merasa percaya diri saat diberi tantangan itu. "Mau dimasakin apa, Bang?" tanyanya antusias.
"Aku nggak suka dikasih pertanyaan itu, bikin aku ikut mikir aja, padahal kamu yang mau masak. Kamu pikir sendiri deh, yang penting rasanya enak."
"Siap, Bang.”
Jelita beranjak menuju dapur, meninggalkan William yang tertawa lirih memperhatikan tingkahnya yang imut.
'Apa begini rasanya punya adik perempuan?' pikir William, sebab Jelita membuatnya merasa ingin memanjakan dan melindunginya.
"Awwh ...!"
William kaget mendengar pekikan dari dapur, iapun lekas memburu Jelita ke sana. Dia terkaget-kaget melihat darah mengucur di tangan Jelita, ada pisau tergeletak di sebelahnya.
"Astaga, Lita!"
"Ma-maaf, Bang."
William kesal karena gadis itu terlihat takut mendengar bentakannya barusan. Padahal dia tak berniat membentak, tapi kekagetan membuat suaranya jadi meninggi.
"Maaf apanya sih? Mestinya pisau itu yang minta maaf sama kamu andai dia bisa ngomong!" William mengomel sambil menarik tangan Jelita ke wastafel dan membuka air kran yang lekas mengguyur tangan Jelita.
William melirik Jelita yang hanya memejamkan matanya menahan pedih, tanpa sedikitpun suara keluh sakit lolos dari bibirnya. Padahal rasanya pasti pedih, pisau dapurnya tak ada yang tak tajam.
"Kalau mau nangis nggak apa-apa, Ta. Jangan ditahan-tahan. Perih kan ini?"
Bibir Jelita justru melengkung membentuk senyum.
"Bisa-bisanya kamu malah senyum?" omel William.
William tiba-tiba teringat luka bakar di tubuh Jelita. 'Ini mungkin nggak ada apa-apanya dibanding pedihnya air panas yang pernah membuat kulitnya melepuh dulu. Makanya dia bisa setenang ini,' pikirnya iba.
"Tunggu sebentar," kata William sambil mematikan kran, kemudian dia berlari-lari kecil mengambil kotak P3K untuk mengobati dan memplester luka iris di tangan Jelita.
"Kamu nggak usah masak. Aku beli saja makanan online. Kamu mau dipesanin apa, hmm?"
"Abang saja yang mikirin deh, kan Abang yang mau pesan. Apa saja yang penting enak."
William tertawa sambil menjitak pelan kening Jelita. "Uh, kamu tuh ya!"
Jelita tercengang, tak menyangka sang majikan bakal bersikap sesantai ini kepadanya.
***
Halo, pembaca yang baik. Semoga kalian suka ceritanya ya. Silakan tinggalkan komentar atau klik vote sebagai dukungan untuk buku ini. Happy reading :)
Sudah genap sebulan Jelita menjadi asisten rumah tangga William. Jelita mulai bertanya-tanya apakah William sudah mendapatkan calon majikan baru buatnya. Tapi Jelita tak berani membuka percakapan untuk membahasnya karena William terlihat sangat sibuk. William berangkat ke kantor pagi-pagi dan pulang setelah larut malam. Bahkan sampai begadang di depan laptop, sambil berkutat dengan tumpukan kertas di meja kerjanya. Jelita tak berani mengusiknya kalau sudah begitu. Jelita akhirnya pilih sabar menunggu, William pasti akan memberitahunya sendiri cepat atau lambat. Dan pagi ini, Jelita melihat William sudah berpenampilan rapi untuk berangkat kerja. Pria itu baru saja memasuki ruang makan, menuju meja di mana Jelita sedang menyajikan sarapan berupa roti panggang, alpukat, dan telur rebus. "Avocado toast?" William menoleh kepada Jelita sambil menarik sebuah kursi untuk didudukinya. Jelita menuangkan air minum ke gelas William seraya berkata, "Proses pembuatannya tanpa penggorengan sehingg
Jelita bekerja rajin dan disiplin. Dia tak suka menunda-nunda pekerjaaan sekecil apapun. Rumah William jadi tampak lebih bersih dan rapi sejak Jelita menjadi pembantu di rumah itu. Jelita juga punya selera yang baik tentang makanan, sehingga William nyaris tak pernah melewatkan makanan apapun yang dimasak olehnya. Hal itu membuat Nyonya Cindy jadi tenang karena putera bungsu kesayangannya itu tak pernah melewatkan waktu sarapan. William punya riwayat sakit lambung, karena itulah Nyonya Cindy selalu menyarankan pembantu yang pintar masak buat William agar makanan buat puteranya itu terurus baik. Jelita pun memang bertekad ingin menunjukkan kepada William bahwa dia memang layak dipekerjakan bukan hanya atas dasar iba semata. Agar jika nanti William harus memilih antara dirinya atau Bik Yuni, maka pria itu akan memilih dirinya karena dia memang layak dipilih karena kemampuannya bekerja yang baik daripada Bik Yuni. Karena Jelita gesit, maka pekerjaannya jadi lebih cepat selesai. Itu mem
PT Prima Jaya Propertindo, Tbk merupakan sebuah perusahaan developer besar. William sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan CEO dari perusahaan developer milik keluarga Subrata itu. Kelak dialah yang akan mengemban tanggung jawab terbesar di perusahaan. Dia bakal memegang hampir semua area manajerial perusahaan, dan berperan menjembatani seluruh elemen perusahaan dengan para karyawannya. Juga bertanggung jawab membuat semua keputusan terkait perusahaan. Tak heran jika sejak sekarang dia sudah mulai digembleng dan diawasi ketat oleh dewan komisaris dan para eksekutif di perusahaan itu. Membuatnya berkubang dengan kesibukan sepanjang waktu. William saat ini ditempa di bagian legal dan perencanaan. Dia bertanggung jawab memantau tim yang merencanakan suatu kawasan perumahan secara umum yang dilengkapi fasilitas penunjang. Bersama tim ahli, dia turut menganalisa kebutuhan perusahaan tentang lokasi, dan juga lingkungan di sekitar bangunan, kemudian berdiskusi dengan tim arsitek tentang
William buru-buru menutup akses cctv di ponselnya. Pria itu mengusapi wajahnya yang memerah karena jengah. Astaga. Dia melihat tubuh polos Jelita dengan teramat jelas tadi. Dan semakin dia ingin melupakan, tubuh itu justru makin tergambar jelas dalam ingatannya. "Ah. Sial." William mendesah sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut pusing. Sesuatu dalam dirinya mulai terasa tak nyaman dan tubuhnya seketika jadi panas dingin. Sebenarnya sudah sejak lama Jelita diam-diam membuatnya gelisah. Pertama kali melihatnya,William seperti melihat sosok Dina, teman semasa kuliah yang sempat menjadi gebetannya. Kebetulan wajah mantan gebetannya itu mirip dengan Jelita. William teramat kaget saat Nyonya Cindy memperkenalkan Jelita kepadanya dulu. Pertemuan pertamanya dengan Jelita itu membuat hatinya kembali terkoyak marah. Karena itulah sikapnya kepada Jelita menjadi dingin dan tak ramah kala itu. William memijiti keningnya kala teringat kembali pada momen kebersamaannya dengan Dina sewa
"Ugh. Kucing reseh, ... aku jadi kudu mandi lagi deh!" Jelita menggerutu sambil berdiri dan melilitkan lagi handuknya. Dia menoleh ke jendela dan berjalan ke sana sambil memegangi ujung handuk agar tak terlepas lagi dari tubuhnya. "Pasti kucing itu masuk lewat sini," gumamnya sambil menutup jendela. Saat sedang menggapai daun jendela, Jelita dikejutkan cahaya kilat yang memantul di kaca. Gadis itu terkesiap dan menengok ke arah langit, tapi langit kelihatan cerah dan tak ada tanda-tanda mau turun hujan. Juga tak terdengar suara gemuruh yang biasanya mengikuti cahaya kilat beberapa detik kemudian. Kening Jelita berkerut-kerut. "Terus, apa itu tadi ya?" pikirnya bingung. Melalui sudut matanya, tiba-tiba Jelita seperti melihat sesuatu dan dia cepat-cepat menoleh ke arah balkon rumah seberang, tapi tak tampak apa-apa. Namun entah kenapa dia seperti merasa sedang diawasi. Sementara itu di seberang sana, tubuh Bimo merosot lunglai di bawah jendela. "Njiir, ... hampir aja gue ketahuan!" o
Kerumunan orang asyik bergoyang di tengah suasana remang-remang dengan gelegar musik yang memenuhi ruangan yang disebut diskotek. Parfum bercampur keringat dan bau alkohol menjadi satu senyawa yang tidak bisa dihilangkan. Tubuh Bimo bergerak-gerak mengikuti irama musik yang mengentak keras. Jika duduk diam-diam saja malah membuat kepalanya jadi pusing. Toh gelegar sound system memang dibuat untuk memfasilitasi aktifitas motorik para pengunjung agar pas buat mengimbangi hentakan musik yang disajikan DJ. Bimo melantai di antara gadis-gadis yang juga haus hiburan malam sepertinya. Tubuh mereka bergerak bersama, berjoget mengikuti musik tak peduli enak ditonton atau tidak, yang penting asyik. "Bim ...!" panggil gadis bernama Windy di depannya. Bimo tersenyum, meskipun Windy belum tentu melihat senyumnya dalam keremangan cahaya. "Yup?" sahutnya sambil tetap berjoget, kemudian menahan tubuh berkeringat Windy yang tahu-tahu sudah menempel saja kepadanya. "Mau balik ke sofa?" tanya Bimo den
"Maaaju tak gentaar, menguuusir penyerang. Maaaju serentak hak kiiita diseraaang." Nyanyian Atika menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Menembus dinding. Menggetarkan ranjang Bimo yang sedang ingin tidur pulas. Bimo menggerutu sembari menarik guling menutupi kuping. Tapi nggak ngaruh! Suara Atika masih saja menembus gendang telinganya yang semalaman budeg oleh musik diskotek. "Ampuun dijaaaah," erangnya sambil menekan guling ke kupingnya kuat-kuat. Sudah suaranya fals banget, tapi orangnya sama sekali tak sadar diri. Lagunya ngajak perang banget pula. Tapi Bimo takut benjol kalau berani-beraninya menyuruh si kakak berhenti menyanyi. Sebab Atika tak bisa membedakan yang mana jidatnya Bimo dengan yang mana itu gong, suka main pentung seenaknya gitu loh! Alhasil jidatnya Bimo kerap bernasib sama seperti pentolan gong, alias benjol. Belum lagi nasib uang jajan tambahannya berada di tangan Atika. Buaya darat ini tak bisa eksis kalau fasilitas hidupnya di Jakarta sampai dibekukan sang ka
"Mau ke mana, Kak?" Bimo bertanya saat langkah Atika hampir mencapai ambang pintu ruang tamu. "Mau kasih ini buat tetangga depan." Mendengar tetangga depan disebut-sebut, Bimo langsung teringat Jelita. "Wait ...!" Bimo berjingkat mendekat dan buru-buru mengambil alih box kue dari tangan kakaknya. "Ini berat, kamu nggak akan kuat, biar aku saja," ujarnya menirukan logat Dilan. Atika mengerutkan kening melihat kejanggalan sikap si adik. 'Pasti nih anak lagi ada maunya,' pikirnya curiga. "Nggak ada tips atas bantuan elu kali ini ya." Atika berkata sambil bersedekap. "Jangan buruk sangka ke adik sendiri kenapa sih, sistah? Sumpah, gue ikhlas kok ini." Bimo mengedipkan sebelah matanya dan melenggang pergi menyeberangi jalan, menuju rumah tetangga mereka. "Cih, kesambet apa dia mendadak rajin gitu? Biasanya ngomel duluan kalau disuruh antar ini-itu buat tetangga," gumam Atika sambil geleng-geleng kepala. Tapi kemudian Atika mencebik begitu teringat wajah cantik tetangga depan rumahn