William merenggangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal setelah tak terasa sekian jam duduk di kursi dan bergelut dengan pekerjaan. Pria itu menutup laptop setelah hari menjelang malam. Dia merasa penat dan butuh kopi panas. Mulutnya hampir saja menyerukan nama Jelita, tapi kemudian dia teringat kejadian tak mengenakkan soal kopi tadi. "Kubikin sendiri saja," gumamnya sambil beranjak ke dapur.
Saat menyalakan kompor, keningnya berkerut dan mengecek gas. Kemudian dia baru teringat jika sepertinya tadi Jelita sempat membahas soal gas habis ketika menyela urusannya. William pun memakai ketel listrik untuk mendidihkan air. "Padahal tadi dia bisa pakai ini kalau gas habis." Tapi kemudian pria itu termenung dan memikirkan beberapa hal.
William menghela napas setelah menyadari sesuatu. Bagaimanapun Jelita asisten rumah tangganya yang baru dan benar-benar baru datang dari kampung. Gadis itu masih dalam proses adaptasi dengan rumah ini dan pekerjaan barunya, bahkan William lupa tidak memberitahu dulu beberapa hal yang akan menjadi standart pekerjaan Jelita di rumah ini, tentang kopi misalnya. Biasanya William selalu menerapkan sistem tandem jika akan terjadi pergantian asisten rumah tangga baru di rumahnya, sehingga selama ini dia tidak perlu repot-repot menjelaskan sendiri kepada mereka. Sedangkan keberadaan Jelita sebagai asisten rumah tangganya yang baru ini terlalu mendadak dan di luar rencananya. Namun William justru semena-mena memarahi saat gadis itu bertanya baik-baik karena betul-betul tidak tahu.
Ada rasa bersalah yang mencubit perasaan William dengan rasa tidak enak kepada Jelita. "Apa dia betulan nangis?" gumamnya sambil melirik ke lantai atas.
Pria itupun menaiki tangga, ingin menemui Jelita yang sedang berada di lantai atas. Mereka harus bicara baik-baik agar gadis itu tidak perlu ketakutan kepadanya sepanjang waktu. Namun langkah William seketika terpaku begitu kakinya sampai di anak tangga teratas dan mendapati Jelita sedang berbaring di sofa panjang sambil memeluk sebuah buku. Sepertinya dia ketiduran saat membaca.
William berjalan mendekat, ingin membangunkan Jelita. Sekonyong-konyong jantungnya berdetak dengan cara yang aneh begitu tatapannya mendarat pada seraut wajah innocent yang tertidur lelap ini. "Namamu sama dengan parasmu, sama-sama jelita." William berbisik teramat pelan.
Pria itu tersenyum kagum, tapi senyum di wajah tampan itu menyurut begitu Jelita bergerak dalam tidurnya, mengubah posisi dari telentang menjadi miring, saat itulah William melihat bekas luka bakar di sekitar bahunya yang tak sengaja tersingkap sedikit. Seketika dia terngiang ucapan Jelita sewaktu mereka mengobrol di meja makan tadi. "Gara-gara saya minta uang buat mengganti buku teman yang dijadikan emak buat alas gorengan, emak jadi marah banget. Kebetulan waktu itu emak lagi pegang termos air panas yang baru saja mendidih airnya, tiba-tiba ... diguyurkan ke saya."
Hati William diremas iba. Gadis ini sudah banyak menelan duka sejak belia. Tiba-tiba dia merasa jahat sudah membentak Jelita sekeras tadi di hari pertamanya bekerja di sini.
"Maaf. Aku tak bermaksud membentak dan membuatmu takut." William berkata lirih agar tak membangunkan Jelita yang terlihat letih. Dan entah bagaimana, tiba-tiba saja bibirnya sudah mengecup kening gadis itu dan William terkaget-kaget sendiri karenanya.
'Damn. What have I done ...!' William memaki diri sendiri seraya menyugar rambutnya dengan gusar. Pria itupun berjingkat pergi dengan membawa rasa tak enak dalam hatinya. Dia merasa seperti pria cabul saja, bisa-bisanya mencium gadis yang sedang tidur.
***
Berolahraga di atas treadmil menjadi kebiasaan William setiap hari. Keringat sudah membanjiri tubuhnya yang tegap atletis, namun tak tampak kelelahan dari raut wajahnya. Pria itu tampak menikmati rutinitas paginya yang membuat badannya bugar.
Sedangkan sejak pagi-pagi sekali, Jelita sudah berkutat dengan pekerjaannya membersihkan dan merapikan rumah sampai ke setiap sudut. Dan kini gadis itu sedang berada di dapur menyiapkan sarapan.
William menyusul Jelita ke dapur setelah selesai mandi dan berpakaian rapi. Sekarang dia butuh secangkir kopi.
"Lita, sini sebentar," panggil William sambil menuju lemari dapur dan mengeluarkan kedua tabung kopinya.
Jelita menoleh dan mendekati William yang segera berkata kepadanya, "Masing-masing kopi punya karakter tersendiri. Ini kopi arabika," katanya sambil menunjuk sebuah tabung. "Kopi ini warna hasil seduhannya tidak terlalu kental. Rasanya dari tingkat keasaman kopi lebih tinggi daripada tingkat kafein di dalamnya. Kopi ini lebih wangi dan lebih kaya rasa daripada kopi lainnya," jelasnya.
Kemudian William beralih pada tabung yang satu lagi, "Dan ini kopi robusta, karakter aromanya lebih kuat dan terasa kasar. Rasanya juga lebih pahit daripada kopi lainnya, tapi tidak lebih asam dari arabika. Jadi kopi ini cocok kalau dicampur dengan susu dan coklat saat penyajiannya, sebab rasa kopinya tidak akan kalah dengan rasa lainnya. Kalau sewaktu-waktu aku ingin kopi susu atau susu dengan coklat, pakai yang ini saja. Kamu juga boleh bikin buatmu sendiri kalau mau."
"Iya, Bang. Terima kasih."
William berkata lagi. "Oya, suhu air untuk menyeduh kopi itu idealnya antara 90 hingga 96 derajat Celcius. Di suhu ini kopi akan terekstrak secara optimal. Suhu yang lebih dingin bisa bikin rasa kopi terasa datar. Kopi yang dimasak pada suhu yang terlalu panas juga bisa menghilangkan kualitas rasa kopi tersebut. Jadi jangan langsung kamu tuangkan juga air yang baru mendidih banget ke dalam kopi, beri jeda waktu sebentar sebelum kamu tuang."
Jelita mengangguk-angguk dan diam-diam terkesima. Sepanjang pria itu berbicara, dia bisa mendengar nada lembut yang mengalun sabar kepadanya.
"Kamu mau kopi susu? Biar kubuatkan sekalian, kebetulan aku juga mau ngopi."
Jelita tertegun merasakan perhatian William yang kembali menghangat setelah bentakannya kemarin.
"Mau nggak? Malah melamun," tegur William sambil memasang ketel listrik yang sudah diisinya dengan air mineral. "Oya, kamu kemarin nggak tahu ya kalau ada ini pas kehabisan gas?" katanya lagi.
Jelita mengangguk dan tersenyum menerima tawaran baik William yang ingin menyeduhkan kopi susu untuknya.
"Tinggal dulu kerjaanmu, kita ngopi dulu." William mengedikkan kepala, mengajak Jelita ikut bersamanya menuju teras yang menghadap kolam ikan koi yang cantik di area taman belakang rumah.
"Rasa terbaik dari kopi akan terasa setelah 4 menit terjadi kontak antara kopi dengan air panas. Nah, ayo diminum." William berkata dan menyesap kopinya dengan nikmat.
Jelita ikut menyesap kopi buatan William untuknya. Sekonyong-konyong gadis itu merem-melek bukan karena keenakan, tapi justru karena bibirnya jontor kepanasan. 'Dih. Apa sih enaknya minum kopi panas-panas begini?' gerutunya dalam hati. Namun dia terpaksa memasang wajah asyik saat William menoleh padanya dengan selengkung senyum yang menarik.
***
Simpan buku ini di pustakamu, yuk. Kamu juga bisa mendukung penulis dengan cara klik vote. Terima kasih :)
"Nah, aku akan memberi training singkat padamu. Kuharap kamu cepat belajar, aku terlalu sibuk kalau harus mengajarimu lagi besok-besok.” William meluangkan waktu di hari libur terakhirnya ini untuk memberikan training pada Jelita. Dia menjelaskan banyak hal terkait pekerjaan yang perlu dilakukan Jelita dirumahnya. Juga mengajari gadis itu cara memakai beragam peralatan rumah tangga. 'Canggih banget,' pikir Jelita takjub saat William mengajarinya cara menggunakan remote untuk menyalakan fungsi robot buat menyapu, memvakum, dan mengepel lantai. "Oya. Kalau ini namanya diffuser, alat untuk aromaterapi. Ini gunanya bisa buat terapi pernapasan, peningkatan mood, relaksasi, pemurnian udara, dan banyak lagi, tergantung dari essential oil yang digunakan." William menjelaskan sambil menunjukkan stok essential oil yang dia miliki dan menerangkan masing-masing manfaatnya. "Tolong dinyalakan saat aku pulang kerja, selama 30 menit atau sampai satu jam saja, biar aroma ruangan jadi nyaman dan bi
Sudah genap sebulan Jelita menjadi asisten rumah tangga William. Jelita mulai bertanya-tanya apakah William sudah mendapatkan calon majikan baru buatnya. Tapi Jelita tak berani membuka percakapan untuk membahasnya karena William terlihat sangat sibuk. William berangkat ke kantor pagi-pagi dan pulang setelah larut malam. Bahkan sampai begadang di depan laptop, sambil berkutat dengan tumpukan kertas di meja kerjanya. Jelita tak berani mengusiknya kalau sudah begitu. Jelita akhirnya pilih sabar menunggu, William pasti akan memberitahunya sendiri cepat atau lambat. Dan pagi ini, Jelita melihat William sudah berpenampilan rapi untuk berangkat kerja. Pria itu baru saja memasuki ruang makan, menuju meja di mana Jelita sedang menyajikan sarapan berupa roti panggang, alpukat, dan telur rebus. "Avocado toast?" William menoleh kepada Jelita sambil menarik sebuah kursi untuk didudukinya. Jelita menuangkan air minum ke gelas William seraya berkata, "Proses pembuatannya tanpa penggorengan sehingg
Jelita bekerja rajin dan disiplin. Dia tak suka menunda-nunda pekerjaaan sekecil apapun. Rumah William jadi tampak lebih bersih dan rapi sejak Jelita menjadi pembantu di rumah itu. Jelita juga punya selera yang baik tentang makanan, sehingga William nyaris tak pernah melewatkan makanan apapun yang dimasak olehnya. Hal itu membuat Nyonya Cindy jadi tenang karena putera bungsu kesayangannya itu tak pernah melewatkan waktu sarapan. William punya riwayat sakit lambung, karena itulah Nyonya Cindy selalu menyarankan pembantu yang pintar masak buat William agar makanan buat puteranya itu terurus baik. Jelita pun memang bertekad ingin menunjukkan kepada William bahwa dia memang layak dipekerjakan bukan hanya atas dasar iba semata. Agar jika nanti William harus memilih antara dirinya atau Bik Yuni, maka pria itu akan memilih dirinya karena dia memang layak dipilih karena kemampuannya bekerja yang baik daripada Bik Yuni. Karena Jelita gesit, maka pekerjaannya jadi lebih cepat selesai. Itu mem
PT Prima Jaya Propertindo, Tbk merupakan sebuah perusahaan developer besar. William sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan CEO dari perusahaan developer milik keluarga Subrata itu. Kelak dialah yang akan mengemban tanggung jawab terbesar di perusahaan. Dia bakal memegang hampir semua area manajerial perusahaan, dan berperan menjembatani seluruh elemen perusahaan dengan para karyawannya. Juga bertanggung jawab membuat semua keputusan terkait perusahaan. Tak heran jika sejak sekarang dia sudah mulai digembleng dan diawasi ketat oleh dewan komisaris dan para eksekutif di perusahaan itu. Membuatnya berkubang dengan kesibukan sepanjang waktu. William saat ini ditempa di bagian legal dan perencanaan. Dia bertanggung jawab memantau tim yang merencanakan suatu kawasan perumahan secara umum yang dilengkapi fasilitas penunjang. Bersama tim ahli, dia turut menganalisa kebutuhan perusahaan tentang lokasi, dan juga lingkungan di sekitar bangunan, kemudian berdiskusi dengan tim arsitek tentang
William buru-buru menutup akses cctv di ponselnya. Pria itu mengusapi wajahnya yang memerah karena jengah. Astaga. Dia melihat tubuh polos Jelita dengan teramat jelas tadi. Dan semakin dia ingin melupakan, tubuh itu justru makin tergambar jelas dalam ingatannya. "Ah. Sial." William mendesah sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut pusing. Sesuatu dalam dirinya mulai terasa tak nyaman dan tubuhnya seketika jadi panas dingin. Sebenarnya sudah sejak lama Jelita diam-diam membuatnya gelisah. Pertama kali melihatnya,William seperti melihat sosok Dina, teman semasa kuliah yang sempat menjadi gebetannya. Kebetulan wajah mantan gebetannya itu mirip dengan Jelita. William teramat kaget saat Nyonya Cindy memperkenalkan Jelita kepadanya dulu. Pertemuan pertamanya dengan Jelita itu membuat hatinya kembali terkoyak marah. Karena itulah sikapnya kepada Jelita menjadi dingin dan tak ramah kala itu. William memijiti keningnya kala teringat kembali pada momen kebersamaannya dengan Dina sewa
"Ugh. Kucing reseh, ... aku jadi kudu mandi lagi deh!" Jelita menggerutu sambil berdiri dan melilitkan lagi handuknya. Dia menoleh ke jendela dan berjalan ke sana sambil memegangi ujung handuk agar tak terlepas lagi dari tubuhnya. "Pasti kucing itu masuk lewat sini," gumamnya sambil menutup jendela. Saat sedang menggapai daun jendela, Jelita dikejutkan cahaya kilat yang memantul di kaca. Gadis itu terkesiap dan menengok ke arah langit, tapi langit kelihatan cerah dan tak ada tanda-tanda mau turun hujan. Juga tak terdengar suara gemuruh yang biasanya mengikuti cahaya kilat beberapa detik kemudian. Kening Jelita berkerut-kerut. "Terus, apa itu tadi ya?" pikirnya bingung. Melalui sudut matanya, tiba-tiba Jelita seperti melihat sesuatu dan dia cepat-cepat menoleh ke arah balkon rumah seberang, tapi tak tampak apa-apa. Namun entah kenapa dia seperti merasa sedang diawasi. Sementara itu di seberang sana, tubuh Bimo merosot lunglai di bawah jendela. "Njiir, ... hampir aja gue ketahuan!" o
Kerumunan orang asyik bergoyang di tengah suasana remang-remang dengan gelegar musik yang memenuhi ruangan yang disebut diskotek. Parfum bercampur keringat dan bau alkohol menjadi satu senyawa yang tidak bisa dihilangkan. Tubuh Bimo bergerak-gerak mengikuti irama musik yang mengentak keras. Jika duduk diam-diam saja malah membuat kepalanya jadi pusing. Toh gelegar sound system memang dibuat untuk memfasilitasi aktifitas motorik para pengunjung agar pas buat mengimbangi hentakan musik yang disajikan DJ. Bimo melantai di antara gadis-gadis yang juga haus hiburan malam sepertinya. Tubuh mereka bergerak bersama, berjoget mengikuti musik tak peduli enak ditonton atau tidak, yang penting asyik. "Bim ...!" panggil gadis bernama Windy di depannya. Bimo tersenyum, meskipun Windy belum tentu melihat senyumnya dalam keremangan cahaya. "Yup?" sahutnya sambil tetap berjoget, kemudian menahan tubuh berkeringat Windy yang tahu-tahu sudah menempel saja kepadanya. "Mau balik ke sofa?" tanya Bimo den
"Maaaju tak gentaar, menguuusir penyerang. Maaaju serentak hak kiiita diseraaang." Nyanyian Atika menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Menembus dinding. Menggetarkan ranjang Bimo yang sedang ingin tidur pulas. Bimo menggerutu sembari menarik guling menutupi kuping. Tapi nggak ngaruh! Suara Atika masih saja menembus gendang telinganya yang semalaman budeg oleh musik diskotek. "Ampuun dijaaaah," erangnya sambil menekan guling ke kupingnya kuat-kuat. Sudah suaranya fals banget, tapi orangnya sama sekali tak sadar diri. Lagunya ngajak perang banget pula. Tapi Bimo takut benjol kalau berani-beraninya menyuruh si kakak berhenti menyanyi. Sebab Atika tak bisa membedakan yang mana jidatnya Bimo dengan yang mana itu gong, suka main pentung seenaknya gitu loh! Alhasil jidatnya Bimo kerap bernasib sama seperti pentolan gong, alias benjol. Belum lagi nasib uang jajan tambahannya berada di tangan Atika. Buaya darat ini tak bisa eksis kalau fasilitas hidupnya di Jakarta sampai dibekukan sang ka