Share

6. Terketuk Iba

William merenggangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal setelah tak terasa sekian jam duduk di kursi dan bergelut dengan pekerjaan. Pria itu menutup laptop setelah hari menjelang malam. Dia merasa penat dan butuh kopi panas. Mulutnya hampir saja menyerukan nama Jelita, tapi kemudian dia teringat kejadian tak mengenakkan soal kopi tadi. "Kubikin sendiri saja," gumamnya sambil beranjak ke dapur.

Saat menyalakan kompor, keningnya berkerut dan mengecek gas. Kemudian dia baru teringat jika sepertinya tadi Jelita sempat membahas soal gas habis ketika menyela urusannya. William pun memakai ketel listrik untuk mendidihkan air. "Padahal tadi dia bisa pakai ini kalau gas habis." Tapi kemudian pria itu termenung dan memikirkan beberapa hal.

William menghela napas setelah menyadari sesuatu. Bagaimanapun Jelita asisten rumah tangganya yang baru dan benar-benar baru datang dari kampung. Gadis itu masih dalam proses adaptasi dengan rumah ini dan pekerjaan barunya, bahkan William lupa tidak memberitahu dulu beberapa hal yang akan menjadi standart pekerjaan Jelita di rumah ini, tentang kopi misalnya. Biasanya William selalu menerapkan sistem tandem jika akan terjadi pergantian asisten rumah tangga baru di rumahnya, sehingga selama ini dia tidak perlu repot-repot menjelaskan sendiri kepada mereka. Sedangkan keberadaan Jelita sebagai asisten rumah tangganya yang baru ini terlalu mendadak dan di luar rencananya. Namun William justru semena-mena memarahi saat gadis itu bertanya baik-baik karena betul-betul tidak tahu.

Ada rasa bersalah yang mencubit perasaan William dengan rasa tidak enak kepada Jelita. "Apa dia betulan nangis?" gumamnya sambil melirik ke lantai atas.

Pria itupun menaiki tangga, ingin menemui Jelita yang sedang berada di lantai atas. Mereka harus bicara baik-baik agar gadis itu tidak perlu ketakutan kepadanya sepanjang waktu. Namun langkah William seketika terpaku begitu kakinya sampai di anak tangga teratas dan mendapati Jelita sedang berbaring di sofa panjang sambil memeluk sebuah buku. Sepertinya dia ketiduran saat membaca.

William berjalan mendekat, ingin membangunkan Jelita. Sekonyong-konyong jantungnya berdetak dengan cara yang aneh begitu tatapannya mendarat pada seraut wajah innocent yang tertidur lelap ini. "Namamu sama dengan parasmu, sama-sama jelita." William berbisik teramat pelan.

Pria itu tersenyum kagum, tapi senyum di wajah tampan itu menyurut begitu Jelita bergerak dalam tidurnya, mengubah posisi dari telentang menjadi miring, saat itulah William melihat bekas luka bakar di sekitar bahunya yang tak sengaja tersingkap sedikit. Seketika dia terngiang ucapan Jelita sewaktu mereka mengobrol di meja makan tadi. "Gara-gara saya minta uang buat mengganti buku teman yang dijadikan emak buat alas gorengan, emak jadi marah banget. Kebetulan waktu itu emak lagi pegang termos air panas yang baru saja mendidih airnya, tiba-tiba ... diguyurkan ke saya."

Hati William diremas iba. Gadis ini sudah banyak menelan duka sejak belia. Tiba-tiba dia merasa jahat sudah membentak Jelita sekeras tadi di hari pertamanya bekerja di sini.

"Maaf. Aku tak bermaksud membentak dan membuatmu takut." William berkata lirih agar tak membangunkan Jelita yang terlihat letih. Dan entah bagaimana, tiba-tiba saja bibirnya sudah mengecup kening gadis itu dan William terkaget-kaget sendiri karenanya.

'Damn. What have I done ...!' William memaki diri sendiri seraya menyugar rambutnya dengan gusar. Pria itupun berjingkat pergi dengan membawa rasa tak enak dalam hatinya. Dia merasa seperti pria cabul saja, bisa-bisanya mencium gadis yang sedang tidur.

***

Berolahraga di atas treadmil menjadi kebiasaan William setiap hari. Keringat sudah membanjiri tubuhnya yang tegap atletis, namun tak tampak kelelahan dari raut wajahnya. Pria itu tampak menikmati rutinitas paginya yang membuat badannya bugar.

Sedangkan sejak pagi-pagi sekali, Jelita sudah berkutat dengan pekerjaannya membersihkan dan merapikan rumah sampai ke setiap sudut. Dan kini gadis itu sedang berada di dapur menyiapkan sarapan.

William menyusul Jelita ke dapur setelah selesai mandi dan berpakaian rapi. Sekarang dia butuh secangkir kopi.

"Lita, sini sebentar," panggil William sambil menuju lemari dapur dan mengeluarkan kedua tabung kopinya.

Jelita menoleh dan mendekati William yang segera berkata kepadanya, "Masing-masing kopi punya karakter tersendiri. Ini kopi arabika," katanya sambil menunjuk sebuah tabung. "Kopi ini warna hasil seduhannya tidak terlalu kental. Rasanya dari tingkat keasaman kopi lebih tinggi daripada tingkat kafein di dalamnya. Kopi ini lebih wangi dan lebih kaya rasa daripada kopi lainnya," jelasnya.

Kemudian William beralih pada tabung yang satu lagi, "Dan ini kopi robusta, karakter aromanya lebih kuat dan terasa kasar. Rasanya juga lebih pahit daripada kopi lainnya, tapi tidak lebih asam dari arabika. Jadi kopi ini cocok kalau dicampur dengan susu dan coklat saat penyajiannya, sebab rasa kopinya tidak akan kalah dengan rasa lainnya. Kalau sewaktu-waktu aku ingin kopi susu atau susu dengan coklat, pakai yang ini saja. Kamu juga boleh bikin buatmu sendiri kalau mau."

"Iya, Bang. Terima kasih."

William berkata lagi. "Oya, suhu air untuk menyeduh kopi itu idealnya antara 90 hingga 96 derajat Celcius. Di suhu ini kopi akan terekstrak secara optimal. Suhu yang lebih dingin bisa bikin rasa kopi terasa datar. Kopi yang dimasak pada suhu yang terlalu panas juga bisa menghilangkan kualitas rasa kopi tersebut. Jadi jangan langsung kamu tuangkan juga air yang baru mendidih banget ke dalam kopi, beri jeda waktu sebentar sebelum kamu tuang."

Jelita mengangguk-angguk dan diam-diam terkesima. Sepanjang pria itu berbicara, dia bisa mendengar nada lembut yang mengalun sabar kepadanya.

"Kamu mau kopi susu? Biar kubuatkan sekalian, kebetulan aku juga mau ngopi."

Jelita tertegun merasakan perhatian William yang kembali menghangat setelah bentakannya kemarin.

"Mau nggak? Malah melamun," tegur William sambil memasang ketel listrik yang sudah diisinya dengan air mineral. "Oya, kamu kemarin nggak tahu ya kalau ada ini pas kehabisan gas?" katanya lagi.

Jelita mengangguk dan tersenyum menerima tawaran baik William yang ingin menyeduhkan kopi susu untuknya.

"Tinggal dulu kerjaanmu, kita ngopi dulu." William mengedikkan kepala, mengajak Jelita ikut bersamanya menuju teras yang menghadap kolam ikan koi yang cantik di area taman belakang rumah.

"Rasa terbaik dari kopi akan terasa setelah 4 menit terjadi kontak antara kopi dengan air panas. Nah, ayo diminum." William berkata dan menyesap kopinya dengan nikmat.

Jelita ikut menyesap kopi buatan William untuknya. Sekonyong-konyong gadis itu merem-melek bukan karena keenakan, tapi justru karena bibirnya jontor kepanasan. 'Dih. Apa sih enaknya minum kopi panas-panas begini?' gerutunya dalam hati. Namun dia terpaksa memasang wajah asyik saat William menoleh padanya dengan selengkung senyum yang menarik.

***

Indy Shinta

Simpan buku ini di pustakamu, yuk. Kamu juga bisa mendukung penulis dengan cara klik vote. Terima kasih :)

| 4

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status