Pagi itu, Ariana duduk di tepi ranjang di kamarnya tengah menatap kosong ke arah jendela.
Tawaran Jason semalam masih terngiang jelas di pikirannya. Suaranya, tatapannya, bahkan jeda panjang di antara kata-katanya, seakan membentuk jerat yang membelit pikirannya.
Dia sudah menyebutkan angka itu—seratus ribu dolar—dan syarat yang membuat Ariana ingin menangis setiap kali mengingatnya.
Menjadi pemuas nafsu Jason. Hal yang tidak pernah ada dalam kamus hidupnya sekali pun.
Ariana menggigit bibirnya. Tidak, dia tidak boleh langsung menyerah begitu saja. Mungkin masih ada cara lain yang bisa membuatnya keluar dari jerat Jason.
Ia kemudian meraih ponselnya dan mulai menelpon satu per satu orang yang pernah dekat dengannya. Teman SMA, kenalan lama, bahkan beberapa rekan kerja di tempat lamanya.
Namun jawaban yang dia dapat hanya membuat hatinya makin terpuruk.
“Aduh, Ariana, bukannya aku tidak mau bantu, tapi uang sebanyak itu, aku pun tidak punya,” suara teman kuliahnya terdengar ragu.
“Sorry, aku pun sama, sedang tidak ada uang,” sahut yang lain singkat.
Ada pula yang bahkan tidak mengangkat teleponnya sama sekali.
Ariana menunduk seraya menahan air mata. Napasnya tersengal. Sementara waktu terus berjalan dan ancaman itu semakin dekat.
Ponselnya bergetar lagi, kali ini sebuah notifikasi masuk. Ia segera meraih ponselnya dan seketika itu matanya membelalak.
Pesan dari nomor rentenir itu: "Aku sudah di depan rumah ibumu."
Jantung Ariana seperti berhenti berdetak ketika melihatnya.
Tangannya gemetar saat dia menekan tombol telepon dan menempelkan ponsel ke telinganya.
“Tuan, jangan … jangan lakukan itu, saya mohon,” ucapnya dengan suara bergetar.
Suara dingin di seberang menjawab tanpa belas kasihan, “Janji tinggal janji, Ariana. Kau pikir aku main-main kemarin, hah? Rumah itu sudah jadi jaminan utang keluargamu.”
“Saya—saya akan bayar, tapi jangan sekarang. Beri saya waktu sampai sore ini!” Ariana memohon bahkan hampir menangis.
Keheningan sesaat di ujung sana membuat jantungnya berdegup kencang. “Jam enam sore. Kalau sampai lewat, rumah itu jadi milik kami. Titik!”
Klik. Sambungan terputus.
Ariana duduk terdiam sembari memegang ponselnya dengan tangan gemetar. Air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya jatuh.
Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tidak ada lagi pilihan untuk menyelamatkan rumah itu. Dia harus … menerima tawaran itu.
**
Sore harinya, Ariana berdiri di depan pintu ruang kerja Jason. Tangan kanannya terangkat, namun ragu untuk mengetuk. Ia bisa mendengar samar-samar suara pena menggores kertas di dalam sana.
Dengan tarikan napas panjang, dia akhirnya mengetuk pintu itu dengan pelan.
“Masuk.”
Jason duduk di balik meja kerjanya yang besar, tatapannya yang tajam mengamati setiap langkah Ariana.
“Sudah ada keputusan?” tanyanya kemudian.
Ariana menggenggam erat kedua tangannya di depan tubuh tengah mencoba mengumpulkan keberanian.
“Tentang tawaran semalam ….” Ariana tidak sanggup melanjutkannya.
“Saya mau, Tuan. Asalkan Tuan menepati janji Tuan. Saya ingin Tuan membayarnya dengan cash!”
Sudut bibir Jason terangkat sedikit, entah itu senyum atau sebenarnya ejekan. Ia berdiri lalu berjalan ke lemari besi di sudut ruangan. Ariana mengikuti gerakan itu dengan gugup.
Jason membuka brankas dan mengambil sebuah buku cek.
Ia duduk kembali dan mengisi nominal dengan gerakan mantap lalu menandatangani tanpa ragu.
Dengan satu gerakan tenang, dia menyodorkannya ke hadapan Ariana.
“Aku sudah tahu kau akan datang padaku,” katanya sambil menatap mata Ariana tanpa berkedip.
Ariana menelan ludah, tangannya sedikit gemetar saat menerima cek itu.
Rasanya seperti memegang kunci untuk menyelamatkan rumah ibunya, tapi sekaligus membuka pintu ke dunia yang membuatnya takut.
Jason kemudian bangkit dari duduknya dan menghampiri Ariana yang masih berdiri di sana. Matanya menatap lekat wajah Ariana dan menyunggingkan senyum misterius.
“Aku bukan pria tukang ingkar janji, apalagi setelah mendapatkan apa yang aku inginkan, Ariana,” bisiknya dengan suara beratnya.
Ariana membuka mulut, tapi suaranya tertelan saat Jason menggeser jemarinya dari pinggang ke punggung, lalu naik perlahan menyentuh tengkuknya.
Jason menunduk, napasnya menyapu kulit Ariana. “Katakan sekali lagi, Ariana. Bersedia menjadi pemuas nafsuku?”
Ariana menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengangguk dengan pelan. “Ya. Saya bersedia.”
Jason menyeringai. “Good! Kalau begitu, besok datang ke kamarku, pukul sepuluh malam.”
Siang itu, matahari bersinar hangat, tidak terlalu terik karena bayangan pepohonan rindang yang berjajar rapi di halaman rumah Adrian mampu meredam panasnya.Halaman rumah megah itu seolah taman pribadi dengan rumput hijau yang terawat, bunga-bunga berwarna cerah, dan sebuah kolam kecil yang airnya jernih memantulkan cahaya.Udara terasa sejuk, membawa aroma segar bunga mawar yang baru saja mekar.Ariana berdiri di tengah halaman, tengah meluapkan semua ucapan Berta yang penuh denga ancaman padanya.Dia masih membutuhkan pekerjaan ini. Tapi, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Ariana semakin merasa bersalah telah mengungkapkan isi hatinya pada Jason.Tatapannya menatap pada sosok kecil yang berlari-lari sambil tertawa lepas.“Ethan, hati-hati! Jangan terlalu jauh,” serunya sambil ikut berlari mengejar bocah itu.Ethan menoleh sambil terkikik, pipinya memerah karena kegirangan. “Ariana, tangkap aku kalau bisa!”Ariana tersenyum dan roknya sedikit tersibak ketika dia berlari cepat, m
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Pagi itu, udara di rumah besar milik Jason masih terasa dingin. Mentari baru saja merambat naik dan menembus tirai besar ruang makan.Ariana berjalan pelan membawa nampan sarapan untuk Ethan.Wajahnya tetap tenang, meski hatinya berdebar setiap kali melewati lorong-lorong rumah yang kini terasa penuh dengan bisikan dan tatapan menusuk.Ia bisa merasakan jelas bagaimana tatapan para pelayan mengikuti langkahnya.Tatapan sinis, penuh cibiran, seakan tubuhnya sudah telanjur diberi label hina.Ariana menarik napas panjang, lalu menunduk, berusaha mengabaikan semua itu.Ia sudah tahu, sejak peristiwa semalam ketika Jason membela dirinya habis-habisan, gosip tentang statusnya pasti akan semakin menyebar.Tidak lagi sekadar pengasuh Ethan. Semua orang kini tahu, dia juga dianggap sebagai “pembantu pemuas nafsu” majikan mereka.Ariana menelan ludahnya lalu menghela napasnya dengan panjang. ‘Inilah risiko yang harus kuhadapi,’ pikirnya getir. ‘Selama aku
Hari ketujuh sejak kejadian penculikan itu akhirnya tiba. Dokter datang pagi-pagi ke kamar Ethan untuk memeriksa kondisinya dengan saksama.Ariana berdiri di samping ranjang sambil menggenggam tangan kecil itu dengan cemas.Jason juga ada di sana, punggungnya bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, wajahnya tetap dingin dan sulit terbaca.“Syukurlah, kondisi fisiknya stabil. Trauma memang masih ada, tapi secara medis Ethan sudah bisa pulang hari ini. Asal dijaga ketat, dan jangan dibiarkan sendirian terlalu lama,” ujar dokter dengan nada hati-hati.Ariana mengangguk patuh. “Terima kasih, Dok.”Ethan menoleh dengan senyum kecil yang masih tampak lemah. “Ariana, kita bisa pulang, ya?”Ariana membelai rambutnya lembut. “Iya, Sayang. Kita pulang.”Jason hanya memberi anggukan singkat pada dokter sebelum keluar sebentar untuk mengurus administrasi.Ariana memperhatikan punggung tegap pria itu menghilang di balik pintu.Hatanya terasa sesak. Sudah tiga hari penuh ia tidak benar
Malam turun perlahan menutup kota dengan cahaya lampu jalan yang berpendar di balik kaca mobil.Jason duduk di kursi belakang sedan hitamnya, bahunya tampak tegap tapi wajahnya muram. Jemmy, yang duduk di depan, melirik lewat kaca spion.“Tuan, kita langsung ke rumah?” tanya Jemmy dengan hati-hati.Jason tidak segera menjawab. Tatapannya menerawang keluar jendela, mengikuti jejeran gedung tinggi yang berkilau namun terasa dingin.Bayangan wajah Ariana muncul begitu saja, sorot matanya tadi ketika dia berdiri kaku di pintu kamar rawat Ethan. Wajah itu begitu rapuh sekaligus penuh keberanian.Jason menghela napas berat. “Ke kantor dulu,” jawabnya singkat.Jemmy tidak berkomentar, hanya mengangguk dan mengarahkan mobil menuju gedung perusahaannya.Selama perjalanan, hanya keheningan yang merayap di sana. Jason tampak menatap kosong ke depan, sementara Jemmy sibuk melirik raut wajah Jason kemudian menghela napasnya.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di kantor. Jemmy mengikuti Jason dar
Koridor rumah sakit sore itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Perawat berlalu-lalang, suara roda troli obat berderit di lantai, dan bau antiseptik menyengat menusuk hidung.Di depan pintu kamar Ethan, dua bodyguard Jason berdiri tegak dengan jas hitam, wajah mereka keras tanpa ekspresi.Tiba-tiba langkah tergesa terdengar mendekat—hak sepatu beradu lantai dengan irama cepat.Violeta.Wanita elegan dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan itu melangkah dengan wajah merah padam. Matanya berkilat, bibirnya terkatup rapat penuh amarah.“Apa kalian pikir bisa menghalangiku?!” bentaknya pada para bodyguard. “Aku nenek anak itu! Singkirkan tubuh kalian dari depan pintu ini!”Salah satu bodyguard menggeleng dengan sopan. “Maaf, Nyonya Violeta. Perintah langsung dari Tuan Jason, Anda tidak boleh masuk.”“Apa?!” Violeta hampir berteriak. “Dia anakku! Itu cucuku! Apa Jason sudah kehilangan akal sehatnya sampai melarang ibunya sendiri?!”Ia mencoba menerobos, tapi kedua bodyguard dengan sigap
“DIO, PENCULIK ANAK PENGUSAHA TERKENAL JASON LUBIS, JADI BURONAN POLISI!”Tidak hanya di media cetak, berita itu juga memenuhi layar televisi, portal daring, hingga trending di media sosial.Foto Dio terpampang jelas dengan label “DPO – Daftar Pencarian Orang”.Polisi membuka sayembara bagi siapa pun yang bisa memberikan informasi keberadaannya.Di ruang kerjanya, Jason duduk santai di kursi kulit hitam tengah menatap layar televisi besar yang menayangkan siaran langsung.Liputan itu memperlihatkan barisan polisi sedang memasang poster wajah Dio di beberapa titik kota.Sudut bibir Jason terangkat membentuk seringai puas. Tangannya mengetuk-ngetuk meja pelan, seolah sedang memainkan irama kemenangannya sendiri.“Lihatlah,” gumamnya dingin nyaris seperti desisan. “Salahmu karena berani mengganggu hidupku.”Ia lalu bersandar dan matanya berkilat penuh kemenangan. Baginya, menjadikan Dio buronan adalah langkah pertama menuju kehancuran total musuh lamanya itu.Baru saja dia hendak mematik