Setelah kepulangan kunjungan beberapa orang dari kampus. Sekarang hanya ada Bara dan Nia saja. Kecanggungan mulai dirasa gadis itu. Sesekali melihat layar ponselnya hanya sekedar untuk melihat apa ada pesan atau telepon masuk. Padahal Nia sadar itu kemungkinan kecil.Akan tetapi mata elang Bara menyadari hal itu. Tidak lagi hanya diam, sang Rektor mulai bersuara.“Kalau mau pulang, pulang saja!”“Hah?”“Iya, kamu dari tadi lirik-lirik ponsel saja. Apa itu artinya kalau kamu mau pulang tapi sungkan sama saya kalau bilang begitu!” jelas Bara karena Nia sepertinya belum paham.Nia mengeleng seraya tersenyum simpul. “Kalau saya pulang, Bapak sama siapa?”“Ternyata sok perhatian juga nih cewek,” batin Bara tersenyum dalam hati.“Sudah, pulang saja kalau mau pulang!” tekan Bara sambil melirik Nia. “Tapi beneran kamu gak ada yang luka atau lecet mungkin?”“Ehm ... gak ada,” jawab Nia mengelengkan kepalanya. Saat mata Bara tidak sengaja melihat sedikit noda di balik jaket yang dikenakan Nia.
“Semuanya lima puluh lima ribu rupiah,” ucap sang sopir taxi pada Nia.“Ini, Pak.” Nia menyerahkan uangnya seraya mengucapkan. “Terima kasih, Pak.”“Sama-sama. Terima kasih juga, Non!”“Iya, sama-sama, Pak.”Setelah mengucapkan itu, Nia bergegas untuk membuka pintu dan turun. Berputar melewati bagasi belakang menuju pintu sampingnya, membukanya lalu dengan dibantu Pak sopir untuk memapah sang majikan turun dari taxi.Sampai di depan pintu, mendadak Bara menghentikan langkahnya. Dia ingin berusaha untuk berjalan sendiri tanpa bantuan untuk masuk rumah.“Sudah, sampai sini saja, Pak!” pinta Bara kemudian menarik lengannya dari bahu seorang sopir taxi itu. “Terima kasih atas bantuannya.”“Sama-sama, semoga lekas sembuh,” ujar sang sopir seraya mengangguk.“Iya, Pak. Terima kasih doanya.” Bara membalas dengan tersenyum juga.Nia sudah membuka pintu ketika sang sopir tadi pergi dan sekarang Bara bersiap melangkahkan kakinya untuk masuk. Baru dua langkah tiba-tiba punggungnya yang terluka m
Mengabaikan nasi dalam piring itu sekarang mata Nia tertuju pada wajah Bara yang sedang tertidur. Wajah ini baru kali ini Nia lihat dengan jarak yang dekat. Wajah yang tampan, dengan rahang yang tegas, bibir yang tebal, alis yang seperti pedang namun sebenarnya dia memiliki sorot mata teduh.Nia tersenyum sendiri menyadari tindakannya yang sedekat itu dengan Bara. Mungkin kalau posisi sadar dia palingan sudah dimaki-maki oleh sang Rektor. Akan tetapi rupanya keberuntungan sedang tidak berpihak padanya karena tiba-tiba Bara membuka matanya sekaligus bibirnya juga.“Puas memandangi wajah saya, hah!”Nia bergegas memalingkan wajahnya setelah mendengar suara bariton Bara. Sungguh dia sekarang sangat malu sekali hingga tidak mau bertatapan mata dengan Bara. “Ehm, saya sudah menyelesaikan pekerjaan saya,” ucap Nia untuk mengalihkan atensi Bara.“Lalu?” tanya Bara ingin tahu apa yang akan dilakukan Nia selanjutnya.“Sa-saya mau pulang, Pak,” ucap Nia dengan menunduk sepertinya dia belum bisa
“Astaghfirullah!” Nia langsung membuka mata lalu mengambil duduk bersandar pada sofa dengan napas terengah-engah.Bukan lagi di kamar, nyatanya gadis ini tidur di sofa di depan TV dan tidak mengindahkan perintah Bara untuk tidur di kamar sebelah dapur.Matanya mengarah pada jarum jam yang menunjukkan pukul satu dini hari. “Ah, mungkin Allah ingin aku bangun dan sholat ini,” gumam Nia segera berdiri dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan mengambil wudhu.Kaki Nia dia langkahkan menuju ruangan kecil yang bersih, suci dan banyak terdapat ukiran ayat-ayat Allah. Di rumah ini memang Bara menyediakan mushola meski jarang di tempati karena lebih sering sholat di kamar sendiri meskipun begitu tetap selalu dibersihkan setiap hari. Nia melaksanakan kewajiban sholat malamnya dengan khusyuk, beda dengan di kost yang meski tengah malam masih ramai saja. Di akhir sholatnya gadis itu memanjatkan doa untuk dirinya sendiri dan kedua orang tuanya.Usai sholat Nia kembali ke sofa karena
“Pak, itu kenapa tidak dipakai,” pekik Nia masih menutup matanya. “Aduh, Bapak bikin mata saya ternoda saja.”Tidak tahu bagaimana wajahnya kesalnya sekarang mendapati pembantunya melihat bagian bawah tubuhnya yang polos. Malu, kesal dan ingin lari saja sejauh mungkin di posisi ini, tentu saja itu keinginan Bara.Namun nasi sudah menjadi bubur dan gak bakal bisa diganti nasi. “Kamu sendiri ngapain main nyelonong saja, kan saya belum suruh kamu masuk,” sentak Bara dengan emosi yang tinggi. Tentunya pria itu seakan sudah berkurang rasa kepercayaan dirinya.“Sial, kamu sudah melihat harta saya yang paling berharga ini, Nia!” batin Bara jengkel. “Aku pastikan suatu saat kamu akan jadi milikku karena kecerobohanmu melihat milikku.”“Ya, sudah saya mau pergi saja,” ucap Nia membalik badannya hendak keluar namun ucapan Bara menghentikannya.”Nia, saya tidak bisa berdiri ini,” bentak Bara lagi sepertinya dia sudah tidak bisa sabar lagi menghadapi Nia. “Kamu koq malah mau ninggalin saya, hah!”
Ting ... tong ... ting ... tong ...Detingan bunyi bel, membuat Nia terperanjat. Pasalnya di rumah ini tidak ada orang lain lagi yang akan membuka kan pintu kalau bukan dirinya.Kondisi Bara yang sakit juga tidak memungkinkan untuk berjalan dan membuka pintunya sendiri. Pada akhirnya dia yang harus membukanya tapi sebelum benar-benar berada di depan pintu dia memastikan siapa tamunya dengan mengintip di balik gorden besar di sebelah pintu.Kedua mata Nia membola terkejut ketika mendapati beberapa warga kampus berada di depan rumah mewah ini. “Aduh, koq mereka datang lagi, tambah banyak juga,” gumamnya.Tidak langsung membuka, kaki yang kecil dengan langkah lebar menuju kamar Bara untuk memberitahu kalau ada tamu untuknya.“Pak, Pak Bara ...!” Nia mengetuk pelan kamar yang sekarang sedang dihuni oleh majikannya itu.“Masuk,” sahut Bara setelah beberapa detik berlalu.Nia membuka dengan pelan dan mencari keberadaan Bara.“I-itu di luar ada tamu!”“Siapa?”“Dari kampus, banyak lagi!”“Ha
“Sudah ya, Pak. Saya tidak mau menyamar lagi!”“Kalau tidak terdesak, saya juga tidak mungkin memintamu seperti itu.”“Ya, saya seperti menipu diri saya sendiri.”Bara menghela napas, sebelum mengatakan kata-kata yang akan membuat Nia kembali mengingat kejadian itu. “Ya, hitung-hitung balas budi kamu. Secara saya seperti ini juga karena kamu!”“Iya, saya tahu harus membalas kebaikan Bapak tapi tidak dengan cara menyamar juga,” sahut Nia saat Bara mulai perhitungan dengannya.“Nah itu tahu.”Mengabaikan ucapan terakhir Bara, Nia malah memutuskan untuk bertanya apa yang harus dia kerjakan lagi.“Ya sudah, apa yang harus saya kerjakan lagi?” tanya Nia memandang wajah Bara yang meliriknya.“Luka kamu bagaimana?”“Hah?”Bukan lagi tertuju pada wajahnya, ketika pria itu menatap sebelah pinggang Nia.“Luka kamu bagaimana?” tanya Bara. “Apa sudah sembuh? Saya pikir kamu tidak perhatian karena terlalu perhatian untuk merawat sa-”“Saya kuat koq, Pak!” kata Nia seraya tersenyum sinis.“Biar say
Setelah kejadian pelukan itu Nia merasa sangat canggung sekali ketika harus berhadapan dengan Bara. Biasanya Nia yang bersikap santai mendadak menjadi canggung. Bahkan biasanya Nia kalau menyiapkan obat selalu memberikannya langsung ke tangan Bara namun kali ini berbeda, dia meletakkan di hadapan Bara yang bisa pria itu jangkau.“Kamu marah?”Pertanyaan yang dilontarkan Bara itu tentu membuat Nia bertambah gugup saja. Namun sebisa mungkin dia tidak akan tampakan. Sebenarnya Nia tidak terlalu menganggapnya masalah besar karena dia paham posisinya waktu itu Bara mengucapkan nama Mama. Jadi bisa diartikan kalau saat ini Nia dianggap sebagai Mamanya bukan memang niatan untuk memeluknya.“Eng-gak, karena saya tahu waktu itu mungkin Bapak anggap saya adalah Mama Pak Bara!” jawab Nia singkat. “Obatnya segera diminum.”“Kasih ke tangan saya, Nia!” perintah Bara.“Aduh, ini orang paling sengaja buat akau tambah gugup aja!” batin Nia.Dengan patuh Nia menuruti keinginan Bara hingga pria itu sel