Share

Majikan yang Seperti Malaikat

Lima hari sebelumnya.

"Sekar, selamat ya berkas kamu sudah disetujui oleh pihak keluarga Pak Wijaya. Itu artinya, kamu sudah bisa mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah mereka." Sarah tiba-tiba masuk ke pantry tempat kami berkumpul.

"Ibu serius? Bukannya kemarin ditolak, ya?" tanyaku tak percaya

"Yah, katanya kandidat sebelumnya mengundurkan diri. Sebenarnya kamu itu statusnya cadangan sih, makanya begitu kosong, kamu langsung diterima," jawabnya sambil menuangkan kopi sachet ke mug andalannya.

"Jadi, kapan saya mulai masuk kerja, Bu?"

"Wih yang sudah tidak sabar bekerja di rumah konglomerat," ledek Sarah. "Sabar ya, katanya, besok Nyonya besar alias istri dari Pak Wijaya mau bertemu kamu dulu."

"Lho, katanya saya sudah diterima? Bukannya saya juga sudah interview tiga kali ya? Bahkan sama Nyonya, siapa itu nama istrinya? Bu Deana? Itu juga sudah kan?" ujarku memastikan.

"Ih santai kali, Kar. Ini itu bukan wawancara, katanya sih beliau mau memberitahu tugas kamu itu apa saja selama di sana, jadi waktu sudah kerja kamu itu sat set sat set begitu lho."

Sarah merupakan kepala bagian personalia yayasan, tempat penyaluran jasa bagi orang-orang yang membutuhkan asisten rumah tangga dan baby sitter. Makanya aku memanggilnya 'Bu Sarah' agar terkesan formal.

Kalau di luar, dia itu merupakan sahabatku, sebab kami berasal dari daerah yang sama dan juga pernah satu sekolah saat di bangku SMP. Kami bertemu kembali saat aku masuk yayasan ini dan tempat ini adalah milik orang tua Sarah.

"Oh, siapa tahu? Hehe." Aku meneguk kopiku yang sudah dingin.

"Ya sudah, nanti sore aku kabari lagi untuk besok. Pokoknya jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Gajinya lumayan lho, dua kali lipat UMR sekarang! Jangan bikin malu yayasan juga, pokoknya aku percaya sama kamu, Kar."

"Siap, Bu Sarah yang cantik bagai bidadari."

"Gila kamu, Kar. Amalan apa yang kamu lakukan selama ini sampai diterima bekerja pada keluarga Pak Wijaya," celetuk Ranti, salah satu rekanku.

"Tiap malam jumat tidur di pohon sawi," sahutku asal.

"Hah? Yang bener kamu, Kar," tambah Yuni. "Eh, tapi bener sih! Aku juga iri sama kamu, beruntung sekali kamu bisa bekerja di keluarga itu. Aku dengar-dengar juga, asisten lama yang berhenti itu sampai dibelikan rumah lho sama istrinya Pak Wijaya," sambungnya.

"Ck, sudah lah jangan ghibah, dosa! Aku balik duluan ya, persiapan bertemu calon majikan besok," kataku.

Setelah berpamitan pada mereka, aku bergegas pulang mengendarai roda dua butut milik Ayahku. Yah, aku belum punya sepeda motor sendiri. Belum mampu beli.

Di usiaku yang sudah 29 tahun ini, sebenarnya aku malu pada orang tuaku, sebab belum bisa membahagiakan mereka dan malah justru jadi beban keluarga. Tetangga? Ah, jangan ditanya. Setiap hari kupingku panas kalau sudah di rumah. Kenapa? Sudah pasti karena aku selalu jadi bahan gunjingan mereka.

Maka dari itu, aku pergi merantau ke kota tetangga guna mencari pekerjaan yang lebih layak dan tentu saja untuk menghindari mulut pedas bak seblak level setan yang terus-terusan ada di sekelilingku.

"Baru pulang, Neng?" sapa Bu Rini, Ibu kostan tempat aku tinggal.

Aku memarkir kendaraan di halaman kost yang memang khusus dibuat untuk parkir kendaraan milik penghuni tempat ini. "Iya, Bu. Mari, saya masuk dulu," jawabku berusaha ramah dengan senyuman.

"Eh tunggu, Neng, tadi ada kang paket yang cari. Sebentar, ya." Bu Rini masuk ke rumahnya kemudian kembali dengan sebuah box cukup besar di tangannya.

Sebenarnya, aku tidak ingat pernah pesan atau beli barang daring.  Ya sudahlah aku terima saja dulu, malas kalau harus berlama-lama di sini. Masalahnya, Bu Rini ini suka sekali bercerita, capek juga kalau disuruh mendengar cerita random dari dia.

"Oh, iya, Bu. Terima kasih ya, bayar berapa ini, Bu?"

"Katanya sudah dibayar kok, Neng." 

"Begitu ya? Kalau gitu saya permisi ya, Bu. Mari," ucapku sambil mengangguk pelan.

Sampai di kamar kost tercintaku yang hanya berukuran 3X4, aku penasaran apa isi box itu. Tertulis di sana kalau paket itu dikirim memang untukku, lalu setelah melihat nama pengirimnya aku lumayan terkejut.

"Dari Deana Daviena? Bukannya ini? Wah, belum apa-apa aku sudah dapat hadiah, kira-kira apa isinya ya?" Bibirku merekah saat tahu yang mengirimkan paket ini adalah calon majikanku.

Dengan hati-hati aku membuka selotip demi selotip yang terpasang rapi di sana, takut rusak, lagipula kan lumayan kardusnya bisa dijadikan tempat untuk menyimpan make up milikku yang tidak seberapa itu.

"Wah, cantiknya. Bu Deana pintar sekali memilih, benar-benar sesuai seleraku. Pasti harganya mahal." Aku kaget setengah mati saat melihat isinya yang ternyata adalah satu stel pakaian, lengkap dengan sepatu dan juga tas.

"Gila! Apa benar ini buatku? Aku pikir isinya daftar pekerjaanku selama di sana. Wah! Yuni benar kalau aku ini sangat beruntung bisa bekerja di sana."

Setelah cukup terpesona dengan blouse berwarna putih itu, aku dibuat kaget lagi, karena ternyata isinya bukan hanya ini saja. Di bawah tumpukan baju yang terlipat rapi, ada satu box skincare dengan merk 'Dean's Beauty'.

"Astaga, sepertinya dia ini malaikat berwujud manusia. Kebetulan sekali, sudah dua bulan aku tidak merawat wajah karena semuanya sudah habis tak bersisa. Eh, sepertinya ini surat?" Aku mengambil sepucuk surat yang terselip di sela-sela kotak itu lalu membukanya.

Dear, Sekar

Selamat datang di keluarga Wijaya, sampai jumpa besok jam 10 a.m di cafe Xxword.

P.s jangan lupa pakai hadiahnya ya ♡

Fix. Aku rela bekerja disana seumur hidupku.

***

Besoknya, aku sudah siap dengan penampilanku yang tampak berbeda dari biasanya. Tak lupa ku lingkarkan jam tangan hadiah dari Sarah, ketika aku menjadi pegawai paling teladan tahun lalu.

"Pokoknya hari ini jangan ada kesalahan, jangan membuat Bu Deana ilfil, jangan bicara sembarang, jangan makan banyak, jangan tertawa terlalu keras, jangan-"

"Oy, Kar! Kamu di dalam? Pinjam catokan dong, Kar, ooo, Sekar!"

Astaga, bikin kaget saja. Kebiasaan Nilam setiap pagi selalu saja pinjam catokan rambut. Ck, padahal gajinya sebagai sekretaris lebih besar dariku yang cuma ART, kenapa sih dia tidak beli sendiri saja? Menyusahkan sekali.

"Ya, sebentar!" sahutku dari dalam.

Setelah menemukan apa yang kucari, aku membuka pintu kamarku. "Nih, bawa saja sana tidak usah dikembalikan, besok juga kamu pinjam lagi 'kan?" kataku sedikit kesal.

"Hehehe, jangan begitu dong. Insentif belum cair nih, nanti aku beli deh kalau sudah masuk rekening ya, ya, ya?" bujuknya.

"Hmm, terserah!" jawabku malas.

"Eh sebentar, kamu mau kemana, Kar? Tumben rapi, waw baju baru ya? Eh, ini dapat dari mana? Astaga, Sekar! Jangan bilang sekarang kamu jadi simpanan sugar daddy, ya?" Nilam terkejut melihat aku menenteng tas yang ku tahu pasti harganya tidak murah.

"Hust!? Ngomong apa sih? Jangan ngawur! Aku itu mau kerja! Hari ini mau ketemu bos, ini semua hadiah dari dia, bosnya cewek, sudah jelas?" 

Nilam ini memang mulutnya licin seperti minyak goreng, tapi aku sudah terbiasa dengannya. Biarpun begitu, dia wanita yang royal sekali denganku. Setiap dapat bonus dari atasannya, tak lupa dia selalu mengajakku untuk makan enak di luar. Makanya aku tidak bisa marah padanya. Murahan sekali sih aku ini, disogok mie ayam grobakan saja aku luluh.

"Oh begitu, enak sekali sih, Kar. Eh, ngomong-ngomong naik apa kamu perginya? Mau aku antar?"

"Tidak usahlah kan aku ada motor."

"Gak salah kamu? Dandanan sudah modis begini mau naik motor butut itu?"

Ck, lagi-lagi mulutnya setajam silet, tapi ada benarnya juga sih perkataan Nilam. Yang ada Bu Deana ilfil lagi melihat motor jadul itu. Sepertinya aku harus mengiyakan ajakan Nilam, lumayan kan bisa hemat ongkos bensin.

"Ya sudah deh, tapi jangan lama-lama ya nyatoknya, telat nanti aku."

"Beres, 5 menit lagi aku kesini oke."

Akhirnya aku jadi pergi diantar Nilam menggunakan mobil kantornya. Beruntung sekali Nilam bisa kerja di perusahaan besar, sampai dapat fasilitas mobil segala. Yah, aku juga harus bersyukur kan karena sebentar lagi hidupku akan terjamin kedepannya.

"Eh, berhenti di sini saja, Lam," ucapku pada Nilam yang menyetir

"Yakin tidak sampai depan sana? Tanggung lho ini?" tanyanya.

"Tidak usahlah, aku takut bosku berpikir macam-macam kalau dia melihat aku naik mobil."

"Ada-ada saja sih, ya sudah kalau begitu hati-hati ya. Semoga sukses di tempat kerja yang baru. Semangat, Kar!" Senyum tulus terpancar dari wajah manis Nilam.

"Terima kasih ya, kamu juga hati-hati di jalan, dah." Aku menutup pintu mobil Nilam lalu beralih ke tepi jalan.

Sambil mengatur napas, aku memeriksa kembali penampilanku sekarang. Jujur, aku deg-degan seperti ingin kencan dengan pacar. Ah bicara apa sih? Aku bahkan lupa bagaimana rasanya kencan.

Aku melangkah menuju cafe yang bernuansa monokrom tepat di seberang jalan. Di halaman parkir tidak ada mobil, hanya ada satu buah sepeda motor matic. Apa Bu Deana belum datang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status