Share

Kejutan yang Tak Terduga

Benar, tempat ini masih sepi, hanya ada satu orang pegawai di balik meja kasir dan satu orang barista muda nan tampan. Tidak ada satupun customer selain aku, hingga ku rasakan ponselku berdering tanda notifikasi pesan. Rupanya dari Sarah yang mengingatkan aku, sepertinya dia khawatir kalau aku lupa ada janji temu hari ini. Memang sih, sifat pelupa ku ini cukup kadang mengganggu.

"Selamat pagi, Sekar." Suara manis dan lembut terdengar menyapaku.

Reflek aku berbalik dari posisiku sekarang. "Siapa? Eh, astaga, Bu Deana, maaf, saya-" Astaga aku kaget sekali sampai tidak bisa berkata-kata.

"Ayo, sebelah sini," ajaknya.

Sumpah, majikanku ini benar-benar definisi bidadari tak bersayap. Dilihat dari sudut manapun, beliau ini sangat sempurna untuk ukuran seorang wanita. Ini pertemuan kali kedua ku dengannya, dua kali pula aku terpesona dengan penampilan anggunnya.

Kami sampai di meja nomor 7 tepat di samping kaca besar yang menghadap ke jalan raya. Jantungku sebenarnya dari tadi tidak bisa berhenti berdebar, semoga saja hari ini berjalan dengan lancar.

"Sudah lama, ya?" Bu Dean bertanya.

"Apanya, Bu? Oh, Astaga maaf. Tidak Bu, saya juga baru sampai." Bodoh sekali aku sampai tidak konsen begini.

Dia tersenyum. "Kamu suka minum apa? Kita santai saja, ya."

"Ah, umm saya air putih saja, Bu,"

"Yakin? Bagaimana kalau cappucino? Panas atau dingin?" tanyanya lagi.

"Dingin," jawabku asal.

Kemudian dia memanggil waiter untuk mencatat pesanan kami. Setelahnya dia mengajakku berbicara banyak hal, mulai dari bertanya tentang hobiku, cita-cita saat aku kecil, dia pun sebaliknya sangat terbuka denganku tentang kesehariannya.

Tak terasa aku terbawa suasana, kami tertawa bersama seperti teman yang sudah lama saling kenal. Tiba-tiba hatiku bertanya, apa tidak apa-apa begini? Apa jangan-jangan Bu Deana sedang mengetesku saja? Ah tidak tahulah.

Setelah menghabiskan minuman dan camilan di meja, dia mengajakku untuk ke rumahnya. Apakah aku langsung bekerja hari ini juga? Namun, sedari tadi dia tidak menyinggung soal apa tugasku nanti.

"Sekar, kamu bisa menyetir mobil?"

"Sebenarnya bisa sih Bu, cuma saya belum punya SIM dan juga belum terlalu lancar kalau di jalan raya," sahutku.

"It's okay, kamu bisa belajar nanti, hari ini perdana saya yang menyetir untukmu. Tapi besok kamu harus bikin SIM, ya," titahnya.

"Baik, Bu." Ah, aku jadi tidak enak. Apakah ini mengurangi poinku di mata Bu Deana?

Singkat waktu, mobil alphard milik majikan baruku sudah memasuki halaman rumah mewah bernuansa klasik, yang didominasi warna putih dengan pilar-pilar raksasa sebagai tiang penyangga. Aku dibuat takjub dengan sekeliling rumah yang nampak asri dan hijau terawat. Ini adalah rumah termewah yang pernah aku lihat secara langsung selama hidupku.

"Ayo, Sekar." Bu Deana membuatku tersadar dari lamunan.

"Baik, Bu," jawabku.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang menuju pintu utama. Baru kali ini aku diperlakukan pertama kali seperti seorang tamu, biasanya aku selalu masuk lewat pintu belakang saat pertama kali bekerja di rumah orang kaya lainnya.

Begitu masuk, kami disambut dua buah patung naga yang melingkar di pilar utama rumah ini. Mataku dibuat tak berkedip memandangi setiap inci interior istana ini, beginikah rasanya tinggal di rumah mewah? 

"Sekar? Kenapa bengong? Ayo ke sini."

Astaga, tanpa sadar aku malah melamun lagi. "Maaf, Bu, saya takjub dengan rumah ini,"

"Ah, biasa saja kok. Ayo saya kenalkan dengan yang lain."

Ayo fokus Sekar! Jangan terlena dengan keindahan semata, toh lama-lama pasti aku akan terbiasa karena setiap hari melihat pemandangan ini.

Akhirnya aku bertemu dengan para pekerja di rumah ini selain diriku. Jumlahnya ada 3 orang perempuan, khusus bagian dalam.  Katanya bagian luar ada sendiri, entahlah nanti juga akan dikenalkan. Setelah berkenalan, aku diantar langsung oleh Bu Deana menuju kamar tidurku. Tunggu, apa itu artinya, aku akan menginap di sini dan tinggal di rumah ini?

"Maaf, Bu, saya izin bertanya, apakah itu berarti saya akan tinggal di sini?"

"Lho, apakah kepala yayasan tidak memberitahu? Selama bekerja denganku, kamu harus menginap, Sekar. Apa kamu keberatan?"

"Ah, tidak kok, Bu. Justru saya senang, itu artinya saya bisa hemat uang sewa," jawabku sumringah.

"Syukurlah, kalau begitu istirahat saja dulu. Satu jam lagi saya akan kembali untuk memberitahu tugasmu selama di sini, sekalian untuk tanda tangan kontrak kerjamu, ya. Sekarang saya harus ke kantor untuk meeting," jelasnya.

"Siap, Bu. Oh iya, apa saya boleh berkeliling sebentar?"

"Tentu, silahkan saja. Jangan sungkan, ya karena kamu sudah jadi bagian keluarga ini. Saya pergi dulu,"

Luar biasa! Kalau majikannya begini sih, aku rela mengabdi seumur hidupku untuk melayaninya. Aku benar-benar beruntung sekali, dengan begini aku bisa rutin mengirim uang pada orang tuaku di kampung.

Setelah Bu Deana pergi, aku menaruh tasku di kamar yang ternyata lebih besar daripada kamar kosku. Ini sih bukan kamar pembantu, tatanan ruang yang rapi, kasur besar dengan AC dan lemari baju, ditambah kamar mandi dalam, ada bathup pula. Ini sih seperti kamar di hotel yang sering aku lihat di y**tube.

Sudah puas leha-leha di kamar sambil memainkan gawai, kulihat jam di dinding sudah menunjuk angka 12. Aku ingin berkeliling rumah ini sekalian sok akrab dengan Art yang lain.

Kamarku terletak di lantai 1 dekat dengan kolam renang. Saat melewatinya, aku melihat seseorang yang sedang berenang di sana, siapa dia entahlah, aku tidak ingin mengganggu. Mungkin dia suami Bu Deana alias Pak Wijaya.

Melewati kolam renang, aku sampai di ruang tengah atau ruang utama. Ku perhatikan setiap lukisan yang terpampang di dinding putih itu, rupanya Bu Deana menyukai seni. Hingga mataku berhenti pada satu buah bingkai besar berwarna hitam yang menampilkan Bu Deana dengan gaun pengantin putih. Cantik sekali, laki-laki mana yang beruntung bisa mendapatkan hati bidadari seperti dia?

Penasaran dengan wajah Pak Wijaya, aku mengalihkan pandanganku pada pria di sebelahnya. Sungguh, saat itu juga rasanya darahku berhenti mengalir. Nafasku sesak, tanganku gemetar dan rasa tidak nyaman menjalari sekujur tubuhku, saat melihat pria itu. Dia adalah Bima. Orang yang pernah mengisi hari-hariku 13 tahun yang lalu, mantan pacarku saat SMA.

Ya Tuhan, rasanya aku ingin resign saja dan menghilang dari dunia ini untuk selamanya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status