Share

Part (4)

Selang dua jam setengah, mereka semua berangkat ke pemakaman. Dahlia menatap peti Ibunya.

Air matanya terus mengalir di sela-sela proses pemakaman. Matanya memperhatikan dengan jelas tubuh Ibunya mulai di kubur di dalam tanah. Batu nisan itu menancap di atas makam Ibunya.

Belle berjalan sendirian di koridor.

Dahlia sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kelas.

Belle duduk di bangku dekat tangga. Seakan sedang menunggu seseorang, ia melirik jam di tangannya.

Menunggu memang berat.

Belle memperhatikan langkah kaki yang berjalan mendekatinya, itu Elvan.

Dengan senyuman di bibirnya, Belle berdiri menyambut Elvan.

“Hai, lama tidak bertemu.” sapa Elvan.

Ia duduk di sebelah Belle, memperhatikan wajah yang dirindukannya selama ini.

“Hai, kau selalu menghilang dan sekarang tiba-tiba ingin bertemu?” tanya Belle.

Saat sedang di kantin, satu teman Elvan memintanya untuk datang ke dekat tangga. Ia bersusah payah membuat Dahlia masuk terlebih dahulu ke dalam kelas.

“Ayahku sakit, kami harus keluar kota untuk pengobatakan.” jawab Elvan.

“Bagaimana kondisinya sekarang?”

“Lumayan membaik, maaf aku tidak memberimu kabar.” ulas Elvan.

“Tidak masalah, kesehatan keluargamu lebih penting.” sanggah Belle.

Keluarga Elvan masih utuh, tak retak seperti keluarganya.

“Kau juga penting,” Elvan menatap Belle, “mau pulang bersama nanti?”

Belle menatap heran kepada Elvan, pria itu terlalu terang-terangan.

“Mungkin sebagai permintaan maaf,” ujarnya.

Elvan bisa melihat pipi Belle sangat merona, dan ia suka memandangnya dari dekat.

Mereka saling menatap satu sama lain, kemudian sama-sama berpaling, membuang wajah.

Detik-detik yang membahagiakan, dan akan selalu mereka kenang.

Bel masuk tiba-tiba berbunyi, membuat keduanya kaget.

Dari arah koridor, guru matematika, Pak Ridwan. Terlihat sedang berjalan ke arah mereka dengan tatapan kesal.

Elvan langsung berdiri, berjalan menjauh dari Belle yang juga segera kembali ke kelasnya.

Ia berpapasan dengan Pak Ridwan. Namun, Pak Ridwan hanya berjalan melewatinya.

Belle berlari menuju kelasnya. Berharap guru belum masuk, dan memulai pelajaran.

Belle sampai di kelas, ia langsung duduk di bangkunya.

Membangunkan Dahlia yang masih tidur.

Gadis lugu yang semula meletakkan kepalanya di meja langsung kaget setelah Belle duduk.

Dahlia mengusap matanya, membangkitkan kesadarannya.

Guru datang dan memulai pelajaran terakhir.

Dahlia menopang dagunya, ingin kembali tidur.

Bulan menyinari malam yang gelap.

Seseorang duduk di depan meja rias, menatap wajahnya sendiri.

Namun, perasaan kali ini berbeda dari sebelumnya.

Wajah yang ia benci, wajah yang di anggap tak layak mendapatkan siapapun.

Kini, wajah itu juga yang menjadi favorit seseorang.

Belle mengambil tasnya dan bergegas turun.

Pakaiannya sederhana, hanya dress selutut.

Belle menghampiri Eleird yang berada di dapur.

“Ayah,” panggil Belle, “apa aku boleh keluar sebentar?”

Eleird menatap Putrinya, “Ke mana? Dengan siapa?”

Eleird membalasnya dengan beberapa pertanyaan, anak gadisnya sudah besar jadi mungkin wajar jika memiliki seorang kekasih.

“Kenapa diam? Bersama siapa?”

Eleird masih menunggu jawaban dari Belle.

“Teman sekolah,” dalih Belle.

Ia tak mungkin mengungkapkan secara jelas jika akan pergi dengan Elvan.

Seharusnya tadi sepulang sekolah, tapi Dahlia terus berada di dekat Belle.

“Baiklah, jangan pulang malam-malam.” tutur Eleird.

“Tentu,”

“Bersenang-senanglah,”

“Hati-hati di jalan,” lanjut Eleird.

Belle tersenyum kepada Ayahnya.

Pahlawan yang selalu mencemaskannya, suasana ini adalah yang paling Belle rindukan.

Setelah berpamitan, Belle keluar dan berjalan sedikit jauh dari rumahnya.

Sesuai kordinat yang sudah ia sepakati dengan Elvan. Belle terus memperhatikan jarum jam di tangannya.

Hatinya berdebar sangat kencang, merasa gugup akan bertemu Elvan.

Lampu sorot mobil semakin terang.

Suaranya juga terdengar mendekat, itu Elvan.

Dalam jalan yang sepi dan gelap, mobil berwarna putih yang dikendarai Elvan terlihat mencolok.

“Mari,” ajak Elvan.

Belle mengangguk, ia masuk ke mobil Elvan setelah menyambut pria yang membukakan pintu mobil untuknya.

Belle mati rasa, perasaannya tak karuan saat ini.

Di perjalanan, mereka berdua sama-sama membisu.

Tak ada yang memulai obrolan.

Elvan memperhatikan wajah Belle dengan seksama dari ujung matanya.

“Kalau suatu saat, ada hal yang membuatmu terluka dan itu karnaku, apa kau tetap akan percaya kepadaku?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status