Siang harinya, Albara bersiap untuk memulai pelatihan bersama timnya. Tak lupa membawa beberapa peralatan yang mereka butuhkan. Namun, dari keseluruhan yang ikut pelatihan Albara terus mengacuhkan Anna. Bahkan ucapan gadis itu tak diresponnya dan membuat Anna sangat marah.“Hanya aku, saat aku mengajak berbicara tuan mengabaikanku. Ada apa ini? Apa tuan menyalahkanku?” lirihnya gusar.Bibirnya membulat sempurna dengan mata yang melirik tajam, namun Anna tetap berusaha menarik atensi Albara. “Perhatikan baik-baik, setelah itu kalian lakukan sendiri,” titah Albara. Selang beberapa jam, ia meninggalkan lokasi hendak memeriksa keadaan Belle. Namun, saat ia sampai di sana matanya malah mendapati Anna berdiri di dekat ranjang Belle yang sudah ketakutan. “Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah pelatihan masih berlangsung?” tanya Albara berjalan mendekat.“Aku pergi ke toilet, dan aku pikir akan mengunjunginya.” dalih Anna mundur beberapa langkah dari Belle. Albara menatap mata Belle da
Belle merasa bahagia ketika menjalani prosesi wisuda, namun juga merasakan kekecewaan kala teringat Dahlia yang sudah tiada. Suasana itu membuat Belle merasa kesepian dan dirundung kesedihan. “Andai saja ... kau masih ada di sini,” lirihnya. Melirik buket bunga yang sedang dipegangnya. Kemudian, sorot matanya tiba-tiba tertuju pada Albara yang duduk di bangku wali murid dengan memegang ponselnya memotret Belle. Senyuman di wajah gadis itu kian merona menghadap Albara. Setelah acara selesai, Albara membawa Belle untuk pulang lebih awal. Namun, keduanya tak langsung sampai di rumah, melainkan datang ke sebuah gedung yang sengaja dipesan Albara.“Bagaimanapun juga, kita harus merayakannya.” gumam Albara mengulurkan tangannya. Berjalan masuk bersama Belle dan memasuki sebuah ruangan yang gelap. Langkah kaki Belle terhenti, matanya menatap tajam ke arah suasana sunyi penuh dengan warna hitam di hadapannya. Hatinya bergejolak kala Albara menariknya untuk masuk ke sana dan duduk di
Setelah sampai di rumah, ia tak mencari Albara karna tahu pria itu sudah berangkat bekerja. Bahkan tanpa sarapan, Belle duduk sendirian di meja makan menatap beberapa hidangan yang sudah disiapkan. “Kenapa pelayan menyajikan banyak makanan saat mereka tahu tuan tidak makan?” gumam Belle memakan perlahan. Belle menghabiskan waktunya seharian di rumah melakukan aktivitas yang dapat membuatnya sibuk. Namun, saat malam menjelang Albara tak kunjung pulang ataupun mengabari. “Biasanya sore tuan sudah pulang,” lirihnya.Berada di balkon terus memandang gerbang yang tertutup. Selang beberapa saat, Belle bergegas ke kamarnya berganti pakaian dan mengambil tas untuk menemui Albara di perusahaan tanpa memberitahunya. “Pak, apa masih lama?” tanya Belle tak sabar. “Sebentar lagi sampai, nona. Jalanan sedikit macet,” balas supir. Saat sampai, Belle masuk sendirian sementara supir menunggu di parkiran. Gadis itu merasa canggung kala memasuki tempat besar yang berisi orang-orang dengan penam
Dentingan ponsel menarik atensi Albara untuk mengulurkan tangannya, tatapan matanya berubah menjadi dingin kala membaca pesan yang dikirimkan kepadanya. Tanpa mengatakan apapun, ia membuang puntung rokok dan segera menuju kamarnya dengan tergesa-gesa.“Ada apa dengannya?” tanya Belle kala Albara keluar dari kamarnya. Gadis itu masih duduk di depan meja riasnya menatap pintu yang tak ditutup. Albara yang sampai di kamarnya buru-buru membuka laptop dan memeriksa sesuatu, raut wajahnya kian memburuk kala membaca email dari seseorang.“Sial! Dia membatalkan kerja sama hanya karna satu anggotanya ditangkap polisi.” geramnya memijat dahinya dengan gusar. “Kau juga harus menanggung kerugiannya!” pekiknya menuliskan pesan kepada sekretarisnya untuk segera menyiapkan tiket keluar negeri. Sementara itu, ia pergi mandi dan bersiap-siap untuk sarapan bersama Belle sesaat setelah pelayan memberitahunya bahwa Belle sudah menunggu di meja makan. Gadis itu fokus dengan ponselnya sampai-sampai t
Gadis itu perlahan mulai menjauh. Tetesan darah mengalir dari kening dan lengannya. Matanya menatap tajam pada tongkat yang baru saja membuatnya terluka, tepat pada bagian wajah itu. Wajah yang akan selalu diingatnya, senyum tipis tersirat dalam bibir dengan goresan luka.“Bahkan, dia bukan manusia!” pekik hatinya.Air matanya mengalir menghujani pipi yang memang sudah basah sedari tadi. Bahkan seluruh tubuhnya basah kuyup. Livia menatap anak tirinya, Belle dengan tatapan tajam dan tangan yang masih memegang erat tongkat yang ujungnya telah di penuhi darah. Lantai sudah ada jejak darah. Namun, hatinya masih belum puas. Kekesalannya masih belum sepenuhnya terlampiaskan.Sejenak ia berpikir, penyiksaan apa lagi yang harus dilakukannya kepada sang anak tiri. Eleird baru saja pulang dari luar kota setelah perjalanan bisnis yang ia lakukan terselesaikan.Di pinggir toko, ia samar melihat sosok putrinya. Eleird membubarkan lamunannya. Bahwa tidak mungkin, anaknya akan makan di ping
Reval yang sedari tadi mengintip dari balik pintu kamarnya berlari menghampiri kedua orang tuanya. Ia berusaha melepaskan tangan Ayahnya yang melingkar menahan pembuluh darah Ibunya.“Lepaskan, Ibu tidak bersalah!" suara kecilnya dengan tangisan. Eleird melepaskan cengkramannya, “Ingat ini baik-baik!” tegasnya.Kemudian masuk ke kamar menutup pintu dengan keras.“Ibuuuu ....” lirih Reval memeluk Ibunya.Dendam di hati Livia telah membara, ia bersumpah akan membalas semua ini. Ia memeluk anaknya dengan erat dan matanya mulai memerah, mengeluarkan air mata.Keesokan paginya, Belle turun bersama Ayahnya dengan tas di pundaknya.Bersiap pergi ke sekolah.Ia berjalan di belakang Ayahnya menuju ruang tengah. Livia menatap tajam pada Belle yang berada di balik Eleird, dan kemudian berpaling menyiapkan makanan untuk putranya. Eleird masih belum lupa kejadian semalam, ia langsung menggandeng Belle untuk segera berangkat.Namun, ia tak langsung menuju sekolah Belle, mereka menyempatkan sara
Seorang gadis berlari menuju kamar Ibunya, gadis yang berusia 14 tahun itu membuka knop pintu.Ia duduk di sebelah wanita yang sedang terbaring lemah di ranjang. “Ibuuu ... lihatlah apa yang aku dapatkan.” ucapnya dengan bahagia.Memunjukkan piala yang sedang dibawa kepada sang Ibu.Ibunya mengusap kepalanya lembut, “Pintarnya, anak Ibu sudah besar sekarang, sudah bisa mandiri.” “Aku tidak ingin menjadi besar,” Dahlia memurungkan wajahnya, ia tak suka jika harus membahas hal ini.“Kenapa? Bukankah jadi besar itu menyenangkan?” Ibunya membenarkan posisi.Mengangkat dagu anaknya agar bisa memperhatikan wajah itu dengan jelas.Dahlia mengerutkan alisnya, “Jika aku menjadi besar, aku harus berpisah dengan kalian. Aku ingin selamanya bersama kalian.” ungkap Dahlia.Mimpi sederhana seorang anak, hanya ingin bersama kedua orang tuanya.Kata-kata Dahlia membuat Ibunya terdiam. Gadis polos itu masih tak menyadari jika Ibunya sedang sakit parah dan kemungkinan hidupnya tak lama lagi. Dahlia
Selang dua jam setengah, mereka semua berangkat ke pemakaman. Dahlia menatap peti Ibunya. Air matanya terus mengalir di sela-sela proses pemakaman. Matanya memperhatikan dengan jelas tubuh Ibunya mulai di kubur di dalam tanah. Batu nisan itu menancap di atas makam Ibunya. Belle berjalan sendirian di koridor.Dahlia sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kelas. Belle duduk di bangku dekat tangga. Seakan sedang menunggu seseorang, ia melirik jam di tangannya. Menunggu memang berat. Belle memperhatikan langkah kaki yang berjalan mendekatinya, itu Elvan.Dengan senyuman di bibirnya, Belle berdiri menyambut Elvan.“Hai, lama tidak bertemu.” sapa Elvan.Ia duduk di sebelah Belle, memperhatikan wajah yang dirindukannya selama ini.“Hai, kau selalu menghilang dan sekarang tiba-tiba ingin bertemu?” tanya Belle.Saat sedang di kantin, satu teman Elvan memintanya untuk datang ke dekat tangga. Ia bersusah payah membuat Dahlia masuk terlebih dahulu ke dalam kelas. “Ayahku sakit, kami harus kelu