Pemilik Hati Tuan Mafia

Pemilik Hati Tuan Mafia

Oleh:  Jane Alxr  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat
66Bab
744Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Takdir menjatuhkannya dalam air yang dalam, Belle tenggelam. Dalam kegelapan, ia merintih kesakitan. Namun sayangnya semua orang perlahan pergi meninggalkan dia sendiri. Terlihat, siluet seseorang membangkitkan semangatnya, tangan itu meraih dan membawanya kembali ke permukaan. Menggenggamnya erat. Belle membuka mata, memandang penyelamat hidupnya. Albara. Apakah Albara akan menjadi takdir hidup impian Belle di hari-hari selanjutnya?

Lihat lebih banyak
Pemilik Hati Tuan Mafia Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Abigail Briel
lanjut kak......
2023-06-07 21:07:54
0
66 Bab
Part (1)
Gadis itu perlahan mulai menjauh. Tetesan darah mengalir dari kening dan lengannya. Matanya menatap tajam pada tongkat yang baru saja membuatnya terluka, tepat pada bagian wajah itu. Wajah yang akan selalu diingatnya, senyum tipis tersirat dalam bibir dengan goresan luka.“Bahkan, dia bukan manusia!” pekik hatinya.Air matanya mengalir menghujani pipi yang memang sudah basah sedari tadi. Bahkan seluruh tubuhnya basah kuyup. Livia menatap anak tirinya, Belle dengan tatapan tajam dan tangan yang masih memegang erat tongkat yang ujungnya telah di penuhi darah. Lantai sudah ada jejak darah. Namun, hatinya masih belum puas. Kekesalannya masih belum sepenuhnya terlampiaskan.Sejenak ia berpikir, penyiksaan apa lagi yang harus dilakukannya kepada sang anak tiri. Eleird baru saja pulang dari luar kota setelah perjalanan bisnis yang ia lakukan terselesaikan.Di pinggir toko, ia samar melihat sosok putrinya. Eleird membubarkan lamunannya. Bahwa tidak mungkin, anaknya akan makan di ping
Baca selengkapnya
Part (2)
Reval yang sedari tadi mengintip dari balik pintu kamarnya berlari menghampiri kedua orang tuanya. Ia berusaha melepaskan tangan Ayahnya yang melingkar menahan pembuluh darah Ibunya.“Lepaskan, Ibu tidak bersalah!" suara kecilnya dengan tangisan. Eleird melepaskan cengkramannya, “Ingat ini baik-baik!” tegasnya.Kemudian masuk ke kamar menutup pintu dengan keras.“Ibuuuu ....” lirih Reval memeluk Ibunya.Dendam di hati Livia telah membara, ia bersumpah akan membalas semua ini. Ia memeluk anaknya dengan erat dan matanya mulai memerah, mengeluarkan air mata.Keesokan paginya, Belle turun bersama Ayahnya dengan tas di pundaknya.Bersiap pergi ke sekolah.Ia berjalan di belakang Ayahnya menuju ruang tengah. Livia menatap tajam pada Belle yang berada di balik Eleird, dan kemudian berpaling menyiapkan makanan untuk putranya. Eleird masih belum lupa kejadian semalam, ia langsung menggandeng Belle untuk segera berangkat.Namun, ia tak langsung menuju sekolah Belle, mereka menyempatkan sara
Baca selengkapnya
Part (3)
Seorang gadis berlari menuju kamar Ibunya, gadis yang berusia 14 tahun itu membuka knop pintu.Ia duduk di sebelah wanita yang sedang terbaring lemah di ranjang. “Ibuuu ... lihatlah apa yang aku dapatkan.” ucapnya dengan bahagia.Memunjukkan piala yang sedang dibawa kepada sang Ibu.Ibunya mengusap kepalanya lembut, “Pintarnya, anak Ibu sudah besar sekarang, sudah bisa mandiri.” “Aku tidak ingin menjadi besar,” Dahlia memurungkan wajahnya, ia tak suka jika harus membahas hal ini.“Kenapa? Bukankah jadi besar itu menyenangkan?” Ibunya membenarkan posisi.Mengangkat dagu anaknya agar bisa memperhatikan wajah itu dengan jelas.Dahlia mengerutkan alisnya, “Jika aku menjadi besar, aku harus berpisah dengan kalian. Aku ingin selamanya bersama kalian.” ungkap Dahlia.Mimpi sederhana seorang anak, hanya ingin bersama kedua orang tuanya.Kata-kata Dahlia membuat Ibunya terdiam. Gadis polos itu masih tak menyadari jika Ibunya sedang sakit parah dan kemungkinan hidupnya tak lama lagi. Dahlia
Baca selengkapnya
Part (4)
Selang dua jam setengah, mereka semua berangkat ke pemakaman. Dahlia menatap peti Ibunya. Air matanya terus mengalir di sela-sela proses pemakaman. Matanya memperhatikan dengan jelas tubuh Ibunya mulai di kubur di dalam tanah. Batu nisan itu menancap di atas makam Ibunya. Belle berjalan sendirian di koridor.Dahlia sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kelas. Belle duduk di bangku dekat tangga. Seakan sedang menunggu seseorang, ia melirik jam di tangannya. Menunggu memang berat. Belle memperhatikan langkah kaki yang berjalan mendekatinya, itu Elvan.Dengan senyuman di bibirnya, Belle berdiri menyambut Elvan.“Hai, lama tidak bertemu.” sapa Elvan.Ia duduk di sebelah Belle, memperhatikan wajah yang dirindukannya selama ini.“Hai, kau selalu menghilang dan sekarang tiba-tiba ingin bertemu?” tanya Belle.Saat sedang di kantin, satu teman Elvan memintanya untuk datang ke dekat tangga. Ia bersusah payah membuat Dahlia masuk terlebih dahulu ke dalam kelas. “Ayahku sakit, kami harus kelu
Baca selengkapnya
Part (5)
Belle memutar bola matanya mengarah pada Elvan.“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” “Tidak apa-apa, hanya terpikirkan sesaat. Kita tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya.”“Apa kau tahu? Aku sangat bahagia ... bersamamu dan kepercayaan yang selalu menguatkan kita. Selagi kau percaya denganku, aku percaya denganmu.” lirih Belle.Elvan tersenyum, menarik tangan Belle dan menggenggamnya. Mereka ingin pergi ke taman, tapi di sana sangat ramai.Belle menyarankan untuk berkeliling kota, menikmati malam yang indah ini. Mereka mampir ke Cafe La Etariano, Elvan turun untuk membeli minuman sedangkan Belle menunggu di dalam mobil.Dahlia menatap kosong pada gelas di depannya.Cafe dengan suasana sangat ramai. Namun, ia merasa sendiri.Mungkin, semua orang juga mau bersantai di malam yang sunyi ini.Gelas itu juga mulai berembun, Dahlia bahkan belum meminumnya.Perlahan, ia membenarkan posisi duduknya, perputaran bola matanya memandangi arah pintu masuk.Saat ia akan berpalin
Baca selengkapnya
Part (6)
Belle mematikan panggilan, ia bangkit dari sofa dan berniat ke kamar Reval. Belle melihat Ibu tirinya sangat khawatir. “Apa Ibu akan mengkhawatirkanku juga?” tanya hatinya.Ayahnya juga terlihat sangat mengkhawatirkan kondisi Reval. Ada darah di lantai, Belle semakin penasaran dengan apa yang terjadi kepada Reval.Pasalnya, bocah itu selalu riang penuh dengan kejahilan dipikirannya. Mereka bertiga terlihat seperti keluarga bahagia.Kasih sayang dari kedua orang tua, anak yang lugu dan tanpa trauma. Belle tersingkir, tak ada tempat untuknya di antara mereka.Belle membaringkan tubuhnya di ranjang, menyembunyikan wajahnya dalam lipatan bantal. Air matanya menetes, suara Ayahnya yang menenangkan Reval membuat hatinya tak nyaman.Ia takut jika Ayahnya tak lagi mendukungnya, atau bahkan yang paling parah, ia ditelantarkan. Belle tertidur, dengan air matanya masih mengalir.“Ibu, ayo lihat hujan!” teriak seorang anak kecil.Ibunya yang berada di dapur tersenyum, dan kemudian berjalan men
Baca selengkapnya
Part (7)
Reval menarik tangan Belle untuk menamparnya dan membuatnya kehilangan keseimbangan, kantong belanjaan di tangannya jatuh.Reval langsung menangis saat tangan Belle menyentuh pipinya, meskipun tak terasa sakit.Reval berpura-pura seakan Belle menamparnya dengan sengaja.Livia segera berlari menuju arah tangisan Reval. Mendapati Reval memegang pipinya dan tersungkur, Livia mendekatinya.“Reval! Apa yang terjadi, kenapa memegang pipi?” panik Livia segera membantu anaknya untuk berdiri.“K-kakak, kakak menamparku! Aku hanya ingin bermain!” isaknya.Reval menunjuk ke arah Belle dengan wajah memelas. Satu-satunya pelindungnya, Livia.Yang rela melakukan apa saja demi membuatnya bahagia.“Jangan berbohong! Dia menarik tanganku, aku tidak menamparnya.” jawab Belle.Livia bangkit dan balik menampar Belle, tamparan itu membuat Belle tersungkur. Sangat keras hingga suaranya masih menggema di telinga Belle.Eleird yang semula diam di sofa bergegas keluar setelah mendengar keributan.Ia mendapati
Baca selengkapnya
Part (8)
Semua orang membuat lingkaran.Angel memulai pertama dan mengopernya ke Khaira.Saat bunga sudah berjalan, musik berhenti. Buket bunga berhenti di pria yang memakai jas biru tepat di depan Angel. Khaira mengambil microphone, satu tangan ia lipat ke belakang. Pelayan segera memberikan microphone ke pria itu.“Truth or dare?” tanya Khaira.Pria dengan nama Sagio itu langsung menjawab, “Truth,”“Hal memalukan yang pernah terjadi?” Pria tampan itu bingung, pertanyaan Khaira sangat menjebaknya.“Jika tidak ingin melakukannya, kau bisa mencium lawan jenismu.” usul Khaira.Bersiap menunggu jawaban dari Sagio, tentu saja Khaira tahu segalanya.“Apa dia gila?” lirih Dahlia kepada Belle.Khaira terlalu mengatur jalannya permainan ini, dan semua harus berjalan sesuai keinginannya.“Apa yang kau pilih?” tanya Angel.“Aku mengompol saat hari pertama masuk sma, kau melihatnya waktu itu!” seru Sagio.Tak peduli dengan wajah yang mentertawakannya itu.Musik kembali dinyalakan dan bunga kembali berja
Baca selengkapnya
Part (9)
Saat hari mulai merosot menuju dini hari, Khaira mencari keberadaan Dahlia, hanya gadis itu yang tak ada di kerumuman.Khaira perlahan mengelilingi pulau, ia sedikit terkejut melihat Dahlia duduk sendirian dengan botol minuman di tangannya.Khaira menghampiri, “Apa yang kau lakukan di sini?”Merasa ada sesuatu yang baru dari Dahlia.Gadis itu sangat cepat berubah, memberikan kesan baru yang lekat baginya.Dahlia melirik, “Hegh, kenapa ... ingin menertawakanku? Silahkan, aku tidak peduli.”Dirinya sangat pasrah dengan yang terjadi, sangat menyakitkan.Khaira melipat tangannya, “Kenyataan yang pahit kan? Dan parahnya, kau tidak tahu.”Menyalakan api balas dendam di hati Dahlia, dengan sendirinya itu akan menjadi ujaran kebencian yang memanaskan suasana. Dahlia yang sudah tersulut emosi sedari tadi terus menengguk minumannya. Alkohol itu, turun melesat melewati kerongkongannya. Rasanya sangat panas.Namun, pikiran Dahlia menyukainya.Seakan tenang dengan rasa yang sangat asing baginya.
Baca selengkapnya
Part (10)
Belle terdiam ia tak tahu harus bagaimana, air mata turun begitu saja melewati pipinya. Belle masih memandang Dahlia dengan senyuman.Ia berpikir Dahlia sedang mabuk dan emosinya tinggi.Semua yang diucapkannya hanyalah omong kosong belaka, Dahlia hanya sedang berhalusinasi.“Waktu itu, Elvan?” Belle masih dalam senyumannya meskipun sesuatu seakan menyakiti hatinya.Sangat dalam, dengan luka yang besar meskipun tak berbekas.Dahlia mendekatkan wajahnya ke wajah Belle, “Puas sekarang?”Dahlia diambang kesalahpahaman, pengaruh Khaira menghancurkannya dan rasa putus asa mengelilinginya.“Dahlia!”“Aku tidak mau mendengar apapun, kau sangat egois!” Dahlia menyela.Tutur katanya menyakiti Belle, padahal ia yang selalu menghiburnya.Sangat menyakitkan ketika sebuah umpatan keluar dari mulut seseorang yang selalu menenangkan.“Hanya karna cinta, kau seperti ini? Apa saat permainan tadi bukan mulutmu yang mengatakannya?” Belle masih ingat bagaimana ekspresi harunya saat Dahlia menjawab perta
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status