Seorang gadis berlari menuju kamar Ibunya, gadis yang berusia 14 tahun itu membuka knop pintu.
Ia duduk di sebelah wanita yang sedang terbaring lemah di ranjang.“Ibuuu ... lihatlah apa yang aku dapatkan.” ucapnya dengan bahagia.Memunjukkan piala yang sedang dibawa kepada sang Ibu.Ibunya mengusap kepalanya lembut, “Pintarnya, anak Ibu sudah besar sekarang, sudah bisa mandiri.”“Aku tidak ingin menjadi besar,”Dahlia memurungkan wajahnya, ia tak suka jika harus membahas hal ini.“Kenapa? Bukankah jadi besar itu menyenangkan?” Ibunya membenarkan posisi.Mengangkat dagu anaknya agar bisa memperhatikan wajah itu dengan jelas.Dahlia mengerutkan alisnya, “Jika aku menjadi besar, aku harus berpisah dengan kalian. Aku ingin selamanya bersama kalian.” ungkap Dahlia.Mimpi sederhana seorang anak, hanya ingin bersama kedua orang tuanya.Kata-kata Dahlia membuat Ibunya terdiam. Gadis polos itu masih tak menyadari jika Ibunya sedang sakit parah dan kemungkinan hidupnya tak lama lagi.Dahlia memeluk Ibunya. Memeluk dengan sangat erat seakan ia benar-benar tak mau berpisah, setelah itu beralih meletakkan pialanya di dalam lemari dan keluar dari kamar Ibunya.Berselang empat hari setelah kejadian itu. Kondisi Ibu Dahlia semakin memburuk dan ia harus dilarikan ke rumah sakit, untuk mendapatkan perawatan yang intensif.Dahlia hanya bisa diam ketika mobil ambulans menjemput Ibunya. Ia menyusul dengan Ayahnya mengikuti ambulans.Mereka sampai di sebuah rumah sakit. Dahlia melihat Ibunya yang terbaring lemah masuk menuju sebuah ruangan yang bertuliskan ICU.Dahlia memandang Ibunya dari balik jendela ruangan, tubuh Ibunya penuh dengan alat bantu. Sekejap matanya mulai buram dipenuhi air mata.“Hey,” Ayahnya menepuk pundak Dahlia.Seakan menyampaikan bahwa semua baik-baik saja.“Apa aku tidak bisa bertemu Ibu lagi?”Dahlia menatap Ayahnya. Berusaha menyingkirkan rasa takut yang membelenggunya dalam kecemasan.“Dahlia sayang dengan Ibu?” tanya Ayahnya.“Sayang, lebih dari apapun.”“Berarti Ibu selalu ada di pikiran Dahlia, benar?”Dahlia mengangguk, dan kembali menatap Ibunya. Mulai mengusap pelupuk matanya dan tersenyum.“Aku sayang Ibu, cepat sembuh dan kita akan pergi jalan-jalan dengan Ayah.” batinnya.Keesokan harinya, Dahlia dengan seragam sekolah berdiri di depan jendela ruangan Ibunya.Dahlia selalu mencium Ibunya sebelum berangkat sekolah. Membawa bekal yang disiapkan oleh Ibunya.Namun, kali ini ia hanya bisa memandang pilu.“Aku akan berangkat sekolah, tapi aku akan kembali dengan cepat. Tunggu aku, Bu!” ucapnya lirih.Ayahnya yang berdiri di belakang hanya bisa berpaling menghapus sendunya. Ia tak tahu harus mengatakan apa kepada putrinya.Dahlia menggenggam tangan Ayahnya, dan mereka segera berangkat ke sekolah.Akan tetapi, sebelum jam pulang.Supir menjemput Dahlia untuk segera pulang.Dahlia berpikir jika Ibunya sudah pulang ke rumah dan sedang menunggunya. Di perjalanan ia sangat senang, bahkan tak henti-hentinya bertanya pada supir.Supir hanya diam tak menanggapi karna ia sendiri masih tak bisa menerima hal ini.Mereka sampai, di depan rumah. Dahlia melihat ada banyak karangan bunga.Ia berjalan masuk ke dalam, mendapati neneknya sudah berada di sofa dengan tatapannya kosong.Saat melihat Dahlia, neneknya langsung berlari memeluk cucunya dan tangisannya pecah.Dahlia mulai merasa sangat takut, tubuhnya membeku. Suara ambulans perlahan mulai terdengar, Dahlia melepaskan pelukan neneknya dan berlari menghampiri ambulans.Dahlia sangat terkejut ketika mendapati para petugas rumah sakit membawa tubuh Ibunya yang sudah terbaring masuk ke dalam.Dahlia tertunduk di dekat Ibunya, tangannya membuka kain yang menutupi wajah Ibunya.Ibunya tidak bangun, meskipun Dahlia telah mencium pipinya, atau sekedar memanggilnya kecil.Tubuhnya sangat dingin. Dahlia menempatkan telinganya di dada Ibunya, ia tak mendengar detak jantung.“Akh! Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin!” Dahlia berteriak.Air mata melesat turun membasahi pipinya, sembari menundukkan kepala di hadapan sang Ibu.“Ibu ... Ibu!” serunya mengguncang tubuh yang tak merespon itu.“Tidak ... ibu bangun!” tangisnya.Dahlia memeluk Ibunya dengan sangat erat, menolak fakta jika Ibunya sudah tiada.Neneknya menarik Dahlia masuk ke dalam kamar, dan menenangkannya agar Ayahnya bisa menyelesaikan proses peristirahatan terakhir.“Dahlia ... dengarkan nenek sayang,”Neneknya berusaha menahan tubuh Dahlia yang terus memberontak.“Lepaskan, Ibu harus bangun!” tolaknya.Dahlia mendengar penjelasan neneknya dan mulai berhenti menangis.Selang dua jam setengah, mereka semua berangkat ke pemakaman. Dahlia menatap peti Ibunya. Air matanya terus mengalir di sela-sela proses pemakaman. Matanya memperhatikan dengan jelas tubuh Ibunya mulai di kubur di dalam tanah. Batu nisan itu menancap di atas makam Ibunya. Belle berjalan sendirian di koridor.Dahlia sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kelas. Belle duduk di bangku dekat tangga. Seakan sedang menunggu seseorang, ia melirik jam di tangannya. Menunggu memang berat. Belle memperhatikan langkah kaki yang berjalan mendekatinya, itu Elvan.Dengan senyuman di bibirnya, Belle berdiri menyambut Elvan.“Hai, lama tidak bertemu.” sapa Elvan.Ia duduk di sebelah Belle, memperhatikan wajah yang dirindukannya selama ini.“Hai, kau selalu menghilang dan sekarang tiba-tiba ingin bertemu?” tanya Belle.Saat sedang di kantin, satu teman Elvan memintanya untuk datang ke dekat tangga. Ia bersusah payah membuat Dahlia masuk terlebih dahulu ke dalam kelas. “Ayahku sakit, kami harus kelu
Belle memutar bola matanya mengarah pada Elvan.“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” “Tidak apa-apa, hanya terpikirkan sesaat. Kita tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya.”“Apa kau tahu? Aku sangat bahagia ... bersamamu dan kepercayaan yang selalu menguatkan kita. Selagi kau percaya denganku, aku percaya denganmu.” lirih Belle.Elvan tersenyum, menarik tangan Belle dan menggenggamnya. Mereka ingin pergi ke taman, tapi di sana sangat ramai.Belle menyarankan untuk berkeliling kota, menikmati malam yang indah ini. Mereka mampir ke Cafe La Etariano, Elvan turun untuk membeli minuman sedangkan Belle menunggu di dalam mobil.Dahlia menatap kosong pada gelas di depannya.Cafe dengan suasana sangat ramai. Namun, ia merasa sendiri.Mungkin, semua orang juga mau bersantai di malam yang sunyi ini.Gelas itu juga mulai berembun, Dahlia bahkan belum meminumnya.Perlahan, ia membenarkan posisi duduknya, perputaran bola matanya memandangi arah pintu masuk.Saat ia akan berpalin
Belle mematikan panggilan, ia bangkit dari sofa dan berniat ke kamar Reval. Belle melihat Ibu tirinya sangat khawatir. “Apa Ibu akan mengkhawatirkanku juga?” tanya hatinya.Ayahnya juga terlihat sangat mengkhawatirkan kondisi Reval. Ada darah di lantai, Belle semakin penasaran dengan apa yang terjadi kepada Reval.Pasalnya, bocah itu selalu riang penuh dengan kejahilan dipikirannya. Mereka bertiga terlihat seperti keluarga bahagia.Kasih sayang dari kedua orang tua, anak yang lugu dan tanpa trauma. Belle tersingkir, tak ada tempat untuknya di antara mereka.Belle membaringkan tubuhnya di ranjang, menyembunyikan wajahnya dalam lipatan bantal. Air matanya menetes, suara Ayahnya yang menenangkan Reval membuat hatinya tak nyaman.Ia takut jika Ayahnya tak lagi mendukungnya, atau bahkan yang paling parah, ia ditelantarkan. Belle tertidur, dengan air matanya masih mengalir.“Ibu, ayo lihat hujan!” teriak seorang anak kecil.Ibunya yang berada di dapur tersenyum, dan kemudian berjalan men
Reval menarik tangan Belle untuk menamparnya dan membuatnya kehilangan keseimbangan, kantong belanjaan di tangannya jatuh.Reval langsung menangis saat tangan Belle menyentuh pipinya, meskipun tak terasa sakit.Reval berpura-pura seakan Belle menamparnya dengan sengaja.Livia segera berlari menuju arah tangisan Reval. Mendapati Reval memegang pipinya dan tersungkur, Livia mendekatinya.“Reval! Apa yang terjadi, kenapa memegang pipi?” panik Livia segera membantu anaknya untuk berdiri.“K-kakak, kakak menamparku! Aku hanya ingin bermain!” isaknya.Reval menunjuk ke arah Belle dengan wajah memelas. Satu-satunya pelindungnya, Livia.Yang rela melakukan apa saja demi membuatnya bahagia.“Jangan berbohong! Dia menarik tanganku, aku tidak menamparnya.” jawab Belle.Livia bangkit dan balik menampar Belle, tamparan itu membuat Belle tersungkur. Sangat keras hingga suaranya masih menggema di telinga Belle.Eleird yang semula diam di sofa bergegas keluar setelah mendengar keributan.Ia mendapati
Semua orang membuat lingkaran.Angel memulai pertama dan mengopernya ke Khaira.Saat bunga sudah berjalan, musik berhenti. Buket bunga berhenti di pria yang memakai jas biru tepat di depan Angel. Khaira mengambil microphone, satu tangan ia lipat ke belakang. Pelayan segera memberikan microphone ke pria itu.“Truth or dare?” tanya Khaira.Pria dengan nama Sagio itu langsung menjawab, “Truth,”“Hal memalukan yang pernah terjadi?” Pria tampan itu bingung, pertanyaan Khaira sangat menjebaknya.“Jika tidak ingin melakukannya, kau bisa mencium lawan jenismu.” usul Khaira.Bersiap menunggu jawaban dari Sagio, tentu saja Khaira tahu segalanya.“Apa dia gila?” lirih Dahlia kepada Belle.Khaira terlalu mengatur jalannya permainan ini, dan semua harus berjalan sesuai keinginannya.“Apa yang kau pilih?” tanya Angel.“Aku mengompol saat hari pertama masuk sma, kau melihatnya waktu itu!” seru Sagio.Tak peduli dengan wajah yang mentertawakannya itu.Musik kembali dinyalakan dan bunga kembali berja
Saat hari mulai merosot menuju dini hari, Khaira mencari keberadaan Dahlia, hanya gadis itu yang tak ada di kerumuman.Khaira perlahan mengelilingi pulau, ia sedikit terkejut melihat Dahlia duduk sendirian dengan botol minuman di tangannya.Khaira menghampiri, “Apa yang kau lakukan di sini?”Merasa ada sesuatu yang baru dari Dahlia.Gadis itu sangat cepat berubah, memberikan kesan baru yang lekat baginya.Dahlia melirik, “Hegh, kenapa ... ingin menertawakanku? Silahkan, aku tidak peduli.”Dirinya sangat pasrah dengan yang terjadi, sangat menyakitkan.Khaira melipat tangannya, “Kenyataan yang pahit kan? Dan parahnya, kau tidak tahu.”Menyalakan api balas dendam di hati Dahlia, dengan sendirinya itu akan menjadi ujaran kebencian yang memanaskan suasana. Dahlia yang sudah tersulut emosi sedari tadi terus menengguk minumannya. Alkohol itu, turun melesat melewati kerongkongannya. Rasanya sangat panas.Namun, pikiran Dahlia menyukainya.Seakan tenang dengan rasa yang sangat asing baginya.
Belle terdiam ia tak tahu harus bagaimana, air mata turun begitu saja melewati pipinya. Belle masih memandang Dahlia dengan senyuman.Ia berpikir Dahlia sedang mabuk dan emosinya tinggi.Semua yang diucapkannya hanyalah omong kosong belaka, Dahlia hanya sedang berhalusinasi.“Waktu itu, Elvan?” Belle masih dalam senyumannya meskipun sesuatu seakan menyakiti hatinya.Sangat dalam, dengan luka yang besar meskipun tak berbekas.Dahlia mendekatkan wajahnya ke wajah Belle, “Puas sekarang?”Dahlia diambang kesalahpahaman, pengaruh Khaira menghancurkannya dan rasa putus asa mengelilinginya.“Dahlia!”“Aku tidak mau mendengar apapun, kau sangat egois!” Dahlia menyela.Tutur katanya menyakiti Belle, padahal ia yang selalu menghiburnya.Sangat menyakitkan ketika sebuah umpatan keluar dari mulut seseorang yang selalu menenangkan.“Hanya karna cinta, kau seperti ini? Apa saat permainan tadi bukan mulutmu yang mengatakannya?” Belle masih ingat bagaimana ekspresi harunya saat Dahlia menjawab perta
Khaira meletakkan kembali foto itu, ia beralih mengambil vas bunga di dekat ranjang. Memegangnya erat, dan kemudian melemparnya ke arah kaca yang seketika hancur, serpihannya memenuhi meja rias.Suara pecahan yang menarik perhatian beberapa orang. Mereka berdiri di depan kamar Khaira, tak berani mengetuk untuk sekedar menanyakan apa yang terjadi.“Akh! Sialan!” teriak Khaira membuat semua bergegas menjauh, tak ingin menjadi pusat amarahnya.Khaira sedang berada dalam fase yang sangat rapuh.Hakikatnya, gadis yang dimabuk cinta.Para pelayan yang mendengar segera memanggil orang tua Khaira. Membuka paksa kamar itu, mereka mendapati Khaira tersungkur dengan pecahan kaca di tangannya.Darah mengalir dari tangannya, gaun putih indah itu tergores darah.Orang tuanya langsung menghampiri dan memeluk Khaira. “Ada apa, Nak? Kenapa melakukan ini? Kami selalu menuruti keinginanmu bukan?” tanya Ibunya.Tragis, putrinya terluka sedangkan ia tak tahu akibatnya.“Pelayan, ambil obat!” perintah A