Share

Part (3)

Seorang gadis berlari menuju kamar Ibunya, gadis yang berusia 14 tahun itu membuka knop pintu.

Ia duduk di sebelah wanita yang sedang terbaring lemah di ranjang.

“Ibuuu ... lihatlah apa yang aku dapatkan.” ucapnya dengan bahagia.

Memunjukkan piala yang sedang dibawa kepada sang Ibu.

Ibunya mengusap kepalanya lembut, “Pintarnya, anak Ibu sudah besar sekarang, sudah bisa mandiri.”

“Aku tidak ingin menjadi besar,”

Dahlia memurungkan wajahnya, ia tak suka jika harus membahas hal ini.

“Kenapa? Bukankah jadi besar itu menyenangkan?” Ibunya membenarkan posisi.

Mengangkat dagu anaknya agar bisa memperhatikan wajah itu dengan jelas.

Dahlia mengerutkan alisnya, “Jika aku menjadi besar, aku harus berpisah dengan kalian. Aku ingin selamanya bersama kalian.” ungkap Dahlia.

Mimpi sederhana seorang anak, hanya ingin bersama kedua orang tuanya.

Kata-kata Dahlia membuat Ibunya terdiam. Gadis polos itu masih tak menyadari jika Ibunya sedang sakit parah dan kemungkinan hidupnya tak lama lagi.

Dahlia memeluk Ibunya. Memeluk dengan sangat erat seakan ia benar-benar tak mau berpisah, setelah itu beralih meletakkan pialanya di dalam lemari dan keluar dari kamar Ibunya.

Berselang empat hari setelah kejadian itu. Kondisi Ibu Dahlia semakin memburuk dan ia harus dilarikan ke rumah sakit, untuk mendapatkan perawatan yang intensif.

Dahlia hanya bisa diam ketika mobil ambulans menjemput Ibunya. Ia menyusul dengan Ayahnya mengikuti ambulans.

Mereka sampai di sebuah rumah sakit. Dahlia melihat Ibunya yang terbaring lemah masuk menuju sebuah ruangan yang bertuliskan ICU.

Dahlia memandang Ibunya dari balik jendela ruangan, tubuh Ibunya penuh dengan alat bantu. Sekejap matanya mulai buram dipenuhi air mata.

“Hey,” Ayahnya menepuk pundak Dahlia.

Seakan menyampaikan bahwa semua baik-baik saja.

“Apa aku tidak bisa bertemu Ibu lagi?”

Dahlia menatap Ayahnya. Berusaha menyingkirkan rasa takut yang membelenggunya dalam kecemasan.

“Dahlia sayang dengan Ibu?” tanya Ayahnya.

“Sayang, lebih dari apapun.”

“Berarti Ibu selalu ada di pikiran Dahlia, benar?”

Dahlia mengangguk, dan kembali menatap Ibunya. Mulai mengusap pelupuk matanya dan tersenyum.

“Aku sayang Ibu, cepat sembuh dan kita akan pergi jalan-jalan dengan Ayah.” batinnya.

Keesokan harinya, Dahlia dengan seragam sekolah berdiri di depan jendela ruangan Ibunya.

Dahlia selalu mencium Ibunya sebelum berangkat sekolah. Membawa bekal yang disiapkan oleh Ibunya.

Namun, kali ini ia hanya bisa memandang pilu.

“Aku akan berangkat sekolah, tapi aku akan kembali dengan cepat. Tunggu aku, Bu!” ucapnya lirih.

Ayahnya yang berdiri di belakang hanya bisa berpaling menghapus sendunya. Ia tak tahu harus mengatakan apa kepada putrinya.

Dahlia menggenggam tangan Ayahnya, dan mereka segera berangkat ke sekolah.

Akan tetapi, sebelum jam pulang.

Supir menjemput Dahlia untuk segera pulang.

Dahlia berpikir jika Ibunya sudah pulang ke rumah dan sedang menunggunya. Di perjalanan ia sangat senang, bahkan tak henti-hentinya bertanya pada supir.

Supir hanya diam tak menanggapi karna ia sendiri masih tak bisa menerima hal ini.

Mereka sampai, di depan rumah. Dahlia melihat ada banyak karangan bunga.

Ia berjalan masuk ke dalam, mendapati neneknya sudah berada di sofa dengan tatapannya kosong.

Saat melihat Dahlia, neneknya langsung berlari memeluk cucunya dan tangisannya pecah.

Dahlia mulai merasa sangat takut, tubuhnya membeku. Suara ambulans perlahan mulai terdengar, Dahlia melepaskan pelukan neneknya dan berlari menghampiri ambulans.

Dahlia sangat terkejut ketika mendapati para petugas rumah sakit membawa tubuh Ibunya yang sudah terbaring masuk ke dalam.

Dahlia tertunduk di dekat Ibunya, tangannya membuka kain yang menutupi wajah Ibunya.

Ibunya tidak bangun, meskipun Dahlia telah mencium pipinya, atau sekedar memanggilnya kecil.

Tubuhnya sangat dingin. Dahlia menempatkan telinganya di dada Ibunya, ia tak mendengar detak jantung.

“Akh! Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin!” Dahlia berteriak.

Air mata melesat turun membasahi pipinya, sembari menundukkan kepala di hadapan sang Ibu.

“Ibu ... Ibu!” serunya mengguncang tubuh yang tak merespon itu.

“Tidak ... ibu bangun!” tangisnya.

Dahlia memeluk Ibunya dengan sangat erat, menolak fakta jika Ibunya sudah tiada.

Neneknya menarik Dahlia masuk ke dalam kamar, dan menenangkannya agar Ayahnya bisa menyelesaikan proses peristirahatan terakhir.

“Dahlia ... dengarkan nenek sayang,”

Neneknya berusaha menahan tubuh Dahlia yang terus memberontak.

“Lepaskan, Ibu harus bangun!” tolaknya.

Dahlia mendengar penjelasan neneknya dan mulai berhenti menangis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status