“Kenapa kamu lakukan ini padaku, Mas? Kalau memang kamu sudah tak mencintaiku lagi, kenapa tidak kamu ceraikan aku lalu kamu nikahi pelacur itu?” teriak Luna pada sang suami.
Air matanya mengalir deras tanpa bisa dicegah, dadanya terasa sesak seolah ada benda yang cukup besar menghimpitnya. Ia bahkan hampir sulit bernapas saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri suaminya berciuman dengan perempuan lain di hadapannya. Apa ini yang selalu Arkana lakukan di kantor? Apa ini alasannya hingga Arkana tak betah ada di rumah? Namun tak ada satupun dari pertanyaan itu menemukan jawabannya. “Apa katamu? Cerai?” tanya Arkana sinis. Pria itu bangkit, berjalan mendekati Luna dengan tatapan penuh amarah. Tangannya yang besar menjepit rahang kecil istrinya sampai membuat Luna meringis. “Kamu tidak pantas memintaku menceraikanmu. Kamu berhutang budi pada keluargaku, ingat itu, Luna! Siapa yang membiayai pengobatan mendiang Ayahmu, huh? Kalau bukan keluargaku mungkin Ayahmu sudah mati muda. Jadi jangan pernah sok berani menantangku. Tanpa aku dan keluargaku, kamu bukan siapa-siapa. Kamu hanya perempuan miskin dan mandul yang tidak akan pernah bisa memberiku keturunan.” Kata-kata yang keluar dari mulut suaminya begitu menusuk hati Luna, bahkan lebih tajam dari pisau belati. Tubuhnya terhuyung ke belakang ketika Arkana menghempaskannya dengan kasar. Ia hampir terjatuh ke lantai, namun cepat-cepat menahan tubuhnya sendiri dengan berpegangan pada meja. Air matanya makin deras, wajahnya memerah bukan hanya karena sakit fisik, tapi karena luka akibat hinaan dari mulut suaminya sendiri. “Aku tidak mandul, mas. Berapa kali aku harus bilang kalau aku tidak mandul!” bantah Luna. “Kalau kamu tidak mandul, mana buktinya? Apa kita punya anak setelah sekian tahun menikah? Jawaaaaab!” bentaknya lagi. Tubuh Luna semakin bergetar hebat. Wanita seksi yang berdiri tak jauh dari Arkana, menatap Luna dengan senyum penuh kemenangan sambil melipat tangan di depan dada. Kali ini dia puas karena Luna akhirnya sudah tahu tentang hubungannya dengan Arkana. “Aku tak sudi diduakan seperti ini, mas,” ucap Luna parau sambil terisak. “Aku tak pernah meminta persetujuanmu!” sahut Arkana dingin. “Dan aku juga tak perlu melakukannya. Mana uang pinjaman itu?” Luna membisu. Suaranya tercekat. Ia ingin bicara, tapi lidahnya terasa kelu. Hanya air matanya yang terus mengalir tanpa henti, membasahi wajahnya. Braaaaaak “Mana uang pinjamannya, Lunaaaa!” Arkana menggebrak meja dengan keras. Suaranya menggema memenuhi ruang kerjanya, membuat tubuh Luna menggigil. Ia tahu suaminya benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Lalu, suara Amel yang manja terdengar menusuk telinga Luna. “Itu yang di bawah cek, bukan, Sayang?” ujarnya sambil menunjuk selembar kertas yang tergeletak di lantai, persis di dekat kaki Luna. Arkana segera membungkuk, mengambil cek itu. Senyum puas terbit di wajahnya ketika menyadari kertas itu adalah uang dua miliar yang ia butuhkan. Tanpa sedikit pun mengucapkan terima kasih ke istrinya, Arkana menatap dingin dan berkata, “Pergi dari sini. Jangan pernah berani datang lagi ke tempat ini. Dan satu lagi, jangan coba-coba meminta cerai atau menggugat cerai aku. Kalau kamu berani melakukannya, aku pastikan membuatmu cacat seumur hidupmu.” Ancaman itu membuat darah Luna serasa berhenti mengalir. Hatinya hancur berkeping-keping. Namun ia tak berani melawan. Dengan langkah gontai, ia berbalik dan pergi dari tempat itu. Baru saja ia sampai di lobi, suara Amel kembali terdengar lagi, menusuk telinganya. “Luna, tunggu!” serunya sambil berjalan mendekati Luna. Luna mematung di tempatnya. “Kamu tenang saja, aku tidak akan menyuruh Arkana menceraikanmu. Aku siap jadi istri kedua Mas Arka,” ucap Amel. Luna menoleh ke arah wanita tak tahu malu ini. Air matanya belum berhenti mengalir. “Suatu saat kamu juga akan merasakan seperti yang aku rasakan sekarang,” jawabnya lirih, sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu dengan hati yang remuk. Luna segera pulang ke rumah. Saat masuk ke dalam rumah, langkahnya terhenti ketika suara lantang ibu mertuanya terdengar sangat menyakitkan. “Dari mana saja kamu baru pulang jam segini? Sekretaris macam apa pulang lewat dari jam kerja? Sekretaris plus-plus?” tuduh wanita paruh baya itu tanpa tedeng aling-aling. Luna refleks menahan napas. Matanya memerah, air mata yang baru saja kering kembali menggenang. Ia mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi, lalu menoleh pelan ke arah ibu mertuanya yang sedang berdiri di dapur sambil mengaduk teh yang dibuatnya. “Luna pulang kerja langsung ke kantor Mas Arka untuk memberikan cek itu, Bu. Makanya Luna baru sampai di rumah,” jawabnya dengan suara serak, berusaha tetap tenang meski hatinya terasa perih. Bu Yuli segera mendekat. Ia menatap menantunya dari atas ke bawah seolah mencoba mencari kesalahan sang menantu. “Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak ikhlas membantu suamimu yang sedang kesusahan, hmmm?” tanyanya dingin. “Bu–bukan begitu, Bu…” sahut Luna terbata, suaranya nyaris tak terdengar. “Lalu apa?” desak Bu Yuli, alisnya terangkat, tatapannya menusuk ke relung hati Luna yang paling dalam. Luna menarik napas panjang, dadanya naik turun. Ia memberanikan diri membuka suara meski awalnya ragu. “Barusan… Luna memergoki Mas Arka sedang bermesraan dengan Amel,” ucapnya lirih. Luna berharap ibu mertuanya akan membelanya atau paling tidak menenangkan dirinya. Namun harapan itu seketika hancur saat jawaban sang ibu mertua terdengar begitu menyakitkan. “Baguslah. Arka butuh pewaris. Kalau Amel nanti hamil, anaknya akan jadi anakmu juga. Jangan campuri urusan Arka dengan Amel. Sekarang lebih baik kamu segera masak makan malam untuk kami.” Kata-kata itu diucapkan tanpa belas kasihan. Air mata Luna jatuh lagi tanpa bisa ditahan. Jantungnya berdetak kencang, menahan rasa sakit yang begitu dalam. Ia baru saja diperlakukan buruk oleh suaminya, dan kini justru dipaksa menerima wanita lain dalam rumah tangganya oleh ibu mertuanya sendiri. “Cepat, Luna. Amel dan Arka akan ikut makan malam di sini,” ucap Bu Yuli sekali lagi. Luna berdiri terpaku. Kakinya lemas, tubuhnya gemetar. Ternyata sang ibu mertua sudah mengetahui hubungan Arka dan Amel.Rasa kecewa bercampur marah membuat ulu hati Luna seperti diremas tangan tak kasat mata. Napasnya sesak, kepalanya pening. Dunia seolah hancur berkeping-keping di depan mata. Ia melihat dengan jelas, tanpa bisa menyangkal, suaminya sendiri sedang memanjakan perempuan lain. Dan parahnya lagi, Arkana bahkan sedang menunggu anak dari perempuan itu.Luna ingin percaya bahwa semua yang dia lihat hanyalah mimpi buruk, tetapi setiap kata yang meluncur dari bibir mereka terdengar jelas, menyayat hatinya. Arkana belum sadar kalau dirinya dan Devan sudah berdiri tidak jauh dari sana. Ia begitu sibuk memuja perempuan itu, seakan-akan Luna yang notabene adalah istrinya yang sah tak pernah dianggap ada.“Sayang, aku mau yang ini. Menurutmu gimana?” tanya Amel dengan suara manja.Luna bisa merasakan telinganya panas mendengar panggilan itu. “Sayang.” Kata yang dulu begitu berarti baginya, kini keluar dari mulut seorang selingkuhan, seolah gelar wanita yang paling dicintai Arka itu memang milik Amel
“Paaaaaak, nanti ada orang,” ucap Luna dengan suara bergetar. Dia melirik kanan kiri, takut kalau ada satpam yang memperhatikan mobil mereka yang sudah terlalu lama berhenti di area parkir. Perasaan tak nyaman itu membuat tubuhnya tegang, apalagi mengingat tempat mereka berada sekarang bukanlah lokasi yang aman untuk melakukan hal seperti ini.“Makanya jangan berisik. Buruan cium aku,” jawab Devan sambil mencondongkan tubuhnya, ucapannya terdengar seperti perintah. Sekilas Luna bisa merasakan kalau pria ini tak terbiasa mendengar penolakan.Luna menghela napas, lalu memejamkan matanya. Ia tidak boleh protes. Baginya, semua sudah terlambat. Uang dua miliar yang dulu sempat membuatnya gelisah kini sudah berada di tangan suaminya, Arkana, pria yang selama ini hanya memberinya penderitaan. Hidupnya seperti sudah digadaikan. Maka sekarang, apapun yang Devan lakukan padanya, ia hanya bisa pasrah.Tubuhnya sudah bukan miliknya lagi. Luna bahkan tak tahu sampai kapan ia harus menjalani kehidu
Mereka pun segera bersiap menuju tempat meeting. Untung saja Luna memang pintar dan cekatan. Meski statusnya masih sekretaris magang, ia sudah bisa benar-benar mengimbangi kinerja Devan. Semua tugas yang dibebankan kepadanya selalu ia kerjakan dengan sungguh-sungguh.Devan tahu persis soal itu. Ia sering memperhatikan gerak-gerik Luna, bagaimana perempuan itu mengatur berkas, menyiapkan dokumen, bahkan sampai hal kecil seperti cara Luna menjawab telepon klien. Dalam hati, Devan harus mengakui kalau Luna berbeda dengan sekretaris-sekretaris sebelumnya.Namun, Devan tetaplah Devan. Pimpinan yang baik, iya. Ia tak pernah segan membantu Luna setiap kali perempuan itu kesulitan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai sekretaris. Tapi di balik kebaikannya, selalu ada imbalan yang ia tuntut. Minimal sebuah ciuman penuh hasrat dari sang sekretaris, sebagai bentuk “bayaran” kecil atas bantuan yang ia berikan. Licik iya. Tapi nafsunya sangat besar setiap kali ada Luna.Sopir perusahaan sebenarn
“Saya seperti menyusui bayi tiap pagi, pak,” ucap Luna sambil merapikan bajunya. Wajahnya terlihat kesal dan bibirnya yang mengerucut justru membuat Devan semakin gemas melihatnya.Untung saja, hanya bagian dadanya yang tadi dihisap pria itu, bukan lebih dari itu. Di tengah kesibukannya untuk mempersiapkan berkas yang dibawa saat meeting nanti, ia justru harus melayani hasrat atasannya. Tapi untung saja Devan tidak membawanya ke ruangan pribadi milik pria itu yang ada di ruang kerjanya.“Kan memang tugasmu menyusuiku setiap hari. Kapan pun aku mau, kau harus siap melayaniku tanpa boleh membantah,” jawab Devan santai, sambil meraih jas yang tersampir di kursi kerjanya.Luna hanya menghela napas pendek. Kalau saja Devan tidak ingat mereka punya meeting besar dengan klien penting, mungkin pagi ini ia sudah kembali terperangkap dalam pelukan pria itu. Devan bukan tipe yang bisa cepat selesai ketika melampiaskan hasratnya. Luna tahu benar, kalau Devan mulai, mereka bisa terjebak berjam-jam
“Hey, siapa yang mau memukulmu? Aku hanya ingin mengambil sisir yang masih nyangkut di rambutmu,” ucap Devan datar, tapi matanya tak lepas dari wajah Luna yang tampak pucat.Luna tertegun. Tangan kirinya refleks menutupi kepala, sementara tubuhnya sudah berjongkok di lantai, seakan sedang menanti tamparan yang biasanya ia terima dari Arkana. Devan hanya bisa memandangi pemandangan itu dengan heran sekaligus prihatin. Dari posisi berdirinya, ia bisa jelas melihat kalau perempuan itu menanggung trauma berat. Luka yang bukan tampak di kulit, melainkan tertanam dalam hati karena perilaku suaminya sendiri.“Ja… jadi Bapak tidak akan pukul saya?” tanya Luna terbata-bata. Suaranya lirih, tapi jelas terdengar seperti orang yang sedang ketakutan. Hatinya masih diliputi rasa bersalah karena datang terlambat ke kantor pagi ini. Semua itu bukan karena dirinya malas, melainkan akibat ulah ibu mertuanya yang sejak pagi sudah menyuruhnya membuat sarapan, menyapu, mengepel, hingga membersihkan dapur.
Byuuuuuur!Tubuh Luna seketika basah kuyup. Air dingin dari satu ember penuh mengguyur seluruh tubuhnya tanpa ampun. Ia tersentak, terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu. Rasa dingin meresap cepat ke kulitnya, membuat tubuhnya sedikit menggigil.“Banguuuun! Kau pikir tinggal di hotel, bisa bangun seenaknya? Dasar menantu tidak tahu diri!” teriak Bu Yuli, dengan penuh amarah. Ember kosong masih dipegangnya, lalu diletakkan dengan kasar di lantai, menimbulkan bunyi keras yang membuat dada Luna makin sesak.Air menetes dari rambut dan baju Luna, membasahi sprei tipis yang ia gunakan semalaman. Luna mengusap wajahnya yang basah, mencoba memastikan apa yang barusan terjadi bukan sekadar mimpi buruk. Namun teriakan berikutnya dari Bu Yuli menegaskan kenyataan pahit itu.“Puas kau sekarang?! Gara-gara kau, Arkana bertengkar dengan Amel! Puas kau sekarang melihat mereka tidak baikan?! Amel sampai pergi dari rumah ini! Dasar perempuan mandul! Ada saja kelakuanmu yang bikin kami muak