Luna segera masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu rapat-rapat lalu bersandar lemah pada daun pintu. Bahunya bergetar menahan tangis yang sejak tadi tidak juga reda. Air matanya terus jatuh, membasahi pipi yang sudah memerah karena terlalu sering diusap dengan telapak tangan.
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski dalam benaknya masih terngiang tentang perselingkuhan suaminya yang baru ia ketahui. Bayangan wajah Arkana yang berciuman mesra dengan perempuan lain seolah menempel kuat di benaknya. Perlahan Luna melangkah menuju kamar mandi. Ia menyalakan keran, membiarkan air mengalir deras ke wajahnya. Air itu bercampur dengan sisa air mata, membuat kedua matanya terasa perih. Ia menatap wajahnya di cermin, melihat bayangan dirinya dengan mata sembab dan wajah letih. “Aku harus kuat,” bisiknya lirih, meski hatinya hancur lebur. Luna bergegas membersihkan diri, menghapus semua jejak tangis yang tadi mengotori wajahnya. Setelah merasa sedikit lebih segar, Luna mengenakan pakaian rumahan. Ia tak ingin terlalu lama di kamar, Luna harus segera masak makan malam untuk tamu spesial suami dan ibu mertuanya. Saat Luna mulai mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas, suara Bu Yuli terdengar begitu nyaring menusuk telinganya. “Masak yang enak. Jangan dikit-dikit nangis,” seru Bu Yuli dari ruang tamu. “Harusnya kamu itu bersyukur. Suami kamu masih mau mempertahankanmu, padahal dia sudah jelas-jelas ingin punya anak. Sekarang kalau ada perempuan lain yang bisa memberikan anak untuknya, biarkan saja. Nanti kamu tinggal rawat anak itu seperti anakmu sendiri.” Luna menghentikan gerakan tangannya sejenak. Pisau yang sedang ia pegang terasa berat. Matanya panas, tapi ia memilih tidak menjawab. Ia tahu, setiap balasan hanya akan memicu pertengkaran. Wanita paruh baya itu tidak berhenti sampai di situ. “Jangan sekali-sekali kamu minta cerai dari Arkana. Kalau memang dia sudah bosan sama kamu, biarkan dia yang memutuskan untuk menceraikanmu. Ibu ini pusing melihat kalian ribut terus. Sesekali jadilah istri yang pengertian. Sudah tahu punya suami temperamental, masih juga jadi istri yang tidak becus.” Uap panas dari wajan mulai mengepul, membuat wajah Luna semakin panas. Namun, panas itu tak sebanding dengan panas yang menusuk hatinya. Tangannya sibuk membuat hidangan makan malam, sementara dadanya perih seperti diremas tangan tak kasat mata akibat kalimat-kalimat menyakitkan yang meluncur tanpa henti dari mulut ibu mertuanya. Sekali lagi, Luna memilih diam. Tetapi rupanya diamnya itu dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Bu Yuli berdiri, melangkah mendekat ke dapur. Suaranya meninggi. “Kamu dengar tidak, Luna, apa yang ibu bilang?” bentaknya. Luna menelan ludah, lalu menjawab lirih, “Dengar, Bu.” “Kalau kamu mau cerai, berarti kamu harus mengembalikan semua uang yang pernah keluarga kami keluarkan untuk pengobatan Ayahmu dulu. Ingat itu. Tapi kalau kamu tidak mampu mengembalikan, jangan harap bisa minta cerai hanya karena Arkana punya wanita lain. Lihat diri kamu sendiri! Kamu itu perempuan mandul. Masih syukur kamu dijadikan istri oleh anakku!” Luna mencoba menahan air mata agar tidak jatuh, namun pertahanan yang gagal. Ia mengusapnya cepat-cepat, berharap Bu Yuli tidak melihatnya. “Ya Tuhan. Sampai kapan aku harus begini? Aku jijik disentuh oleh suamiku setelah tahu dia bersama perempuan lain,” bisiknya lirih penuh rasa sakit. *** Di sisi lain, Arkana sedang bersiap pulang ke rumah bersama Amel. Kini tak ada lagi yang ia sembunyikan dari istrinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika di depan lobi ia melihat Devan sedang bersandar di mobilnya. Pria itu berdiri tegak dengan tangan terlipat di dada, kacamata hitam membingkai matanya. Sebetulnya Devan sudah datang sebelum Luna sampai di kantor ini. Tapi Devan lebih memilih membiarkan Luna masuk dan dia tetap berada di dalam mobilnya. Bahkan Devan melihat dengan mata kepalanya sendiri Luna menangis keluar dari tempat bisnis suaminya. Dan sekarang terjawab sudah yang membuat Luna menangis. Arkana buru-buru menjauhkan tangan Amel dari lengannya, berusaha menampilkan sikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ia kemudian melangkah mendekat. “Devan, apa kamu mau masuk ke dalam? Tapi di dalam masih sepi,” ucap Arkana, mencoba terdengar biasa saja seakan Dia sedang menyambut pelanggannya. Devan menoleh pelan dengan wajah datar. Tangannya masih terlipat di depan dada, seakan tidak berniat mengubah sikap. “Bisa kita bicara sebentar, Arka?” tanya Devan tanpa basa-basi. Arkana menghela napas singkat, lalu menggeleng. “Mungkin lain kali, Devan. Sekarang aku sedikit terburu-buru,” jawabnya cepat. Ia jelas ingin menghindari percakapan itu. Dalam hati, Arkana hanya ingin segera pergi dan berpura-pura tidak tahu soal uang dua miliar itu. “Ini soal uang yang akan kamu pinjam. Aku mau buat perjanjian denganmu,” ujar Devan dingin. Suasana di antara mereka lebih menyerupai dua musuh dalam dunia bisnis daripada terlihat seperti sahabat masa kecil. Arkana menggeleng, mencoba menolak lagi. “Oh soal itu. Sama Luna saja ya. Aku benar-benar harus segera pulang, barusan Ibu menelponku sepertinya Ibuku sedang sakit.” Arkana kembali mencoba memberi alasan untuk menolak ajakan Devan. Namun Devan langsung memotong, suaranya tegas. “Cek yang kuberikan pada Luna itu adalah cek kosong.” Mata Arkana melebar. Ia yakin pendengarannya tidak beres. “Jangan bercanda, Devan,” ucapnya. Dia mencoba menahan kesal. “Kalau kamu tidak percaya, coba saja tukarkan cek itu ke bank,” ucapnya lagi. Hening beberapa saat, sampai akhirnya Arkana mengangguk. “Baiklah kalau begitu, ayo ikut aku ke ruanganku,” jawab Arkana mengalah. Devan pun menyusul Arkana masuk lebih jauh ke dalam tempat hiburan malam milik sahabat kecilnya itu, sementara Amel memilih duduk di depan bartender. “Silakan duduk,” ucap Arkana, sambil menunjuk kursi di depan meja kerjanya. Devan duduk di depan ruang kerja Arka. Pria itu meletakkan map berwarna coklat di atas meja kerja Arkana, lalu dengan tegas ia berkata, “Aku akan memberikan pinjaman itu. Tapi ada syarat yang harus kamu dan Luna penuhi. Luna sudah menandatangani surat perjanjian, sekarang giliranmu.” Arkana masih diam, mendengarkan apa yang akan disampaikan sahabat kecilnya ini. “Mulai besok, sampai hutang itu lunas, Luna akan menjadi sekretaris pribadiku. Dia harus datang tepat waktu, siap lembur, dan siap ikut dalam perjalanan bisnis ke luar negeri maupun luar kota. Kamu tidak bisa menghalanginya. Dengan kata lain, kamu sudah menjadikan istrimu sebagai jaminan atas uang yang kamu pinjam padaku. Kalau kamu melanggar, maka duit itu harus dikembalikan dua kali lipat.” “Gampang. Mana suratnya?” ujar Arkana lagi, terburu-buru, takut Devan berubah pikiran dan membatalkan pinjamannya. “Dengarkan dulu. Syarat yang kedua—” namun ucapan Devan terpotong. “Aku tidak peduli apa pun syarat yang kamu berikan. Yang jelas aku akan menyetujuinya demi uang dua miliar,” sambarnya cepat.Rasa kecewa bercampur marah membuat ulu hati Luna seperti diremas tangan tak kasat mata. Napasnya sesak, kepalanya pening. Dunia seolah hancur berkeping-keping di depan mata. Ia melihat dengan jelas, tanpa bisa menyangkal, suaminya sendiri sedang memanjakan perempuan lain. Dan parahnya lagi, Arkana bahkan sedang menunggu anak dari perempuan itu.Luna ingin percaya bahwa semua yang dia lihat hanyalah mimpi buruk, tetapi setiap kata yang meluncur dari bibir mereka terdengar jelas, menyayat hatinya. Arkana belum sadar kalau dirinya dan Devan sudah berdiri tidak jauh dari sana. Ia begitu sibuk memuja perempuan itu, seakan-akan Luna yang notabene adalah istrinya yang sah tak pernah dianggap ada.“Sayang, aku mau yang ini. Menurutmu gimana?” tanya Amel dengan suara manja.Luna bisa merasakan telinganya panas mendengar panggilan itu. “Sayang.” Kata yang dulu begitu berarti baginya, kini keluar dari mulut seorang selingkuhan, seolah gelar wanita yang paling dicintai Arka itu memang milik Amel
“Paaaaaak, nanti ada orang,” ucap Luna dengan suara bergetar. Dia melirik kanan kiri, takut kalau ada satpam yang memperhatikan mobil mereka yang sudah terlalu lama berhenti di area parkir. Perasaan tak nyaman itu membuat tubuhnya tegang, apalagi mengingat tempat mereka berada sekarang bukanlah lokasi yang aman untuk melakukan hal seperti ini.“Makanya jangan berisik. Buruan cium aku,” jawab Devan sambil mencondongkan tubuhnya, ucapannya terdengar seperti perintah. Sekilas Luna bisa merasakan kalau pria ini tak terbiasa mendengar penolakan.Luna menghela napas, lalu memejamkan matanya. Ia tidak boleh protes. Baginya, semua sudah terlambat. Uang dua miliar yang dulu sempat membuatnya gelisah kini sudah berada di tangan suaminya, Arkana, pria yang selama ini hanya memberinya penderitaan. Hidupnya seperti sudah digadaikan. Maka sekarang, apapun yang Devan lakukan padanya, ia hanya bisa pasrah.Tubuhnya sudah bukan miliknya lagi. Luna bahkan tak tahu sampai kapan ia harus menjalani kehidu
Mereka pun segera bersiap menuju tempat meeting. Untung saja Luna memang pintar dan cekatan. Meski statusnya masih sekretaris magang, ia sudah bisa benar-benar mengimbangi kinerja Devan. Semua tugas yang dibebankan kepadanya selalu ia kerjakan dengan sungguh-sungguh.Devan tahu persis soal itu. Ia sering memperhatikan gerak-gerik Luna, bagaimana perempuan itu mengatur berkas, menyiapkan dokumen, bahkan sampai hal kecil seperti cara Luna menjawab telepon klien. Dalam hati, Devan harus mengakui kalau Luna berbeda dengan sekretaris-sekretaris sebelumnya.Namun, Devan tetaplah Devan. Pimpinan yang baik, iya. Ia tak pernah segan membantu Luna setiap kali perempuan itu kesulitan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai sekretaris. Tapi di balik kebaikannya, selalu ada imbalan yang ia tuntut. Minimal sebuah ciuman penuh hasrat dari sang sekretaris, sebagai bentuk “bayaran” kecil atas bantuan yang ia berikan. Licik iya. Tapi nafsunya sangat besar setiap kali ada Luna.Sopir perusahaan sebenarn
“Saya seperti menyusui bayi tiap pagi, pak,” ucap Luna sambil merapikan bajunya. Wajahnya terlihat kesal dan bibirnya yang mengerucut justru membuat Devan semakin gemas melihatnya.Untung saja, hanya bagian dadanya yang tadi dihisap pria itu, bukan lebih dari itu. Di tengah kesibukannya untuk mempersiapkan berkas yang dibawa saat meeting nanti, ia justru harus melayani hasrat atasannya. Tapi untung saja Devan tidak membawanya ke ruangan pribadi milik pria itu yang ada di ruang kerjanya.“Kan memang tugasmu menyusuiku setiap hari. Kapan pun aku mau, kau harus siap melayaniku tanpa boleh membantah,” jawab Devan santai, sambil meraih jas yang tersampir di kursi kerjanya.Luna hanya menghela napas pendek. Kalau saja Devan tidak ingat mereka punya meeting besar dengan klien penting, mungkin pagi ini ia sudah kembali terperangkap dalam pelukan pria itu. Devan bukan tipe yang bisa cepat selesai ketika melampiaskan hasratnya. Luna tahu benar, kalau Devan mulai, mereka bisa terjebak berjam-jam
“Hey, siapa yang mau memukulmu? Aku hanya ingin mengambil sisir yang masih nyangkut di rambutmu,” ucap Devan datar, tapi matanya tak lepas dari wajah Luna yang tampak pucat.Luna tertegun. Tangan kirinya refleks menutupi kepala, sementara tubuhnya sudah berjongkok di lantai, seakan sedang menanti tamparan yang biasanya ia terima dari Arkana. Devan hanya bisa memandangi pemandangan itu dengan heran sekaligus prihatin. Dari posisi berdirinya, ia bisa jelas melihat kalau perempuan itu menanggung trauma berat. Luka yang bukan tampak di kulit, melainkan tertanam dalam hati karena perilaku suaminya sendiri.“Ja… jadi Bapak tidak akan pukul saya?” tanya Luna terbata-bata. Suaranya lirih, tapi jelas terdengar seperti orang yang sedang ketakutan. Hatinya masih diliputi rasa bersalah karena datang terlambat ke kantor pagi ini. Semua itu bukan karena dirinya malas, melainkan akibat ulah ibu mertuanya yang sejak pagi sudah menyuruhnya membuat sarapan, menyapu, mengepel, hingga membersihkan dapur.
Byuuuuuur!Tubuh Luna seketika basah kuyup. Air dingin dari satu ember penuh mengguyur seluruh tubuhnya tanpa ampun. Ia tersentak, terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu. Rasa dingin meresap cepat ke kulitnya, membuat tubuhnya sedikit menggigil.“Banguuuun! Kau pikir tinggal di hotel, bisa bangun seenaknya? Dasar menantu tidak tahu diri!” teriak Bu Yuli, dengan penuh amarah. Ember kosong masih dipegangnya, lalu diletakkan dengan kasar di lantai, menimbulkan bunyi keras yang membuat dada Luna makin sesak.Air menetes dari rambut dan baju Luna, membasahi sprei tipis yang ia gunakan semalaman. Luna mengusap wajahnya yang basah, mencoba memastikan apa yang barusan terjadi bukan sekadar mimpi buruk. Namun teriakan berikutnya dari Bu Yuli menegaskan kenyataan pahit itu.“Puas kau sekarang?! Gara-gara kau, Arkana bertengkar dengan Amel! Puas kau sekarang melihat mereka tidak baikan?! Amel sampai pergi dari rumah ini! Dasar perempuan mandul! Ada saja kelakuanmu yang bikin kami muak