Luna memejamkan mata ketika jarak mereka tinggal beberapa sentimeter. Jantungnya berdebar tak karuan, tapi suara Devan terdengar begitu jauh—membuatnya refleks membuka mata.
“Duduk,” ucap Devan datar. Luna tertegun. Sejak kapan pria itu sudah duduk di kursinya? Seketika wajahnya panas sendiri. Kenapa tadi ia harus memejamkan mata? Malu sekali rasanya. Dengan gugup, Luna melangkah mendekat lalu duduk di hadapan Devan. Tak lama kemudian, Devan mengambil sebuah map berwarna merah dan meletakkannya di atas meja, tepat di depan Luna. “Ingat, dalam perjanjian utang piutang ini, kalau sampai ada syarat yang kamu langgar, maka kamu harus membayar dua kali lipat dari uang yang sudah saya keluarkan." "Baik, Pak." "Dan satu lagi, nanti jam tujuh malam, saya tunggu kamu di rumah saya.” Mata Luna melebar. Pergi ke rumah pria ini? Apa kata tetangga nanti. Devan memang lajang, sementara dirinya sudah bersuami—meski kini hanya seorang istri yang terpaksa menjual diri pada sang atasan. Bagaimana caranya ia menolak? “Tapi, Pak—” baru saja ia hendak membantah, suara Devan kembali membuat Luna bungkam. “Saya tidak mau mendengar penolakan. Silakan baca isi perjanjiannya. Kalau setuju, tanda tangani. Setelah itu, saya akan langsung memberikan pinjaman dua miliar rupiah untukmu.” Luna menelan ludah. Dengan tangan gemetar, ia meraih map merah itu, lalu membuka lembar demi lembarnya. Napasnya tercekat ketika membaca isinya. Ia diwajibkan memenuhi semua permintaan Devan selama utang itu belum lunas. Ia harus siap ikut dalam perjalanan dinas ke luar negeri maupun luar kota, mendahulukan urusan kantor di atas urusan pribadi, tidak boleh datang terlambat, siap lembur, dan wajib menemani Devan dalam setiap acara yang ada urusannya dengan kantor. Dan yang paling menghancurkan harga dirinya adalah poin terakhir menyatakan bahwa ia dilarang melibatkan perasaan dalam hubungan mereka. Di sana tertulis jelas kalau dirinya hanyalah pemuas hasrat atasannya. Luna menarik napas panjang. Tak ada pilihan lain yang ia punya. Menolak berarti membatalkan pinjaman, dan itu sama saja akan membuat hidupnya seperti di neraka. Dengan hati yang hancur, Luna akhirnya menandatangani perjanjian itu. Sejak detik itu juga, ia tahu harga dirinya telah tergadai… kepada Devan. “Su–sudah, Pak,” ucap Luna. Dia menyerahkan kembali map itu kepada Devan. Devan meraih map itu untuk memastikan Kalau tidak ada yang dilewati oleh Luna. Setelah semuanya ditandatangani oleh sekretarisnya, pria itu pun memasukkan mat tersebut ke dalam laci kerjanya. “Mulai sekarang kamu harus patuh pada perintah saya sampai utang itu lunas,” ujar Devan. Luna mengangguk dan menjawab, “baik, pak.” “Saya tidak peduli uang itu mau kamu pakai apa. Yang saya mau kamu harus ada setiap kali saya menginginkanmu. Saya tak peduli kamu istri orang atau bukan, karena jaminan untuk utang itu adalah pelayanan terbaikmu di atas ranjang.” Kenapa sakit sekali rasanya mendengar ucapan Devan? Kalau seperti ini semakin jelas jika Luna menjual dirinya pada sang tetangga. Sampai kapan semua ini terjadi? Lalu bagaimana kalau Arkana mengetahui kalau Luna tidur dengan sahabat masa kecilnya? “Ya Tuhan, berat sekali ujian hidup yang harus saya lalui,” Luna membatin. Tapi suara Devan kembali membuyarkan lamunannya. “Ngomong-ngomong kenapa tidak pinjam uang ke bank? Bukankah suamimu bisa jaminkan rumahnya untuk mendapat pinjaman?” tanya Devan. Luna menarik napas berat, “Semua surat-surat berharga termasuk sertifikat rumah sudah digadaikan ke bank, Pak. Dan semua uangnya dibawa kabur oleh orang kepercayaannya.” Tak ada yang Luna tutup-tutupi dari Devan. Karena memang itulah yang sebenarnya terjadi. “Apa kamu yakin kalau uangnya dibawa kabur bawahannya? Atau jangan-jangan dia suka main perempuan dan berjudi?” Luna terdiam. Karena memang dia tidak tahu alasan lain, selain semua harta Arkana dibawa kabur oleh orang kepercayaannya. “Kemarilah,” panggil Devan. Luna mematung. Apa yang akan dilakukan pria ini? pikirnya. Devan memundurkan kursi kebesarannya seakan memberi ruang untuk Luna berdiri di depannya. Pria itu sekali lagi memanggil Luna, “ayo mendekatlah kalau mau bawa uang dua miliar pulang,” ucap Devan dengan wajah datar. Luna berdiri dan mendekati atasannya. Jantungnya berdegup kencang. Langkahnya terhenti persis di samping Devan. Pria itu memutar kursinya dan kini keduanya sudah berhadap-hadapan. “Duduk,” ucap Devan sambil menepuk pangkuannya. “Sa–saya-” Luna tak sanggup melanjutkan ucapannya. Wajahnya pucat membayangkan harga dirinya hancur hanya karena memenuhi permintaan suaminya. “Kalau mau bawa pulang cek itu sekarang, maka lakukan yang saya perintahkan,” ucapan Devan lebih dingin dari AC ruang kerjanya. Dengan gugup Luna melakukan permintaan Devan. Dia duduk di atas pangkuan pria itu. Tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin membasahi tubuhnya kala tangan Devan menyentuh paha Luna. Dan sialnya hari ini Luna memakai rok hitam membuat paha rampingnya yang ada noda lebam terlihat oleh Devan. Tangan Devan menyentuh noda lebam itu namun tak ada komentar apapun darinya. “Lebarkan kakimu, Luna,” ucap Devan. “Tapi, pak-” “Kamu hanya boleh menuruti ucapan saya,” ucap pria itu. “To–tolong jangan lakukan itu, pak,” pintanya memelas meski Luna tahu itu tidak akan mengubah apapun. “Buka kakimu-” kata Devan sekali lagi. Luna menelan ludah dan membuka lebar kakinya. Tanpa ragu Devan memasukan jarinya ke dalam goa sempit sang sekretaris. Luna nyaris tak bisa bernapas kala untuk pertama kali area sensitifnya disentuh lelaki lain yang bukan suaminya. “Paaaaaak-” Luna refleks mengalungkan tangannya di leher pria itu. Sentuhan Devan semakin dalam membuat Luna melenguh. “Kamu sudah basah, Lun,” ucap Devan membuat wajah Luna seperti buah tomat. Ingin menolak, tapi ini salah satu syaratnya untuk pinjaman itu. Devan menarik tangannya. Luna seketika berdiri dan merapikan penampilannya. Devan membersihkan jarinya dengan tisu. “Gimana rasanya?” tanya Devan. Namun tak ada jawaban dari Luna. Melihat Luna terdiam Devan lalu mengeluarkan cek sebesar 2 miliar. “Ingat, mulai detik ini juga tubuhmu sudah dijadikan jaminan utang.” Luna mengangguk, “ba–baik, pak,” jawabnya. “Ambil, dan keluarlah. Ingat nanti malam kamu tidak boleh datang terlambat.” Luna kembali mengangguk. Dia pun akhirnya kembali ke meja kerjanya untuk melanjutkan pekerjaan yang tadi sempat tertunda. Luna duduk di kursinya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan mencoba menyembunyikan rasa malunya. Namun semua sudah terjadi dan mungkin setelah ini akan sering ada kegiatan panas di balik ruang kerja atasannya. Tak ingin larut memikirkan rasa malunya, Luna bergegas melanjutkan pekerjaannya. Beberapa jam kemudian, ketika jam pulang kantor tiba dan setelah memastikan Devan pulang lebih dulu, Luna bergegas memesan taksi online. Dia akan ke kantor suaminya untuk memberikan cek dua miliar ini. Dua puluh menit kemudian, Luna tiba di klub malam milik suaminya. Tanpa ragu ia masuk, lalu naik ke lantai dua menuju ruang kerja Arkana. Meski tempat itu baru buka 2 jam lagi, ia yakin suaminya sudah ada di sana. Dengan perasaan lega karena membawa cek dua miliar, Luna membuka pintu sambil tersenyum kecil. Namun niat ingin memberi kejutan pada suaminya, justru dirinya yang dibuat terkejut oleh pria itu. Ceklek Mata Luna terbelalak. Napasnya tercekat saat melihat Arkana sedang memangku seorang wanita seksi dan berciuman penuh hasrat. Bahkan pakain keduanya sudah berantakan. Sontak tubuh mereka menjauh saat melihat pintu terbuka. Cek yang Luna genggam terlepas jatuh ke lantai. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Dadanya sakit seperti diremas tangan tak kasat mata, seakan semua pengorbanan yang ia lakukan tidak pernah berarti apapun untuk Arkana. “Siapa yang menyuruhmu masuk tanpa izin, huh?” bentak Arkana.Rasa kecewa bercampur marah membuat ulu hati Luna seperti diremas tangan tak kasat mata. Napasnya sesak, kepalanya pening. Dunia seolah hancur berkeping-keping di depan mata. Ia melihat dengan jelas, tanpa bisa menyangkal, suaminya sendiri sedang memanjakan perempuan lain. Dan parahnya lagi, Arkana bahkan sedang menunggu anak dari perempuan itu.Luna ingin percaya bahwa semua yang dia lihat hanyalah mimpi buruk, tetapi setiap kata yang meluncur dari bibir mereka terdengar jelas, menyayat hatinya. Arkana belum sadar kalau dirinya dan Devan sudah berdiri tidak jauh dari sana. Ia begitu sibuk memuja perempuan itu, seakan-akan Luna yang notabene adalah istrinya yang sah tak pernah dianggap ada.“Sayang, aku mau yang ini. Menurutmu gimana?” tanya Amel dengan suara manja.Luna bisa merasakan telinganya panas mendengar panggilan itu. “Sayang.” Kata yang dulu begitu berarti baginya, kini keluar dari mulut seorang selingkuhan, seolah gelar wanita yang paling dicintai Arka itu memang milik Amel
“Paaaaaak, nanti ada orang,” ucap Luna dengan suara bergetar. Dia melirik kanan kiri, takut kalau ada satpam yang memperhatikan mobil mereka yang sudah terlalu lama berhenti di area parkir. Perasaan tak nyaman itu membuat tubuhnya tegang, apalagi mengingat tempat mereka berada sekarang bukanlah lokasi yang aman untuk melakukan hal seperti ini.“Makanya jangan berisik. Buruan cium aku,” jawab Devan sambil mencondongkan tubuhnya, ucapannya terdengar seperti perintah. Sekilas Luna bisa merasakan kalau pria ini tak terbiasa mendengar penolakan.Luna menghela napas, lalu memejamkan matanya. Ia tidak boleh protes. Baginya, semua sudah terlambat. Uang dua miliar yang dulu sempat membuatnya gelisah kini sudah berada di tangan suaminya, Arkana, pria yang selama ini hanya memberinya penderitaan. Hidupnya seperti sudah digadaikan. Maka sekarang, apapun yang Devan lakukan padanya, ia hanya bisa pasrah.Tubuhnya sudah bukan miliknya lagi. Luna bahkan tak tahu sampai kapan ia harus menjalani kehidu
Mereka pun segera bersiap menuju tempat meeting. Untung saja Luna memang pintar dan cekatan. Meski statusnya masih sekretaris magang, ia sudah bisa benar-benar mengimbangi kinerja Devan. Semua tugas yang dibebankan kepadanya selalu ia kerjakan dengan sungguh-sungguh.Devan tahu persis soal itu. Ia sering memperhatikan gerak-gerik Luna, bagaimana perempuan itu mengatur berkas, menyiapkan dokumen, bahkan sampai hal kecil seperti cara Luna menjawab telepon klien. Dalam hati, Devan harus mengakui kalau Luna berbeda dengan sekretaris-sekretaris sebelumnya.Namun, Devan tetaplah Devan. Pimpinan yang baik, iya. Ia tak pernah segan membantu Luna setiap kali perempuan itu kesulitan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai sekretaris. Tapi di balik kebaikannya, selalu ada imbalan yang ia tuntut. Minimal sebuah ciuman penuh hasrat dari sang sekretaris, sebagai bentuk “bayaran” kecil atas bantuan yang ia berikan. Licik iya. Tapi nafsunya sangat besar setiap kali ada Luna.Sopir perusahaan sebenarn
“Saya seperti menyusui bayi tiap pagi, pak,” ucap Luna sambil merapikan bajunya. Wajahnya terlihat kesal dan bibirnya yang mengerucut justru membuat Devan semakin gemas melihatnya.Untung saja, hanya bagian dadanya yang tadi dihisap pria itu, bukan lebih dari itu. Di tengah kesibukannya untuk mempersiapkan berkas yang dibawa saat meeting nanti, ia justru harus melayani hasrat atasannya. Tapi untung saja Devan tidak membawanya ke ruangan pribadi milik pria itu yang ada di ruang kerjanya.“Kan memang tugasmu menyusuiku setiap hari. Kapan pun aku mau, kau harus siap melayaniku tanpa boleh membantah,” jawab Devan santai, sambil meraih jas yang tersampir di kursi kerjanya.Luna hanya menghela napas pendek. Kalau saja Devan tidak ingat mereka punya meeting besar dengan klien penting, mungkin pagi ini ia sudah kembali terperangkap dalam pelukan pria itu. Devan bukan tipe yang bisa cepat selesai ketika melampiaskan hasratnya. Luna tahu benar, kalau Devan mulai, mereka bisa terjebak berjam-jam
“Hey, siapa yang mau memukulmu? Aku hanya ingin mengambil sisir yang masih nyangkut di rambutmu,” ucap Devan datar, tapi matanya tak lepas dari wajah Luna yang tampak pucat.Luna tertegun. Tangan kirinya refleks menutupi kepala, sementara tubuhnya sudah berjongkok di lantai, seakan sedang menanti tamparan yang biasanya ia terima dari Arkana. Devan hanya bisa memandangi pemandangan itu dengan heran sekaligus prihatin. Dari posisi berdirinya, ia bisa jelas melihat kalau perempuan itu menanggung trauma berat. Luka yang bukan tampak di kulit, melainkan tertanam dalam hati karena perilaku suaminya sendiri.“Ja… jadi Bapak tidak akan pukul saya?” tanya Luna terbata-bata. Suaranya lirih, tapi jelas terdengar seperti orang yang sedang ketakutan. Hatinya masih diliputi rasa bersalah karena datang terlambat ke kantor pagi ini. Semua itu bukan karena dirinya malas, melainkan akibat ulah ibu mertuanya yang sejak pagi sudah menyuruhnya membuat sarapan, menyapu, mengepel, hingga membersihkan dapur.
Byuuuuuur!Tubuh Luna seketika basah kuyup. Air dingin dari satu ember penuh mengguyur seluruh tubuhnya tanpa ampun. Ia tersentak, terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu. Rasa dingin meresap cepat ke kulitnya, membuat tubuhnya sedikit menggigil.“Banguuuun! Kau pikir tinggal di hotel, bisa bangun seenaknya? Dasar menantu tidak tahu diri!” teriak Bu Yuli, dengan penuh amarah. Ember kosong masih dipegangnya, lalu diletakkan dengan kasar di lantai, menimbulkan bunyi keras yang membuat dada Luna makin sesak.Air menetes dari rambut dan baju Luna, membasahi sprei tipis yang ia gunakan semalaman. Luna mengusap wajahnya yang basah, mencoba memastikan apa yang barusan terjadi bukan sekadar mimpi buruk. Namun teriakan berikutnya dari Bu Yuli menegaskan kenyataan pahit itu.“Puas kau sekarang?! Gara-gara kau, Arkana bertengkar dengan Amel! Puas kau sekarang melihat mereka tidak baikan?! Amel sampai pergi dari rumah ini! Dasar perempuan mandul! Ada saja kelakuanmu yang bikin kami muak