Share

3

Author: sidonsky
last update Huling Na-update: 2025-09-14 18:43:32

Sejak pagi, suasana bandara sudah ramai. Tim IP Development berangkat dengan tiga orang—dua orang senior yang sudah terbiasa menangani project adaptasi, dan satu orang baru–dirinya sendiri. Ia masih belum sepenuhnya paham detail pekerjaannya, karena fokusnya terusik dengan pemikirannya yang ajaib sekali lebih memperhatikan garis otot daripada tugas yang diberikan. 

"Nora. Lo cuman perlu jadi bayangannya Pak Dirga, ya. Semua hal kecil yang mungkin terlewat, lo catet. Lokasi, properti, catatan sutradara, revisi penulis naskah. Anggap aja lo sekretaris lapangan." kata salah satu senior memberikan instruksi sebelum boarding.

Nora mengangguk-angguk, meski dalam hati ia merasa itu bukan pekerjaan kecil sama sekali.

"Kita bakalan pisah ya, Ra. Lo sama Pak Dirga, kita ke bagian manajemen sutradara dan investor." jelas seniornya lagi.

"Sendiri..sama Pak Dirga?" Nora hampir terbata, tapi buru-buru menutup mulut. Nora sempat ragu karna boarding pass miliknya terasa berbeda dari milik senior-seniornya.

"Lho, Kak..ini salah nggak, ya? Kok kursinya di depan banget?" tanya Nora bingung.

“Pak Dirga yang minta. Katanya ada hal yang harus disampaikan langsung ke lo di perjalanan. Anggap aja, itu privilege."

Nora tercekat. Privilege? Dia bahkan baru sehari bergabung di tim ini.

Meski ragu, Nora berjalan ke depan. Bagian bussiness class dengan suasana yang tentu berbeda dari suasana kelas ekonomi. Tak butuh waktu lama bagi Nora untuk mendapati sosok Dirgantara yang sudah duduk tenang sembari membuka dokumen di pangkuannya.

Nora menggeser tasnya, duduk dengan hati-hati di kursi sebelah Dirga yang kosong. Baru saja mengeluarkan novel Lembayung Senja, suara berat itu memotong.

"Kamu tahu kenapa saya minta kamu di sini?"

Nora menoleh cepat, "S–supaya saya bisa catat instruksi, Pak?"

Dirga menutup dokumennya, menatap lurus ke depan, "Bukan hanya itu, kamu butuh gambaran utuh soal pekerjaanmu. Kalau hanya ikut rapat formal, kamu akan bingung. Maka mulai sekarang, setiap kali ada perjalanan, kamu di kursi ini. Kamu catat, kamu dengar, bahkan hal-hal kecil yang tidak tertulis."

Nora masih memproses.

"Lebih tepatnya, tangan kanan sementara," jawab Dirga datar, "Catat pikiran saya sebelum hilang. Banyak ide saya muncul di tengah perjalanan atau bahkan di pesawat."

Nora menggenggam buku catatannya lebih erat. Rasanya seperti tiba-tiba naik level. Bukan sekedar anak baru yang ngintilin bos, tapi benar-benar dilibatkan langsung.

"Siap, Pak."

Dirga kembali menatap berkas di tangannya. "Kita akan langsung ke lokasi setelah mendarat."

Nora mengangguk patuh, niat membuka novel yang tadi sempat terhenti kembali ia lakukan. Berniat memahami novel populer yang nantinya akan menjadi proyek adaptasi film yang sekarang tengah ia kerjakan ini. Dan Yogyakarta dipilih sebagai titik awal, kota yang menjadi latar penting dalam novel itu.

Hanya itu yang Nora lakukan sambil sesekali mengeluarkan catatannya untuk menuliskan beberapa instruksi lanjutan dari Dirga sampai pesawat yang mereka naiki mendarat di bandara Adisutjipto.

Lokasi pertama adalah sebuah kafe semi outdoor yang akan menjadi tempat syuting adegan penting. Sutradara sudah menunggu di sana bersama kru.

"Pak Dirga, jadi di sini kami ingin menampilkan nuansa hangat tapi intim. Lighting agak tricky karena cahaya natural pasti akan sering berubah," jalas sang sutradara.

Dirgantara mengangguk, "Catat," katanya, melirik Nora.

Nora cepat-cepat menulis di buku catatan.  Lighting tricky. Solusi, lampu tambahan. Nuansa intim.

Sutradara sudah lanjut menjelaskan detail, meja yang akan di ganti, arah kamera, hingga dinding yang perlu dicat ulang. Nora menuliskan semuanya, bahkan jemarinya sampai pegal.

Siang harinya, rombongan singgah di rumah makan tradisional. Nora duduk bersebrangan dengan Dirga. Tangannya sedikit gemetar saaat menuangkan teh ke gelasnya sendiri.

"Capek?" tanya Dirga tanpa menoleh, masih sibuk membuka map berisi skenario. 

Nora sontak menggeleng, tangannya kini beralih, berniat menuangkan kuah soto di hadapan sebelum sikunya menyenggol piring. Membuat kuah makanan tumpah yang sebagian membasahi kemejanya sendiri.

"Astaga!" Nora panik, berdiri buru-buru sambil meraih tisu.

"Pakai ini."

Nora menoleh, kaget ketika kemeja hitam terlipat sudah ada di depannya.

"Baju cadangan ada di mobil. Saya bisa ambil yang lain nanti. Sekarang pakai saja, sebelum semua orang melirik."

Nora tercekat, ia bisa merasakan beberapa tatapan kru yang memang sudah melirik ke arahnya. Dengan wajah memanas, ia meraih kemeja itu dan bergegas pergi menuju toilet.

Saat menutup pintu, ia menatap kemeja hitam di tangannya. Masih ada aroma parfum kayu yang khas. Jantungnya berdetak makin kencang membuat sekali lagi bayangan dalam naskah fantasinya terlintas.

Namun buru-buru Nora enyahkan. Ia tak ada waktu untuk itu, jadi setelah mengganti baju basah dan baunya dengan kemeja hitam yang kebesaran, Nora kembali melangkahkan kakinya keluar. 

Saat ia kembali ke meja, Dirga menatap sekilas, benar-benar hanya sekilas tapi cukup membuat jantung Nora berdegup tak karuan. 

"Sudah?" 

Nora hanya menganguk, mencoba mengikuti langkah cepat Dirga sampai tubuhnya oleng saat kakinya menginjak kuah makanan yang tadi ia tumpahkan sendiri.

Refleks, tangan kokoh Dirga menangkap lengan kecilnya. Tarikan yang membuat Nora nyaris menabrak dada bidangnya. Ia bahkan bisa mencium wangi maskulin dari kulit Dirga.

"Hati-hati. Saya tidak mau repot menggendong kamu hanya karna kakimu terkilir di hari pertama.”



Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   193 (Epilog)

    Rumah Dirgantara malam itu jauh berbeda dari masa-masa dulu, tidak lagi sunyi, tidak lagi dingin. Lampu-lampu hangat temaram, aroma lavender memenuhi udara, dan dari salah satu sudut ruangan terdengar suara lembut dan teratur… napas seorang bayi yang sedang tidur.Nora berdiri di samping boks kecil itu, jemarinya mengusap lembut pipi chubby yang memerah alami. Ada lingkaran gelap samar di bawah matanya, hasil begadang selama berbulan-bulan, namun matanya tetap jernih, penuh cinta, dan tidak sekali pun menunjukkan tanda penyesalan.“Aneh ya,” bisiknya lirih pada bayi mereka. “Dulu saya cuma nulis fantasi… sekarang saya hidup di dalamnya.”Pintu kamar bergeser pelan. Dirga masuk dengan langkah hati-hati seperti seseorang yang takut mengusik kedamaian yang rapuh. Ia masih menggunakan kemeja kerja, lengan sudah digulung, dasi sudah dilepas sejak lama. Tatapannya langsung jatuh pada dua makhluk paling berarti dalam hidupnya.“Nora,” panggilnya pelan.Gadis itu menoleh, tersenyum kecil. “Ud

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   192

    "Saya juga. Tapi saya bersama kamu. Kita lakukan ini bersama. Tarik napas... lihat saya... jangan lepaskan tangan saya, janji?"Nora mengangguk lemah, air mata mulai menggenang di matanya.Dokter Darmaji, seorang pria paruh baya dengan wajah tenang dan berpengalaman, masuk ke ruangan. "Pembukaan sudah penuh. Kita siap mulai."Dirga mengangguk cepat tanpa melepaskan pandangannya dari Nora, bahkan tidak sedetik pun. Maka, dimulailah pertarungan paling sengit yang pernah Dirga ikuti, bukan di ruang rapat yang dingin, melainkan di ruangan ini yang dipenuhi teriakan, keringat, dan aroma cinta yang membara. Kontraksi datang seperti gelombang badai yang saling menindih, tanpa ampun."Dorong, Nyonya! Tarik napas dalam-dalam dan dorong!" perintah bidan kepala dengan suara yang tegas namun menenangkan."Sedikit lagi! Kepala bayinya sudah kelihatan!""Bagus! Begitu! Lagi!""AAAHHHH!!!" Nora memekik, tubuhnya menegang kaku, tangannya hampir menghancurkan jari-jari Dirga. Ia menarik rambut suaminy

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   191

    Gedung Ardawijaya Group menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk kota, sebuah monumen modern dari baja dan kaca yang mencerminkan ambisi tunggal pemiliknya. Namun, siang itu, getaran yang terasa bukan berasal dari lalu lintas di bawah atau angin yang menerjang puncaknya. Getaran itu lahir dari satu sumber amarah murni yang memancar dari lantai eksekutif Dirgantara Ardawijaya.Di dalam ruang rapat utama yang luas, dengan dinding kaca yang memandang ke langit-langit kota, udara terasa dingin dan pekat. Meja mahoni yang mengkilap seolah mengecil di bawah tekanan energi negatif. Para direktur, pria dan wanita yang biasanya percaya diri dan mengendalikan pasar, kini terlihat seperti anak sekolah yang dimarahi. Rapat berjalan kacau bukan karena grafik merah di layar atau laporan keuangan yang mengecewakan, tapi karena sang raja di kerajaannya sedang naik pitam."Bagaimana bisa kontrak sebesar itu nyaris terlepas?!" suara Dirga menghentak meja. Bunyi dentuman yang keras membuat cangkir kopi

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   190

    Begitu jet pribadi mulai menurunkan ketinggian, lampu kabin berganti menjadi mode pendaratan. Di luar jendela, Dubai bersinar seperti hamparan emas, gedung-gedung tinggi memantulkan cahaya lampu kota, gurun malam membentang sunyi dengan garis-garis jalan yang berpendar.Nora memandangi pemandangan itu sambil memegang perutnya, sedikit tak percaya bahwa perjalanan impulsif ini benar-benar terjadi. Semua demi satu kalimat iseng dari bibirnya: ingin makan cokelat Dubai langsung dari Dubai.Sementara itu, Dirga duduk di sebelahnya, tubuhnya sedikit condong untuk memastikan Nora nyaman. Tangan besar lelaki itu terus bertengger di pinggang Nora, tidak bergerak terlalu jauh, tidak pernah benar-benar melepaskan.“Begitu kita turun, kamu tetap di dekat saya,” ujar Dirga perlahan, suaranya mantap dan mengandung aba-aba. “Bandara di sini cukup ramai bahkan untuk jalur private. Saya tidak ingin kamu terpisah sedikit pun.”Nora tersenyum kecil. “Mas, saya kan nggak mau kabur.”“Saya tidak peduli,”

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   189

    Keputusan itu langsung mengubah seluruh suasana rumah. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, rumah besar Dirgantara seakan berubah menjadi markas operasi militer yang sedang menghadapi krisis internasional.Lorong-lorong yang biasanya sunyi mendadak penuh suara langkah cepat, suara walkie-talkie, dan instruksi yang bersahut-sahutan. Para pengawal bergerak bak prajurit terlatih, sebagian menghubungi tim bandara untuk memastikan semua izin terbang darurat diproses seketika, sebagian lagi memeriksa keamanan rute dari rumah ke hanggar pribadi.Matthew sudah berlari ke garasi bawah tanah, mengecek kondisi jet pribadi yang memang selalu standby, tetapi hari ini harus siap sekarang juga. Ia memastikan bahan bakar penuh, pilot dan co-pilot sudah dipanggil, lalu mengirim laporan singkat ke ponsel Dirga.Asisten rumah tangga muncul dari berbagai penjuru membawa koper, pakaian longgar Nora, jaket, syal, dan bahkan bantal favorit perempuan itu. Mereka memasukkannya ke koper dengan efisiensi t

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   188

    Tidak pernah terbayang oleh siapa pun terutama oleh Dirgantara Ardawijaya, pria yang selama ini memegang kendali atas segalanya, bahwa bentengnya yang paling pribadi, rumah megahnya yang selama ini dikenal dingin, sunyi, dan membosankan, akan berubah menjadi… sebuah museum warna-warni yang kacau dan penuh kehidupan.Rumah itu dulu adalah cerminan dirinya. Sebuah kubus marmer abu-abu yang berdiri kokoh di tengah taman yang terawis rapi. Di dalamnya, lantai marmer hitam mengkilap yang begitu dingin hingga menyentuh telapak kaki, memantulkan bayangan sosok-sosok yang bergerak tanpa suara. Patung-patung menyeramkan dari batu obsidian, karya seni abstrak yang terasa lebih seperti ancaman daripada hiasan, berdiri di setiap sudut seperti penjaga bisu. Vas-vas minimalis tergeletak kosong, tanpa bunga, karena menurut Dirga, bunga adalah representasi sesuatu yang akan layu dan mati. Pencahayaan redup, tersembunyi di balik balik-balik langit-langit, menciptakan suasana seperti hotel bisnis prem

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status