Share

2

Author: sidonsky
last update Last Updated: 2025-09-14 18:38:56

Sejak pagi, bayangan itu terus menempel di kepala Nora. Sosok pria yang baru saja ia lihat sekilas, kini seperti menyusup ke dalam tokoh cerita yang tengah ia tulis. Setiap kali mengetik, setiap kali mengingat, wajahnya selalu muncul. Dirgantara, nama yang terlalu besar untuk orang biasa sepertinya, namun entah kenapa terasa dekat dengan imajinasinya.

"Nora, lo denger nggak?" suara Luthya membuyarkan lamunannya. Temannya itu menyenggol lengannya pelan, "Katanya, Pak Dirga tuh sempet ditaksir anaknya pemilik media besar itu loh. Yang punya Prima News Group. Gila, anak orang kaya, nyatain cinta, tapi langsung ditolak mentah-mentah."

Beberapa staf lain di meja belakang ikut nimbrung, suaranya terdengar lirih tapi penuh semangat, "Gue pernah liat juga, ada model nyamperin dia pas event. Ditolak di depan umum, lho. Parahnya, cowok kayak gitu bukannya dijauhin malah makin banyak yang ngejar."

Nora hanya pura-pura tersenyum tipis sambil kembali menunduk menatap layar, “Kita fokus kerja dulu yuk?" ujarnya datar.

Luthya mendengus, "Ah lo mah, kaku banget. Gak seru."

Padahal jantung Nora berdetak lebih cepat. Dalam hatinya, ada sesuatu yang aneh . Setiap nama Dirgantara disebut, dadanya terasa mencair, meleleh. Ia benci mengakuinya, tapi gosip-gosip itu membuat bayangan lelaki itu semakin sulit terusir dari benaknya.

Belum usai keusikannya dari temannya. Tiba-tiba ia dipanggil oleh supervisor untuk menghadap ruangan Dirga.

“Elanora Maheswari, kamu dipanggil Pak Dirga.”

Mata Nora terbelalak. Tangannya gemetar ketika menaruh pulpen. Jantungnya melonjak ke tenggorokan, "Hah?" suaranya hampir tak terdengar.

Refleks, Nora menepuk pelan bahu Luthya, menuntut jawaban. Pasalnya, ia termasuk hitungan baru untuk staff disitu.

"Mana gue tau," Luthya terkikik. "Tapi titip salam buat Pak Dirga, ya."

Dengan langkah berat, Nora mencoba menata napasnya sesaat. Berjalan mendekati pintu kaca dengan title CEO pada pintu utama. Ruangan khusus yang jarang bisa dimasuki sembarang orang. Dan Nora tak pernah membayangkan bisa memasukinya. Setidaknya dalam dunia nyata.

Pintu kaca menjulang tinggi menyapa, mengintimidasi dengan kilau cerahnya. Nora mengetuk pelan, lalu suara bariton dari dalam menyahut, "Masuk."

Tangannya gemetar saat memutar gagang pintu. Begitu masuk, pandangannya langsung terhenti.

Dirgantara duduk dibalik meja besar berlapis kayu gelap. Cahaya lampu dari jendela tinggi jatuh tepat ke wajahnya. Kemeja putih yang lengan panjangnya digulung rapi menyikap pergelangan tangannya yang kokoh. Di antara jemari panjangnya, sebuah pulpen hitam berputar santai. 

Tatapannya serius, fokus pada berkas di meja, sebelum akhirnya mendongak menatap lurus ke arah Nora.

"Elanora, benar?"

Suara itu rendah, dalam, menusuk langsung ke gendang telinga, membuat Nora buru-buru mengangguk, terlalu panik untuk menjawab.

“Kerjamu bagus sejauh ini. Saya juga sudah baca laporan riset kecilmu untuk tim editorial.” jemari kokohnya mengetuk meja pelan, seakan menimbang sesuatu.

Sementara Nora masih berdiri tegang di posisinya. Maniknya malah terfokus kepada bibir kemerahan yang kini berada tak jauh dari posisinya.

"Mulai sekarang kamu masuk tim saya. Tim Intellectual Property untuk project adaptasi film. Bisa, kan?" 

Nora mengangguk-nganggukan kepalanya tanpa sadar. Karna jujur, otaknya sebenarnya tiba-tiba kosong, tapi refleks tubuhnya terus mengiyakan. Ia salah fokus, bukan pada perintahnya, melainkan pada cara Dirga berbicara dengan intonasi yang tegas namun terkendali. 

Salah fokus pada caranya menatap tajam seolah bisa menembus pikirannya. Pada gerakan kecil di tangannya yang memutar pulpen, lalu mengetuk pelan meja. Bahkan, pada garis otot samar di balik kemeja putihnya yang terlalu pas di tubuh. Dan samar-samar, pada lengan yang terbuka, tempat urat-uratnya menonjol bagai nadi yang sengaja dipamerkan.

Matanya menelusuri sosok di hadapannya. Punggung kokoh itu menopang di kursi meja, membuat adegan dalam naskah pribadinya berkelebat tiba-tiba.

Dirga, pria dengan bahu kokoh itu menindih Nora malam itu. Merayap di atas tubuhnya seakan ingin melahap Nora hidup-hidup. Potongan kalimat itu menggema di kepalanya tanpa bisa ditahan.

"Jadi, kamu bisa ikut?" Dirga mengulang, kali ini mencondongkan tubuh sedikit ke depan.

Nora masih terbuai, tanpa sadar kembali mengangguk. “Bisa.”

"Elanora?" suaranya kali ini terdengar lebih dalam, membuat Nora terlonjak kaget dan kembali ke dunia nyata. 

"I..iya Pak?"

"Bisa ikut, kan?" sekali lagi, pertanyaan itu terulang. Entah sudah keberapa kali, namun jelas, baru kali ini Nora tangkap.

Terlihat dari wajah gelagapan dengan manik mengerjap yang Nora perlihatkan, "Ke.. kemana Pak?"

"Jogjakarta." 

Sekali lagi dahi Nora mengernyit, telinganya seperti sedang berhalusinasi, "Jogjakarta?"

Darah Nora seakan berhenti mengalir ketika Dirgantara mengulang perkataannya. Jogjakarta? Untuk apa? Proyek apa? Ia bahkan tak sempat mencatat apa pun. 

Dan sebelum dirinya bisa bertanya lebih jauh, lelaki itu sudah menambahkan, dingin tapi penuh penekanan, "Kita berangkat besok pagi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   170

    "What the hell were you thinking?!"Suara Dirga menggelegar, pecah dalam keheningan yang menekan. Setiap kata dilontarkan dengan amarah yang terpendam, sebuah letusan dari gunung berapi yang telah lama tertidur.Dokumen yang dipegangnya terasa lebih berat dari batu karang, bukan karena kertasnya, melainkan karena pengkhianatan yang dikandungnya. Setiap halaman adalah bukti, setiap tanda tangan adalah pisau yang menancap di punggungnya.Ravin berdiri di seberang meja mahoni itu, wajahnya pucat pasi. Mulutnya terbuka sedikit, seolah-olah hendak berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar. Matanya, yang biasanya ceria dan penuh hidup, kini melebar menatap dokumen yang Dirga pegang—sebuah bukti tak terbantahkan dari kejahatannya. "SAY FUCKING SOMETHING!" bentaknya lagi.Kali ini dengan volume yang lebih keras. Dengan gerakan tiba-tiba dan kasar, ia melemparkan tumpukan dokumen itu ke meja. Benda itu mendarat dengan suara bentakan yang keras, beberapa helai kertas terbang melayang sebel

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   169

    "KABAR TERBARU, DIRGANTARA, PUTRA KONGLOMERAT ARDAWIJAYA MENGAKHIRI HUBUNGAN DDENGAN SANG KEKASIH."Judul itu tercetak dengan huruf tebal dan mencolok di halaman depan sebuah koran bisnis ternama. Bagi publik, ini adalah drama lain dari kehidupan para konglomerat: sebuah kisah cinta yang tragis. Tapi bagi Dirga, yang membaca judul itu di meja kerjanya yang megah, setiap huruf adalah sebuah pisau yang menusuk-nusuk jiwa, sebuah pengingat konstan akan pengorbanan yang ia buat dan kebohongan yang ia rasakan.Keputusan itu diambil setelah malam-malam yang panjang dan melelahkan, di mana ia akhirnya menyetujui rencana gila Nora. Mereka akan berpisah, di mata publik. Dan lepasnya ikatan itu membuat Nora bisa kembali ke dalam apartemen yang Dirga belikan, sebuah tempat yang seharusnya menjadi simbol kemerdekaannya. Ia juga sudah boleh kembali bekerja, mencoba sebisa mungkin untuk tidak terlihat di depan umum bersama Dirga, kembali dengan kegiatan menulisnya, berpura-pura bahwa semuanya baik-

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   168

    "Kita, hubungan ini." Genggaman tangan Dirga pada gelas bening itu menguat, bahkan tanpa sadar memecahkannya. TAR! Suara yang tajam dan memecah keheningan itu terdengar seperti sebuah ledakan kecil di ruang tamu yang megah. Darah mengalir dari tangan Dirga yang terluka, menciptakan kontras yang mengerikan dengan lantai marmer putih di bawahnya. Sebuah aliran merah yang menetes perlahan, simbol dari sebuah kehancuran yang baru saja dimulai.Nora terlonjak kaget, sebuah seruan tertahan di tenggorokannya. Instingnya membuatnya maju, ingin meraih tangan Dirga, ingin membantu, menyembuhkan luka yang ia ciptakan. Tapi Dirga menjauhkannya dengan gerakan tiba-tiba yang tajam, sebuah penolakan yang lebih menyakitkan daripada luka itu sendiri. Ia membiarkan darahnya mengalir dan menetes ke lantai marmer, matanya terus menatap Nora, membeku oleh sebuah kekecewaan yang begitu dalam."Ulangi ucapanmu tadi," kata Dirga, suaranya rendah dan berbahaya, membalikkan tubuhnya sepenuhnya untuk menatap

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   167

    Kehidupan Nora di penthouse Saphira berubah menjadi sebuah rutin sunyi yang memenjarakan. Hari-hari berlalu dalam sebuah lingkaran emas yang terbuat dari kenyamanan material dan kehampaan emosional. Sementara dunia luar bergolak, ia terjebak di dalam gelembung mewah ini. Saphira, dengan semua kebaikannya, berusaha mengisi kekosongan itu. Ia akan membawakan buku-buku bagus, mengajak Nora berkebun di atap, atau sekadar duduk menemaninya minum teh sore. Tapi semua itu terasa seperti plester pada luka yang lebih dalam. Setiap senyum Saphira, setiap usaha untuk mengalihkan perhatian Nora, hanya mengingatkannya bahwa ia adalah seorang pasien yang sedang dirawat, bukan seorang anggota keluarga.Kesepian itu menjadi lebih menusuk saat malam tiba. Dirga sering pulang larut, wajahnya ditarik oleh kelelahan yang mendalam dan bayangan-bayangan dari peperangan yang tidak bisa ia tinggalkan di kantor. Ia akan membawa aroma dingin kota dan bau stres ke dalam kamar mereka, sebuah aura yang tidak bi

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   166

    "Sebentar, saya ngapain kata Pak Dirga?"Suara Agatha yang berusaha seolah-olah tidak bersalah itu membuat Dirga mendengus kesal. Kepura-puraan wanita itu begitu tipis, namun cukup untuk membuatnya muak. Mereka sekarang duduk di ruang tengah rumah Agatha, sebuah ruangan yang luas dan minimalis namun terasa sangat kecil dan sesak karena kehadiran para pengawal berbaju hitam yang berdiri seperti patung di setiap sudut. Pemandangan ini sempat membuat Agatha bergidik ngeri; ia merasa seperti seekor tikus yang dikepung oleh kucing-kucing besar.Dengan gerakan yang tegas dan penuh amarah, Dirga meletakkan tumpukan foto-foto yang ia temukan di dalam ruang kerja Agatha. Ia meletakkannya kasar di meja pendek yang ada di hadapan mereka, sebuah pembatas yang memisahkan dua dunia: dunia Dirga yang penuh amarah, dan dunia Agatha yang penuh ketakutan. Setiap foto Nora yang tersenyum, kini menjadi senjata di tangan Dirga."Masih tidak mau berbicara jujur?" desak Dirga, suaranya rendah dan berbahaya

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   165

    Panggilan telepon itu menjadi penutup yang tiba-tiba bagi pertengkaran hebat mereka, sebuah pengalihan yang paksa namun sangat disambut. Di ruang tamu yang megah itu, udara yang tadinya panas dan penuh dengan tuduhan kini menjadi dingin dan penuh dengan fokus baru. Dalam sekejap, monster yang ada di antara mereka—ketakutan dan kekecewaan—digantikan oleh target yang nyata: Agatha."Kita berhasil menemukan lokasi Agatha," kata Dirga pada Nora, suaranya datar, tanpa ekspresi. Ia mengusap puncak kepala Nora lembut, sebuah gerakan yang terasa lebih seperti upaya untuk menenangkan dirinya sendiri daripada Nora. "Saya akan pergi sebentar."Sebelum Nora bisa merespons, Dirga sudah berbalik. Ia berjalan keluar dengan langkah yang pasti, meninggalkan Nora di dalam sangkar emas yang tiba-tiba terasa terlalu besar dan terlalu sunyi.Di bawah, sebuah sedan hitam sudah menunggu. Dirga masuk tanpa kata-kata, diikuti oleh Matthew dan Lucas yang langsung mengambil posisi di depan. Perjalanan dihuni de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status