Malam benar-benar merambat cepat setelah seharian penuh mereka bersama kru dan sutradara. Sejak siang tadi, setelah pertemuan dengan sutradara, mereka masih harus mengikuti agenda padat bersama tim produksi.
Nora mencatat setiap detail seperti suasana jalanan Jogjakarta, yang ramai dilintasi becak dan sepeda motor, bangunan tua dengan ukiran khas jawa yang masih terjaga, hingga aroma sate yang tercium saat mereka melewati deretan warung kaki lima.
Ia lebih sering berada di belakang, berusaha mengikuti ritme mereka. Sesekali ia merasa kewalahan, karena memang belum terbiasa dengan hal ini. Begitu seterusnya hingga malam tanpa sadar menjelang.
Seusai makan malam di restoran tradisional Yogyakarta, rombongan masih sempat singgah ke lokasi syuting alternatif. Bangunan tua berstruktur kolonial, untuk melihat suasana malam disana. Dari sini, perjalanan berlanjut ke alun-alun ramai, di mana sutradara ingin merekam suasana kehidupan kota malam hari sebagai bahan tambahan.
Bagi Nora, semua itu masih terasa seperti mimpi. Tapi pinta Dirga tadi membuatnya seharusnya sadari itu adalah kalimat peringatan agar Nora tidak kembali berulah setelah insiden kuah tumpah.
Nora menghela napas panjang ketika mobil yang Dirga kendarai berhenti tepat di depan lobi hotel. Begitu masuk ke lobi hotel, Nora sudah merasa separuh beban hari itu terangkat. Maniknya sempat melirik singkat ke Dirga yang berjalan tenang di sebelahnya.
"Pemesanan atas nama Dirgantara Ardawijaya dan Elanora," Ucapnya singkat saat sampai di depan resepsionis.
Resepsionis dengan sigap mengetik di komputer, lalu tersenyum sopan, "Baik, Pak. Untuk atas nama Dirgantara Ardawijaya ada, satu kamar suite, tapi..untuk Elanora, mohon maaf, saya tidak menemukan pesanan tambahan."
Nora yang berdiri di sampingnya langsung menoleh dengan ekspresi bingung, "Tidak ada? Boleh dibantu cek lagi?"
Resepsionis itu kembali memeriksa, "Tidak terdaftar, Bu."
Nora menoleh ke arah Dirga, wajahnya setengah panik. Dia bisa merasakan wajahnya memanas, masa ia harus tidur di lobi? Setelah aktivitas panjang yang melelahkan itu? Belum lagi ditambah ini adalah bulan liburan, artinya reservasi dari jauh hari adalah cara terakhir untuk mendapatkan kamar.
"Saya izin telpon senior dulu ya, Pak. Barangkali bisa numpang menginap di–"
"Sudah terlalu larut. Mereka juga sudah kerja keras seharian, jangan diganggu lagi." potong Dirga tak menyetujui.
Tak ada yang bersuara dalam sesaat. Keduanya terlalu lelah untuk berdiskusi lebih jauh dan mencari penginapan lain.
"Ikut saya." ucap Dirga di akhir tetap tenang setelah mengambil kunci kamar dari tangan resepsionis.
Membuat Nora terpaku untuk sepersekian detik. Berjalan menaiki lift yang membawa mereka menuju lorong kamar hotel nan sepi. Tak ada pertanyaan apapun dari Nora, ia seperti menurut dengan pasrah.
Pintu kamar suite terbuka dengan suara klik. Aroma segar ruangan ber-AC bercampur dengan wangi lembut pengharum ruangan menyambut mereka.
"Kamu bisa tidur disini dulu untuk malam ini," Dirga bersuara santai, berjalan masuk lebih dahulu untuk meletakkan barang bawaan ke atas meja, "Besok saya carikan kamar lain. Siapa tahu ada."
Nora menelan ludahnya. Ini benar-benar diluar ekspektasinya. Menginap satu kamar dengan Dirgantara Ardawijaya bukan job descnya di project ini.
Meski rasanya ingin kabur, Nora justru berjalan mengikuti. Sempat memandangi ruangan besar di sekelilingnya dengan hiasan lampu kristal yang menggantung dan karpet marun yang mewah, seperti sayang hanya untuk diinjak.
Twin bed. Nora menghembuskan napas lega, setidaknya ia tidak harus membuka mata sepanjang malam ini. Buru-buru ia letakkan barang bawaan di pojok ruangan.
Setelahnya, Nora terlihat berdiri kikuk seperti tak bisa bergerak lagi dengan bebas. Tidak dengan Dirga yang sudah dengan santainya menggulung kemeja sembari meraih lembar dokumen dari dalam tas hitamnya.
"Mandi dulu kalau mau. Saya masih ada beberapa berkas yang harus di cek."
Tak ada alasan bagi Nora untuk menolak. Ia dengan segera mengangguk, meraih beberapa perlengkapan dari dalam tas tentengan sebelum berlari kecil menuju kamar mandi. Satu-satunya ruangan terpisah yang ada di ruangan ini.
Air hangat membasuh tubuhnya, membuat Nora kembali lebih rileks. Mengenyahkan pikiran-pikiran negatif dalam kepalanya. Namun saat masih di kamar mandi, suara berat dari luar ruangan terdengar.
"Nora?"
Ia kaget, bahkan hampir menjatuhkan sabun yang tengah ia pegang, "I-iya, Pak?"
"Progress project hari ini. Catatanmu dimana?"
Nora menutup matanya rapat, menenangkan diri, "Ada di laptop saya, Pak. Tadi di tempat makan, saya merapikan di docs."
"Password?"
"Oh--eh.. empat nol dua tiga."
Hening sejenak, suara kursi bergeser. Tanda Dirga sudah mendekati dimana laptop Nora berada. Tak ada lagi panggilan yang terdengar, membuat Nora kembali menyalakan shower. Membasuh tubuhnya yang lengket.
Tapi tunggu, Nora membuka matanya lebar dengan tiba-tiba.
Bahkan ia berhenti menggosok tangannya. Ingatannya kembali pada naskah fiksi yang tadi sempat ia lanjutkan sedikit saat tengah beristirahat di rumah makan terakhir.
"Naskah di laptop tadi, sudah aku tutup kan, ya?"
Tubuh Nora seketika melemah. Pertanyaan Dirga menggema di telinganya, membuat darahnya berdesir cepat, seolah semua energinya terhisap habis. Jarak di antara mereka terlalu dekat, tatapan itu terlalu menusuk, dan suara beratnya terlalu memikat sekaligus menakutkan.Ini bahaya. Kedekatan ini semestinya hanya terjadi dalam naskah fiksi yang ia tulis. Atau memang ia sedang berkhayal? Atau Nora memang sudah gila?"Hm?" geming sosok yang wajahnya berada hanya satu jengkal dari hadapannya. Tatapannya tajam, alisnya terangkat, seakan menunggu jawaban Nora.Nora yang sudah terjepit di posisinya menelan ludah. Maniknya, tanpa sadar turun ke arah bibir Dirga yang sedikit mengilap, lalu bergeser lebih jauh—menyapu garis leher kokoh itu hingga berhenti pada tulang selangkanya yang tersingkap karena dua kancing teratas kemeja tidak ia rapatkan.Dirga menyadari ke mana arah matanya. Senyumnya melengkung samar, lebih dekat dari sebelumnya. Entah karna mungkin keduanya terlalu kelelahan sehingga Dirg
Nora berhenti menggosok tangannya. Ingatannya kabur. Sebelum makan malam, setelah ia merapikan catatan, ia memang sedikit menulis lanjutan dalam draft novelnya. Mencoba mengingat-ngingat saat terakhir membuka laptopnya di rumah makan, ia yakin sudah menutup naskah pribadinya itu.Seketika muncul bayangan buruk, Dirga duduk di kursi, membuka laptopnya, lalu menemukan sesuatu yang seharusnya tak boleh orang lain lihat. Draft naskah pribadinya, dengan tokoh utama laki-laki yang.."Naskah di laptop tadi, udah aku close kan, ya?" Deg. Nora berhenti menggosok tangannya. Ingatannya kabur. Sebelum makan malam, setelah ia merapikan catatan, ia memang sedikit menulis lanjutan dalam draft novelnya. Mencoba mengingat-ngingat saat terakhir membuka laptopnya di rumah makan, ia yakin sudah menutup naskah pribadinya itu.Seketika muncul bayangan buruk, Dirga duduk di kursi, membuka laptopnya, lalu menemukan sesuatu yang seharusnya tak boleh orang lain lihat. Draft naskah pribadinya, dengan tokoh ut
Malam benar-benar merambat cepat setelah seharian penuh mereka bersama kru dan sutradara. Sejak siang tadi, setelah pertemuan dengan sutradara, mereka masih harus mengikuti agenda padat bersama tim produksi.Nora mencatat setiap detail seperti suasana jalanan Jogjakarta, yang ramai dilintasi becak dan sepeda motor, bangunan tua dengan ukiran khas jawa yang masih terjaga, hingga aroma sate yang tercium saat mereka melewati deretan warung kaki lima.Ia lebih sering berada di belakang, berusaha mengikuti ritme mereka. Sesekali ia merasa kewalahan, karena memang belum terbiasa dengan hal ini. Begitu seterusnya hingga malam tanpa sadar menjelang.Seusai makan malam di restoran tradisional Yogyakarta, rombongan masih sempat singgah ke lokasi syuting alternatif. Bangunan tua berstruktur kolonial, untuk melihat suasana malam disana. Dari sini, perjalanan berlanjut ke alun-alun ramai, di mana sutradara ingin merekam suasana kehidupan kota malam hari sebagai bahan tambahan.Bagi Nora, semua itu
Sejak pagi, suasana bandara sudah ramai. Tim IP Development berangkat dengan tiga orang—dua orang senior yang sudah terbiasa menangani project adaptasi, dan satu orang baru–dirinya sendiri. Ia masih belum sepenuhnya paham detail pekerjaannya, karena fokusnya terusik dengan pemikirannya yang ajaib sekali lebih memperhatikan garis otot daripada tugas yang diberikan. "Nora. Lo cuman perlu jadi bayangannya Pak Dirga, ya. Semua hal kecil yang mungkin terlewat, lo catet. Lokasi, properti, catatan sutradara, revisi penulis naskah. Anggap aja lo sekretaris lapangan." kata salah satu senior memberikan instruksi sebelum boarding.Nora mengangguk-angguk, meski dalam hati ia merasa itu bukan pekerjaan kecil sama sekali."Kita bakalan pisah ya, Ra. Lo sama Pak Dirga, kita ke bagian manajemen sutradara dan investor." jelas seniornya lagi."Sendiri..sama Pak Dirga?" Nora hampir terbata, tapi buru-buru menutup mulut. Nora sempat ragu karna boarding pass miliknya terasa berbeda dari milik senior-senio
Sejak pagi, bayangan itu terus menempel di kepala Nora. Sosok pria yang baru saja ia lihat sekilas, kini seperti menyusup ke dalam tokoh cerita yang tengah ia tulis. Setiap kali mengetik, setiap kali mengingat, wajahnya selalu muncul. Dirgantara, nama yang terlalu besar untuk orang biasa sepertinya, namun entah kenapa terasa dekat dengan imajinasinya."Nora, lo denger nggak?" suara Luthya membuyarkan lamunannya. Temannya itu menyenggol lengannya pelan, "Katanya, Pak Dirga tuh sempet ditaksir anaknya pemilik media besar itu loh. Yang punya Prima News Group. Gila, anak orang kaya, nyatain cinta, tapi langsung ditolak mentah-mentah."Beberapa staf lain di meja belakang ikut nimbrung, suaranya terdengar lirih tapi penuh semangat, "Gue pernah liat juga, ada model nyamperin dia pas event. Ditolak di depan umum, lho. Parahnya, cowok kayak gitu bukannya dijauhin malah makin banyak yang ngejar."Nora hanya pura-pura tersenyum tipis sambil kembali menunduk menatap layar, “Kita fokus kerja dulu y
Tubuh perempuan itu terhuyung setiap kali dorongan keras itu menghantamnya dari belakang. Tangannya mencengkeram meja, merasakan kenikmatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.“Ahh… hahh…!”Lenguhan terlontar dari bibirnya kala tangan kokoh pria itu menahan pinggangnya, menariknya lebih rapat, memaksa tubuhnya mengikuti irama yang kian liar.“Lihat aku…Nora.” bisikan berat itu menyusup, rendah namun tegas.Matanya refleks terarah pada pantulan samar di kaca jendela. Dirinya terguncang di sana, rambut berantakan, bibir ternganga, matanya basah oleh kenikmatan yang meluap.Lalu, sosok pria itu terlihat jelas—otot-ototnya menegang di bawah kulit yang berkilau oleh keringat, wajahnya dipahat tajam, rahang mengeras, dan yang terpenting, sepasang mata hitam pekat yang menenggelamkan.“Pelan, Pak Dirga….”Pria itu seperti tak menggubris desahan dan masih mempercepat temponya. Mempermainkan yang baru saja mencapai puncak, membuatnya seakan kalah telak di hadapan penguasanya. Apalagi saa