Share

4

Author: sidonsky
last update Last Updated: 2025-09-17 17:04:47

Malam benar-benar merambat cepat setelah seharian penuh mereka bersama kru dan sutradara. Sejak siang tadi, setelah pertemuan dengan sutradara, mereka masih harus mengikuti agenda padat bersama tim produksi.

Nora mencatat setiap detail seperti suasana jalanan Jogjakarta, yang ramai dilintasi becak dan sepeda motor, bangunan tua dengan ukiran khas jawa yang masih terjaga, hingga aroma sate yang tercium saat mereka melewati deretan warung kaki lima.

Ia lebih sering berada di belakang, berusaha mengikuti ritme mereka. Sesekali ia merasa kewalahan, karena memang belum terbiasa dengan hal ini. Begitu seterusnya hingga malam tanpa sadar menjelang.

Seusai makan malam di restoran tradisional Yogyakarta, rombongan masih sempat singgah ke lokasi syuting alternatif. Bangunan tua berstruktur kolonial, untuk melihat suasana malam disana. Dari sini, perjalanan berlanjut ke alun-alun ramai, di mana sutradara ingin merekam suasana kehidupan kota malam hari sebagai bahan tambahan.

Bagi Nora, semua itu masih terasa seperti mimpi. Tapi pinta Dirga tadi membuatnya seharusnya sadari itu adalah kalimat peringatan agar Nora tidak kembali berulah setelah insiden kuah tumpah.

Nora menghela napas panjang ketika mobil yang Dirga kendarai berhenti tepat di depan lobi hotel.  Begitu masuk ke lobi hotel, Nora sudah merasa separuh beban hari itu terangkat. Maniknya sempat melirik singkat ke Dirga yang berjalan tenang di sebelahnya. 

"Pemesanan atas nama Dirgantara Ardawijaya dan Elanora," Ucapnya singkat saat sampai di depan resepsionis.

Resepsionis dengan sigap mengetik di komputer, lalu tersenyum sopan, "Baik, Pak. Untuk atas nama Dirgantara Ardawijaya ada, satu kamar suite, tapi..untuk Elanora, mohon maaf, saya tidak menemukan pesanan tambahan."

Nora yang berdiri di sampingnya langsung menoleh dengan ekspresi bingung, "Tidak ada? Boleh dibantu cek lagi?"

Resepsionis itu kembali memeriksa, "Tidak terdaftar, Bu." 

Nora menoleh ke arah Dirga, wajahnya setengah panik. Dia bisa merasakan wajahnya memanas, masa ia harus tidur di lobi? Setelah aktivitas panjang yang melelahkan itu? Belum lagi ditambah ini adalah bulan liburan, artinya reservasi dari jauh hari adalah cara terakhir untuk mendapatkan kamar.

"Saya izin telpon senior dulu ya, Pak. Barangkali bisa numpang menginap di–"

"Sudah terlalu larut. Mereka juga sudah kerja keras seharian, jangan diganggu lagi." potong Dirga tak menyetujui.

Tak ada yang bersuara dalam sesaat. Keduanya terlalu lelah untuk berdiskusi lebih jauh dan mencari penginapan lain.

"Ikut saya." ucap Dirga di akhir tetap tenang setelah mengambil kunci kamar dari tangan resepsionis. 

Membuat Nora terpaku untuk sepersekian detik. Berjalan menaiki lift yang membawa mereka menuju lorong kamar hotel nan sepi. Tak ada pertanyaan apapun dari Nora, ia seperti menurut dengan pasrah.

Pintu kamar suite terbuka dengan suara klik. Aroma segar ruangan ber-AC bercampur dengan wangi lembut pengharum ruangan menyambut mereka. 

"Kamu bisa tidur disini dulu untuk malam ini," Dirga bersuara santai, berjalan masuk lebih dahulu untuk meletakkan barang bawaan ke atas meja, "Besok saya carikan kamar lain. Siapa tahu ada." 

Nora menelan ludahnya. Ini benar-benar diluar ekspektasinya. Menginap satu kamar dengan Dirgantara Ardawijaya bukan job descnya di project ini.

Meski rasanya ingin kabur, Nora justru berjalan mengikuti. Sempat memandangi ruangan besar di sekelilingnya dengan hiasan lampu kristal yang menggantung dan karpet marun yang mewah, seperti sayang hanya untuk diinjak.

Twin bed. Nora menghembuskan napas lega, setidaknya ia tidak harus membuka mata sepanjang malam ini. Buru-buru ia letakkan barang bawaan di pojok ruangan. 

Setelahnya, Nora terlihat berdiri kikuk seperti tak bisa bergerak lagi dengan bebas. Tidak dengan Dirga yang sudah dengan santainya menggulung kemeja sembari meraih lembar dokumen dari dalam tas hitamnya.

"Mandi dulu kalau mau. Saya masih ada beberapa berkas yang harus di cek." 

Tak ada alasan bagi Nora untuk menolak. Ia dengan segera mengangguk, meraih beberapa perlengkapan dari dalam tas tentengan sebelum berlari kecil menuju kamar mandi. Satu-satunya ruangan terpisah yang ada di ruangan ini.

Air hangat membasuh tubuhnya, membuat Nora kembali lebih rileks. Mengenyahkan pikiran-pikiran negatif dalam kepalanya. Namun saat masih di kamar mandi, suara berat dari luar ruangan terdengar.

"Nora?"

Ia kaget, bahkan hampir menjatuhkan sabun yang tengah ia pegang, "I-iya, Pak?"

"Progress project hari ini. Catatanmu dimana?"

Nora menutup matanya rapat, menenangkan diri, "Ada di laptop saya, Pak. Tadi di tempat makan, saya merapikan di docs."

"Password?"

"Oh--eh.. empat nol dua tiga." 

Hening sejenak, suara kursi bergeser. Tanda Dirga sudah mendekati dimana laptop Nora berada. Tak ada lagi panggilan yang terdengar, membuat Nora kembali menyalakan shower. Membasuh tubuhnya yang lengket.

Tapi tunggu, Nora membuka matanya lebar dengan tiba-tiba. 

Bahkan ia berhenti menggosok tangannya. Ingatannya kembali pada naskah fiksi yang tadi sempat ia lanjutkan sedikit saat tengah beristirahat di rumah makan terakhir.

"Naskah di laptop tadi, sudah aku tutup kan, ya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   170

    "What the hell were you thinking?!"Suara Dirga menggelegar, pecah dalam keheningan yang menekan. Setiap kata dilontarkan dengan amarah yang terpendam, sebuah letusan dari gunung berapi yang telah lama tertidur.Dokumen yang dipegangnya terasa lebih berat dari batu karang, bukan karena kertasnya, melainkan karena pengkhianatan yang dikandungnya. Setiap halaman adalah bukti, setiap tanda tangan adalah pisau yang menancap di punggungnya.Ravin berdiri di seberang meja mahoni itu, wajahnya pucat pasi. Mulutnya terbuka sedikit, seolah-olah hendak berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar. Matanya, yang biasanya ceria dan penuh hidup, kini melebar menatap dokumen yang Dirga pegang—sebuah bukti tak terbantahkan dari kejahatannya. "SAY FUCKING SOMETHING!" bentaknya lagi.Kali ini dengan volume yang lebih keras. Dengan gerakan tiba-tiba dan kasar, ia melemparkan tumpukan dokumen itu ke meja. Benda itu mendarat dengan suara bentakan yang keras, beberapa helai kertas terbang melayang sebel

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   169

    "KABAR TERBARU, DIRGANTARA, PUTRA KONGLOMERAT ARDAWIJAYA MENGAKHIRI HUBUNGAN DDENGAN SANG KEKASIH."Judul itu tercetak dengan huruf tebal dan mencolok di halaman depan sebuah koran bisnis ternama. Bagi publik, ini adalah drama lain dari kehidupan para konglomerat: sebuah kisah cinta yang tragis. Tapi bagi Dirga, yang membaca judul itu di meja kerjanya yang megah, setiap huruf adalah sebuah pisau yang menusuk-nusuk jiwa, sebuah pengingat konstan akan pengorbanan yang ia buat dan kebohongan yang ia rasakan.Keputusan itu diambil setelah malam-malam yang panjang dan melelahkan, di mana ia akhirnya menyetujui rencana gila Nora. Mereka akan berpisah, di mata publik. Dan lepasnya ikatan itu membuat Nora bisa kembali ke dalam apartemen yang Dirga belikan, sebuah tempat yang seharusnya menjadi simbol kemerdekaannya. Ia juga sudah boleh kembali bekerja, mencoba sebisa mungkin untuk tidak terlihat di depan umum bersama Dirga, kembali dengan kegiatan menulisnya, berpura-pura bahwa semuanya baik-

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   168

    "Kita, hubungan ini." Genggaman tangan Dirga pada gelas bening itu menguat, bahkan tanpa sadar memecahkannya. TAR! Suara yang tajam dan memecah keheningan itu terdengar seperti sebuah ledakan kecil di ruang tamu yang megah. Darah mengalir dari tangan Dirga yang terluka, menciptakan kontras yang mengerikan dengan lantai marmer putih di bawahnya. Sebuah aliran merah yang menetes perlahan, simbol dari sebuah kehancuran yang baru saja dimulai.Nora terlonjak kaget, sebuah seruan tertahan di tenggorokannya. Instingnya membuatnya maju, ingin meraih tangan Dirga, ingin membantu, menyembuhkan luka yang ia ciptakan. Tapi Dirga menjauhkannya dengan gerakan tiba-tiba yang tajam, sebuah penolakan yang lebih menyakitkan daripada luka itu sendiri. Ia membiarkan darahnya mengalir dan menetes ke lantai marmer, matanya terus menatap Nora, membeku oleh sebuah kekecewaan yang begitu dalam."Ulangi ucapanmu tadi," kata Dirga, suaranya rendah dan berbahaya, membalikkan tubuhnya sepenuhnya untuk menatap

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   167

    Kehidupan Nora di penthouse Saphira berubah menjadi sebuah rutin sunyi yang memenjarakan. Hari-hari berlalu dalam sebuah lingkaran emas yang terbuat dari kenyamanan material dan kehampaan emosional. Sementara dunia luar bergolak, ia terjebak di dalam gelembung mewah ini. Saphira, dengan semua kebaikannya, berusaha mengisi kekosongan itu. Ia akan membawakan buku-buku bagus, mengajak Nora berkebun di atap, atau sekadar duduk menemaninya minum teh sore. Tapi semua itu terasa seperti plester pada luka yang lebih dalam. Setiap senyum Saphira, setiap usaha untuk mengalihkan perhatian Nora, hanya mengingatkannya bahwa ia adalah seorang pasien yang sedang dirawat, bukan seorang anggota keluarga.Kesepian itu menjadi lebih menusuk saat malam tiba. Dirga sering pulang larut, wajahnya ditarik oleh kelelahan yang mendalam dan bayangan-bayangan dari peperangan yang tidak bisa ia tinggalkan di kantor. Ia akan membawa aroma dingin kota dan bau stres ke dalam kamar mereka, sebuah aura yang tidak bi

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   166

    "Sebentar, saya ngapain kata Pak Dirga?"Suara Agatha yang berusaha seolah-olah tidak bersalah itu membuat Dirga mendengus kesal. Kepura-puraan wanita itu begitu tipis, namun cukup untuk membuatnya muak. Mereka sekarang duduk di ruang tengah rumah Agatha, sebuah ruangan yang luas dan minimalis namun terasa sangat kecil dan sesak karena kehadiran para pengawal berbaju hitam yang berdiri seperti patung di setiap sudut. Pemandangan ini sempat membuat Agatha bergidik ngeri; ia merasa seperti seekor tikus yang dikepung oleh kucing-kucing besar.Dengan gerakan yang tegas dan penuh amarah, Dirga meletakkan tumpukan foto-foto yang ia temukan di dalam ruang kerja Agatha. Ia meletakkannya kasar di meja pendek yang ada di hadapan mereka, sebuah pembatas yang memisahkan dua dunia: dunia Dirga yang penuh amarah, dan dunia Agatha yang penuh ketakutan. Setiap foto Nora yang tersenyum, kini menjadi senjata di tangan Dirga."Masih tidak mau berbicara jujur?" desak Dirga, suaranya rendah dan berbahaya

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   165

    Panggilan telepon itu menjadi penutup yang tiba-tiba bagi pertengkaran hebat mereka, sebuah pengalihan yang paksa namun sangat disambut. Di ruang tamu yang megah itu, udara yang tadinya panas dan penuh dengan tuduhan kini menjadi dingin dan penuh dengan fokus baru. Dalam sekejap, monster yang ada di antara mereka—ketakutan dan kekecewaan—digantikan oleh target yang nyata: Agatha."Kita berhasil menemukan lokasi Agatha," kata Dirga pada Nora, suaranya datar, tanpa ekspresi. Ia mengusap puncak kepala Nora lembut, sebuah gerakan yang terasa lebih seperti upaya untuk menenangkan dirinya sendiri daripada Nora. "Saya akan pergi sebentar."Sebelum Nora bisa merespons, Dirga sudah berbalik. Ia berjalan keluar dengan langkah yang pasti, meninggalkan Nora di dalam sangkar emas yang tiba-tiba terasa terlalu besar dan terlalu sunyi.Di bawah, sebuah sedan hitam sudah menunggu. Dirga masuk tanpa kata-kata, diikuti oleh Matthew dan Lucas yang langsung mengambil posisi di depan. Perjalanan dihuni de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status