“Apa Sir Leon ingin aku ambilkan minuman?”
“Huh? Ah… tidak perlu, tapi jika kau mau silahkan saja. Meski itu tidak har—” Leon langsung diam tatkala menyadari kehadiran mahasiswi cantik disisinya telah mengarah menuju mesin minuman di kafetaria kampus. Saat itu mereka sedang melakukan bimbingan diluar kelas, Leon dan Jarvis memandang ke arah direksi yang sama pada Silvana dengan kedua alis yang terangkat.
“Tch…” Orang pertama yang mengeluarkan reaksi adalah Jarvis, hidung pemuda itu mengkerut sekaligus menggelengkan kepala saat mereka melihat Silvana yang menunduk disana. Bokongnya naik sedikit ketika dia memencet tombol pada mesin penjual minuman otomatis. Itu jelas-jelas adalah bentuk provokasi menarik para jantan. Silvana memang tahu bagaimana cara menggunakan tubuhnya untuk menarik perhatian.
Sir Leon kontan mengalihkan pandangannya dari itu meskipun sebagai seorang pria normal yang sehat itu adalah sebuah pemandangan terbaik yang bisa dia saksikan tanpa perlu berupaya mengeluarkan godaan manis lebih dulu. Tapi sepertinya tidak bisa, langit lebih bagus dipandangi daripada bokong mahasiswi cantik dibawah bimbingannya.
Dia merasa aneh dengan sikap Silvana padanya sejak beberapa semester lalu, dan hari ini bahkan lebih aneh lagi. Leon yakin bahwa masalahnya ada pada pemuda yang duduk disebelahnya, Jarvis adalah seorang mahasiswa yang punya banyak kelebihan di kampus. Dia masih muda, otaknya cemerlang, penampilannya juga lumayan. Jadi Leon bisa paham mengapa Silvana bersikap seperti itu bahkan hari ini.
Hanya saja yang membuat pria itu bingung adalah kenapa dia perlu melemparkan godaan itu disaat yang sama saat dia masih ada disini bersama dengan Jarvis? Dia sedikit tahu bagaimana perangai gadis itu selama di kampus. Dia gadis yang selalu blak-blakan dan to the point terhadap semua hal untuk kepentingan pribadinya. Apakah karena Jarvis dan dia sudah berteman lama sehingga gadis itu jadi takut mengubah keadaan diantara mereka? ya, itu adalah sebuah skema yang paling membosankan dalam seantero kisah cinta.
Saat Silvana menggoyangkan pinggulnya tatkala berjalan, saat itu pula Leon mengalihkan pandangannya kearah Jarvis. “Jarvis, kau tahu ada apa dengan Silvana?”
Jarvis hanya menggerutu, kemudian memasukan tangan kedalam saku celananya. “Silvana ya Silvana, dia hanya perempuan yang memusingkan. Tidak usah diperhatikan.”
Leon menggelengkan kepala mendapati jawaban dari mahasiswa favoritnya itu. Dia kemudian diam-diam memandang kearah Silvana lagi, gadis itu mengenakan rok ketat yang terbilang mini. Memperlihatkan lebih banyak paha mulusnya terekspos keluar dan dapat dengan mudah disaksikan oleh para pria hidung belang diseantero kampus. Apa dia tidak takut?
“Tapi dia sudah berperilaku aneh seperti itu sejak beberapa saat lalu,” Leon menggumam. Dia melirik kearah Jarvis lagi. “Tidakkah kau pikir harusnya kau melakukan sesuatu untuk itu?”
Alis Jarvis kontan berkerut mendapati tanya dari sang dosen. Dia melirik kearah pria itu agak lama dengan pandangan heran. “Apa?”
“Well, aku tahu kalau kalian berdua itu sudah berteman sangat lama. Dari yang kudengar kalian adalah teman masa kecil kan? tapi yah… kau tahu terkadang persahabatan itu hanyalah sebuah batu pijakan untuk memulai sebuah hubungan—”
“Sir Leon, dia tidak melakukan pertunjukan bodoh itu untuk menarik perhatianku,” potong Jarvis cepat. Dia mendecakan lidahnya lagi. “Aku benci mengatakan ini, tapi meskipun kau lebih tua dariku dan lebih memiliki pengalaman. Bagaimana bisa kau menutup mata dan tidak peka terhadap hal seremeh ini?”
Kini Leon benar-benar dibuat bingung, ada apa dengan para pemuda dan pemudi di generasi ini? mereka seperti memiliki banyak pengetahuan yang tidak terbendung. Dan itu membuat Leon sedikit penasaran terhadap sesuatu yang tidak dia ketahui diantara dua muridnya ini.
“Dimana temanmu yang satu lagi?” Leon lebih memilih untuk mengganti topik. Dia akan jadi lebih bingung bila terus membahas permasalahan yang bahkan dia sendiri tidak bisa pahami.
“Dia tidak datang, dia bilang dia sedang tidak enak badan,” jawab suara feminim dari Silvana yang tiba-tiba saja sudah ada di sebelahnya. Gadis itu menaruh tiga minuman kaleng diatas meja dan mendudukan dirinya disisi Leon sambil melingkarkan lengannya dengan santai di lengan Leon sambil tersenyum kecil ke arahnya.
Melihat bagaimana tingkah Silvana didepan mata Jarvis sekarang pemuda itu hanya sanggup menggelengkan kepalanya. Terkadang, dia benar-benar tidak pernah bisa dibuat mengerti dengan tingkah laku sahabat masa kecilnya itu sama sekali. Bahkan tingkahnya yang jelas-jelas dibuat untuk menarik perhatian sang dosen malah mendapatkan pengabaian. Sir Leon benar-benar tidak peka.
Sebenarnya Silvana yang suka pada Sir Leon itu bukan sebuah kabar baru bagi si Jarvis. Gadis itu sudah memberitahunya sejak dia memulai masa kuliahnya di kampus ini. Dia bilang dengan jelas bahwa dia tertarik terhadap seorang dosen muda yang tampan dan kharismatik. Jarvis sangat tahu bagaimana perangai Silvana yang akan berusaha sampai dia mendapatkan mangsanya, dan sekarang entah sudah berapa lama gadis itu belum bicara perkembangannya. Sepertinya dia masih berusaha mendapatkan Sir Leon sekuat tenaganya.
Lihat, sekarang saja Silvana menatap Sir Leon dengan tatapan penuh kekaguman berlebih seolah siap untuk menyantap dan disantap. Meskipun pria dewasa itu tidak menyadarinya dan sejak tadi Silvana terus saja berusaha membuat pergerakan sendiri agar semakin terlihat jelas. Jarvis pikir itu adalah sebuah upaya yang sedikit membuatnya jijik, tapi dia tidak benar-benar peduli dan tidak ingin terlalu ikut campur dalam masalah oranglain. Dia sendiri ragu apakah dosennya ini akan merespon sinyal dari sahabat karibnya, meskipun dia menangkap sinyal itu dengan seluruh akalnya.
Terlebih Silvana punya saingan berat, sebut saja Ms.Kelly. Beliau adalah seorang yang kerap digosipkan kerap keluar masuk apartment Sir Leon meskipun bukan dia saja yang terlibat dengan pria itu. Jarvis menyeringai, Dosennya benar-benar bajingan jika menyangkut soal ini.
“Silvana!” Panggilan yang mengarah pada si gadis berambut panjang membuat tiga orang yang sedang duduk di kafetaria langsung mengarah pada satu gadis lain yang mendekat pada mereka. Dia Jiyya, teman Silvana.
“Hei, ada apa? sudah selesai dengan kelasmu?”
Jiyya tidak menjawab, sebaliknya mata gadis itu malah sibuk memandang tajam tepat kearah lengan Silvana yang masih bergelayut manja di lengan Sir Leon. ‘Ya Tuhan, temanku benar-benar tercipta menjadi seorang jalang’ batin Jiyya. Si gadis berambut pendek lantas mengalihkan pandangannya kearah Sir Leon.
“Halo Jiyya,” sapa sang dosen membuat Jiyya sekadar menganggukan kepala sambil memberinya sebuah senyuman manis.
Silvana memandang sahabatnya dengan raut muka curiga, dia tahu bahwa sesuatu telah terjadi dan dia tidak akan mengabaikan sedikitpun signal dari si perawan cantik yang sepertinya sedang membutuhkan dirinya.
“Jiyya, kau ingin membicarakan sesuatu yang pribadi denganku?” Seperti biasanya Silvana dapat dengan cepat mengambil alih pergerakan. Dia cukup peka terhadap situasinya membuat Jiyya terlihat sedikit lebih tertolong sekarang.
“Ya, tapi sepertinya sekarang kau sedang sibuk. Kurasa mungkin lain kali.”
“Hei, ayolah aku tidak pernah sibuk jika itu menyangkut dirimu.” Silvana menjawab dengan santai sembari melemparkan senyum tanpa dosa kearah sahabatnya sebelum akhirnya pandangan mata itu beralih pada Jarvis dan juga Sir Leon yang ada disana. “Kurasa aku harus pergi sekarang. Jangan terlalu merindukan aku ya.”
“Akan kami coba, tapi tidak janji ya.” Sir Leon menjawab memberikan lambaian kearah Silvana sambil tersenyum lebar. Silvana tersipu, namun Jarvis memutar matanya dengan bosan. Dia sekali lagi melirik kearah dosennya yang masih menatap Silvana tanpa rasa apa-apa. Apakah laki-laki tua dihadapannya ini benar-benar tidak sadar?
“Ck…” Jarvis sendiri hanya menjawab dengan sebuah decakan sebelum kedua gadis itu benar-benar pergi dari sana.
Dua gadis itu mulai berjalan pergi dari kafetaria, tapi sebelum itu Silvana benar-benar memastikan untuk menggoyangkan pinggulnya saat berjalan. Jiyya tahu untuk siapa tingkah itu ditujukan. Alisnya terangkat naik.
“Ada yang tidak beres dengan otakmu. Bisa-bisanya kau berjalan dengan cara begitu didepan Sir Leon. Tidak malu?” Jiyya terang-terangan berkomentar dengan suara keras ketika mereka sudah berjalan agak jauh dari kedua pria yang beberapa saat lalu bersama Silvana.
“Setidaknya aku punya nyali dan seseorang yang bisa aku perlihatkan goyangan seksiku,” timpal Silvana nampak puas. “Hei, apa dia masih melihat kearahku?”
Jiyya memutar matanya, tapi meski begitu gadis itu tetap memberikan jawaban pasti atas pertanyaan sahabatnya yang bisa dibilang tidak bermutu. Dia melirik kearah Sir Leon lewat bahunya. “Aku tidak tahu.”
Silvana menggerutu. “Sial, kenapa sih dia itu? apa betul dia benar-benar batu dan tidak menyadari usahaku?”Jiyya menggeram. “Berhenti bertingkah begitu! kau membuatku malu!”
“Tidak mungkin.” Silvana mengibaskan rambutnya bangga tatkala mereka berdua berjalan menuju kearah taman kampus.
"Kau benar-benar jalang ya!"
"Aku hanya perempuan yang tahu mauku apa, Jiyya sayang."
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,