Pikiran negatif pun mulai bertebaran di kepalanya. Nina menduga apakah mungkin bahwa Dicky belok? Lama-lama Nina merasa mual sendiri karena memikirkan bayangan buruk di kepalanya.
“Ihh, menjijikkan! Padahal waktu sekolah, dia kan hits banget dan menjadi idola para gadis. Kenapa sekarang malah belok begini ya? Masa sih dia gay? T-tapi kalau emang benar dia belok, aku gak boleh diam saja! Suamiku dalam bahaya kalau begini ceritanya.”
*
“Apa yang sedang kamu pikirkan, sayang? Aku lihat kamu dari sore tadi seperti banyak pikiran,” tanya Bryan kala melihat istrinya hanya termenung di depan meja rias.
“Tidak ada apa-apa, Mas,” jawab Nina berbohong.
Nina segera menyudahi kegiatannya skincare-an malamnya itu. Nina lalu merebahkan tubuhnya di samping Bryan, bergelung di dalam selimut tebal. Nina memaksakan matanya untuk terpejam. Beberapa detik kemudian, Nina merasakan sebuah lengan melingkari pinggangnya. Lengan itu kemu
“Dicky udah pergi dari sini, Mas. Aku baru saja mengusirnya,” jawab Nina.“Oh ya? Kok kamu usir? Padahal kemarin kamu yang mati-matian mempertahankan dia untuk tetap tinggal di sini. Tapi kok sekarang malah kebalik?”“Dia berbahaya, Mas. Dia itu gay! Makanya dia maksa kerja di sini. Dia mau ngincar kamu soalnya. Aku juga baru tau kebenarannya setelah menghubungi pihak hotel tempat kita menginap di Bali kemarin. Kata manajernya, dia dipecat karena ketahuan menyelinap di kamar turis cowok, Mas. Intinya dia meresahkan para tamu hotel, makanya sampai dipecat,” jelas Nina.Seketika Bryan merinding mendengar pernyataan itu. “Huh, baguslah kalau dia sudah kamu usir. Ku kira dari awal dia itu modus ke kamu, mau bekerja di sini supaya bisa deketin kamu, eh rupanya ngincar aku. Mengerikan sekali lelaki modelan dia. Padahal lubang punya cewek lebih nikmat, dia malah suka sama batang,” ucap Bryan sembari memeluk istrinya dari
“Lebay sekali kamu, Bry! Kamu kan hanya bekerja, bukan mau ngapain. Habis ngantor kan kamu pulang ke rumah, ketemu anak dan istrimu.”“Tapi paling bentaran doang, Pa. Lihat saja sendiri bagaimana Papa yang selalu pulang agak malam. Waktu Papa buat keluarga sedikit banget. Pagi-pagi sudah harus ke kantor sampai sore, bahkan sampai malam jika ada meeting mendadak. Hari weekend pun terkadang Papa masih harus ngurus bisnis bersama rekan kerja. Bahkan jika Papa di rumah, itu pun Papa masih sibuk di depan ipad atau laptop, ngurusin laporan-laporan dan semacamnya. Aku gak mau seperti Papa. Menghabiskan waktu yang banyak untuk bekerja dan bahkan tidak sempat menyisihkan waktu untuk keluarga.”“Terus mau kamu gimana, Bry? Masa iya kamu kepengen jadi pengangguran seumur hidup? Duit di tabunganmu itu pasti akan habis, Bry! Kecuali kalau kamu punya saham di mana-mana, barulah kamu bisa dengan tenang menganggur di rumah karena punya passive income. Kam
“Jangan pulang dong, sayang. Kamu sudah janji akan menemani aku sampai jam pulang kantor.”“Tapi Brianna rewel, Mas.”“Ya sudah, sini aku yang gendong. Kita segera ke ruangan kerjaku saja biar staff di sini tidak terganggu oleh tangisan Brianna,” imbuh Bryan sembari mengambil alih anaknya dari gendongan Nina.Setelah itu, Nina dan Bryan bersama-sama berjalan menuju lift yang akan mengantarkan mereka ke lantai atas. Beberapa staff juga ikut masuk ke lift itu. Mereka menatap Bryan dengan tatapan heran. Para staff itu lalu berbisik-bisik, membicarakan pasangan suami istri itu.“Bukannya mereka baru menikah ya? Kok sudah punya anak sih?” tanya salah satu staff itu dengan suara yang rendah sembari melirik-lirik beberapa kali ke arah Bryan dan Nina.“Keponakannya mungkin.”“Ah, masa? Itu anaknya deh. Lihat aja muka mereka, mirip!”“Berarti istri Pak Bryan hamil di
“Tapi aku masih kerja, sayang. Kamu jagain dulu anak kita, ya. Oh ya, kamu jangan biarin Brianna merangkak di sini dong. Aku takut lututnya sakit, apalagi ini kan di kantor, ruangan yang dipijak pakai sepatu, lantainya pasti berpasir, sayang.”“Hmm, iya, Mas.” Nina pun kembali mengambil Brianna dari dekapan suaminya. Sementara Bryan kembali bekerja.Tidak lama kemudian, Nina kembali mengeluh karena anaknya rewel lagi.“Mas, aku pulang sekarang, boleh gak?”“Lah, kenapa, sayang? Temenin aku sampai sore dong.”“Di sini membosankan, Mas. Kamu sibuk dengan kerjaan kamu. Aku gak tau harus ngapain. Brianna juga rewel terus gegara gak ada mainannya di sini. Gak ada barang-barang yang bisa dia kacau. Kalau di rumah kan enak, Mas. Brianna bisa puas bermain, aku pun bisa menonton tayangan televisi sambil ngemil.”Bryan mengelus dagunya, tampak berpikir. “Oke, oke, aku paham.”
Setelah mendapat teguran keras dari Pak Heru, Bryan mengatur kembali ruangannya seperti di awal. Dia juga menyuruh Nina untuk pulang ke rumah, karena sebentar lagi akan ada rapat bersama para investor.Selama rapat, Bryan tidak bisa konsentrasi dengan apa yang disampaikan oleh pemimpin rapat. Pria itu terus-terusan mengingat anak dan istrinya di rumah. Entah apa yang merasukinya, Bryan selalu merasa rindu pada istrinya, padahal mereka juga akan bertemu nantinya.“Dari rencana kegiatan proyek pembangunan yang saya paparkan barusan, mungkin ada dari ibu atau bapak sekalian yang ingin memberikan usulan lain? Atau ada pertanyaan?” tanya sang presentator yang telah menjabarkan power pointnya kepada peserta rapat.“Tentang proyek pembangunan hotel, bisakah Anda menyerahkan pada perusahaan kami untuk desain arsitekturnya? Kami akan memberikan tawaran harga yang rendah,” tanya salah satu dari perwakilan perusahaan lain yang ikut bekerja sama deng
Hari sudah larut malam, tapi Bryan belum tidur. Rasanya sulit sekali untuk memejamkan mata. Melihat Bryan yang murung, menjadikan Nina pun tidak bisa tidur.“Sabar, Mas. Kamu pasti bisa kok menggantikan Papa dengan baik. Yang penting kamu harus percaya diri. Kalau di kantor, kamu harus fokus dengan kerjaan kamu, Mas. Jangan mikirin aku dan Brianna. Lagian kami berdua kan baik-baik saja di rumah,” ucap Nina berniat menghibur suaminya.Bryan hanya diam, kemudian membenarkan selimutnya.“Sekarang kamu tidur ya, Mas. Besok kan harus bangun pagi lagi,” imbuh Nina.“Aku gak pengen kerja besok ah. Rasanya malas banget.”“Jangan gitu dong, Mas. Kamu kan sudah diberikan amanat oleh Papa. Kamu harus melakukannya dengan baik! Kalau bukan kamu, siapa lagi coba yang ngurus perusahaan? Kamu kan penerus Papa!”“Kamu saja yang gantikan aku, sayang. Kamu yang jadi direktur! Aku di rumah aja deh, ngurus anak kita.”“Ih, ngadi-ngadi kamu, Mas! Yakali ak
Waktu terus berjalan, Nina semakin kewalahan mengurus anaknya yang semakin hari semakin aktif. Bahkan beberapa kali Brianna mengacau dan mengganggu Nina yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya.“Jadi bagaimana, sayang? Apa kamu yakin gak mau nyari baby sitter saja?” tanya Bryan. “Kasihan kamu, sayang. Aku gak tega lihat kamu kesusahan antara mengurus Brianna dan juga berkuliah. Lebih baik kita pakai jasa baby sitter saja, biar kamu sedikit terbantu.”Nina yang sedang duduk di meja belajar itu pun menoleh ke arah suaminya yang rebahan di atas ranjang. Hari makin larut, tetapi masih ada beberapa tugas yang harus Nina kerjakan.Nina tampak berpikir keras. “T-tapi kita nyari baby sitter di mana, Mas? Aku takut kalau gak sesuai kriteria. Aku gak mau nyerahin Brianna ke orang yang salah.”“Kita carinya lewat yayasan saja. Jadi kalau gak cocok, bisa langsung digantikan oleh orang lain. Bagaimana? Mau gak?”&
Hari ini adalah hari peresmian sekaligus serah terima jabatan posisi direktur utama, yang awalnya posisi itu dipegang oleh Fredrinn Lawrence, kini akan beralih ke anaknya sendiri, Bryan Lawrence.Rencananya hari ini juga Fredrinn akan kembali ke Jakarta. Ingin singgah sebentar saja demi menghadiri acara peresmian jabatan untuk putra kesayangannya itu.Pagi-pagi Nina sudah terbangun, ia ingin menyiapkan segala sesuatunya untuk Bryan di hari pentingnya ini. Meskipun ada pembantu, Nina tetap membuatkan sarapan khusus untuk suami tercintanya. Nina juga yang menyiapkan setelan kerja yang akan Bryan kenakan hari ini. Tak lupa juga, dia memastikan bahwa sepatu kerja suaminya bersih dan mengkilap.“Sayang, dasiku yang hitam polos mana ya?” tanya Bryan bingung. Dia melihat isi laci khusus menyimpan koleksi dasi dan ikat pinggangnya, namun dia tidak menemukan dasi yang diinginkannya.“Ada di laci itu kok, Mas,” jawab Nina. Nina masih sibuk m
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“
Dua minggu kemudian…Nina terkesiap ketika menatap kalender. Dia baru menyadari kalau saat ini dia telah terlambat datang bulan. Dalam perhitungannya, sudah ada dua bulanan dia tidak mengalami datang bulan. Seketika tangannya mengelus perut ratanya. Senyum merekah dari bibirnya yang ranum.Nina memang belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan untuk memastikan apakah benar dia hamil atau tidak. Namun, ciri-ciri kehamilan sudah dia alami saat ini. Dia sering mengantuk dan pusing pada pagi hari dengan disertai mual. Sehingga hal itu, membuat Nina yakin bahwa dirinya memang tengah mengandung buah hatinya.“Mas Bryan pasti senang kalau tau ada buah cinta kami di dalam sini. Nanti setelah Mas Bryan sampai, aku akan memintanya untuk menemaniku ke dokter kandungan. Dia pasti sangat antusias,” ucap Nina bermonolog.Sesuai janji yang pernah Bryan katakan sebelumnya, hari ini adalah hari kepulangan Bryan ke Jakarta. Saat ini Bryan sudah berad
Nina terdiam cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan anaknya. “Papa pasti pulang kok,” jawabnya penuh yakin di hadapan anak-anaknya.“Kalau misalnya Papa gak mau pulang gimana, Ma?”“Kenapa Lala ngomong gitu? Papa pasti pulang ke rumah.”“Siapa tau Papa ketemu anak-anak yang lebih baik dari kami. Makanya Papa gak mau nelpon dan bicara sama kami,” cetus Khaylila.“Lala kok bisa kepikiran seperti itu? Jangan pikir yang macam-macam ya, sayang. Papa di sana cuman kerja doang. Gak buat yang aneh-aneh.”“Soalnya di sekolah, Lala punya teman yang Mama Papanya udah pisah.”Kata-kata anak berusia empat tahun itu sukses membuat air mata Nina luruh seketika. “Kalau Papa ketemu anak-anak baru di sana, ya udah, berarti Mama juga harus cari Papa baru buat kalian. Bagaimana? Mantap kan rencana Mama?”“Tapi pilih Papa barunya jangan
Lima hari berlalu, Nina masih belum mendapatkan kabar dari Bryan. Setiap kali dirinya menghubungi Bryan, nomor suaminya itu selalu saja tidak aktif bahkan semua akun sosmednya terlihat seperti diblokir oleh Bryan. Dan kali ini, Nina berinisiatif menggunakan nomor baru untuk menghubungi nomor suaminya itu. Nina berkacak pinggang kala panggilannya tersambung ke nomor sang suami.“Ternyata benar dugaanku, kamu ngeblokir nomorku. Kurang ajar ya kamu, Mas!” ucap Nina bermonolog.“Kamu ini ke mana sih? Lama banget ngangkat teleponnya!” sungut Nina kesal.Setelah beberapa detik, panggilan suara itu pun terhubung ke si pemilik nomor. Tetapi Nina dibuat terkejut karena bukan Bryan yang menjawab panggilannya melainkan seorang wanita.“Hello. Can I help you?”Nina menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat kembali nomor yang dia hubungi, takutnya salah sambung. Tetapi sudah benar yang dia hubungi adalah nomor suaminya sendiri.‘Kenapa yang mengangkat telpon kamu malah orang lain? Siapa peremp
Nina pun kembali mengirimkan sebuah chat ke nomor Bryan.[Setidaknya ngasih kabar dong, walaupun satu chat saja. Aku cemas banget sama kamu, Mas]“Hmm, kok centang satu sih?” gumam Nina terheran-heran. “Seharusnya dari subuh dia udah sampai di apartemen. Tapi kok ceklis? Masa iya dia gak ada kuota atau wifi sih? Apa dia sengaja matiin data selulernya biar gak diganggu?”*Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Tetapi sampai detik ini juga, Bryan masih belum memberikan kabar. Bahkan nomornya saja masih centang satu. Nina semakin cemas dibuatnya. Tiba-tiba teleponnya berdering, membuatnya merasa lega.Nina segera mengecek ponselnya, berharap sang suami yang menghubunginya. Namun hatinya kembali diserang oleh rasa kecewa ketika orang lainlah yang menghubunginya.“Halo. Nina, apa kamu di rumah?” tanya seseorang di balik sana.“Iya. Tumben kamu menghubungi aku. Ada apa, Dicky?”Semenjak mengetahui bahwa Dicky telah menjalin hubungan dengan William, Bryan tidak mempermasalahkan lagi jika
Pukul 01.00 malam, Nina belum juga bisa tertidur. Dia bolak-balik mengecek ponsel, menantikan notifikasi dari suaminya.“Ini sudah 17 jam dari jam keberangkatan pesawat Mas Bryan. Harusnya sih dia udah sampai di Prancis. Tapi kok dia belum ngabarin aku? Apa dia masih di bandara ya?” Nina berusaha untuk berpikiran sepositif mungkin. “Ah ya sudahlah. Lebih baik aku tidur saja dulu. Siapa tau besok pagi sudah ada pesan darinya.”Entah sudah berapa dia memejamkan mata, memaksakan diri untuk tidur. Tetapi semuanya sia-sia. Kepalanya tidak bisa diajak kerja sama. Ada saja bayangan-bayangan buruk yang mengganggu pikirannya.Nina kembali mengecek layar ponselnya yang menunjukkan waktu semakin larut. Jujur saja, tubuhnya sangat lelah dan tak bertenaga, matanya pun mulai terasa berat. Namun ada saja yang membuatnya terjaga. Inilah yang sering kita sebut sebagai insomnia akibat overthinking.Karena susah tidur, Nina akhirnya memilih beranjak
Langkah Nina sedikit terganggu karena banyak orang yang juga berlalu-lalang berjalan melintasinya. Jarak mereka kian jauh. Nina semakin kehilangan jejak suaminya. Bahkan saking ramainya, Nina tak sengaja menabrak seseorang.“Maaf, Pak,” ucap Nina menyadari kesalahannya.“Kalau jalan lihat-lihat dong, Mbak!”“Iya-iya. Sekali lagi maaf, Pak.”Nina kembali melihat ke depan. Namun dia sudah tidak melihat suaminya lagi. Bahkan bayangannya saja sudah tidak ada. Nina kini pasrah. Pikirannya yang kacau, bercampur aduk.Nina masih syok dengan apa yang dia lihat barusan. Ini pertama kalinya Nina melihat suaminya bersama perempuan lain. Apalagi Bryan bahkan tidak memberontak saat perempuan itu menggandeng tangannya. Dan lebih membingungkan, ayah mertuanya pun tidak protes melihat anaknya sendiri sedang bersama wanita lain yang bukan istrinya.“Ada apa ini sebenarnya? Apa yang terjadi?”*Nin