“Aduuhh. Maaf aku gak sengaja nyenggol punya kamu. Sakit banget ya, Mel?” Setelah meminta maaf, Bryan justru semakin nakal. Lelaki itu meletakkan tangannya pada payudara Melissa. “Sini aku usap-usap biar gak sakit lagi ya, Mel.”
“Hngghh… aahh.. makasih Pak Bryan. Tapi masih sakit, Pak,” ujar Melissa sembari mendesah agar libido Bryan semakin naik.
Melissa memegang tangan Bryan dan menuntunnya untuk meremas lebih kuat gunung kembarnya itu. Bryan hanya menurut karena jelas itu adalah hobinya.
Melissa bisa mendengar napas bos mudanya itu yang semakin berat. Dia pun mengerahkan satu tangannya mengelus-elus barang pusaka di balik celana kain Bryan.
“Punya Bapak sepertinya besar,” ucap Melissa yang kini menggigit bibir bawahnya, membangkitkan gairah sensual Bryan.
“Apa kamu mau melihatnya lebih jelas?” tanya Bryan yang kini bersuara serak.
Melissa menganggukkan kepalanya pelan. &ld
“T-tidak kok, Pa. Semuanya baik-baik saja.”“Bryan. Ingat pesan Papa! Kamu jangan buat ulah di kantor! Kalau sampai Papa dengar berita buruk soal kamu, Papa tidak segan-segan menghapus nama kamu dari calon pewaris perusahaan. Dan juga Papa akan mengusir kamu dari rumah kalau kesalahan yang kamu perbuat itu fatal. Paham kamu, Bryan?!”Bryan meneguk ludah susah payah. Paniknya semakin bertambah. Kondisi ruangan yang tadinya dingin tetiba menjadi panas saat Papanya melontarkan kalimat yang terdengar mengancam.Tidak mendapat sahutan dari Bryan, Fredrinn pun semakin meninggikan suaranya. “Bryan, kamu dengar Papa, kan?!! Awas kamu, ya!”“I-iya, Pa. A-aku gak macem-macem kok. Papa bisa pegang janjiku.”“Oke. Bagus! Kalau begitu, Papa tutup telponnya.”Bryan menghela napas berat setelah panggilan itu berakhir. Bryan menolehkan kepalanya dan memandangi Melissa yang sudah siap untuk diterkam
Sontak kalimat Laras sukses membuat Bryan murka. “Lancang ya kamu menanyakan hal itu ke majikan sendiri!! Kamu mau aku pecat, huh?”“T-tidak, Tuan Muda. M-maaf. S-Saya pergi dulu ya, Tuan. Permisi,” ucap Laras tergagap kemudian beranjak pergi setelah mengambil uang di tangan Bryan itu.Bryan pun melanjutkan makan malamnya hingga selesai.*Pukul 01.00, tengah malam…Seperti malam-malam sebelumnya, Bryan selalu pulang dalam keadaan mabuk. Pria bajingan itu berjalan sempoyongan menuju kamar Nina.Klek!Pintu kamar dibuka oleh Bryan. Dengan mata sayunya, Bryan masih bisa menangkap sosok Nina yang sudah tertidur lelap di kasurnya. Samar-samar aroma alkohol tercium menguar di ruangan kecil itu. Bryan mendekati Nina dan meraba-raba tubuh gadis itu.Bryan mengecup bibir Nina berkali-kali untuk membangunkannya. “Nina sayang, ayo bangun. Aku kepengen.”“Nina cantik, ayo ba
“Apa kau lupa tentang kesepakatan kita di awal?! Ingat Nina, aku sudah membayarmu! Kau tidak boleh berhenti begitu saja!” Bryan menekankan kalimatnya dan bicara dengan nada tinggi karena Nina terus saja memberontak.“Apa Tuan juga sudah lupa, bahwa Tuan-lah yang memulai!! Tuan yang memperkosaku waktu itu. Aku rasa uang yang Tuan berikan bahkan masih kurang untuk membayar kesucianku yang telah Tuan Bryan rampas!!” Nina tidak mau kalah. Nina juga membalas Bryan dengan berbicara menggunakan nada tinggi dan mendorong tubuh majikannya agar menjauh darinya.“Sudah sana! Tuan Muda pergi saja! Saya mau tidur, Tuan!” usir gadis itu, berlagak berani.“NINA!! KAU—”Bryan mengangkat tangannya seolah-olah akan menampar Nina.“Kenapa, Tuan? Tuan Bryan mau menampar saya? Tampar saja, Tuan! Tampar!” tantang Nina tak kenal takut.Bryan kembali menurunkan tangannya seraya menghela napas berat.
“Bantuin ngelap keringatku, Sherla. Rasanya gerah banget di sini,” ujar Bryan yang berjalan mengunci pintu ruangannya.Gadis itu berpikir keras. Ia melihat pendingin ruangan yang menyala dengan suhu rendah, membuat ruangan ini sangat dingin. Tetapi kenapa bosnya itu justru merasa gerah?Bryan berjalan perlahan mendekati gadis itu seraya melepas jaz hitamnya dan membuka satu per satu kancing kemejanya, memperlihatkan tubuh atletisnya secara jelas kepada Sherla.“Kemari, Sherla. Mendekatlah padaku.” Bryan memegang tangan gadis itu dan membawanya ke sofa empuk nan luas di depan meja kerjanya.Setelah keduanya duduk, Bryan langsung menempelkan bibirnya pada bibir Sherla dan melumatnya dengan ganas.“Aahh… Pak Bryan… jangan lakukan di sini, Pak. Nanti ketahuan pegawai yang lain,” ujar Sherla cemas sambil mendesah kecil.“Tenang saja, Sherla. Gak bakal ada yang tau kok. Pintunya kan sudah aku
“Ehhem…” Melissa sengaja berdeham untuk menyadarkan Bryan bahwa dirinya masih menunggunya di sana. “Pak Bryan? Silakan ditandatangani berkas-berkasnya, Pak!”Bryan menoleh sejenak ke Melissa dan kembali fokus melihat layar hp nya. Pria itu terlihat tidak mood menanggapi siapa pun, meskipun orang itu adalah Melissa.“Bapak? Pak Bryan?” panggil Melissa lagi. Lama-lama kesal juga dia karena dicuekin Bryan.“Nanti aku panggil lagi kalau sudah selesai ya, Mel. Silakan keluar," sahut Bryan malas.Bibir Melissa mengerucut mendapati perlakuan dingin dari bosnya. ‘Enak saja kamu menyuruhku keluar. Setelah kamu melihat tubuh polosku kemarin dan membatalkan permainan kita. Kamu kira aku akan menyerah begitu saja, huh? Tidak akan, Bryan! Tidak akan! Kamu tidak boleh cuek kepadaku. Lihat saja aku akan membuatmu tergila-gila dan mengemis cinta padaku!’ serunya dalam batin.Bryan kembali menata
“Nina?”“Iya, Mbak Sarah?”“Karena pagi tadi kamu gak ngerjain apa-apa, sekarang giliran kamu yang ngangkat jemuran sama ngelipat ya! Gak banyak kok, cuman pakaian Tuan Muda aja.”Nina mengangguk dengan senang hati. “Oh, baik, Mbak Sarah.”“Eh, jangan lupa juga. Kalau baju kerjanya Tuan kamu setrika aja terus digantung dalam lemari. Jangan dilipat. Ok?” kata Sarah lagi.“Siap, Mbak Sarah.”Tetiba Laras muncul entah dari mana dan mengompori Sarah.“Kok tugasnya dikit banget sih, Mbak? Enak banget dong dia! Udah bangunnya telat, gak ngerjain apa-apa seharian, ehhh malah dikasih tugas yang gampang doang. Kalau cuman ngelipat baju doang mah, saya juga mau, Mbak Sarah!” ucap Laras sambil menatap sinis ke arah Nina.“Semua pekerjaan rumah kan sudah pada beres, Laras. Jadi saya harus kasih kerjaan apa lagi ke Nina? Sisa itu doang yang ada.”
Nina menghela napas pasrah. Ia kembali menyetrika dengan tangan sang majikan yang masih melingkar di perutnya.Bryan menggerakkan tangannya secara bebas, meraba-raba tiap inci tubuh indah sang gadis. Bryan menenggelamkan wajahnya di leher Nina dan menikmatinya dengan mata yang terpejam saking bergeloranya.Nina semakin tak bisa bebas mengerjakan tugasnya. Geraknya semakin terbatas karena ulah Bryan. Nina yang risih itu pun melakukan pekerjaannya dengan terburu-buru agar semuanya cepat berakhir. Dan tanpa sengaja, setrikaan yang sangat panas itu menyentuh kulit Nina.“Aww!” ringis Nina yang langsung menarik tangannya menjauh dari sana. Setrika panas yang ia pegang itu pun diletakkan tidak pada tempatnya.Sontak pekikan Nina membuat Bryan kembali membuka mata dan melihat apa yang terjadi.“Nina, kamu kenapa?” tanya Bryan khawatir. Pria itu segera melepaskan pelukannya dan mendapati tangan Nina yang sudah terkena luka bakar. Ti
Bryan mengelus lembut tangan Nina kemudian mengecupnya. Mata pria itu masih terus menatap bola mata Nina yang indah.“Aku mencintaimu, Nina,” gumam Bryan.Mata Nina semakin membulat dan bersinar mendengar kata-kata dari Bryan yang entah benar atau tidak.“Jadi kamu juga harus cinta dengan dirimu sendiri. Beristirahatlah, ya? Jangan paksakan untuk bekerja. Nanti tanganmu makin sakit,” sambung Bryan lagi seraya mengusap pipi Nina yang sudah merah padam.Setelah berkata, Bryan membereskan dan menyimpan kembali bahan dan alat masak pada tempatnya.“T-Tuan, sa-saya bisa kok lanjutin pekerjaan ini,” ujar Nina tergagap karena salah tingkah.“Ah, jangan dilanjutin. Gapapa kok. Aku makan di luar aja. Kamu ke kamar aja sana. Istirahat!”Bryan fokus memperhatikan Nina dengan tangan yang melipat di dada. Nina merasa kikuk karena terus-terusan ditatap oleh tuan mudanya itu. Nina pun menyerah dan memutuskan untuk pergi dari tempat itu.Setel
“J-jangan marah ya, Mas. Aku beneran gak sengaja. Maaf, aku ceroboh,” lanjut Nina enggan menatap suaminya. Dia takut dan merasa bersalah karena telah merusak mobil baru milik Bryan yang kata Pak Jaka harganya tembus ratusan milliar.Bryan menghela napas pasrah. “Ya sudahlah, gak apa-apa. Lagian cuman penyok sedikit, kan? Untung saja kita gak mati.”Bryan kembali merebahkan tubuhnya di ranjang perawatan. “Terus anak-anak gimana kabarnya? Di mana mereka sekarang?”“Mereka masih sekolah, Mas. Ini masih jam sembilan pagi,” jawab Nina.Bryan termenung sejenak sembari menatap istrinya yang sedang duduk tepat di samping ranjangnya. “Nina… aku ingin jujur tentang semuanya.”Kini Nina memberanikan diri menatap sang suami. Tatapan mereka saling bertemu. Manik mata Bryan tampak berkaca-kaca.“Aku sudah tau semuanya, Mas. Aku tau dari dokter tentang penyakitmu ini.”&l
“Mas, jawab aku! Kamu tuh sebenarnya ada apa? Jawab aku dengan jujur! Jangan diam aja kayak orang bisu gini!” desak Nina. “Kamu cuman akting ya, Mas? Biar aku merasa kasihan dan bisa memaafkan kamu dengan mudah? Begitu ya?”Nina pasrah melihat keterdiaman suaminya. Bryan masih saja enggan terbuka. “Kalau kamu masih tertutup begini, aku beneran akan pergi. Aku muak, Bryan! Urus saja hidupmu sendiri! Aku pun akan mengurus hidupku sendiri!”Nina kembali melangkah menjauhi suaminya. Dia benar-benar kecewa berat dan marah.“Nina, stop! Jangan pergi, Nina. Kembali, sayangku. Please. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon. Aku tidak sanggup hidup tanpamu,” teriak Bryan kepada Nina yang semakin jauh.“Urus saja hidupmu sendiri, Bryan! Aku tidak peduli lagi denganmu!” balas Nina dengan teriak pula.Saat Nina hendak melanjutkan langkahnya, Bryan justru mendadak diam seperti patung. Bryan lalu memegangi da
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“