Singkat cerita, setelah melalui perjalanan udara dan darat, Nina dan Bryan telah tiba di pelosok desa kecamatan Indramayu, Jawa Barat.“Nina, rumahmu yang mana?” tanya Bryan. Mereka berdua baru saja turun dari mobil angkot.“Belum sampai, Mas. Dari sini kita jalan ke ujung gang, di sana ada pengkolan ojek. Aku biasanya naik ojek sampai di rumah,” jelas Nina sambil berjalan.“Terus kenapa tadi kita gak nyuruh angkotnya berhenti aja di depan pengkolan ojek? Daripada capek-capek jalan kaki begini.”“Gak bisa, Mas. Bukan jalurnya. Lagian ujung gang dekat aja kok. Itu udah kelihatan!” seru Nina sembari menunjuk lurus.Setelah berjalan 250 meter, mereka akhirnya sampai.“Nah, ini dia ojek langgananku. Antar saya ke rumah ya, Pak,” seru Nina. “Satu lagi, tolong bawa teman saya juga ya, Pak,” lanjutnya kepada ojek yang lain.“Siapp, Mbak.”Sebelum naik ke motor, Bryan sempat-sempatnya mencubit lengan Nina hingga gadis itu menjerit kesakitan.“Enak aja kamu bilang aku ini temanmu!” ucap Bryan k
“K-kamu calon suami anak saya?” ulang Aliyah tak percaya.Bryan mengangguk penuh semangat. “Iya, Bu. Saya datang ke sini mau kenalan sama Ibu dan mau minta restu. Oh iya, maaf sebelumnya karena saya datang ke sini cuman bisa ngasih buah.” Bryan lalu menyerahkan beberapa parcel buah-buahan yang ia beli sebelum ke rumah Nina.Aliyah hanya terperanjat. Sedangkan Nina memilih untuk menundukkan kepalanya. Antara takut dan malu.“Eumm, apa saya boleh masuk ke dalam, Bu?” tanya Bryan memecah keheningan.“Oh, b-boleh, boleh. Silakan masuk,” jawab Aliyah.Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu yang luasnya tak seberapa. Hanya beralaskan karpet plastik. Tidak ada kursi atau sofa di sana. Hanya beberapa jarak pandang saja, Bryan sudah bisa melihat dengan jelas dua kamar yang saling bersebelahan tanpa pintu, hanya ditutupi oleh tirai tipis motif doraemon yang lusuh.Sedari tadi Bryan mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan kipas angin. Bryan ingin sekali menghilangkan gerah
“Nina juga bingung, Bu. Tapi Mas Bryan selalu yakinin Nina kalau hubungan kami pasti direstui sama Papa dan Mamanya.”Aliyah mengambil napas panjang. “Ibu berpesan sama kamu, Nak. Jangan mau menikah dengan laki-laki kalau orang tuanya sendiri tidak menerima kamu di keluarga mereka. Itu berat, Nak. Ibu gak mau kamu dijadikan bulan-bulanan sama mertuamu sendiri. Ibu gak bakalan rela kalau anak ibu direndahkan oleh keluarga suamimu kelak. Kita memang miskin, Nak. Tapi kita masih punya harga diri. Jangan mentang-mentang mereka dari keluarga kaya raya, bisa seenak jidatnya menginjak-injak harga diri kita.”“Tapi kalau mereka mau menerima kamu apa-adanya dan menyambut hangat kedatangan kamu di keluarga mereka, tentu Ibu setuju-setuju saja. Ibu rela melepaskan kamu ke Nak Bryan. Yang penting kamu bisa hidup bahagia dan sejahtera.”Nina hanya memasang senyum getirnya.Aliyah lalu mengajak Nina untuk kembali ke ruang tamu. “Kita diskusikan saja langsung sama calon suami kamu, ya, Nak.”Mereka
“Aduh, Mas. Adik aku ini orangnya pemalu. Dia gak bisa langsung akrab sama orang yang baru dikenal. Maklumin aja ya.”Bryan mengangguk paham.Singkat cerita, mereka telah selesai makan. Junot pun memilih untuk keluar rumah. Seperti biasa di sore hari, Junot selalu bergabung bersama anak-anak tetangga yang bermain sepeda. Namun sayangnya, Junot hanya bisa menunggu salah satu dari temannya itu untuk meminjamkan sepeda kepadanya. Kadang pula, Junot hanya bisa melihat teman-temannya itu bermain dari kejauhan.Bryan merasa iba melihat Junot. Ia pun menghampiri sekumpulan anak-anak itu dan berbicara pada mereka.“Halo adik-adik semua. Aku mau pinjem sepeda kalian dong. Boleh gak?” ucapnya tanpa malu.“Boleh, asal bayar. Hihih,” celetuk salah satunya dengan nada bercanda. Namun siapa sangka, Bryan menanggapinya dengan serius.Bryan mengeluarkan uang dari dompetnya dan menyerahkannya kepada anak itu. “Kalau
Setelah makan malam…“Nak Bryan, kamu apa tidak keberatan tidur di ruang tamu nanti? Soalnya kamar hanya ada dua. Itu pun kamar ibu dan bapak, satunya kamar Nina sama Junot,” ucap Aliyah memberitahu.Bryan kelihatan berpikir keras. Bagaimana bisa dirinya tidur melantai di ruang tamu? Tanpa kasur dan bantal sama sekali.“Emm, saya bermalam di hotel aja kalau begitu, Bu. Nanti pagi baru saya ke sini lagi. Di desa ini ada hotel kan, Bu?”“Di sini gak ada hotel, Nak Bryan,” jawab Aliyah lembut.“Kalau penginapan?”“Tidak ada juga, Nak. Soalnya di sini daerah pelosok. Tidak ada yang membuka penginapan seperti itu. Kalau pun ada, jaraknya sangat jauh dari sini. Bisa memakan satu atau dua jam perjalanan naik motor. Makanya tadi Ibu sempat ragu saat kamu bilang mau menginap. Karena memang sudah tidak ada tempat lagi buat kamu. Jadi bagaimana, Nak?”Bryan menelan ludah. Dengan
Sontak Nina dan Bryan terperanjat melihat sosok yang berdiri memperhatikannya.“J-Junot? K-kamu ngapain?” tanya Nina tergugup setengah mati. Ia lalu menghampiri adiknya dengan langkah penuh hati-hati karena pecahan beling berserakan di lantai rumahnya.“Tadi Junot mau ke dapur, Kak. Mau balikin gelas minum yang ketinggalan di kamar,” jawab Junot. Anak itu tampaknya syok melihat kejadian barusan. Ia melirik ke arah Bryan dengan tatapan penuh arti.“Hm, ya udah. Kamu balik ke kamar aja. Biar kakak yang beresin pecahannya. Hati-hati ya jalannya, jangan sampai nginjak beling!” titah Nina yang diangguki oleh Junot.Nina pun ke dapur untuk mengambil sapu dan serok sampah. Ia lalu membersihkan pecahan beling tersebut dengan teliti. Bryan ikut membantunya.Tidak lama kemudian, Aliyah keluar dari kamar, mendapati Nina dan Bryan sedang memunguti pecahan kaca di lantai ruang tamu.“Apa yang terjadi, Nina? Kenapa sampai ada gelas pecah begin
“Dasar kamu ini mesumnya gak ketolong lagi! Aku gak mau, ya gak mau! Kamu pake tangan aja ngeluarinnya!” Nina berucap kesal dan meninggalkan Bryan di dalam sana. Nina sudah tidak peduli meskipun dirinya sendiri belum selesai mandi.*Siang hari, Aliyah baru pulang dari ladang. Wanita 43 tahun itu terheran-heran melihat anaknya di kamar sedang sibuk berkemas-kemas.“Loh, Nak kamu lagi ngapain?”“Ini lagi packing, Bu. Nina dan Mas Bryan mau ke Jakarta sekarang.”“Kok mendadak sekali? Bukannya kalian mau bermalam di sini tiga hari, Nak?”“Rencananya memang begitu, Bu. Tapi gak bisa. Mas Bryan harus ke kantor besok. Ada meeting bersama komisaris dan gak bisa diwakili atau ditunda, Bu,” jelas Nina. Sang ibu hanya mengangguk kecil.“Ya sudah kalau begitu, Nak.”Aliyah lalu kembali ke ruang tamu dan melihat sosok Bryan yang justru terlihat santai dan gabut.“Nak Bryan, kamu gak berkemas-kemas?”Bryan
Nina kini terisak, menangis dengan suara lirihnya. Nina amat menyesali keputusannya waktu itu, yang mau saja menerima tawaran dari Bryan sebagai partner ranjang.Mendengar isakan tangis dari Nina, membuat Bryan menoleh. Mendadak Bryan diserbu oleh rasa bersalah dan penyesalan. Bryan mencoba untuk menggenggam tangan Nina berniat menenangkannya, tapi pria itu sudah takut untuk menyentuh Nina, walaupun hanya sedikit. Bryan masih teringat dengan nasihat dari ayah Nina barusan.“Maaf.”Satu kata yang keluar dari mulut Bryan terdengar tulus. Nina pun berhenti menangis dan menolehkan pandangannya ke pria itu.“Kenapa kamu minta maaf, Mas?” tanya Nina dengan suara yang masih terdengar gemetar.“I’m sorry for hurting you.”“Aku gak ngerti bahasa Inggris, Mas. Ngomong Indonesia aja,” pinta Nina lirih. Nina mengelap air mata yang belum mengering di kelopak matanya.“Aku menyesal, Nina. Seharusnya aku bisa menahan nafsuku. Aku benar
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“
Dua minggu kemudian…Nina terkesiap ketika menatap kalender. Dia baru menyadari kalau saat ini dia telah terlambat datang bulan. Dalam perhitungannya, sudah ada dua bulanan dia tidak mengalami datang bulan. Seketika tangannya mengelus perut ratanya. Senyum merekah dari bibirnya yang ranum.Nina memang belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan untuk memastikan apakah benar dia hamil atau tidak. Namun, ciri-ciri kehamilan sudah dia alami saat ini. Dia sering mengantuk dan pusing pada pagi hari dengan disertai mual. Sehingga hal itu, membuat Nina yakin bahwa dirinya memang tengah mengandung buah hatinya.“Mas Bryan pasti senang kalau tau ada buah cinta kami di dalam sini. Nanti setelah Mas Bryan sampai, aku akan memintanya untuk menemaniku ke dokter kandungan. Dia pasti sangat antusias,” ucap Nina bermonolog.Sesuai janji yang pernah Bryan katakan sebelumnya, hari ini adalah hari kepulangan Bryan ke Jakarta. Saat ini Bryan sudah berad
Nina terdiam cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan anaknya. “Papa pasti pulang kok,” jawabnya penuh yakin di hadapan anak-anaknya.“Kalau misalnya Papa gak mau pulang gimana, Ma?”“Kenapa Lala ngomong gitu? Papa pasti pulang ke rumah.”“Siapa tau Papa ketemu anak-anak yang lebih baik dari kami. Makanya Papa gak mau nelpon dan bicara sama kami,” cetus Khaylila.“Lala kok bisa kepikiran seperti itu? Jangan pikir yang macam-macam ya, sayang. Papa di sana cuman kerja doang. Gak buat yang aneh-aneh.”“Soalnya di sekolah, Lala punya teman yang Mama Papanya udah pisah.”Kata-kata anak berusia empat tahun itu sukses membuat air mata Nina luruh seketika. “Kalau Papa ketemu anak-anak baru di sana, ya udah, berarti Mama juga harus cari Papa baru buat kalian. Bagaimana? Mantap kan rencana Mama?”“Tapi pilih Papa barunya jangan
Lima hari berlalu, Nina masih belum mendapatkan kabar dari Bryan. Setiap kali dirinya menghubungi Bryan, nomor suaminya itu selalu saja tidak aktif bahkan semua akun sosmednya terlihat seperti diblokir oleh Bryan. Dan kali ini, Nina berinisiatif menggunakan nomor baru untuk menghubungi nomor suaminya itu. Nina berkacak pinggang kala panggilannya tersambung ke nomor sang suami.“Ternyata benar dugaanku, kamu ngeblokir nomorku. Kurang ajar ya kamu, Mas!” ucap Nina bermonolog.“Kamu ini ke mana sih? Lama banget ngangkat teleponnya!” sungut Nina kesal.Setelah beberapa detik, panggilan suara itu pun terhubung ke si pemilik nomor. Tetapi Nina dibuat terkejut karena bukan Bryan yang menjawab panggilannya melainkan seorang wanita.“Hello. Can I help you?”Nina menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat kembali nomor yang dia hubungi, takutnya salah sambung. Tetapi sudah benar yang dia hubungi adalah nomor suaminya sendiri.‘Kenapa yang mengangkat telpon kamu malah orang lain? Siapa peremp
Nina pun kembali mengirimkan sebuah chat ke nomor Bryan.[Setidaknya ngasih kabar dong, walaupun satu chat saja. Aku cemas banget sama kamu, Mas]“Hmm, kok centang satu sih?” gumam Nina terheran-heran. “Seharusnya dari subuh dia udah sampai di apartemen. Tapi kok ceklis? Masa iya dia gak ada kuota atau wifi sih? Apa dia sengaja matiin data selulernya biar gak diganggu?”*Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Tetapi sampai detik ini juga, Bryan masih belum memberikan kabar. Bahkan nomornya saja masih centang satu. Nina semakin cemas dibuatnya. Tiba-tiba teleponnya berdering, membuatnya merasa lega.Nina segera mengecek ponselnya, berharap sang suami yang menghubunginya. Namun hatinya kembali diserang oleh rasa kecewa ketika orang lainlah yang menghubunginya.“Halo. Nina, apa kamu di rumah?” tanya seseorang di balik sana.“Iya. Tumben kamu menghubungi aku. Ada apa, Dicky?”Semenjak mengetahui bahwa Dicky telah menjalin hubungan dengan William, Bryan tidak mempermasalahkan lagi jika