Share

2. Cincin pernikahan

"Tugasmu hanya melayaniku layaknya suami. Karena membuat semua mata menatapmu jijik, bukan hal sulit aku lakukan."

Kendati sangat marah mendengar kalimat itu keluar dari mulut seorang Leon Smith. Tapi Luna sadar siapa dirinya untuk melawan. Leon tidak pernah main-main dengan ucapannya. Pria arogan yang memiliki sisi gelap, dan tidak semua orang mengetahuinya.

Meski keberatan dan jelas amat sangat terpaksa, tak ayal malam itu Luna kembali merasakan keganasan Leon di atas ranjang. Luna benci penyerahan diri yang ia lakukan lagi dalam keadaan sadar. Menganggap dirinya tak lebih baik dari wanita-wanita peliharaan sang tuan. 

"Kau puas sekarang?" Suara bergetar Luna terdengar ketika Leon bahkan belum mengatur nafas dengan benar.

Pria itu baru saja berguling, dan seketika menoleh kesamping, sambil berucap dingin. "Sebelumnya aku pernah menawarkan pernikahan padamu. Sekarang jangan pernah menganggap dirimu korban jika kau juga menikmatinya."

"Karena aku tahu pernikahan macam yang kau janjikan," lirih Luna sembari menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. "Kau menjadikanku seperti pelacurmu, dan sekarang kau mengatakan aku juga menikmatinya? Aku memang bukan gadis yang layak untuk kau hargai, karena aku hanya pelayanmu. Tapi apakah pantas seorang Leon yang terhormat mengurung gadis dekil sepertiku hanya untuk dijadikan pemuas hasrat? Apakah kau sudah kehabisan stok wanita di luar sana?!"

Leon enggan menanggapi kemarahan Luna, meski suara tangis gadis itu cukup mengusik pendengarannya. Memilih bangkit dan meninggalkan ranjang seperti yang ia lakukan pada malam-malam sebelumnya.

Melihat Leon pergi begitu saja, Luna yang semakin hancur hanya bisa menenggelamkan diri di dalam selimut—-meringkuk layaknya bayi.

Sudah sejak satu bulan lalu, Luna terkurung di apartemen Leon yang tidak diketahui persis dimana lokasinya. Ia dibawa dalam keadaan tidak sadarkan diri. Lantas, jangankan melihat kehidupan luar, melewati pintu apartemen itu saja tidak bisa ia lakukan. Persis seperti Putri Rapunzel yang dikurung di puncak menara oleh penyihir jahat—hanya bisa melihat kehidupan yang ada di bawah melalui jendela. Sedangkan Luna, lewat balkon.

Luna hanya berpikir dirinya berada di ketinggian puluhan meter dari atas permukaan tanah. Berulang kali Luna berusaha melarikan diri, tetapi usahanya selalu gagal. Lantaran belum juga melihat dua pria yang katanya berjaga di depan pintu apartemen. Seorang wanita yang dua puluh empat jam mengawasinya, selalu berhasil memergoki dirinya yang hendak melewati pintu.

Tapi anehnya, tidak tahu dimana keberadaan wanita itu setiap kali Leon datang. 

Luna merasa seperti sandra yang dipaksa melayani nafsu bejat pria yang dulu sangat dihormati. Pria mapan, tampan yang juga terhormat itu dulu begitu tampak mengagumkan dengan karisma dan wibawanya. Luna bahkan pernah menganggap Leon pria tertampan yang pernah ditemui, sebelum tahu sisi gelap pria itu.

Beberapa saat setelah lelah menangis, pun merasa bosan dengan ketidakberdayaan---Luna perlahan bangun, dan segera kembali mengenakan pakaiannya.

Dengan langkah gontai ia melangkah menuju pintu. Begitu mengetahui ruang tengah dalam keadaan remang, Luna buru-buru menuju dapur. 

Sesampainya di ruangan yang tidak terlalu luas itu, Luna bergegas memeriksa semua laci yang ada di lemari bawah kompor.

Ceklek

Bersamaan Luna menemukan sebilah pisau dari salah satu laci, tiba-tiba dikejutkan lampu yang menyala dan ruangan berubah terang benderang.

"Mau apa kau dengan benda itu? Jangan konyol! Atau kau sendiri yang akan rugi." Leon masih cukup tenang meski jelas-jelas matanya memicing curiga—mendapati tangan kanan Luna menggenggam pisau dapur.

"Lebih baik aku mati daripada harus menjadi pemuas hasratmu. Aku muak, kau jijik dengan tubuhku sendiri," lirih Luna.

Sejak dirinya terkurung, hilang sudah rasa hormat Luna pada Leon yang dianggap tidak perlu dilakukan lagi. Karena sekarang Leon bukan lagi majikannya, melainkan pria bejat yang menindasnya dengan cara picik.

"Kalau begitu, matilah jika itu yang kau inginkan. Lakukan sekarang. Aku tidak keberatan jika harus menyaksikannya secara langsung."

Kalimat itu seperti dukungan yang membuat Luna semakin yakin ingin mengakhiri hidup. Dengan mata terpejam ia mengangkat pisau dan diarahkan pada pergelangan tangannya yang lain. 

Sementara itu Leon yang masih bergeming diambang pintu dapur, tersenyum sinis melihat tangan Luna bergetar. 

'Dia tidak akan berani melakukannya.' Yakin Leon dalam hati.

Namun sayang, dugaan Leon meleset. Luna benar-benar menyayat pergelangan tangannya. Sebelum darah mengalir semakin deras, dan benda bermata tajam itu berhasil memutus nadi Luna. Leon segera berlari merampas pisau dari tangan Luna, lantas melemparkannya ke lantai.

"Kau benar-benar gila!" pekik Leon geram. "Kau pikir setelah mati jiwamu akan tenang? Bodoh! Dasar gadis bodoh!"

"Setidaknya itu lebih baik," kata Luna pelan disertai desisan. Ia merasakan nyeri di pergelangan tangannya, tapi sebisa mungkin ditahan. Luna tidak akan sudi merintih di hadapan Leon. Gengsinya terlalu tinggi untuk melakukan itu.

"Aku memang bodoh karena tetap membiarkanmu semena-mena pada tubuhku. Kau tidak berhak melakukannya, kau tidak berhak atas tubuhku." Suara Luna sudah melemah. Hingga detik berikutnya tubuh itu pun terhuyung, dan ambruk ke lantai.

"Luna!"

**************

Tidak tahu apa yang terjadi setelah dirinya tidak sadarkan diri. Luna yang belum sepenuhnya sadar, butuh sepersekian detik untuk bisa melihat jelas apa yang ada di sekitarnya. Hingga ia menemukan Leon tengah berdiri di hadapan seorang pria berkepala plontos

Bukankah pria itu? 

Luna baru akan bertanya perihal pria yang ada di hadapan Leon, tetapi mendadak terbelalak begitu beralih ke samping kiri—-mengetahui Tari tak ubahnya seperti mayat hidup. 

"Kak, ada apa denganmu? Dan kenapa kita bisa ada di sini?"

Bukannya menjawab, gadis itu malah semakin terisak dengan kepala tertunduk. 

Apa yang terjadi?

Merasa ada yang tidak beres, Luna kembali mengedarkan pandangan. Seketika itu ia menelan kasar salivanya. Ada banyak pria bersenjata yang berjaga. Dan, yang lebih mencengangkan lagi, dua senjata laras panjang tengah diarahkan pada Tari serta pria yang ada di hadapan Leon.

Situasi macam apa ini?

"Aku akan memasangkan cincin pernikahan kita di jari manismu, istriku."

Luna terkejut mengetahui Leon sudah berjongkok di depannya. Tapi bukan itu permasalahannya sekarang. Kenapa mereka bisa berdiri di depan altar. Tidak. Pernikahan itu tidak sah. Lantaran ia tidak pernah menginginkannya.

"Aku bukan istrimu, dan aku tidak akan pernah sudi penyandang status itu!" sanggah Luna menyembunyikan kedua tangannya. "Jelaskan padaku apa yang terjadi pada mereka?" 

Mengetahui kemana arah pandang Luna, Leon terkekeh seraya menarik paksa tangan Luna agar keluar dari balik gaun yang dikenakan.

Tidak ingin cincing bermata berlian itu melingkar di jari manisnya, Luna segera menarik kasar tangan lagi. "Aku tidak mau!"

"Aku bisa menjamin mereka tetap baik-baik saja, dengan syarat. Pakai cincin pernikahan kita, dan bersikaplah manis sebagai istri yang baik. Saat itu terjadi, maka aku pastikan siapa saja yang ada di sekitarmu tetap aman."

 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status