Mag-log inAlya membuka pintu kamar pelan-pelan, berharap ranjangnya sudah kosong. Tapi harapannya pupus begitu melihat Revan masih terbaring di sana.
“Kok belum bangun, sih” gumam Alya kesal. Ia memutuskan mandi dulu, lalu akan membangunkannya. Ia mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu keluar kamar menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Revan perlahan membuka mata. Ia mengerjap bingung, memandangi langit-langit kamar yang terasa asing. Setelah beberapa detik, ia sadar ini bukan kamarnya. Ia terduduk perlahan, memegangi kepala yang berat, dan mencium aroma samar sabun dari udara kamar. “Astaga…” desisnya, mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Potongan ingatan datang seperti kilatan kilat, wajah Alya, suara bentakannya, lalu bibir mereka yang bersentuhan. Wajah Revan langsung memerah. “Gila... gue apaan sih...” bisiknya dengan nada kesal pada diri sendiri. Saat itu, pintu kamar terbuka, dan Alya muncul masih dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhnya. “Aaaa!” Alya menjerit kecil, refleks mundur dan menutupi dada dengan tangan. “Revan! Kamu udah bangun? Astaga!” Revan ikut kaget, tapi malah mengernyit. “Kamu ngapain, sih masih pagi udah teriak-teriak?” katanya santai, berusaha menutupi rasa malu yang masih tersisa. Alya mencibir. “Ya lagian, kamu udah bangun kenapa nggak langsung balik ke kamar kamu?” Revan berdiri sambil meregangkan badan. “Ini juga mau balik, biasa aja kali. Ini juga rumah gue,” ujarnya santai. “Tapi ini kamarku!” sahut Alya cepat, lalu menoleh tajam sambil merapatkan handuknya. Alya menarik napas kesal. “Cepet keluar! Sekarang juga!” Revan mendesah malas sambil berjalan pelan menuju pintu. “Iya, iya… sabar kali. Emangnya keluar itu nggak perlu jalan?” Alya memutar mata. “Ya cepet jalannya! Cowok, tapi lelet banget!” Langkah Revan terhenti. Ia menoleh, mendekat dua langkah dengan alis terangkat. “Apa kamu bilang barusan?” Detak jantung Alya langsung berdetak kencang. Jarak mereka kini terlalu dekat, dan ia baru sadar dirinya masih hanya dibalut handuk. Kejadian tadi malam seketika terlintas di kepalanya, ciuman, desahan napas, kehangatan aneh yang tak ia mengerti. Tubuhnya menegang. “Nggak… nggak bilang apa-apa. Udah sana, cepat keluar!” ucap Alya cepat sambil mendorong dada Revan dengan satu tangan. Revan sempat terhuyung, lalu melangkah keluar dari kamar Alya. Alya menghela napas panjang sambil menutup pintu setelah Revan benar-benar keluar. Ia bersandar di belakang daun pintu, dadanya naik-turun cepat. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari luar kamar. Maya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Alya terkejut. Matanya membelalak ke arah pintu, ia berharap seolah itu cuma ilusi. “Ma—Ma?” Maya menyipitkan mata. “Kamu lama banget sih! Tadi mama udah suruh kamu panggil Revan, kenapa sampai sekarang belum turun juga?” Alya tergagap sebentar. “Ma-maaf, Ma. Tadi Alya mandi dulu soalnya lengket habis masak tadi.” Maya mendengus pelan, tak percaya. “Alah, banyak alasan kamu. Sekarang cepat turun dan ajak Revan." Alya mengangguk cepat. “Iya, Ma. Aku panggil Revan dulu.” Maya berbalik dan melangkah turun lagi, tapi sempat menoleh sekali sebelum hilang di tangga. “Dan jangan bikin Papa kamu nunggu. Sekali lagi telat, kamu tahu sendiri akibatnya.” Alya menghela napas lega sambil menutup pintu kamar pelan. Tubuhnya bersandar kembali di balik pintu, dadanya masih naik-turun. “Huft... untung Revan sudah keluar sebelum Mama masuk,” gumamnya nyaris tanpa suara. “Hampir aja ketahuan…” Dengan langkah berat, Alya berjalan menuju kamar Revan dan berdiri di depan pintu. Ia mengetuk beberapa kali. Tok tok tok. “Van… kamu tidur lagi, ya?” Tak ada jawaban. Baru saja ia hendak mengetuk lagi, pintu mendadak terbuka dari dalam. Alya tersentak, dan matanya langsung membelalak. Revan berdiri di depan pintu hanya dengan handuk melilit di pinggang, rambutnya masih basah, dan aroma sabun menguar samar dari kulitnya. Alya spontan menutup wajah dengan kedua tangan. “Aaa... astaga! Kenapa kamu nggak pakai baju?!” Revan refleks menutup mulut Alya dengan tangannya dan menariknya masuk ke dalam kamar, membanting pintu pelan agar tidak terdengar dari lantai bawah. “Ssst! Kamu apaan sih?! Mau ngagetin semua orang?” bisik Revan ketus. Alya menepis tangannya dan buru-buru membalikkan badan, punggung menghadap Revan. “Kamu kenapa keluar kamar cuma pakai handuk doang sih?!” Revan mendesah panjang. “Matamu nggak lihat? Aku baru mandi, jelas-jelas rambut gue masih basah.” “Ya maksudnya, kenapa nggak pakai baju dulu baru buka pintu?!” Revan berjalan ke arah lemari sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. “Soalnya kamu berisik banget dari tadi. Ketuk pintu kayak mau ngedobrak.” Alya yang berdiri di ambang pintu hanya mendengus. “Kamu juga dipanggil-panggil nggak nyaut! Mama nunggu kamu di bawah buat sarapan bareng.” Revan berhenti sejenak di depan lemari, mengambil kaos polos dari dalam laci, lalu menjawab tanpa menoleh, suaranya datar. “Lha… kemarin aja aku nggak ikut makan. Apalagi sekarang.” Alya masih berdiri canggung di dekat pintu, tetap membelakangi Revan. “Udah ah, aku mau keluar. Terserah deh mau makan atau nggak.” Lalu ia melangkah keluar. Tak lama setelah Alya turun, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Revan muncul, kali ini sudah berpakaian rapi,kemeja putih, dan celana berwarna gelap, rambutnya masih sedikit basah. Maya menoleh sambil tersenyum. “Pagi, Van.” Arman, sambil menuang jus jeruk ke gelas, ikut menimpali, “Ayo duduk, kita sarapan bareng. Itu Mama kamu udah masak banyak buat kamu.” Revan hanya melirik singkat ke arah meja makan, lalu menggeleng pelan. “Nggak usah, Pa. Aku udah telat.” Maya cepat-cepat menyela, suaranya masih lembut meski terdengar sedikit cemas. “Ya udah… mau di bungkusin aja? Buat kamu sarapan di kantor?” Revan memandangnya sejenak, kemudian mengerutkan kening dan menjawab datar, tanpa basa-basi, “Nggak usah. Aku nggak minat sama masakan kamu.” Kalimat itu menghantam ruangan seperti gelas pecah di lantai ubin. Maya tak langsung menjawab. Tangannya diam di atas sendok, dan senyumnya memudar perlahan. Arman meletakkan gelasnya dengan sedikit keras di atas meja. Nadanya berubah dingin, tegas. “Revan, mulutmu makin hari makin kurang ajar, ya. Dia sekarang udah jadi Mama kamu. Tolong kamu hargai.” Revan tertawa kecil, tapi tidak ada nada lucu di sana. Ia menatap Arman lurus, lalu bergeser sedikit menatap Maya. Tatapannya datar. “Mamaku cuma satu. Dan dia sudah meninggal.” Lalu tanpa menunggu reaksi dari siapa pun, Revan berbalik dan melangkah pergi, Suasana meja makan langsung hening Alya menarik napas panjang, seperti menghirup beban. "Kenapa harus aku sih?" pikir Alya sambil menunduk lebih dalam. "Kenapa semua ini terjadi sama aku? Mama memperlakukan aku dengan buruk, sekarang Revan pun sama?” Seketika, pandangannya mengabur oleh air mata. Ia buru-buru mengusapnya diam-diam, takut terlihat Maya yang duduk tak jauh dari tempatnya.Perut Alya tiba-tiba berbunyi cukup keras di tengah keheningan.Grrrkk…Revan yang memejamkan matanya sontak membukanya. Tubuhnya bergetar pelan karena tawa yang ia tahan. Ia menunduk, menatap wajah Alya yang sudah memerah.“Kamu lapar?” tanyanya, tangannya mengusap perut rata Alya yang baru saja berbunyi.Alya mengerang pelan, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan karena malu setengah mati. “Iya, Van…” katanya jujur dari balik telapak tangan. “Gara-gara kamu, aku belum sempat makan siang.”Revan tertawa lepas. Suaranya renyah memenuhi ruangan. Ia mengecup puncak kepala Alya dengan gemas.“Ya sudah, kita pesan makan aja,” usulnya santai sambil meraih ponselnya yang tergeletak di meja dekat sofa. “Mau apa? Pizza? Sushi? Atau nasi padang?”Alya menurunkan tangannya, menatap sekeliling ruangan apartemen yang mewah tapi tampak sepi itu.“Di sini nggak ada bahan yang bisa dimasak, Van?” tanyanya penuh harap. “Mie instan atau telur gitu?”Revan menggeleng tanpa rasa bersal
Tanpa aba-aba, satu tangan Revan menyelip di bawah lutut Alya. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat tubuh gadis itu. “Ah!” Alya memekik kaget. Kedua kakinya refleks melingkar di pinggang Revan, sementara lengannya memeluk leher pria itu erat-erat agar tidak terjatuh. “Revan! Turunin!” protesnya, napasnya sudah tak beraturan, wajahnya memanas. “Nanti,” jawab Revan singkat. “Kalau kita sudah di sofa.” Ia melangkah menuju sofa panjang di ruang tengah yang temaram. Namun ia tak sekadar meletakkan Alya. Revan ikut menindih tubuhnya, mengurungnya di antara sandaran sofa yang empuk dan tubuhnya yang kokoh. Alya terengah. Dadanya naik turun cepat, bergesekan dengan dada Revan yang menempel rapat padanya. Jarak wajah mereka tinggal beberapa sentimeter. Mata Revan yang gelap menelusuri wajah Alya perlahan, seakan ingin menghafal setiap ekspresi pasrah yang kini terlihat begitu memikat. “Kamu kelihatan cantik banget kalau lagi berantakan begini,” bisiknya serak. Ibu jarinya mengusap
Alya menarik nafas dalam-dalam.“Van,” ucap Alya pelan, nadanya melembut. “Bisa nggak imbalannya nanti aja? Kalau udah sah. Cuma seminggu lagi kok.”Revan tetap menatap jalan. “Nggak bisa, Alya. Aku udah bilang. Aku nggak mau nunggu selama itu.”Alya menggigit bibirnya. “Nanti malam pertama kita jadi nggak berkesan, Van.”Revan meliriknya sebentar, lalu berkata tenang namun tegas, “Apapun, asal sama kamu, selalu berkesan.”Kalimat itu membuat Alya kehabisan kata.Ia terdiam. Tangannya saling menggenggam di pangkuan, dadanya terasa penuh oleh campuran takut, pasrah, dan perasaan yang tak sanggup ia uraikan.Tak lama kemudian, mobil memasuki area parkir basement apartemen mewah itu.Revan mematikan mesin, tapi ia tidak segera turun. Ia hanya duduk diam, membiarkan kegelapan di dalam mobil perlahan mengambil alih.Alya bisa merasakan jantungnya seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya. Ia tidak berani menoleh. Ia tahu, di balik wajah tenang Revan, ada badai yang sedang menunggu
Jam di ponsel Alya menunjukkan tepat pukul empat sore saat ia akhirnya melangkah keluar dari gedung fakultas. Langit masih terang, tapi panasnya sudah tidak seterik siang tadi. Bahunya terasa pegal karena kelas tambahan yang mendadak, dan kepalanya penuh oleh materi yang dipadatkan dalam waktu singkat. Ia menghela napas pelan sambil menuruni anak tangga, lalu merogoh tas mencari ponselnya. Baru saja layar ponsel menyala, langkah Alya terhenti. Mobil Revan sudah terparkir di depan kampus. Posisinya hampir sama seperti siang tadi, seolah Revan tidak benar-benar pergi ke mana pun. Alya menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum kecil tanpa sadar. Ada rasa bersalah yang langsung menyelinap. Ia mematikan layar ponselnya, menyimpannya kembali ke dalam tas, lalu berjalan mendekat. Begitu pintu mobil dibuka dan ia masuk, hawa sejuk AC langsung menyelimuti tubuhnya. Pintu tertutup. Hening. Revan duduk di kursi pengemudi dengan ekspresi yang masih sama, rahang mengeras, tatapan
Rafi mengangkat kedua telapak tangannya setinggi dada, gesturnya tampak santai seolah ingin meredakan suasana. Namun sudut bibirnya tetap melengkung tipis, senyum yang terlalu tenang untuk situasi setegang ini.“Santai aja, Van,” katanya ringan. “Aku nanya Alya, bukan kamu.”Ia kembali menoleh ke Alya, sorot matanya lembut, nyaris penuh pengertian. “Alya apa benar kamu calon istri dia?”Alya menarik napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak, tapi kali ini ia memaksa dirinya untuk tidak menghindar. Ia mengangguk pelan, lalu bersuara, meski nadanya sedikit bergetar.“Iya, Fi,” ucapnya jujur. “Dia calon suamiku. Aku mau nikah sama Revan.”Revan menyeringai. Senyum miring itu muncul begitu saja, seolah kalimat Alya adalah kemenangan kecil yang sejak tadi ia tunggu. Ia menoleh ke arah Rafi, dagunya terangkat sedikit.“Kamu dengar sendiri, kan?” katanya dingin. “Jadi tolong, jangan ajak istri orang jalan sembarangan.”Rafi tertawa kecil, singkat. Ia menggeleng, seolah kalimat itu terlalu
Alya tersentak hingga bahunya terangkat refleks, sementara Revan memejamkan mata rapat-rapat sambil menggeram pelan, seolah sedang menelan umpatan yang sudah hampir lolos dari bibirnya. Keduanya menoleh bersamaan ke arah jendela pengemudi. Di sana, seorang petugas keamanan kampus berdiri tegak dengan wajah kaku, kembali mengetuk kaca mobil yang berlapis film gelap itu. “Selamat siang, Pak. Mohon maaf, disini dilarang berhenti. Mobilnya menghalangi jalur bus kampus,” ujar petugas itu dari luar. Alya spontan memalingkan wajah, menutupnya dengan kedua telapak tangan karena rasa malu yang menyerbu tanpa ampun. “Tuh, kan! Aku tadi sudah bilang!” desisnya panik. Tangannya buru-buru merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. “Malu, Van…malu.” Revan menghembuskan nafas kasar. Ia kembali bersandar ke sandaran kursi, menyisir rambutnya ke belakang dengan gerakan frustasi yang tak ia sembunyikan. Matanya sempat melirik Alya, yang bahkan sudah meraih gagang pintu, seolah ingin lenyap da







