Share

Bab 4

Author: Liyusa_
last update Huling Na-update: 2025-07-28 19:47:00

Alya membuka pintu kamar pelan-pelan, berharap ranjangnya sudah kosong. Tapi harapannya pupus begitu melihat Revan masih terbaring di sana.

“Kok belum bangun, sih” gumam Alya kesal. Ia memutuskan mandi dulu, lalu akan membangunkannya. Ia mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu keluar kamar menuju kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, Revan perlahan membuka mata. Ia mengerjap bingung, memandangi langit-langit kamar yang terasa asing. Setelah beberapa detik, ia sadar ini bukan kamarnya. Ia terduduk perlahan, memegangi kepala yang berat, dan mencium aroma samar sabun dari udara kamar.

“Astaga…” desisnya, mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Potongan ingatan datang seperti kilatan kilat, wajah Alya, suara bentakannya, lalu bibir mereka yang bersentuhan.

Wajah Revan langsung memerah. “Gila... gue apaan sih...” bisiknya dengan nada kesal pada diri sendiri.

Saat itu, pintu kamar terbuka, dan Alya muncul masih dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhnya.

“Aaaa!” Alya menjerit kecil, refleks mundur dan menutupi dada dengan tangan. “Revan! Kamu udah bangun? Astaga!”

Revan ikut kaget, tapi malah mengernyit. “Kamu ngapain, sih masih pagi udah teriak-teriak?” katanya santai, berusaha menutupi rasa malu yang masih tersisa.

Alya mencibir. “Ya lagian, kamu udah bangun kenapa nggak langsung balik ke kamar kamu?”

Revan berdiri sambil meregangkan badan. “Ini juga mau balik, biasa aja kali. Ini juga rumah gue,” ujarnya santai.

“Tapi ini kamarku!” sahut Alya cepat, lalu menoleh tajam sambil merapatkan handuknya.

Alya menarik napas kesal. “Cepet keluar! Sekarang juga!”

Revan mendesah malas sambil berjalan pelan menuju pintu. “Iya, iya… sabar kali. Emangnya keluar itu nggak perlu jalan?”

Alya memutar mata. “Ya cepet jalannya! Cowok, tapi lelet banget!”

Langkah Revan terhenti. Ia menoleh, mendekat dua langkah dengan alis terangkat. “Apa kamu bilang barusan?”

Detak jantung Alya langsung berdetak kencang. Jarak mereka kini terlalu dekat, dan ia baru sadar dirinya masih hanya dibalut handuk. Kejadian tadi malam seketika terlintas di kepalanya, ciuman, desahan napas, kehangatan aneh yang tak ia mengerti. Tubuhnya menegang.

“Nggak… nggak bilang apa-apa. Udah sana, cepat keluar!” ucap Alya cepat sambil mendorong dada Revan dengan satu tangan.

Revan sempat terhuyung, lalu melangkah keluar dari kamar Alya.

Alya menghela napas panjang sambil menutup pintu setelah Revan benar-benar keluar. Ia bersandar di belakang daun pintu, dadanya naik-turun cepat.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari luar kamar.

Maya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Alya terkejut. Matanya membelalak ke arah pintu, ia berharap seolah itu cuma ilusi. “Ma—Ma?”

Maya menyipitkan mata. “Kamu lama banget sih! Tadi mama udah suruh kamu panggil Revan, kenapa sampai sekarang belum turun juga?”

Alya tergagap sebentar. “Ma-maaf, Ma. Tadi Alya mandi dulu soalnya lengket habis masak tadi.”

Maya mendengus pelan, tak percaya. “Alah, banyak alasan kamu. Sekarang cepat turun dan ajak Revan."

Alya mengangguk cepat. “Iya, Ma. Aku panggil Revan dulu.”

Maya berbalik dan melangkah turun lagi, tapi sempat menoleh sekali sebelum hilang di tangga.

“Dan jangan bikin Papa kamu nunggu. Sekali lagi telat, kamu tahu sendiri akibatnya.”

Alya menghela napas lega sambil menutup pintu kamar pelan. Tubuhnya bersandar kembali di balik pintu, dadanya masih naik-turun.

“Huft... untung Revan sudah keluar sebelum Mama masuk,” gumamnya nyaris tanpa suara. “Hampir aja ketahuan…”

Dengan langkah berat, Alya berjalan menuju kamar Revan dan berdiri di depan pintu. Ia mengetuk beberapa kali.

Tok tok tok.

“Van… kamu tidur lagi, ya?”

Tak ada jawaban.

Baru saja ia hendak mengetuk lagi, pintu mendadak terbuka dari dalam.

Alya tersentak, dan matanya langsung membelalak.

Revan berdiri di depan pintu hanya dengan handuk melilit di pinggang, rambutnya masih basah, dan aroma sabun menguar samar dari kulitnya.

Alya spontan menutup wajah dengan kedua tangan. “Aaa... astaga! Kenapa kamu nggak pakai baju?!”

Revan refleks menutup mulut Alya dengan tangannya dan menariknya masuk ke dalam kamar, membanting pintu pelan agar tidak terdengar dari lantai bawah.

“Ssst! Kamu apaan sih?! Mau ngagetin semua orang?” bisik Revan ketus.

Alya menepis tangannya dan buru-buru membalikkan badan, punggung menghadap Revan. “Kamu kenapa keluar kamar cuma pakai handuk doang sih?!”

Revan mendesah panjang. “Matamu nggak lihat? Aku baru mandi, jelas-jelas rambut gue masih basah.”

“Ya maksudnya, kenapa nggak pakai baju dulu baru buka pintu?!”

Revan berjalan ke arah lemari sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. “Soalnya kamu berisik banget dari tadi. Ketuk pintu kayak mau ngedobrak.”

Alya yang berdiri di ambang pintu hanya mendengus. “Kamu juga dipanggil-panggil nggak nyaut! Mama nunggu kamu di bawah buat sarapan bareng.”

Revan berhenti sejenak di depan lemari, mengambil kaos polos dari dalam laci, lalu menjawab tanpa menoleh, suaranya datar.

“Lha… kemarin aja aku nggak ikut makan. Apalagi sekarang.”

Alya masih berdiri canggung di dekat pintu, tetap membelakangi Revan. “Udah ah, aku mau keluar. Terserah deh mau makan atau nggak.”

Lalu ia melangkah keluar.

Tak lama setelah Alya turun, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Revan muncul, kali ini sudah berpakaian rapi,kemeja putih, dan celana berwarna gelap, rambutnya masih sedikit basah.

Maya menoleh sambil tersenyum. “Pagi, Van.”

Arman, sambil menuang jus jeruk ke gelas, ikut menimpali, “Ayo duduk, kita sarapan bareng. Itu Mama kamu udah masak banyak buat kamu.”

Revan hanya melirik singkat ke arah meja makan, lalu menggeleng pelan. “Nggak usah, Pa. Aku udah telat.”

Maya cepat-cepat menyela, suaranya masih lembut meski terdengar sedikit cemas. “Ya udah… mau di bungkusin aja? Buat kamu sarapan di kantor?”

Revan memandangnya sejenak, kemudian mengerutkan kening dan menjawab datar, tanpa basa-basi, “Nggak usah. Aku nggak minat sama masakan kamu.”

Kalimat itu menghantam ruangan seperti gelas pecah di lantai ubin. Maya tak langsung menjawab. Tangannya diam di atas sendok, dan senyumnya memudar perlahan.

Arman meletakkan gelasnya dengan sedikit keras di atas meja. Nadanya berubah dingin, tegas. “Revan, mulutmu makin hari makin kurang ajar, ya. Dia sekarang udah jadi Mama kamu. Tolong kamu hargai.”

Revan tertawa kecil, tapi tidak ada nada lucu di sana. Ia menatap Arman lurus, lalu bergeser sedikit menatap Maya. Tatapannya datar.

“Mamaku cuma satu. Dan dia sudah meninggal.”

Lalu tanpa menunggu reaksi dari siapa pun, Revan berbalik dan melangkah pergi,

Suasana meja makan langsung hening

Alya menarik napas panjang, seperti menghirup beban.

"Kenapa harus aku sih?" pikir Alya sambil menunduk lebih dalam. "Kenapa semua ini terjadi sama aku? Mama memperlakukan aku dengan buruk, sekarang Revan pun sama?”

Seketika, pandangannya mengabur oleh air mata. Ia buru-buru mengusapnya diam-diam, takut terlihat Maya yang duduk tak jauh dari tempatnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Liyusa_
bab bab selanjutnya
goodnovel comment avatar
Liyusa_
Udah ada di bab selanjutnya ka
goodnovel comment avatar
Oleng Leng
request yg lebih hot boleh GK min?
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 154(21+)

    Alya buru-buru menggeleng, berusaha kelihatan santai meski jantungnya lagi-lagi berdegup kencang. Ia angkat dagu sedikit, pura-pura cuek sambil menyilangkan tangan di dada. "Ngapain juga nyariin kamu? Aku cuma penasaran aja sama apartemen ini, gede banget sih," katanya, suaranya dibuat datar, tapi ada nada gugup yang susah disembunyikan. Matanya sengaja dialihkan ke kolam, pura-pura perhatiin air yang masih bergoyang pelan.Revan cuma terkekeh pelan, matanya yang basah karena air kolam malah makin tajam menatap Alya. Tanpa banyak kata, tangannya tiba-tiba meraih pergelangan tangan Alya yang paling dekat, tarikannya kuat tapi nggak kasar, cukup buat Alya kehilangan keseimbangan. "Ehh…" seru Alya pelan, tapi udah telat. Tubuhnya ambruk duduk di tepi tangga kolam, pas di sebelah Revan.Kimono tipisnya yang baru diikat asal tadi langsung bergeser sedikit. Belahannya di bagian dada terbuka sedikit, menampakkan garis lembut di tubuh Alya yang tersingkap karena gerakannya sendiri. Sadar

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 153

    Ciuman itu masih menempel di bibir Alya. Degup jantungnya belum juga turun, sementara pikirannya berlari ke mana-mana. Ia masih bisa merasakan sisa nafas Revan di kulitnya, membuat dadanya panas, antara malu dan bingung. Beberapa detik berlalu tanpa kata. Alya menunduk, mencoba mencari napas, tapi udara rasanya berat. Tangannya akhirnya terangkat pelan, menekan dada Revan yang sejak tadi tak bergerak. “Van, awas… aku mau mandi,” katanya pelan. Suaranya bergetar, tapi ia berusaha terdengar tegas. Revan cuma tersenyum kecil. Bukannya mundur, ia malah sedikit mendekat lagi. Gerakannya pelan, tapi cukup untuk membuat Alya kembali menahan napas. “Aku ikut,” katanya, nyaris seperti bisikan di telinganya. Alya langsung panik. Ia menggeleng cepat, rambutnya yang sudah berantakan makin jatuh menutupi sebagian wajah. “Nggak, Van,” ucapnya terburu-buru. Tangannya spontan menekan dada Revan lebih kuat kali ini, mendorongnya sampai tubuh Revan akhirnya bergeser. Begitu ia berhasil lepa

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 152(21+)

    Alya menatap Revan lama. Ia tak langsung paham arah ucapan pria itu barusan. Pelan, Alya membuka suara, suaranya nyaris bergetar. “Maksud kamu apa, Van?” Revan menatapnya diam-diam, lalu mengalihkan pandangannya sebentar, seperti menahan sesuatu di dadanya yang tak semestinya keluar. Ia menarik nafas, lalu menatap Alya lagi. “Aku sama dia itu sama-sama cowok, Alya,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan dalam. Alya hanya bisa diam, menatap Revan dengan mata lebar, menunggu penjelasan. Revan menggeser duduknya, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Kalau aku susah dapetin sesuatu yang aku mau, aku bakal ngelakuin apa aja buat dapet itu,” katanya pelan, tapi tegas. “Semua cara.” Ia berhenti sejenak, menatap Alya tanpa berkedip, seolah ingin memastikan gadis itu benar-benar mendengarnya. “Begitu juga dia.” Alya menelan ludah, jantungnya berdegup tak karuan. “Dia?” Revan mengangguk pelan. “Cowok itu. Kalau dia terang-terangan mau dapetin kamu, dan dia tahu kamu nggak ba

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 151

    Ponsel di dalam tas Alya tiba-tiba bergetar, memecah kesunyian kamar yang masih dipenuhi sisa nafas berat dan keheningan aneh setelah segalanya tadi.Getaran itu membuat Alya tersentak pelan. Ia menoleh, menatap tas di ujung kasur dengan alis berkerut, lalu perlahan meraih ponselnya.Begitu layar menyala, matanya langsung membulat. Nama Papa Arman terpampang jelas di sana.Jantung Alya berdegup kencang. Nafasnya yang semula mulai tenang kembali tercekat di tenggorokan.Pikiran-pikiran berhamburan di kepalanya, saling bertabrakan tanpa arah.Alisha… jangan-jangan dia benar-benar ngadu?Wajah Alya seketika memucat. Ingatannya berputar cepat ke kejadian pagi tadi, saat Alisha memergokinya bersama Revan di depan kampus. Tatapan marah Alisha masih terbayang jelas, begitu juga suaranya yang gemetar menahan emosi saat berkata ia akan memberitahu semuanya kepada Papa Arman dan Mama Maya.Alya sampai sekarang masih bisa mengingat jelas kalimat Alisha yang menusuk telinga.“Kamu lupa kalau Om

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 150(21+)

    Ponsel di saku celana Revan tiba-tiba bergetar, membuat gerakannya seketika terhenti. Alya, dengan dada yang masih naik turun dan suara nyaris tak terdengar, berbisik pelan, “Siapa, Van?” Revan menghela napas pendek, lalu merogoh saku dengan satu tangan. Sementara itu, tangan satunya masih bertahan, menyusuri titik sensitif Alya. Sekilas ia melirik layar ponsel, nama “Arman” terpampang jelas. Bukannya mengangkat panggilan itu, Revan malah mendengus pelan. Lalu melempar ponselnya ke atas kasur Alya menatap Revan dari bawah, masih dengan napas yang belum juga teratur. Getaran ponsel yang terus-menerus terdengar membuatnya sedikit terusik. Dengan suara serak yang nyaris hanya berupa bisikan, ia bertanya pelan, “Kenapa nggak diangkat, Van?” Revan tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, menatap wajah Alya yang setengah tertutup rambut acaknya. Sudut bibirnya terangkat samar. “Biarin aja,” gumamnya rendah, nyaris seperti erangan tertahan. Lalu, tanpa banyak kata, i

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 149

    Revan mendekat selangkah demi selangkah, sorot matanya tajam. “Kenapa kamu bisa ada di sana sama dia, Alya?” suaranya pelan, tapi mengandung amarah yang ditahan. Semakin Revan mendekat, Alya semakin melangkah mundur. Langkahnya terhenti ketika punggungnya menyentuh tepi kasur. “Van, aku–” ucapnya pelan, tapi belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Revan tiba-tiba menarik tubuhnya dan merebahkan-nya ke ranjang. Tubuhnya menindih dari atas, nafasnya terdengar berat di telinga Alya. Ia menunduk menatap tajam wajah di bawahnya, “Kamu apa?” tanyanya tajam. “Kamu bilang ke aku kamu udah telat, ada kelas pagi. Tapi ternyata?” Tatapannya menelusuri wajah Alya yang memucat. “Ternyata kamu malah ke kafe sama dia.” Alya menggigit bibir, mencoba menenangkan diri, meski jantungnya berdetak tak karuan. “Van, aku tadi memang sudah telat,” ucapnya pelan, seperti bisikan. Namun Revan memotong cepat, jemarinya bergerak menyentuh kancing pertama di blouse Alya. “Iya, kamu telat,” uca

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status