Share

Bab 3

Author: Liyusa_
last update Last Updated: 2025-07-28 19:46:16

Saat tengah malam, hujan turun membasahi jendela kamar Alya yang belum bisa terlelap. Pikirannya melayang ke banyak hal, rumah baru, dan terutama Revan.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan kasar.

Klek...

Alya tersentak duduk. Revan masuk dengan langkah sempoyongan, tubuhnya sedikit oleng, aroma alkohol langsung menyeruak memenuhi kamar.

"Revan?" Alya memanggil, terkejut sekaligus bingung. “Kamu ngapain kesini!”

Revan memicingkan mata, seperti baru sadar ada orang lain di dalam. "Hah… seharusnya aku yang nanya, kamu ngapain di kamar aku?” katanya dengan suara berat.

Alya berdiri, menjaga jarak. “Ini kamarku. Kamarmu yang di sebelah.”

Revan menyandarkan tubuhnya ke pintu, tertawa pendek namun getir. “Kamu mau godain aku kayak Mama kamu godain Papaku, ya?”

Alya menahan napas. Ia mencium bau alkohol yang tajam dan tahu bahwa Revan tidak dalam kondisi sadar. Tapi ucapan itu seperti tamparan.

“Kamu mabuk?" kata Alya dingin. “Ini kamarku dan nggak ada yang mau godain kamu.”

Revan semakin mendekat, langkahnya goyah, dan tanpa sadar ia menjatuhkan tubuh ke ranjang tempat Alya duduk di sampingnya.

“Jangan berharap aku bakal tergoda…” gumamnya pelan.

“Ih, rese banget sih kamu! Keluar sana! Balik ke kamar kamu!”

Tanpa sadar karena pengaruh alkohol, Revan mencium bibir Alya. Alya terkejut, namun tidak Memberontak dan membiarkan ciuman itu terjadi. Setelah kesadarannya pulih, Alya mendorong Revan seraya berkata, "Apaan sih, nyari kesempatan banget!" Revan langsung tersungkur dan tertidur tak sadarkan diri.

Alya menatapnya dengan perasaan campur aduk. "Astaga, kenapa aku malah diem aja tadi?" gumam Alya pelan, menyentuh bibirnya dengan ujung jari. "Kenapa aku nggak langsung nolak?"

Alya menatap Revan yang kini tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjangnya. Napasnya masih naik turun, jantungnya belum juga tenang. Ia masih bisa merasakan bekas ciuman tadi di bibirnya, hangat, aneh, dan membingungkan.

“Duh... dia tidur ,” gumamnya pelan, setengah kesal, setengah bingung.

Tatapannya berpindah ke pintu kamar yang terbuka. Panik mulai muncul di dadanya. “Masa harus tidur satu kamar? Gimana kalau Papa atau Mama lihat? Bisa gawat... nanti dikira macem-macem lagi”

Ia menggigit bibir bawahnya, lalu berjalan mondar-mandir kecil di dalam kamar.

“Haduh, harus gimana ini?” Alya menarik napas panjang, lalu menutup pintu kamar rapat-rapat sambil memastikan kuncinya tidak berbunyi.

“Kalau dibangunin juga percuma. Dia pasti nggak sadar apa-apa. Tapi... ya Tuhan... kenapa harus di kamarku sih?”

Alya menatap sudut tempat tidur yang kosong, lalu menghela napas pasrah. Ia meraih bantal cadangan dan duduk di lantai, menyandarkan punggung ke dinding.

“Tidur di bawah aja deh, daripada ribet,” gumamnya lirih. Namun matanya masih sesekali melirik ke arah Revan, dan tangannya tanpa sadar kembali menyentuh bibirnya sendiri.

"Sebenernya tadi aku bego atau apa sih?"

Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai jendela dan menyinari kamar Alya yang masih berantakan. Ia membuka mata perlahan, tubuhnya sedikit pegal karena semalaman tidur di lantai. Refleks, ia melirik ke ranjang.

Revan masih terlelap di sana, tertidur pulas, bahkan posisinya hampir tidak berubah sejak tadi malam.

“Ya ampun... dia belum bangun juga,” bisik Alya, setengah jengkel, setengah bingung.

Ketukan keras disertai suara ketus langsung membuyarkan kantuk Alya.

"Alya! Bangun! Jangan mentang-mentang udah pindah rumah jadi bisa enak-enakan tidur seenaknya, ya!"

Alya terlonjak. Panik. Matanya langsung mengarah ke ranjang, Revan masih tertidur pulas di sana. “Ya Tuhan…” gumamnya pelan, buru-buru berdiri.

Ia berlari ke arah pintu, membuka sedikit, lalu keluar dan menutupnya rapat dari luar sebelum Maya sempat melihat isi kamarnya.

“Iya, Maaf, Ma... Ini Alya udah bangun kok,” katanya sambil berusaha menenangkan napasnya yang tersengal karena gugup.

Maya berdiri di lorong, kedua tangannya menyilang di depan dada, tatapannya tajam.

"Udah sana cepat ke dapur bikin sarapan. Mama mau berenang dulu. Kalau udah jadi, panggil Mama di kolam, ngerti?"

“Iya, Ma.”

Alya buru-buru melangkah ke dapur. Kakinya masih sedikit gemetar, bukan hanya karena ketakutan pada Maya, tapi juga karena bayangan Revan yang masih tertidur di kamarnya terus mengganggu pikirannya.

Tangannya bekerja cepat: memecahkan telur, memotong roti, menumis bawang. Tapi pikirannya tidak bisa tenang. Ia terus melirik ke arah lorong. "Semoga Revan bangun dan keluar sebelum Mama balik ke atas," bisiknya penuh harap.

Setelah sekitar tiga puluh menit, sarapan selesai. Telur dadar, roti bakar, dan jus jeruk sudah tertata rapi di meja makan. Alya membersihkan tangannya lalu melangkah keluar menuju kolam.

“Ma… sarapannya udah jadi,” katanya pelan ketika melihat Maya tengah duduk di kursi santai, mengenakan kacamata hitam dan pakaian renang yang elegan.

Maya meliriknya sekilas, lalu berdiri.

“Bagus,” katanya pendek, lalu berjalan mendekat dan menunduk ke telinga Alya. “Tapi ingat, jangan bilang sama siapa-siapa kalau itu kamu yang masak. Ngerti?”

Alya mengangguk pelan. “Iya, Ma…”

Maya berdiri, mengibaskan sedikit ujung handuk kecil dari lehernya. “Ya udah, kamu panggil Revan sana. Mama males ngadepin anak songong itu,” katanya ketus, sembari memutar bola mata. “Mama mau bangunin Papa kamu dulu.”

Alya menunduk sedikit, menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. “Iya, Ma…”

Sebelum maya pergi, ia menambahkan dengan suara tajam dan dingin, “Alya, inget ya.. kalau kamu berani macam-macam atau ngadu ke siapa pun soal hal-hal kecil yang terjadi di rumah ini, habis kamu.”

Alya menunduk dalam, menahan napas. “Iya, Ma... Alya ngerti.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 78

    Revan menunduk cepat, kembali melumat bibir Alya dalam-dalam. Ciumannya lebih panas, lebih menuntut, membuat gadis itu terdesak ke dinding kamar mandi.Tangannya bergerak lincah, menarik tali piyama Alya hingga longgar, lalu menjatuhkan kain tipis itu ke lantai. Alya terperanjat, kedua tangannya otomatis menahan dada Revan, tapi tubuhnya bergetar karena sensasi yang datang begitu cepat.“V-Van…” lirihnya, nyaris tak terdengar di antara suara air yang menetes dari shower.Revan menempelkan dahinya ke dahi Alya, napasnya memburu. “Aku mau kamu lagi, Alya.” bisiknya serak, lalu bibirnya turun mencumbu leher gadis itu.Alya mendesah, jemarinya mencengkram lengan Revan erat-erat. Tubuhnya seolah tak lagi punya kekuatan untuk menolak. Setiap kecupan di kulitnya membuatnya makin kehilangan kendali.Revan menunduk, bibirnya kembali menemukan puncak dada Alya, menjilat dan menghisap bergantian, membuat gadis itu terpejam dengan wajah memerah. Desahan lirih lolos dari bibirnya, menggema lemb

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 77

    Revan langsung menunduk cepat, bibirnya melumat bibir Alya, mendesak hingga napas gadis itu tercekat. Ciumannya dalam, panas, membuat gadis itu terkejut hingga matanya membesar. Nafasnya tercekat, tubuhnya kaku sesaat sebelum akhirnya luluh dalam desakan Revan. Lidah mereka saling bersentuhan, membuat tubuh Alya makin gemetar. Di sela ciuman yang membuat nafasnya terengah, Alya mencoba bicara, suaranya terpotong-potong. “Ih… Revan… a-aku lagi masak…” Revan hanya terkekeh rendah, bibirnya masih menempel di bibir Alya. “Kan aku udah bilang…” desisnya serak, “aku maunya makan kamu. Jadi, nggak usah capek-capek masak.” Belum sempat Alya menjawab, Revan kembali melumat bibirnya lebih dalam. Revan mencium lebih dalam, seolah tak memberi ruang untuk berpikir. Tangannya menuntun pinggang Alya mundur, langkah demi langkah, sampai punggung gadis itu menempel pada tepian meja makan. Alya tanpa sadar meraih tengkuk Revan, lengannya melingkar, menarik tubuh laki-laki itu lebih

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 76

    Alya terbelalak, nafasnya tercekat. “H-hah? Nggak kok, Van… aku cuma pengen aja” jawabnya terbata. Namun, begitu kata-kata itu terucap, jantungnya berdegup kencang. Pikirannya mendadak penuh tanya, sementara tubuhnya seolah makin lemas. Akhirnya Revan menepikan mobil sebentar, lalu membeli sebungkus rujak mangga muda untuk Alya. Begitu kembali ke dalam mobil, Alya langsung membuka plastiknya dengan semangat berlebihan, wajahnya berbinar. Revan melirik dengan dahi berkerut. “Makannya nggak bisa nunggu di rumah aja?” tegurnya, nada setengah heran. Alya menggeleng cepat, senyumnya merekah. “Nggak, Van... aku udah pengen banget…” suaranya penuh antusias. Revan hanya menghela nafas, lalu mengingatkan. “Ya udah, awas aja kalau sambalnya tumpah-tumpah.” Alya mengangguk sambil tersenyum, tangannya sibuk mengambil sepotong mangga dan mencocolnya ke sambal. Matanya berbinar puas saat gigitan pertama masuk. Di sela kunyahan nya, ia menoleh ke Revan, senyum nakal muncul

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 75

    “Gue muak liat muka lo pura-pura polos!” Rina mendesis tajam, wajahnya penuh amarah. Alya terengah, tubuhnya goyah menahan perih di kulit kepalanya. “Rin… lepasin, sakit!” suaranya pecah, hampir berbisik di antara tangisan tertahan. Nanda yang baru saja mendorong pintu toilet langsung terperanjat melihat pemandangan di depannya. Rambut Alya dijambak kasar, wajahnya memerah menahan sakit, air mata sudah hampir jatuh. “Eh, kamu apa-apaan sih?!” seru Nanda lantang. Tanpa pikir panjang, ia segera menarik tangan Rina dengan kasar agar melepaskan jambakan itu. Rina mendengus, meski terkejut dengan keberanian Nanda. “Lo nggak usah ikut campur ya!” bentaknya, menepis tangan Nanda dengan penuh emosi. Alya segera mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar hebat, matanya masih berkaca. Nanda berdiri tegak, menahan emosi yang mulai membuncah. “Gue nggak bakal ikut campur kalau lo nggak keterlaluan kayak gini!” Rina menyeringai sinis, mendekat setengah langkah. “Nggak usah sok

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 74

    Rahang Revan mengeras, sorot matanya tak berkedip menatap Alya.“Pokoknya aku nggak suka kamu sama dia,” ucapnya datar tapi sarat amarah yang ditahan.Alya menunduk, suaranya lirih, hampir bergetar.“I-iya, Van…”Mereka melanjutkan perjalanan tanpa satu kata pun hingga akhirnya mobil berhenti di depan gerbang kampus.Alya buru-buru membuka pintu, ingin segera keluar. Namun sebelum kakinya sempat menginjak tanah, lengannya dicekal kuat oleh Revan.Ia menoleh kaget, bertemu dengan tatapan dingin dan menusuk dari lelaki itu. Nafas Revan berat saat suaranya meluncur pelan, penuh tekanan.“Inget, jauhin dia. Kali ini aku nggak mau dengar alasan apapun.”Alya terdiam, tenggorokannya tercekat.“I-iya, Van…”***Alya melangkah masuk kelas dengan langkah pelan. Begitu duduk, ia mencoba fokus pada penjelasan dosen, tapi matanya terasa berat. Padahal semalam ia tidur cukup. Tubuhnya pegal, seperti habis beraktivitas berat, dan sesekali rasa mual datang tanpa sebab.Ia berusaha menahan kantuk da

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 73

    “Van jangan kayak gini,” suaranya lirih, hampir bergetar. “Aku nggak suka lihat kamu sama dia,” desis Revan, suaranya rendah tapi penuh amarah. Bibirnya melumat bibir Alya dengan kasar, seolah ingin memastikan hanya dirinya yang bisa memiliki gadis itu. Alya terkejut oleh desakan itu, namun entah kenapa tubuhnya justru membalas, seolah tak ingin melepaskan Revan. Di sela ciuman yang membuat nafasnya tersengal, Alya berusaha bicara, “Tapi, Van–” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Revan menempelkan bibirnya kembali, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. “Aku nggak bisa terima ada laki-laki lain yang deketin kamu,” bisiknya di antara helaan napas mereka, suaranya serak, penuh kepemilikan. Tanpa memberi kesempatan pada Alya untuk menjawab, Revan kembali melumat bibirnya. Tangannya bergerak membuka kancing Alya satu persatu. Jantung Alya berdetak tak karuan. Ia menggenggam pergelangan tangan Revan, seolah ingin menghentikan, tapi genggamannya tidak benar-benar menol

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status