Saat tengah malam, hujan turun membasahi jendela kamar Alya yang belum bisa terlelap. Pikirannya melayang ke banyak hal, rumah baru, dan terutama Revan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan kasar. Klek... Alya tersentak duduk. Revan masuk dengan langkah sempoyongan, tubuhnya sedikit oleng, aroma alkohol langsung menyeruak memenuhi kamar. "Revan?" Alya memanggil, terkejut sekaligus bingung. “Kamu ngapain kesini!” Revan memicingkan mata, seperti baru sadar ada orang lain di dalam. "Hah… seharusnya aku yang nanya, kamu ngapain di kamar aku?” katanya dengan suara berat. Alya berdiri, menjaga jarak. “Ini kamarku. Kamarmu yang di sebelah.” Revan menyandarkan tubuhnya ke pintu, tertawa pendek namun getir. “Kamu mau godain aku kayak Mama kamu godain Papaku, ya?” Alya menahan napas. Ia mencium bau alkohol yang tajam dan tahu bahwa Revan tidak dalam kondisi sadar. Tapi ucapan itu seperti tamparan. “Kamu mabuk?" kata Alya dingin. “Ini kamarku dan nggak ada yang mau godain kamu.” Revan semakin mendekat, langkahnya goyah, dan tanpa sadar ia menjatuhkan tubuh ke ranjang tempat Alya duduk di sampingnya. “Jangan berharap aku bakal tergoda…” gumamnya pelan. “Ih, rese banget sih kamu! Keluar sana! Balik ke kamar kamu!” Tanpa sadar karena pengaruh alkohol, Revan mencium bibir Alya. Alya terkejut, namun tidak Memberontak dan membiarkan ciuman itu terjadi. Setelah kesadarannya pulih, Alya mendorong Revan seraya berkata, "Apaan sih, nyari kesempatan banget!" Revan langsung tersungkur dan tertidur tak sadarkan diri. Alya menatapnya dengan perasaan campur aduk. "Astaga, kenapa aku malah diem aja tadi?" gumam Alya pelan, menyentuh bibirnya dengan ujung jari. "Kenapa aku nggak langsung nolak?" Alya menatap Revan yang kini tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjangnya. Napasnya masih naik turun, jantungnya belum juga tenang. Ia masih bisa merasakan bekas ciuman tadi di bibirnya, hangat, aneh, dan membingungkan. “Duh... dia tidur ,” gumamnya pelan, setengah kesal, setengah bingung. Tatapannya berpindah ke pintu kamar yang terbuka. Panik mulai muncul di dadanya. “Masa harus tidur satu kamar? Gimana kalau Papa atau Mama lihat? Bisa gawat... nanti dikira macem-macem lagi” Ia menggigit bibir bawahnya, lalu berjalan mondar-mandir kecil di dalam kamar. “Haduh, harus gimana ini?” Alya menarik napas panjang, lalu menutup pintu kamar rapat-rapat sambil memastikan kuncinya tidak berbunyi. “Kalau dibangunin juga percuma. Dia pasti nggak sadar apa-apa. Tapi... ya Tuhan... kenapa harus di kamarku sih?” Alya menatap sudut tempat tidur yang kosong, lalu menghela napas pasrah. Ia meraih bantal cadangan dan duduk di lantai, menyandarkan punggung ke dinding. “Tidur di bawah aja deh, daripada ribet,” gumamnya lirih. Namun matanya masih sesekali melirik ke arah Revan, dan tangannya tanpa sadar kembali menyentuh bibirnya sendiri. "Sebenernya tadi aku bego atau apa sih?" Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai jendela dan menyinari kamar Alya yang masih berantakan. Ia membuka mata perlahan, tubuhnya sedikit pegal karena semalaman tidur di lantai. Refleks, ia melirik ke ranjang. Revan masih terlelap di sana, tertidur pulas, bahkan posisinya hampir tidak berubah sejak tadi malam. “Ya ampun... dia belum bangun juga,” bisik Alya, setengah jengkel, setengah bingung. Ketukan keras disertai suara ketus langsung membuyarkan kantuk Alya. "Alya! Bangun! Jangan mentang-mentang udah pindah rumah jadi bisa enak-enakan tidur seenaknya, ya!" Alya terlonjak. Panik. Matanya langsung mengarah ke ranjang, Revan masih tertidur pulas di sana. “Ya Tuhan…” gumamnya pelan, buru-buru berdiri. Ia berlari ke arah pintu, membuka sedikit, lalu keluar dan menutupnya rapat dari luar sebelum Maya sempat melihat isi kamarnya. “Iya, Maaf, Ma... Ini Alya udah bangun kok,” katanya sambil berusaha menenangkan napasnya yang tersengal karena gugup. Maya berdiri di lorong, kedua tangannya menyilang di depan dada, tatapannya tajam. "Udah sana cepat ke dapur bikin sarapan. Mama mau berenang dulu. Kalau udah jadi, panggil Mama di kolam, ngerti?" “Iya, Ma.” Alya buru-buru melangkah ke dapur. Kakinya masih sedikit gemetar, bukan hanya karena ketakutan pada Maya, tapi juga karena bayangan Revan yang masih tertidur di kamarnya terus mengganggu pikirannya. Tangannya bekerja cepat: memecahkan telur, memotong roti, menumis bawang. Tapi pikirannya tidak bisa tenang. Ia terus melirik ke arah lorong. "Semoga Revan bangun dan keluar sebelum Mama balik ke atas," bisiknya penuh harap. Setelah sekitar tiga puluh menit, sarapan selesai. Telur dadar, roti bakar, dan jus jeruk sudah tertata rapi di meja makan. Alya membersihkan tangannya lalu melangkah keluar menuju kolam. “Ma… sarapannya udah jadi,” katanya pelan ketika melihat Maya tengah duduk di kursi santai, mengenakan kacamata hitam dan pakaian renang yang elegan. Maya meliriknya sekilas, lalu berdiri. “Bagus,” katanya pendek, lalu berjalan mendekat dan menunduk ke telinga Alya. “Tapi ingat, jangan bilang sama siapa-siapa kalau itu kamu yang masak. Ngerti?” Alya mengangguk pelan. “Iya, Ma…” Maya berdiri, mengibaskan sedikit ujung handuk kecil dari lehernya. “Ya udah, kamu panggil Revan sana. Mama males ngadepin anak songong itu,” katanya ketus, sembari memutar bola mata. “Mama mau bangunin Papa kamu dulu.” Alya menunduk sedikit, menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. “Iya, Ma…” Sebelum maya pergi, ia menambahkan dengan suara tajam dan dingin, “Alya, inget ya.. kalau kamu berani macam-macam atau ngadu ke siapa pun soal hal-hal kecil yang terjadi di rumah ini, habis kamu.” Alya menunduk dalam, menahan napas. “Iya, Ma... Alya ngerti.”Setelah sarapan selesai. Arman beranjak lebih dulu. Ia melirik ke arah Revan sebentar, lalu menepuk pundaknya pelan sebelum berjalan meninggalkan ruang makan. Revan bangkit menyusul beberapa detik kemudian, tak berkata apa pun, ia hanya melirik sekilas ke arah Alya sebelum benar-benar berlalu.Maya masih duduk di kursinya. Tatapannya tajam mengarah ke Alya yang kini mulai bangkit dari duduknya untuk membereskan meja makan.Tanpa menunggu aba-aba. Tanpa instruksi Alya sudah tau perannya. Dengan langkah ringan namun cepat, ia mulai mengambil piring-piring kotor, sendok, sisa roti, cangkir yang belum di cuci, lalu menumpuknya dengan rapi di atas nampan. Bukan karena senang melakukannya, tapi karena sudah terlatih dari kecil untuk bergerak sebelum dipanggil, sebelum disuruh.Di tengah gerakannya yang sibuk, sambil mengambil cangkir yang kosong, Maya membuka mulutnya pelan, namun cukup terdengar di telinga Alya."Alya, awas ya kamu nerima tawaran kuliah dari Papa kamu," bisik Maya tajam.
Keesokan paginya… Alya sudah duduk lebih dulu di meja, bersama Maya dan Arman yang tengah menikmati sarapan. Tangannya menggenggam sendok, tapi dari tadi ia hanya memainkannya di dalam mangkuk tanpa benar-benar menyuap. Pikirannya masih terjebak pada kejadian semalam, pada tatapan Revan yang menusuk tajam, pada suara Revan yang seperti bisikan dosa. Alya berharap pagi ini Revan tidak akan ikut makan bersama. Ia berdoa dalam hati agar laki-laki itu memilih keluar rumah atau sekadar menghindar seperti yang biasa ia lakukan. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang menuruni tangga. Sontak detak jantung Alya melonjak. Ia menoleh perlahan, dan benar saja Revan muncul dengan kaos oblong yang santai. Rambutnya sedikit acak, namun langkahnya mantap. Revan berjalan perlahan menuju meja makan. Suara langkah kakinya di tangga terdengar begitu jelas di telinga Alya, seolah setiap langkah mengukir getaran di dadanya. Ia tak berani menoleh, hanya bisa memperhatikan dari ujung matanya. Aly
Sementara itu, Revan hanya menatap mereka satu per satu, datar, tanpa penyesalan sedikit pun. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah pergi.Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum Arman menarik napas dan mencoba tersenyum tipis, meski jelas terasa dipaksakan.“Ya udah... kita lanjut sarapannya,” ucapnya pelan. “Nggak apa-apa ya, kita cuma bertiga lagi…”Ia menoleh ke Alya, suaranya lebih lembut, hampir terdengar menyesal. “Papa minta maaf, atas kelakuan Revan barusan. Papa juga nggak nyangka dia bakal segitu kasarnya.”Alya tersenyum tipis dan menggeleng. “Nggak apa-apa, Pa. Aku ngerti kok… mungkin dia memang belum bisa nerima kita.”Maya pura-pura menyeka sudut matanya dengan ujung jari, lalu mengambil sendok dan mulai menyuap nasi di piringnya. “Ayo makan, nanti keburu dingin…”Alya dan Arman mengikuti, mencoba menikmati sarapan yang sempat tertunda. Suasana masih sedikit kaku, tapi setidaknya tak ada lagi kata-kata yang menyakitkan.Malam turun perlaha
Alya membuka pintu kamar pelan-pelan, berharap ranjangnya sudah kosong. Tapi harapannya pupus begitu melihat Revan masih terbaring di sana.“Kok belum bangun, sih” gumam Alya kesal. Ia memutuskan mandi dulu, lalu akan membangunkannya. Ia mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu keluar kamar menuju kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Revan perlahan membuka mata. Ia mengerjap bingung, memandangi langit-langit kamar yang terasa asing. Setelah beberapa detik, ia sadar ini bukan kamarnya. Ia terduduk perlahan, memegangi kepala yang berat, dan mencium aroma samar sabun dari udara kamar.“Astaga…” desisnya, mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Potongan ingatan datang seperti kilatan kilat, wajah Alya, suara bentakannya, lalu bibir mereka yang bersentuhan.Wajah Revan langsung memerah. “Gila... gue apaan sih...” bisiknya dengan nada kesal pada diri sendiri.Saat itu, pintu kamar terbuka, dan Alya muncul masih dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhnya
Saat tengah malam, hujan turun membasahi jendela kamar Alya yang belum bisa terlelap. Pikirannya melayang ke banyak hal, rumah baru, dan terutama Revan.Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan kasar.Klek...Alya tersentak duduk. Revan masuk dengan langkah sempoyongan, tubuhnya sedikit oleng, aroma alkohol langsung menyeruak memenuhi kamar."Revan?" Alya memanggil, terkejut sekaligus bingung. “Kamu ngapain kesini!”Revan memicingkan mata, seperti baru sadar ada orang lain di dalam. "Hah… seharusnya aku yang nanya, kamu ngapain di kamar aku?” katanya dengan suara berat.Alya berdiri, menjaga jarak. “Ini kamarku. Kamarmu yang di sebelah.”Revan menyandarkan tubuhnya ke pintu, tertawa pendek namun getir. “Kamu mau godain aku kayak Mama kamu godain Papaku, ya?”Alya menahan napas. Ia mencium bau alkohol yang tajam dan tahu bahwa Revan tidak dalam kondisi sadar. Tapi ucapan itu seperti tamparan.“Kamu mabuk?" kata Alya dingin. “Ini kamarku dan nggak ada yang mau godain kamu.”Revan
Maya sibuk di dapur, menata meja makan sambil memastikan semua hidangan tersaji dengan rapi. Ia berperan sebagai istri yang perhatian dengan harapan Revan akan menyukainya.Begitu semuanya siap, Maya menyeka tangannya dengan lap, lalu berjalan ke arah tangga. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Arman yang sedikit terbuka, lalu mengetuk pelan.“Mas… makan malamnya udah siap,” ucapnya lembut.Dari dalam, suara Arman terdengar pelan, nyaris seperti gumaman. “Iya, bentar lagi, Sayang.”Maya pun turun kembali ke ruang makan. Alya sudah duduk di sana, diam, menatap piring kosong di depannya.Beberapa menit kemudian, Arman turun sambil merapikan lengan kemejanya. Ia tersenyum tipis saat melihat mereka.“Revan mana?” tanyanya sambil menarik kursi.Maya menggeleng. “Belum turun, Mas. Mungkin masih di kamar.”Ia lalu menoleh ke Alya.“Alya, coba kamu panggil Revan, ya.” nadanya sedikit tinggi.Arman menoleh cepat. “Kamu kayak gitu aja kok malah nyuruh Alya? Harusnya kamu yang ajak dia turu