Duarr!
Bagaikan tersambar petir di siang bolong telinga Nada, ketika mendengar apa yang baru saja ditangkap oleh telinganya itu.
"Apa?" Nada membelalak kaget mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Tuan Hendra.
"Ya. Saya sudah tau dari para anak buah saya, kalau kamu sudah bisa menghasilkan asi. Karena itu saya membawa kamu kesini untuk menolong Daffa. Saya pasti akan memberikan banyak uang untukmu dan nenekmu itu, asalkan anak saya bisa sembuh," kata Tuan Hendra dengan suara dingin.
"Ta ... Tapi, Tuan, saya nggak bisa. Saya masih sekolah dan saya …."
"Saya tidak menerima penolakan, dan saya bisa saja menghancurkan hidup kamu, kalau kamu berani membantah perintah saya!" Tuan Hendra menatap tajam pada Nada dengan sangat dingin.
Tanpa menunggu jawaban dari gadis muda itu, Tuan Hendra segera keluar dari kamar dengan diikuti oleh kedua anak buahnya. Sedangkan Nada masih terdiam, bersama dengan Ira yang masih berdiri di sampingnya. Ia terpaku menatap hampa pada Daffa yang terbaring lemah bagaikan mayat hidup.
"Tuan Hendra tidak akan senang dengan penolakanmu. Jadi lebih baik kamu sekarang di sini saja dan temani tuan muda. Kalau dia bangun dan minta disusui, maka kamu harus siap menyusuinya," kata Ira dengan suaranya yang selalu saja ketus dan dingin.
"Aku nggak bisa, Bu. Aku ...."
Brak!
Ira pergi begitu saja dan menutup pintu kamar. Nada terkejut dan cepat-cepat berlari menyusulnya untuk membuka pintu. Namun, saat ia mencoba membukanya, pintu itu tetap tak kunjung mau terbuka. Sebab rupanya Ira sudah mengunci pintu itu dari luar.
"Bu, buka pintunya! Izinkan saya keluar. Saya nggak mau di sini, tolong!" pekik Nada sambil menggedor-gedor pintu dengan cukup keras.
Rasanya ia sangat ketakutan berada di dalam kamar itu, berdua saja dengan mayat hidup seperti Daffa. Nada sudah menangis sesenggukan, karena Ira sama sekali tak mau membukakan pintu kamar tersebut untuknya.
"Huhuhu, nenek, tolong aku!" isak Nada yang terus menangis sambil memanggil neneknya. Rasanya ia begitu merindukan nek Ijah.
"Uhuk! Uhuk!"
Nada sontak terdiam. Wajahnya mendadak terlihat pucat, saat ia mendengar suara terbatuk-batuk yang tak jauh di belakangnya. Dengan tubuh yang terasa kaku, perlahan gadis itu memutar tubuhnya dan menatap pada sosok pria tampan yang kini mulai membuka kelopak matanya.
"Pa," lirih Daffa dengan suara berat dan seakan tersangkut di tenggorokan.
Nada semakin terbelalak saat melihat Daffa yang sudah mulai siuman. Panik, gadis itu cepat-cepat berusaha sekali lagi untuk membuka pintu, tapi usahanya sia-sia. Pintu itu tak akan pernah bisa dibuka dari dalam.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" Nada panik. Keringat dingin mulai mengalir membasahi wajah dan tubuhnya.
Ia menatap ke sekeliling kamar untuk mencari jendela, tapi tetap tak bisa menemukannya. Nada semakin cemas karena tak menemukan jalan keluar.
"Siapa kamu? Kenapa kamu ada di sini?"
Nada kaget mendengar pertanyaan itu. Refleks ia berbalik badan dan memandang pada Daffa. Namun, sungguh mengherankan karena pria itu tiba-tiba saja bangkit dari tempat tidur. Ia perlahan turun dari ranjang, sambil membawa tiang infus di tangannya.
Langkahnya tertatih-tatih, menghampiri Nada yang masih mematung tanpa berani berucap sedikit pun. Nada masih gemetar, apalagi saat kini akhirnya Daffa tiba di hadapannya.
Tatapan matanya menyapu seluruh tubuh Nada dari ujung kepala hingga ujung kaki, tanpa ada satu inci pun bagian tubuh Nada yang terlewat. Nada gemetar saat ditatap seperti itu, apalagi karena pakaiannya yang seperti kekurangan bahan.
Dengan cepat, ia langsung menutupi payudara nya dengan kedua lengan. Ia semakin takut saat mata Daffa menatap dada besarnya dengan liar.
"Apa kamu nggak punya telinga?" tanya Daffa sarkas.
Pertanyaan itu sontak membuat Nada mengangkat wajahnya cepat. Ia cukup terkejut dan tak menyangka, jika pria sakit seperti Daffa bisa mengatakan hal kasar seperti itu.
"Kamu ...?"
"Kenapa? Apa papa sudah mengatakan banyak hal sama kamu?" Daffa memandang Nada dengan sinis.
"Nggak begitu, tapi ...."
"Katakan apa yang sudah papa katakan!" desak Daffa dengan suara menggeram berat.
Nada tercekat. Ia memandang pada Daffa yang tampak kaku. Gadis itu cukup heran, karena sebelumnya Tuan Hendra mengatakan kalau separuh tubuh Daffa mengalami kelumpuhan. Namun, kenapa kini ia bisa berjalan dan mendekat ke arahnya?
"Kenapa kamu melihatku seperti itu? Apa kamu nggak bisa menjawab pertanyaanku? Wah, rupanya selain tuli, kamu juga bisu ya," kata Daffa dengan sangat kejam.
"Ma ... Maafkan saya, Tuan Muda. Saya ada di sini karena disuruh oleh Tuan Hendra. Tapi saya nggak tahu kalau ternyata tuan muda bisa ...."
"Bisa berjalan? Apa papa mengatakan kalau separuh tubuhku lumpuh?"
"I ... Iya." Nada mengangguk, mengiyakan pertanyaan Daffa.
"Hah!" Daffa mengibaskan tangannya tepat di depan wajah Nada.
"Papa terlalu berlebihan. Separuh tubuhku memang lumpuh, tapi itu dulu. Aku sudah sembuh sekarang dan aku sudah nggak butuh bantuan dari siapapun lagi. Sekarang lebih baik kamu pergi saja dari sini!" usir Daffa sambil menunjuk ke arah pintu.
Rasanya Nada ingin berteriak kegirangan saat itu juga. Sebab ia tak jadi harus memberikan asi pada pria tampan itu. Nada segera menganggukkan kepalanya cepat dengan senang.
"Saya akan segera keluar dari sini, Tuan. Tapi pintu ini dikunci dari luar. Saya nggak bisa membukanya." Nada menunduk.
Tanpa menjawab perkataan Nada, Daffa memutar tubuh dan berjalan terseok-seok menuju ke sebuah lemari yang tak jauh dari tempat tidurnya. Ia membuka laci meja itu, dan segera mengeluarkan sebuah kunci dari sana. Daffa dengan cepat melemparkan kunci itu ke arah Nada.
"Nah, sekarang buka pintunya dan cepat keluar!"
Nada menangkap kunci itu dengan senang hati. Wajahnya sangat bahagia, membuatnya mengangguk dengan cepat.
"Baik, Tuan. Terima kasih banyak."
Gadis itu buru-buru membuka pintu. Namun saat ia sedang fokus, tiba-tiba saja terdengar suara seperti sesuatu yang terjatuh.
Bruk!
Nada refleks berbalik, dan seketika ia terkejut saat melihat Daffa yang jatuh di dekat ranjang.
"Astaga! Tuan muda!" pekik Nada sambil berlari menghampiri Daffa, membiarkan kunci tergantung di pintu begitu saja.
Dengan cepat ia mengangkat kepala Daffa. Tubuh pria itu tampak kaku, dan nafasnya juga terengah-engah seolah ia kesusahan untuk bernafas.
"Tuan, apa yang terjadi sama kamu?" panik Nada sambil meletakkan kepala Daffa di atas pangkuannya.
Daffa hanya menatap sayu pada Nada. Kepalanya menengadah ke atas, tepat menghadap dada Nada yang kini berada di hadapannya. Ia bisa menatap jelas dada Nada yang sangat besar dan padat tampak berguncang, seolah nyaris keluar dari tempatnya berada.
Daffa menelan salivanya dengan susah payah. Tubuhnya gemetar, sedangkan tangan Daffa juga nampak bergetar. Jari telunjuknya terangkat dengan lemah, menuju ke dada Nada yang setengah terbuka dan membusung sempurna.
"A ... Aku butuh susu kamu," ucap Daffa tersendat.
“Nah, karena nenek kamu sudah setuju, maka kita bisa pergi ke rumahku malam ini, Nada. Kalian nggak perlu menyiapkan apapun, karena di rumahku semuanya sudah tersedia.” Daffa berkata dengan sangat antusias.“Ta … tapi kami nggak bisa meninggalkan rumah kami. Rumah ini sudah ….”“Setiap weekend aku bakalan mengantar kalian untuk mengunjungi rumah ini. Lagipula aku akan meminta anak buahku untuk merenovasi rumah ini supaya terlihat lebih bagus,” lanjut Daffa yang seolah tak memberi kesempatan pada Nada untuk berbicara.Nek Siti tampak sangat terkejut dan tak menyangka dengan jawaban Daffa. Ia bahkan terlihat antusias dan merasa bahagia.“Tuan Daffa, benarkah itu? Rumah kami akan direnovasi?”“Benar, Nek. Karena itu lebih baik sekarang kita pergi ke rumahku agar para anak buahku bisa segera merenovasi rumah ini.”“Baiklah kalau begitu, tuan. Saya nurut saja dengan Nada,” angguk Nek Siti sembari melirik pada cucunya itu.“Ya sudah, ayo kalau begitu.” Daffa te
“Apa yang kamu lakukan, Tuan Muda?” seru Nada dengan wajah pucat, tetapi Daffa sama sekali tak menghiraukan teriakannya itu.“Tenanglah, Nada. Aku hanya ingin mengajak kamu bersenang-senang saja aja kok,” jawab pria itu santai.“Jangan lakukan ini, Tuan Muda!” teriak Nada sambil berusaha mendorong tubuh Daffa supaya menjauh darinya.Kakinya menendang dan meronta-ronta, tetapi itu sama sekali tak menyurutkan niat Daffa sedikit pun. Entah kenapa rasanya Nada terlihat semakin seksi dan menantang di hadapannya di kala sedang memberontak seperti itu.“Kamu tenang aja, Nada. Aku nggak akan menyakiti kamu kok. Aku hanya ingin minta sedikit saja dari tubuhmu, dan ini tetap nggak akan mengurangi kecantikanmu. Seksimu juga nggak akan berkurang, tapi kamu malah akan semakin seksi. Aku bisa membuat dada mu semakin bertambah besar dan menggoda dengan remasanku. Jadi kamu tenang saja,” bisik Daffa sambil mencengkram kedua pergelangan tangan Nada, lalu menyatukannya di atas kepala gadis itu.“Enggak
“Hah?”Kedua mata Nada membelalak lebar bahkan mungkin nyaris melompat keluar dari tempatnya. Ia sangat terkejut mendengar perkataan Daffa.“Apa maksud Tuan Muda? Aku harus ganti baju di depanmu, begitu?” tanya Nada, jantungnya terasa berdegup sangat kencang.“Iya. Memangnya kenapa? Apa kamu nggak mau? Toh aku juga udah lihat dada mu kan?” Daffa berkata dengan santainya sambil bersedekap dada.“Ta … tapi ….”“Cepatlah! Aku nggak menerima penolakan,” desak Daffa yang terus menatap tajam pada Nada.“Aku hitung sampai tiga. Kalau kamu nggak mau ganti baju juga, maka aku yang akan melepas bajumu dengan paksa. Aku yang akan mengganti bajumu. Satu …!” Daffa mengangkat jari telunjuknya ke udara.Nada semakin gemetar mendengar perkataan Daffa. Ia ragu, apakah harus melepaskan pakaiannya di hadapan Daffa atau tidak?“Dua!”“Sebentar, Tuan!” Nada memekik karena masih ragu.Walaupun Daffa sudah melihat dada nya dan bahkan sudah meny*su darinya, tapi tetap saja Nada malu jika bagian sensitifnya h
Terdengar suara pintu terbuka dari luar, bersamaan dengan suara seorang pria yang berseru cukup keras memanggil nama Daffa dan Nada. Sontak suara itu membuat keduanya terkejut dan cepat-cepat menoleh ke sumber suara."Papa," lirih Daffa terbelalak, saat melihat keberadaan Tuan Hendra yang sudah berdiri di ambang pintu.“Tu ... Tuan," ucap Nada pula.Gadis itu pun cepat-cepat menarik dada nya dari mulut Daffa begitu saja lalu memasukkan kembali dada nya yang besar itu ke balik dress berbelahan rendah yang sedang ia kenakan. Wajah Nada pucat pasi, karena ia khawatir jika Tuan Hendra sampai melihat apa yang ia lakukan terhadap Daffa tadi.Daffa mencoba bangkit perlahan dari pangkuan Nada dengan dibantu oleh gadis itu. Setelah itu, Nada dan Daffa duduk berdampingan dan masih bersimpuh di lantai. Sedangkan Tuan Hendra segera berjalan menghampiri mereka berdua, kali ini tanpa didampingi oleh Ira ataupun kedua bodyguard nya."Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik," kata Tuan Hendra sambil
Nada menatap Daffa dengan mata terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."A … Apa?” suaranya bergetar, menggema di antara mereka.Wajah Daffa terlihat penuh penderitaan, tubuhnya meronta seolah menahan rasa sakit yang sudah tak tertahankan lagi."Argh!" erangan Daffa menggema, membuat Nada gemetar di tempatnya berdiri.Dia tak bisa berpikir jernih, rasa takut dan panik bergemuruh dalam dirinya. Tubuhnya terasa lemas, bingung, dan tak tahu harus berbuat apa. Dadanya sesak, dan pikirannya buntu. Memberikan air susunya pada Daffa?Itu tidak mungkin!Selama ini bahkan tidak pernah ada seorang pun laki-laki yang berani menyentuhnya, apalagi sampai sejauh itu.“Apa … Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya dengan suara gemetar, hampir tak terdengar.Mata Daffa semakin sayu, wajahnya semakin pucat seperti hilang dalam kegelapan yang menyesakkan.“Aku butuh air susumu …” suaranya terdengar hiba, hampir putus asa.Nada memegang dada nya, merasakan detak jantungnya yang sem
Duarr!Bagaikan tersambar petir di siang bolong telinga Nada, ketika mendengar apa yang baru saja ditangkap oleh telinganya itu."Apa?" Nada membelalak kaget mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Tuan Hendra."Ya. Saya sudah tau dari para anak buah saya, kalau kamu sudah bisa menghasilkan asi. Karena itu saya membawa kamu kesini untuk menolong Daffa. Saya pasti akan memberikan banyak uang untukmu dan nenekmu itu, asalkan anak saya bisa sembuh," kata Tuan Hendra dengan suara dingin."Ta ... Tapi, Tuan, saya nggak bisa. Saya masih sekolah dan saya ….""Saya tidak menerima penolakan, dan saya bisa saja menghancurkan hidup kamu, kalau kamu berani membantah perintah saya!" Tuan Hendra menatap tajam pada Nada dengan sangat dingin.Tanpa menunggu jawaban dari gadis muda itu, Tuan Hendra segera keluar dari kamar dengan diikuti oleh kedua anak buahnya. Sedangkan Nada masih terdiam, bersama dengan Ira yang masih berdiri di sampingnya. Ia terpaku menatap hampa pada Daffa yang terbaring lem