Dirga memang menikmati pemandangan di depannya, dimana Wita terus mondar-mandir melaksanakan perintahnya dan teman-temannya. Meski ia yakin bahwa gadis mungil yang ia bawa sudah sangat kesal, namun ia sama sekali tak mengira Wita akan balas dendam secepat itu.Kesenangannya dihempaskan langsung oleh asistennya. Tak hanya marah, ia merasa sangat malu di hadapan teman-teman dan alumni lainnya. Khawatir tak bisa mengendalikan kegilaan Wita, Dirga segera menyeretnya keluar. Karena ia yakin 100 persen bahwa kejadian tadi pasti disengaja.Mencari tempat yang sepi, Dirga menyeret Wita ke teras samping ballroom.Dirga menghentakkan tangan Wita dengan kasar, “kamu gila?!”“Harusnya kamu tanya sama diri kamu sendiri. Kamu gak cuma gila, tapi kamu sudah gak punya hati nurani!” Jawab Wita sedikit berteriak. Tangan kirinya memegangi pergelengan tangan kanannya yang memerah akibat cengkeraman Dirga.“Kenapa, kamu malu jadi pembantu?”Wita menarik napas dalam-dalam, “buk—”“Oooh, atau kamu berharap
Kembali ke rutinitas biasa, Dirga hari ini kembali mengemban tugasnya di rumah sakit sebagai dokter residen. Cuti lebih dari seminggu ternyata membuat banyak tugasnya menumpuk. Tatapan mata iri dari rekan-rekannya juga terlihat jelas.Memang banyak yang iri dan tak sedikit yang kesal karena perlakuan istimewa rumah sakit terhadap Dirga. Namun mereka tidak bisa berbuat apapun mengingat siapa keluarga Dirga. Bahkan beberapa dari mereka malah mendekati Dirga agar bisa ‘dilirik’ oleh pemilih rumah sakit tempat mereka bekerja.Tok tok tok!Jam dinding menunjukkan pukul 11.48 saat pintu kayu ruangan Dirga bekerja di ketuk. Sebenarnya Dirga lebih suka berbagi ruangan bersama teman-teman residen lainnya. Tapi sang kakek memang terlalu memanjakan dan membedakannya dengan rekan dokter residen lainnya.“Sibuk banget, Pak?” Tanpa menunggu dipersilakan, tamu tersebut duduk dengan santainya di kursi pasien.Dirga melirik sebal pada tamu yang dengan tak sopannya masuk tanpa dipersilahkan. “Kamu yang
“Kemarin adek ini nanyain dokter Sheryl.”Kalimat pernyataan dari perempuan berseragam perawat itu langsung membuat asumsi Dirga dan Aldo semakin liar. Mereka berdua sampai menunda makan siangnya dan memilih menginterogasi gadis dengan setelan olahraga.Aldo juga tidak mau ketinggalan. “Jadi siapa bapaknya?”Pertanyaan yang Aldo lontarkan langsung mendapat pelototan dari Wina yang duduk di bangku taman.“Om, aku tuh gak mau aborsi!” Sanggah Wina.“Jadi bener kamu hamil?”Kali ini bukan Aldo, tapi Dirga yang mendapat tatapan sengit dari Wina. Bagaimana tidak, Wina saat ini merasa dituduh hanya gara-gara ucapan perawat tadi.“Om, dengerin ya. Aku itu gak hamil, apalagi mau aborsi.”Aldo dan Dirga jelas menunjukkan tatapan tidak percayanya. Terlebih lagi Aldo yang tahu bahwa Wina itu bukan bocah SMP.Dirga yang tadi berdiri kini jongkok di hadapan Wina. Mengenggam tangan kecil ART-nya dengan lembut. “Wina, kamu gak usah takut. Rahasia kamu bakalan aman, kok.”Wina memutar matanya jengah,
Beberapa hari sebelum acara reuni, sebenarnya Sheryl sudah mengharapkan Dirga akan mengajaknya berangkat bersama. Namun hingga H-1, pria yang diam-diam ia sukai itu tak kunjung menawarkan diri untuk berangkat bersama. Sampai akhirnya ia mengesampingkan gengsinya dan mengajaknya duluan.Sayangnya, Dirga sendiri masih ragu untuk konfirmasi kehadirannya. Hingga akhirnya ia menerima ajakan Rizal yang sudah menawarkan diri sejak undangan reuni tersebar.Saat malam reuni tiba, ia tidak menyangka Dirga akan datang dengan membawa pasangan. Tak hanya dia, teman-temannya juga heran dengan keputusan Dirga. Karena sebelumnya Dirga tidak pernah berdekatan dengan siapapun.“Hai, sudah lama nunggu?” Sapanya pada laki-laki berwajah oriental yang duduk di kursi caffe.Demi menuntaskan rasa penasarannya, Sheryl pun memutuskan bertemu dengan Rizal siang itu. Ia merasa laki-laki di depannya ini mengenal siapa wanita yang Dirga bawa.“Baru sampai juga, kok.” Rizal menjawabnya dengan wajah sumringah. Tentu
“Kalau kakak, pinginnya pesta kecil-kecilan aja, sih. Malam hari, di pinggir pantai dengan deburan ombak dan taburan bintang. Hehe.”Gara-gara curhatan Sheryl pada ‘Wina kecil’ saat di rumah sakit, Wina harus ikut terseret ke tempat yang kata Rizal lokasi surprise party Sheryl.Pulau Karimunjawa.Pagi buta Rizal menyusul Wina di ruang inap ayahnya, mengusik tidurnya demi memburu waktu menuju Pelabuhan Kartini, Jepara. Rizal memilih mengendarai mobil sendiri. Sementara Wina melanjutkan mimpinya dengan tenang.“Win, bangun.” Rizal menggoyang pelan pundak gadis mungil yang tertidur di kursi samping kemudi.Mata Wina perlahan terbuka. Telapak tangannya ia rentangkan di depan wajah untuk menghalau sinar matahari pagi yang menyilaukan.Hoam.Layaknya orang bangun tidur, ia meregangkan tubuhnya. Tanpa malu-malu, mulutnya terbuka lebar saat menguap. Rambut dan mukanya cukup berantakan. Melihat itu, Rizal berdecak heran.Sungguh berbanding terbalik dari Sheryl yang selalu tampil anggun bahkan
Pengalaman pertama Wina dengan kapal laut sungguh tidak bisa dikatakan baik. Begitu kapal bersandar, ia segera turun—tanpa menunggu Rizal mengeluarkan mobilnya—untuk mengeluarkan isi perutnya di toilet. Padahal dari pagi perutnya baru terisi air dan sedikit camilan dari dokter umum itu.Aku sudah di parkiran mobilRizalSetelah mendapat pesan dari Rizal, Wina buru-buru mencuci wajahnya dan keluar mencari partner-nya. Suasana pelabuhan yang cukup ramai dan asing membuatnya sedikit kesulitan mencari tempat parkir mobil yang akan ditumpangi.Untung saja dari kejauhan ia melihat si pemilik mobil melambaikan tangannya. Wina berlari kecil seperti tak punya energi. Kini ia mulai merasa lapar dan sangat dahaga setelah isi perutnya dikuras habis.Sesungguhnya Rizal ingin meledek karyawannya itu. Akan tetapi saat melihat wajahnya, rasanya tidak tega. Wajah Wina memang sudah lebih segar, tapi bibir pucat dan ekspresi ngenesnya membuatnya seperti orang yang tidak memiliki tenaga sedikitpun.“Mend
“Papah,” panggilnya pada laki-laki paruh baya yang menatapnya tak percaya.Tanpa berkata apa-apa, laki-laki yang Rizal panggil dengan sebutan papah itu mendekat. Menatapnya dengan haru lalu memeluknya erat.Acara temu kangen yang penuh haru terpaksa terpotong karena suara perut Wina. Keduanya sontak mengalihkan perhatiannya pada gadis mungil yang tengah memegangi perutnya sambil nyengir.Bapak-anak itu tertawa tanpa suara. Suasana berubah hangat.***Saat ini mereka bertiga duduk merapat di meja makan untuk sarapan sekaligus makan siang. Hidangannya pun sederhana saja. Hanya nasi putih, capjae, sambal, dan olahan ikan laut khas Karimunjawa. Namun semuanya terasa lebih nikmat. Selain karena lapar, euforia kebahagiaan membuat apapun yang masuk mulut mereka terasa sangat lezat.“Kenapa gak ngabarin papah dulu?” ujar Hao—papah Rizal—memulai percakapan.“Sengaja, Pah.”Wina masa bodoh dengan obrolan dua laki-laki beda generasi itu. Ia hanya fokus pada makanan yang akan memenuhi perutnya.“
Dimulai sejak dulu masa koas, Dirga memiliki satu keberuntungan yang selalu membuat iri rekan-rekannya. Tak hanya itu, mereka juga saling berebut untuk mendapat jatah jaga bersama Dirga. Khususnya saat jaga malam. Dari awal menginjakkan kaki di rumah sakit sebagai dokter, Dirga memiliki satu julukan.Dokter Wangi.Ya, karena setiap Dirga bertugas—khususnya malam hari—pasti rumah sakit adem ayem tidak didatangi banyak pasien. Ia dan teman-temannya tidak akan kelelahan saat bekerja.Selain Dirga, salah satu dokter wangi yang banyak digandrungi dokter lainnya yaitu Sheryl. Jika Dirga dan Sheryl sedang jaga bersama, hal tersebut merupakan hari ternyaman dan menyenangkan bagi rekan-rekan dokter lainnya.Jadi tak heran jika malam itu Dirga dan Sheryl memiliki waktu untuk mengobrol di taman rumah sakit. Segelas kopi hangat tergenggam masing-masing tangan mereka.“Akhirnya shift malam bareng lagi,” kata Dirga memulai percakapan.Sang dokter kandungan berparas cantik itu mengangguk, “iya, sete