"Silahkan, aku akan mendengarkan," jawab Syarif tenang. Walaupun dalam hati dia sangat tegang dan berharap-harap cemas. "Katakan apa yang kau inginkan?" ujar sang CEO "Apa yang aku inginkan?" Syafa tersenyum sarkas. " Seharusnya aku yang bertanya padamu, Mas. Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?" Syafa menatap suaminya dengan sorot mata tajam. Syarif diam memandang istrinya sambil memijat pelipisnya pelan. "Keinginanku jelas, aku ingin pernikahan kita berhasil. Menjadi keluarga yang utuh, memiliki anak dan bahagia. Itu saja," jawab Syarif dengan tegas. Karena itulah yang dia inginkan sejak pertama bertemu Syafa. Dia merasa istrinya itu adalah orang yang tepat. Meskipun dia sadar semua itu tidak akan mudah. "Kau ingin kita bahagia, tetapi membiarkan aku menderita." Syafa kembali tersenyum sinis. "Apa kau hanya ingin menjadikanku mesin pencetak keturunan?" Nada bicara Syafa semakin meninggi. "Kau bilang kau akan setuju menceraikanku jika aku melahirkan seorang putra untukmu.
Syarif duduk memandang wajah Syafa yang terpejam dihadapannya. Pria 34 tahun itu benar-benar merasa bersalah, karena telah melakukan banyak kesalahan pada istrinya tersebut. Entah bagaimana reaksi Syafa nanti, saat tahu yang sebenarnya terjadi padanya saat ini. Syarif bahkan belum berani untuk memberi tahu siapapun tentang kondisi Syafa yang sedang di rawat di rumah sakit."Astagfirullah, jika ini adalah jalan terbaik dari-Mu ya Rabb. tolong berikan hamba kekuatan dan kesabaran, untuk menghadapi semua ujian ini," gumam Syarif sambil mengusap wajahnya. hampir saja dia melakukan kesalahan fatal, karena hampir mengucapkan talak untuk Syafa karena terbawa emosi. Untunglah Allah masih begitu menyayangi mereka. Sehingga perpisahan yang selama ini di inginkan oleh istrinya belum terwujud. Karena semua itu pasti akan sangat menyakitkan jika terjadi sekarang. Di tengah kegalauan dan gejolak batin sang CEO, Syafa tampak mulai membuka matanya perlahan dan menggerakkan tangganya. melihat hal i
"Mama?" gumam Syafa pelan saat melihat sosok di ambang pintu tersebut, ternyata adalah ibunya. " Syafa," ucap sang ibu segera berjalan mendekati putrinya.Wanita paruh baya itu tersenyum sekaligus menangis, sambil memeluk putri semata wayangnya tersebut. Berada dalam pelukan sang ibu, membuat Syafa merasa sedikit tenang. Namun, ketika dia mengingat kembali alasan keberadaannya di tempat itu, kemarahan dan rasa kecewa kembali membuatnya menangis. "Sssttt, tenanglah, Nak. Kau tidak perlu takut. Ada mama di sini," kata Ny. Musthofa Altaf dengan nada menenangkan. "Bagaimana mama bisa tahu, aku ada di sini?" tanya Syafa dengan raut wajah bingung. "Syarif memberitahu mama, kalo kamu sedang dirawat. Dia minta mama datang, karena suamimu harus mengurus beberapa pekerjaan penting yang tidak dapat ditinggal." Syafa terdiam sejenak, setelah mendengar penjelasan dari sang ibu. "Apa yang terjadi? Kenapa sampai dirawat di rumah sakit, Nak. Apa kau kelelahan bekerja?" Ny. Musthofa mengelus pu
Sejak pagi itu, baik.syafa dan Syarif hidup seperti orang asing. Syarif mulai fokus dengan proyek pembukaan tambang barunya. Sementara Syafa larut dengan program intershipnya. Sepasang suami istri itu serumah tetapi tidak sehati. "Alhamdulillah. Selamat, Nak. Semoga kalian selalu diberkahi." Tuan Rasyid Abdullah, merasa begitu bahagia dan bersyukur ketika mendengar kabar kehamilan Syafa. Pria yang sebentar lagi berusia 70 tahu itu, tambak berbinar dan sangat antusias. "Jaga kandunganmu baik-baik, Nak" ucap sang taipan dalam sambungan video call malam itu. "Kau jangan terlalu sibuk, Rif. Usahakan untuk selal menjaga dan mendahulukan istrimu! Dia akan lebih butuh banyak perhatian dan waktumu. Jika terlalu sibuk, cari wakil sementara sampai anak kalian lahir. Masa kehamilan adalah masa yang penting."Mendengar itu Syafa hanya tersenyum mengangguk. Hatinya terlalu pedih untuk mengatakan sepatah katapun. Bahkan Syarif merasa ingin menangis saat ini.Melihat betapa orang tuanya sangat
"Aku ingin memastikan apakah ini benar, atau aku hanya salah dengar," kata Stella ketika sedang makan siang bersama Syafa di kantin rumah sakit. "Maksudnya?" Syafa menautkan kedua alis, sambil menatap rekan sejawatnya itu. "Apa kau benar-benar hamil?" Stella memelankan suaranya. Gadis 27 tahun itu menatap Syafa dengan wajah penuh tanda tanya. Sementara Syafa mencoba untuk tetap tenang, karena selama ini dia telah berusaha untuk menyembunyikan tentang kabar kehamilannya dari semua orang. Cukup dia dan keluarga saja yang tahu. Walaupun hal semacam itu tidak akan pernah bisa disembunyikan. Setidaknya Syafa tidak mau terlalu melibatkan banyak orang dalam urusan pribadinya. "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dan dokter Anna kemarin," kata Stella lagi, "Apa kau yakin akan melanjutkan program intership ini selama masa kehamilan?" Stella menatap Syafa dengan serius dan kembali berkata, "Aku tidak bermaksud untuk ikut campur dalam masalah pribadimu, Fa. Tapi apa yang disarankan o
Syarif hampir membuka pintu kamarnya, saat tiba tiba pintu itu terbuka bersama Syafa yang berdiri di hadapannya. Mereka berdua saling menatap dengan ekspresi keterkejutan yang tidak dapat di sembunyikan. "Kau? ... " Syafa tidak melanjutkan kalimatnya, dia menatap sang suami dengan tatapan mata penasaran. Sementara Syarif tampak salah tingkah dan menggaruk tengkuknya samb berkata, "Maaf, aku hanya ingin mengucapkan selamat malam." Pria itu tahu alasannya sangat tidak masuk akal. Tetapi mengatakan pada Syafa jika dirinya sedang sangat merindukan sang istri, bukanlah ide yang bagus. Syafa sedang sangat membencinya saat ini. Wanita itu bersedia menjalani kehamilannya dan tetap mau tinggal bersama dia saja, itu sudah sangat luar biasa baginya. Sehingga Syarif tidak ingin membuatnya semakin tidak nyaman. "Selamat malam, jangan lupa besok aku akan menjemputmu jam 18.00 di rumah sakit," ucap Syarif setelah mampu menguasai diri. Dia pun segera berjalan menuju ke kamar tamu, yang selama
"Menantuku sedang mengandung, Almeera," kata Ny Annisa sambil tersenyum bahagia. Sebuah senyuman yang terasa seperti tamparan keras bagi Almeera. Dia sama sekali tidak menyangka jika Syafa akan hamil secepat ini. Padahal wanita itu sangat yakin jika hubungan Syafa dengan Syarif, terlihat bukan seperti dua orang yang saling mencintai.Almeera bahkan sangat yakin, jika wanita 26 tahun itu tidak menginginkan Syarif. "Lalu kenapa dia mau mengandung anak Syarif?" tanya Almeera dalam hati. Meskipun merasa tidak senang dengan kabar tersebut, Almeera berusaha terlihat biasa saja."Selamat, Tante Annisa. Selamat untuk kalian semua," kata Almeera dengan senyum yang tampak canggung. Meskipun demikian tidak banyak dari mereka yang menyadari hal itu. "Datanglah ke rumah Syarif besok lusa, kami akan mengadakan acara syukuran. Ini anak pertama Syarif dan Syafa. Mereka butuh banyak doa dan dukungan." Ny. Annisa kembali tersenyum dengan tulus. Mengundang wanita yang dulu hampir menjadi menantuny
Syarif berjalan ke arah Syafa dan berhenti tepat di hadapan sang istri, dengan tatapan mata tajam yang mengintimidasi. "Bayi kembar?" ucapnya dengan pelan, tetapi penuh penekanan. "Jadi selama ini kau menyembunyikan fakta itu dariku? Kita akan memiliki bayi kembar dan kau tidak mengatakan apapun padaku?" Wajah Syarif berubah geram, dia mencengkeram kedua lengan istrinya sambil terus menatap dengan sorot emosi.Sungguh pria berdarah Arab-Jawa itu tidak mengira, jka Syafa bisa melakukan hal sejauh itu padanya. Selama ini Syarif mencoba untuk memahami dan mengerti posisi Syafa dengan segala perasaan bencinya. Dia selalu berusaha agar tidak menyinggung atau menyakiti hati wanita yang sangat ia cintai tersebut. Tetapi kali ini Syarif merasa sangat terkejut, sekaligus merasa sakit hati. Bagaimana mungkin Syafa menyembunyikan sesuatu yang begitu penting darinya. "Inikah alasan kenapa kau tidak pernah mau aku temani setiap kali periksa kandungan?" Syarif tersenyum sarkas. "Apa sebenarnya