“Kita akan menikah, bukan bermain drama.”
Syafa yang tadinya merasa percaya diri dengan rencananya kini terdiam. Perlahan semua keberaniannya memudar, saat melihat bagaimana calon suaminya itu bersikap.
Di satu sisi pria itu tenang dan datar, tetapi dia tegas dan mengintimidasi dalam waktu yang bersamaan.
"Aku sudah tanda tangan, sekarang apa masih ada lagi syarat yang ingin kau ajukan?" tanya Syarif sambil meletakkan kembali map dan pena di meja.
"Tidak," jawab Syafa singkat.
"Kalau begitu, aku akan kembali ke hotel," ucap Syarif sambil berdiri. “Asalamualaikum.”
"Wa alaikumsalam," jawab Syafa pelan, masih tetap duduk di tempatnya.
Membiarkan Syarif melangkah menuju pintu, dan memutar kunci. Pria itu keluar dari ruang perpustakaan dengan diam. Meninggalkan Syafa yang masih tak bergeming ditempatnya.
Setelah beberapa saat, gadis itu baru bisa kembali tenang. Perlahan dia membuka map berisi perjanjian pranikah yang dia siapkan tadi. Syarif telah menandatangani tepat di atas materinya.
Namun, ada sesuatu yang membuat Syafa merasa sesak karena Syarif menambahkan beberapa poin di sana. Sebaris kalimat yang membuat hatinya hancur berkeping-keping.
[Tidak boleh ada perselingkuhan dan perceraian.]
***
Hari pernikahan pun tiba.
Sejak pagi, Syafa sudah melalui serangkaian upacara akad. Suasana meriah tampak sangat mendominasi. Seluruh anggota keluarganya, terutama sang ibu, tampak bahagia dan penuh haru.
Berbeda dengan Syafa yang seperti tidak punya pilihan lain berada di sana.
“Bagaimana para saksi? Sah?”
“Sah.”
Dengan ini, dia telah resmi menjadi tawanan sang billionaire. Menjadi boneka yang akan terus dimainkan sesuka hatinya oleh sang suami. Menjadi bagian dari sebuah kekuasaan yang tampak menyilaukan, bagi sebagian besar orang di luar sana.
Ingatan Syafa kembali pada beberapa hari lalu, ketika dirinya mengajukan perjanjian pranikah pada Syarif. Pria itu mencoret bagian yang memintanya untuk tidak menyentuh dirinya tanpa izin, dan mengganti dengan kalimat lain. 'tidak boleh ada perselingkuhan' sebelum menandatangani dokumen tersebut.
Karena Syafa sendiri telah lebih dulu menandatangani perjanjian itu, maka secara otomatis, dirinya terjebak pada perjanjian yang dibuatnya sendiri.
Pria itu menoleh pada Syafa, menatap gadis itu dengan sorot mata teduh dan menenangkan.
Sesungguhnya sosok tinggi tegap itu memang tidak dapat ditolak pesonanya. Balutan jas pengantin yang terlihat sangat cocok d itubuh Syarif, dibalut dengan ketampanan yang begitu menyita perhatian.
Namun, bagi Syafa semua itu hanyalah sebuah sampul yang menyembunyikan kebenaran gelap dan menyakitkan.
Perlahan Syafa menerima uluran tangan Syarif padanya. Membiarkan pria berdarah Arab-Turki-Jawa itu mencium lembut puncak kepalanya.
Jemari Syarif mengusap lembut air mata di pipi Syafa, dengan senyum prihatin.
Pria itu tahu, istrinya sedang tidak bahagia, tetapi dalam hati sang CEO telah berjanji. Bahwa air mata Syafa hari ini, akan berganti menjadi kebahagiaan yang tidak akan pernah dia lupakan.
***
"Pakai ini, hadiah dari Ummi untukmu. Malam ini, kau harus terlihat bersinar."
Syafa menerima satu kotak perhiasan berlogo Bulgary dari ibu mertuanya sesaat sebelum acara resepsi dimulai. Wanita berusia 60 tahun tersebut menunggu Syafa membuka hadiah darinya.
Dengan sedikit gemetar Syafa membuka membuka kotak tersebut, dan terdiam memandang perhiasan yang ada di hadapannya saat ini.
Sebuah set perhiasan emas putih yang bertahtakan berlian berwarna zamrud. Tanpa harus berpikir, semua orang pasti tahu betapa mahalnya perhiasan tersebut.
"Ummi, ini berlebihan. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Syafa terbata, seumur hidup ini adalah pertama kalinya dia mendapat hadiah mahal.
"Jika kau tidak menerimanya, maka Ummi akan sangat kecewa. Ini adalah tradisi, Nak. Setiap menantu perempuan yang masuk dalam keluarga kami, harus di beri hadiah. Termasuk dirimu." Ny. Annisa menyentuh dagu Syafa pelan dan tersenyum.
"Biar Ummi yang memakaikan untukmu," kata wanita itu, sambil mengambil kalung berlian tersebut.
Wanita yang masih tampak segar dan awet muda itu, memakaikan perhiasan tersebut ke leher Syafa yang tertutup hijab. Kemudian membantu menantunya memakai anting, gelang dan juga cincinnya. Istri dari salah satu orang terkaya di Asia tersebut, tersenyum puas melihat menantunya tampak sangat cocok mengenakan perhiasan itu.
"Kau boleh melepas semua setelah acara dan menyimpannya lagi, tapi kau tidak boleh mengembalikannya pada Ummi. Mengerti?"
Syafa tersenyum dan mengangguk ragu, entah rasa syukur atau rasa takut yang harus dia rasakan saat ini. Menjadi bagian dari keluarga super kaya, mungkin terdengar sangat menyenangkan. Namun, selalu ada dua sisi dalam setiap hal, dan Syafa meyakini itu.
Acara resepsi pun, akhirnya dimulai. Syafa dan Syarif memasuki ruangan, dengan diiringi oleh keluarga. Mereka berjalan bergandengan tangan, menuju pelaminan. Semua mata tertuju pada kedua mempelai, yang tampak sangat serasi. Berbalut gaun warna baby pink yang lembut, Syafa tampak begitu anggun dan cantik.
Pesta resepsi yang dihadiri oleh keluarga dan sebagian besar rekan bisnis Al-Hassan Group tersebut berlangsung dengan megah dan meriah. Semua tamu menikmati seluruh sajian dan hiburan yang disuguhkan oleh tuan rumah.
Sampai pada sesi foto dan bersalaman dengan mempelai, sesuatu bagaikan menghantam tubuh Syafa. Membuatnya seketika berduri mematung, tanpa mambu bersuara, bahkan hampir lupa untuk bernafas.
“P-pria itu–”
Di sana, tepat beberapa meter dari tempatnya berdiri menyalami para tamunya, tampak sesosok pria tinggi berwajah Inggris-Melayu berjalan menghampirinya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Pria yang sebulan terakhir ini coba dihindari oleh Syafa. Tersenyum menghampiri gadis itu dengan penuh percaya diri.
Ben tersenyum. Pria itu sama sekali tidak menoleh pada suami Syafa sedikit pun. Pandangannya lurus ke gadis yang beberapa minggu lalu nyaris ia nikahi
“Selamat malam, Dokter Syafa.”
"Selamat, Dokter Syafa. Semoga bahagia," ucap Ben senyum.
Satu Minggu telah berlalu, sejak kepergian Syarif ke Kalimantan. Seharusnya Syafa merasa baik-baik saja, dan bahkan tenang. Karena pria yang tidak dia sukai berada jauh. Namun, alih-alih merasa tenang, Syafa justru merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Selama ini dia ingin Syarif menjauh, bahkan dia ingin lepas dari pria berdarah Jawa-Arab tersebut. "Kenapa dia sama sekali belum menghubungiku?" bisik Syafa dalam hati. Sejak tadi dia hanya duduk di balkon kamar, sambil memainkan ponselnya. Menunggu sebuah notifikasi masuk. Tetapi hampir satu jam tidak ada apapun. Ponselnya sam sekali tidak memperlihatkan pesan dari orang yang dia harapkan. "Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Suara mbak Arum membuat Syafa kembali dari lamunan. Syafa menoleh sebentar ke arah asisten rumah tangganya itu, dan kembali melihat layar ponselnya. Dia menghela nafas sejenak sambil mengangguk pelan, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Mengikuti,bak Arum ke ruang makan, dan kembali menikmati
Satu Minggu telah berlalu, sejak kepergian Syarif ke Kalimantan. Seharusnya Syafa merasa baik-baik saja, dan bahkan tenang. Karena pria yang tidak dia sukai berada jauh. Namun, alih-alih merasa tenang, Syafa justru merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Selama ini dia ingin Syarif menjauh, bahkan dia ingin lepas dari pria berdarah Jawa-Arab tersebut. "Kenapa dia sama sekali belum menghubungiku?" bisik Syafa dalam hati. Sejak tadi dia hanya duduk di balkon kamar, sambil memainkan ponselnya. Menunggu sebuah notifikasi masuk. Tetapi hampir satu jam tidak ada apapun. Ponselnya sam sekali tidak memperlihatkan pesan dari orang yang dia harapkan. "Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Suara mbak Arum membuat Syafa kembali dari lamunan. Syafa menoleh sebentar ke arah asisten rumah tangganya itu, dan kembali melihat layar ponselnya. Dia menghela nafas sejenak sambil mengangguk pelan, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Mengikuti,bak Arum ke ruang makan, dan kembali meni
"Ummi tidak ingin mencampuri masalah kalian, Nak. Tapi Ummi sedih melihat kalian berdua seperti berseberangan." Ny. Annisa akhirnya tidak dapat menahan lagi. Wanita berwajah kalem dan ramah itu, merasa hubungan putranya dan sng istri sudah dalam taraf yang harus di selesaikan segera. Sebagai seorang ibu sekaligus wanita, yang telah memakan asam garam kehidupan. Sang istri miliarder berdarah arab tersebut, dapat denga jelas melihat kejanggalan dalam pernikahan putra keduanya. "Ummi tidak ingin melihat kalian menderita, terlebih Syafa yang saatbini tengah mengandung anak kalian. Dia butuh ketenangan dan kenyamanan selama menjalani kehamilan ini," kata Ny. Annisa dengan lembut. Meskipun Syarif adalah putra kandungnya, diamtetap tidak ingin terlalu kuat campur. "Ummi hanya ingin membantu, mungkin dengan kau menceritakan semua dengan jujur. Ummi bisa memberikan saran," lanjutnya, sambil mengelus lengan Syarif. Setelah beberapa hari tinggal dan mengurusi bisnis di Balikpapan, Ny. Annis
Steven menatap pria yang berdiri dan memegang tangannya dengan pandangan tidak suka. Sementara Syafa menatap orang yang sama dengan keterkejutan yang tidak dapat ia sembunyikan. Dia sama sekali tidak mengira jika suaminya kini berdiri dihadapannya, memegang tangan teman masa lalunya dengan sorot mata tajam. Jelas terlihat Jika sang CEO tidak menyukai pria berwajah blasteran tersebut. "Mas, Syarif?" gumam Syafa pelan dengan suara tercekat. Syarif melepaskan genggaman tangannya pada Steven dan menatap Syafa dengan sorot intimidasi yang menakutkan. Syafa tahu suaminya sedang tidak senang. "Kau mengenal pria ini?" tanya Steven menatap Syafa yang masih tercengang di tempatnya. Dalam hati Syafa sedang bingung dan takut. Dia takut Syarif akan salah paham padanya, dan bingung bagaimana cara menjelaskan tentang semua ini. Syafa juga masih belum bisa mengerti, bagaimana suaminya bisa berada di tempat itu. Biasanya Syarif akan pulang dari kantornya, sekitar jam 8-9 malam. Kecuali memang
"Mau kemana?" tanya Syafa saat Syarif mengemasi pakaiannya ke dalam koper. "Aku akan ke Kalimantan besok pagi, ada beberapa pekerjaan yangnharus aku sendiri yang menangani." jawab Syarif "Berapa lama?""Mungkin tiga atau empat hari. Karena akuningin melihat tambang barunkami di muaralawa. Setelah itu menghadiri pernikahan putri rekan bisnis Abi di sana." Syarif mengatakan semuanitu tanpa melihat istrinya. Diamgokus mengemas dan menyiapkan emua barang yang dia butuhkan selama berada di tanah kelahirannya itu. "Aku menyimpan vitaminmu di laci, jangan lupa meminumnya stelah sarapan dan sebelum tidur. Mbok Minah dan mbak arus sudah aku berikan jadwal makananmu selama seminggu, sesuai yang dianjurkan dokter Anna." Syarif,enutuo kopernya dan menatap sang istri. "Tolong jaga diri baik-baik selama akuntidak di rumah, jangan berpikir untuk menyakiti anak-anak," kata Syarif pelan tetapi penuh penekanan. Entah kenapa setelah kejadian Syafa menyembunyikan kehamilannya waktunitu, membuat Sya
Stella dan dokter Anna yang kebetulan belum sampai keluar dari rumah mereka, segera berlari dan menghampiri Syafa. Saat mendengar teriakkan Syarif. Dua dokter rekan kerja Syafa tersebut, segera mengikuti langkah sang CEO menuju kamar mereka d lantai atas untuk memeriksa kondisi Syafa. Seluruh keluarga tampak panik, Ny. Annisa dan Ny. Fatima, dan Amira, segera ikut ke kamar sementara para lelaki tetap di bawah untuk menemani para tamu yang sedang berpamitan untuk pulang. Semua orang terlihat khawatir, tetapi mereka yakin Syafa dan kedua bayinya baik-baik saja. "Bagaimana dokter?" tanya Syarif setelah dokter Anna selesai memeriksa.Untung saja anggota dokter masih membawa peralatannya di tas. Karena mereka berangkat langsung setelah tugas dari rumah sakit. "Tekanan darahnya naik. Saya belum bisa memastikan, tetapi Syafa sepertinya sedang kelelahan dan stres. Dia butuh istirahat saat ini," kata dokter Anna menjelaskan. Sementara Syafa perlahan membuka mata ketika beberapa saat sang