Share

Penakluk Hati Sang Bodyguard
Penakluk Hati Sang Bodyguard
Penulis: Tabina Carra

01. Pelarian manis

***

Tiga tahun lalu. Acapulco, Mexico. 

Misha menghidangkan makan siang untuk mereka bertiga.  

“Mom, aku lapar. Uncle Jett mengajakku mengelilingi pulau dan mencari harta karun,” pekik Bea seraya menghambur pada pelukan Misha. 

“Sayang, cuci tangan dulu.” Misha mendelik gemas pada Bea.

“Pagi, Jett.” Misha menyapa lelaki tegap yang kini sedang memasuki dapurnya dengan bertelanjang dada. Ini pertama kalinya Misha memandang pahatan sempurna dalam dada bidang itu.

Astaga, Misha! Tenangkan dirimu! Iya, kau sudah lama tidak mencicipi daging liat sejak berpisah dengan ayah Bea. Tapi jangan sampai air liur milikmu menetes dan membuat Jett, sang pengawal yang menyelamatkan hidupmu dan Bea ketakutan hingga meninggalkan kalian berdua,’ gumam Misha memperingati dirinya sendiri.

“Apa kegiatan kalian hari ini?”

“Uncle Jett mengajakku membangun rumah pohon, Mommy.”

“Kalau kau tidak keberatan jika Bea ikut membantu, tapi aku akan menjaganya agar ia tetap aman dari peralatan seperti bor dan palu,” potong Jett dengan sopan.

“Tidak apa-apa, Jett. Lagipula, Bea sudah bukan balita. Tahun ini, gadis kecilku itu akan berusia tujuh. Keterampilan menggunakan paku dan palu rasanya juga perlu untuk anak perempuan,” jelas Misha seraya menyodorkan piring masing-masing. “Let’s have lunch, guys!”

Jett mengangguk seraya mencuci tangan. Ia menghilang sebentar ke kamar dan sudah mengenakan kaos bersihnya yang lain. 

Pertunjukkan maha dahsyat pun berakhir,’ keluh Misha dalam hati.

Ketiganya menghabiskan makan siang yang sudah disiapkan Misha. Tangan telatennya memasak menu Garlic Butter Shrimp Pasta dan salad kentang favorit Bea. Jett seperti biasa akan memimpin doa dan mengucap syukur sebelum mereka bertiga mulai makan.

***

Selesai membereskan peralatan masak dan menyiapkan teh hangat untuk menemaninya menikmati sore. Misha melambaikan tangan pada Bea yang terlihat antusias dengan instruksi yang disampaikan Jett.

Semilir angin meniup rambut pirang Misha. Bisa dikatakan, saat ini merupakan momen yang paling tenang sepanjang hidupnya. Misha dibesarkan sebagai anak bungsu dari dua bersaudara. Ia memiliki kakak laki-laki yang berbeda ayah. Ibunya meninggal saat Misha berumur enam belas. Ayah kandungnya yang adalah seorang ilmuwan Rusia membawanya pulang ke Moskwa. Menurut ayahnya, lingkungan keluarga Baratta yang dikenal sebagai pemimpin mobs terbesar di Chicago akan membuat hidup Misha akan selalu di ujung tanduk.

Ibunya kabur ke Rusia dari suaminya yang pertama setelah mengetahui bahwa lelaki yang dinikahinya adalah penerus keluarga mafia. Memulai hidup baru bersama bayi laki-lakinya, ibu Misha lalu jatuh cinta pada seorang ilmuwan Rusia dan melahirkannya. Tidak lama kemudian, suami pertamanya berhasil menemukan keberadaan ibu Misha dan membawanya pulang secara paksa ke Chicago. 

Saat ibunya meninggal, ayah tiri Misha sangat terpukul. Alvaro Baratta tidak bisa berbuat banyak saat ayah kandung Misha datang dan menuntut agar Alvaro mengembalikan putrinya. Sejak saat itu, Misha tinggal di Rusia dan berpisah dengan kakak tirinya, Gio.

Saat Misha masih beradaptasi dengan kesehariannya di Moskwa, ia kemudian mengetahui bahwa dirinya sedang hamil anak Cassius, sahabatnya sendiri. Nasib buruk, ketika misha mencoba menghubungi Cass, sahabatnya itu sudah terbunuh dalam perkelahian antar geng beberapa hari setelah kepergiannya ke Rusia.

Sejak saat itu, Misha tidak pernah menginjakkan kaki di Chicago lagi. Seperti masa lalu ibunya, Misha membuka lembaran baru bersama bayi yang dikandung dalam perutnya. Tidak disangka, ternyata ayahnya bekerja pada sindikat mafia di Rusia. Misha yang mewarisi kepintaran serupa ayahnya dipaksa sekolah agar melanjutkan posisi ayahnya sebagai ahli bioteknologi.

Keluarga Gramova yang berkuasa di Moskwa menyandera keluarga kecil Misha. Mereka tidak segan akan menghabisi nyawa bayinya jika Misha berusaha kabur dan menolak pekerjaannya untuk membuat senjata pemusnah massal dari senjata biologi. Ayahnya juga tidak bisa berbuat banyak karena bukan hanya nyawanya sendiri tapi juga cucu dan anak perempuannya berada di ujung tanduk.

[“Misha, hasil pekerjaan apa ini?” Jelena Gramova hampir melemparkan isi cairan berbahaya yang sedang diperhatikannya. 

Misha terdiam di meja kerja dan tidak menjawab pertanyaan Jelena. Perempuan gila itu menuntut Misha untuk menyelesaikan cairan pembunuh yang akan digunakan Gramova untuk melenyapkan salah satu elit politik. Misha sudah bosan dijadikan senjata pembunuh oleh sindikat gelap Gramova.

“Tunjukkan gambar balita itu! Biarkan Bea kecil bermain dengan Bolshoi, harimau kecil kesayanganku! Let’s watch Bolshoi enjoy his dinner tonight.” Jelena berkata dingin.]

“Argh! Lepaskan Bea, Jelena!” Misha berteriak dalam tidurnya. Misha dapat merasakan cengkraman kuat pada kedua lengannya mengguncangnya. Ia berusaha melepaskan diri.

“Misha! Bangun!” Jett memanggilnya, “Sadar, Misha!” 

Misha menghentak sepasang matanya. Nafasnya memburu. Sekelebat wajah yang sudah sangat dikenalnya selama dua minggu terakhir berada di hadapannya. Wajah yang menyelamatkan dirinya dan Bea dari maut. Jett Payne.  

“Jett,” pekik Misha dan dengan refleks langsung memeluk lelaki itu. Ia terbangun dengan peluh membasahi sekujur tubuhnya. Musim panas di wilayah pesisir Mexico City yang merupakan area pinggir pantai membuat kulit Misha selalu lengket karena keringat.

“Tidak apa-apa, Misha. Kau ada di rumah. Semua baik-baik saja.” Jett berbisik sambil mengelus pelan rambutnya. 

Misha masih mendekap erat Jett.

“Cobalah bernafas melalui hidung. Atur nafasmu. Percayalah, semua akan baik-baik saja.”

Misha memejamkan mata dan mencoba mengikuti arahan Jett. Lelaki itu memang pandai memberi instruksi. Harum cologne maskulin Jett menusuk lembut hidungnya. Aroma lelaki yang tidak pernah terendus dari hidungnya. Pengalamannya pertama dan terakhirnya berhenti di Cassius, sahabat sekaligus ayah dari putrinya yang kini sudah meninggal.

Tiga detik kemudian, Misha kembali terkesiap dan panik. “Bea, mana? Bea! Bea ada dimana?” Kedua tangannya hampir mendorong dada Jett menjauh.

“Bea aman dan sedang menikmati tidur sore di kamarnya. Aku yang mengangkatnya sendiri tadi. Dia ketiduran saat aku sedang memasang atap untuk rumah pohon sederhana kami.”

Misha kembali membuang nafas leganya. Merasa memiliki kesempatan, jari Misha menelusuri garis bahu Jett. Kini mereka berdua sedang berada di atas sofa. Misha memandang lelaki itu dengan pandangan intens. Satu minggu terakhir ini ada hasrat yang dirasakannya terhadap Jett dan itu membuat imajinasi liar Misha berlari-lari sepanjang malam. Mendambanya. Berkedut di beberapa tempat. 

‘Astaga, Misha. Kendalikan isi kepalamu!’ Misha bergumam tapi tangannya otomatis menuju sisi kepala Jett. Ia mengelus sudut alis Jett dengan ibu jarinya.

Dalam keremangan menuju petang, Misha dapat merasakan wajahnya bersemu. Mungkin cuaca pesisir pantai Acapulco berpengaruh besar terhadap rasa hangat yang kini menjalar menuju puncak kepalanya.

Misha melihat kilatan yang sama dari sepasang manik Jett yang menyihirnya sedemikian rupa. Dihempaskan Jett agar lelaki itu ke punggung sofa. Mereka kini berganti posisi. Misha membuat Jett terperangkap ditengah kedua tangannya. 

“Ini bukan ide bagus, Misha.” Jett berkata pelan. Suara lelaki itu terdengar ingin menolak tapi Misha dapat menangkap kilatan hasrat yang sama dari sorot mata Jett. 

“Beri aku satu kesempatan, Jett. Biarkan aku lupa sejenak,” pinta Misha. Ia sadar bahwa permintaannya mungkin terdengar memelas dan murahan. 

‘Silakan hina dan lempar batu padanya, jika kalian tidak pernah ingin mencicipi buah terlarang itu.’ Misha menarik nafas karena dalam delapan tahun terakhir ia tidak pernah merasakan hasrat yang begitu lekat dan kuat seperti yang kini dirasakannya terhadap Jett.

“Aku tahu apa yang kau lakukan di kamar mandi pada tengah malam buta, Jett” Misha meraih telapak Jett, “Apa kau memikirkan aku saat kau mencapai klimaks dengan kelima jari ini, Jett? Sepasang elinga ini masih cukup jeli mendengar bibirmu menyebut namaku.”

Jett mengerang. Bodoh! Dalam hatinya, ia mengutuk diri sendiri. ‘Bagaimana ia dengan cerobohnya menyebut nama Misha saat tangannya bergerak untuk memuaskan dirinya sendiri?’

“Apa kau takut, Jett?” Misha masih mencoba menantang Jett.

“Tidak, Misha. Meski, aku sangat ingin mencium bibirmu tapi kita tidak bisa melakukannya. Pekerjaanku taruhannya, Misha.”

“Tidak ada yang perlu tahu, Jett. Ini hanya akan jadi rahasia kita berdua,” rayu Misha. Entah mengapa bisa-bisanya menggoda Jett seperti remaja tanggung. Seakan Misha lupa bahwa tahun ini usianya akan mencapai seperempat abad dengan tanggungan seorang putri kecil berumur tujuh tahun.

Misha mengerucutkan bibirnya dan nampak kecewa atas penolakan Jett. Ia hanya penasaran bagaimana rasanya mencium bibir lembab Jett. 

“Bukan karena kau tidak menarik, Misha. Sama sekali bukan. Tapi, aku tidak mau mengacaukan isi kepalaku setelah menikmati ini,” Jett menelusuri dan mengusap bibir Misha dengan telunjuknya.

Tepat saat Misha akan memprotes ucapan Jett, lelaki itu sudah menariknya dan memagut bibirnya.

Keduanya berciuman. Manis dan hangat. Misha mengira Jett akan menyerangnya dengan agresif. Jantungnya berdegup kencang. Misha dapat merasakan telapak Jett sedang mengelus pahanya pelan. Menyelipkan elusan itu semakin pada bagian paha dalamnya. 

‘Mengenakan dress musim panas seperti ini memang ada untungnya juga,’ begitu pikir Misha.

Perlakuan Jett padanya membuat Misha salah tingkah. Bahkan, sebersit penyesalan melintas di kepalanya. Misha menyesal telah memulai kobaran api yang disulutnya duluan karena kini ia tidak berpikir untuk berhenti.

“Mommy!” Bea berteriak nyaring dari dalam kamar. 

Teriakan Bea membuat Jett memutus ciuman mereka berdua. Terdengar erangan tertahan dari keduanya sebagai bentuk protes. Bea kembali memanggil Misha. Sebuah pertanda bahwa ia harus segera mengakhiri kegiatan manisnya bersama Jett.***

Add this book to your library! Love and Vote!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status