Share

Koper siapa?

Ini koper siapa, Matt?” Tanya Mike, saat mereka berada di kamar Matt.

Mike dan Matt tinggal di hotel yang telah mereka akuisisi. Setelah sampai di bandara tadi pagi, Matt langsung bertemu dengan bagian legal dan hotel ini resmi menjadi milik Matt karena ia sudah membeli lagi tiga puluh persennya. Sehingga saham hotel ini delapan puluh persen adalah miliknya.

“Eumm..”

Matt menopangkan kedua tangannya di dada sambil mengelus dagunya. Ia  mencoba mengingat insiden itu.

“Matt, lihatlah!"

Mike tertawa saat ia menarik bra pink yang ada di dalam koper itu.

“Sepertinya, koper ini milik wanita.” Ucap Mike lagi.

Mike sangat antusias mengacak-acak pakaian yang tersusun rapih di dalam koper itu.

“Apa ini miliknya?” Matt dan Mike bertanyaan bersamaan.

“Aku rasa begitu.” Jawab Mike.

“Bagaimana aku bisa bertemu lagi dengan gadis itu?” Tanya Matt.

“Kau menyukainya?” Mike balik bertanya.

“Tidak. Mana mungkin aku menyukai wanita galak seperti itu.”

Mike tertawa. Lalu, ia mengobrak-abrik barang-barang yang ada di dalam koper itu dengan harapan ada tanda pengenal di dalamnya yang tertinggal.

“Hmm.. tidak ada tanda pengenal di sini.” Mike menghelakan nafasnya.

“Matt, sepertinya dia memiliki dada yang cukup besar.” Mike menunjukkan bra pink itu di hadapan Matt.

“Ck, rapihkan seperti semula.” Matt mengambil pakaian yang di berikan Matt dan berlalu ke kamar mandi.

“Sepertinya kau sudah mulai berubah, Matt.” Ledek Mike, karena ia sudah tak melihat lagi sahabatnya berkencan dengan wanita.

Matt menggeleng ke arah Mike sebelum ia benar-benar masuk ke dalam kamar mandi itu.

Di desa terpencil, Dinda membuka kopernya.

“Aaa..” Teriak Dinda saat ia menemukan segitiga pengaman milik pria.

“Apaan sih, Din. Teriak-teriak?” Tanya Tasya.

“Ini koper siapa, Sya?” Dinda balik bertanya.

Tasya mendekati sahabatnya. “Loh, kok isi koper lu pakaian cowok semua.” Tasya mengeluarkan satu persatuan pakaian yang ada di dalam koper itu.

“Wuih, pakaiannya bagus-bagus, Din. Merk terkenal semua ini.” ucap Tasya lagi.

Dinda yang tidak terlalu mengerti tentang fashion ikut melihat lebel di kerah setiap pakaian itu.

“Eh jangam-jangan koper ini punya si bule itu.”

“Bule?”

“Iya, bule yang nyium lu.”

“Terus?” Tanya Dinda lagi.

Tasya mengangkat bahunya dan menggeleng. “Ngga tau.”

Mereka tidak tahu harus mencari Matthew dimana, bahkan Dinda tidak tahu nama Matt.

“Tunggu, coba gue cari di sini siapa tahu ada tanda pengenal gitu.” Tasya mengobrak-abrik isi koper itu, tapi nihil. Ia tak mendapatkan apapun, hanya ada jam tangan mahal di sana.

“Wuih, Din. Jam tangannya aja limited edition.”

“Coba liat.” Dinda ikut memgang kotak jam tangan itu.

“Ini mah sama kaya om gue punya.”

“Oh iya, om ganteng lu itu ya.”

Dinda menggelengkan kepalanya, ketika menyebut adik dari ibunya itu. Pria yang kerap melecehkan Dinda sejak kecil.

“Ya udah, sementara lu pake baju gue dulu. Besok siang kita ke kota, nanti beli baju seadanya.”

Dinda mengangguk. “Iya, gue minta uang ke papa dulu.”

“Oke.”

Tasya pun kembali membaringkan tubuhnya di tempat tidur itu. Tasya dan Dinda tinggal di sebuah rumah yang di sediakan oleh kepala desa. Sebenarnya ada empat dokter yang di tugaskan di desa itu. kedua dokter lagi adalah laki-laki yang sudah beberapa bulan sebelumnya berada di sini dan tinggal tak jauh dari rumah kecil yang di tempati Dinda dan Tasya.

Dinda kembali merapihkan koper itu. ia masih geram jika mengingat pria bule yang telah mencuri ciuman pertamanya. Bahkan Ardi yang sudah lama menjadi pacaranya pun tidak pernah melakukan itu.

“Baru sampe ke kota ini, udah sial.” Gumam Dinda. Lalu, ia ikut berbaring di samping Tasya dan mencoba memejamkan matanya.

****

“Din, sini!” Panggil pria berusia dua puluh tahun. Pria itu adalah adik dari sang mama yang biasa ia panggil Om Tristan.

“Apa, Om.” Jawab gadis kecil yang masih berusia sepuluh tahun yang menuruti kemauan pamannya untuk menghampiri.

Saat itu, Dinda dan kedua orang tuanya masih tinggal di Jakarta. Orang tua Dinda menempati rumah lain yang di miliki orang tua ibunya. Rumah yang cukup dekat karena hanya melewati beberapa rumah saja.

Saat itu ayah Dinda belum menjadi pengusaha di Malang dan belum hijrah ke sana. Justru ia masih baru akan memulai usaha, walau usahanya sering kali gagal dan megalami kebangkrutan. Ibunya Dinda lahir dari keluarga yang sangat berada. Oleh karenanya, selama perekonomian keluarga Dinda belum memungkinkan, kebutuhan orang tua Dinda selalu di cukupi oleh orang tua dari ibunya. Hal itu juga yang membuat Tristan sering main ke rumah kakaknya. Di tambah, ada gadis kecil yang cantik, yang sering berkeliaran di otak Tristan untuk bisa menyentuhnya.

“Om ngapain. Hmm..” Dinda merasa risih, saat Tristan memangkunya dan tangannya masuk ke dalam kain yang menutupi area intimnya.

“Diam, Dinda. Ini enak.”

Tangan Tristan semakin menjalar ke area itu.

“Om.. Ah, sakit.”

Dinda mengaduh saat tangan besar om nya mencoba menerobos dinding sentitifnya.

Namun, Tristan justru malah tersenyum dan senyum itu membuat Dinda semakin takut.

“Om, Jangan sakit!

“Om, Lepas!”

“Ooom.” Teriak Dinda dan bangun seketika dari tidurnya. Keringat membasahi dahinya.

“Kenapa, Din? Lu mimpi buruk lagi?” Tanya Tasya yang juga terbangun mendengar teriakan Dinda.

“Hmm.. Iya. Sorry, Sya. Gue bangunin lu tidur.”

“It’s oke, Din. Ya udah tidur lagi.” Ucap Tasya.

Tasya sangat dekat dengan Dinda, tapi Dinda termasuk orang yang tertutup untuk urusan pribadinya. Berbeda dengan Tasya yang selalu meminta saran dan curhat apapun pada Dinda, sedangkan Dinda tidak. Gadis itu lebih memilih menjadi pendengar saja. Tasya ingin sekali bertanya pada Dinda tentang mimpi buruknya yang selalu di akhiri dengan memanggil ‘om’. Ia juga heran, jika ada kelas tentang reproduksi atau pembuahan, Dinda selalu keluar dan memilih bolos.

Pagi harinya, Dinda dan Tasya sarapan bersama.

“Din.”

“Hmm.”

Dinda menoleh ke arah sahabatnya.

“Udah beberapa kali ini, sejak kita suka tidur bareng. Gue mergokin lu kaya semalem. Kenapa sama om lu?” Tanya Tasya.

“Oh, ga apa-apa. Gue lagi mimpiin om gue aja.”

“Tapi, setiap lu mimpi kek gitu. Lu kaya orang ketakutan tau ngga.”

“Ngga apa-apa, Sya.”

Dinda tersenyum dan beralih ke dapur iuntuk mengambil air minum.

Ia pun meminum minuman itu banyak-banyak. Entah mengapa, pelecehan yang pernah ia alami itu masih saja melekat dalam ingatan. Jika, mengingat itu, Dinda sangat takut dengan makhluk yang berjenis kelamin laku-laki.

Sejak kecil, Dinda memang sangat dekat dengan Tristan. Dinda merasa om nya sangat menyayanginya. Namun, lambat laun, kasih sayang itu berubah menajdi nafsu. Tristan sering kali menciumi pipi Dinda dan lehernya. Bahkan leher Dinda pernah di gigit hingga memerah seperti sebuah kismark oleh adik ibunya itu. Dinda pernah menceritakan hal ini pada kedua orang tuanya, tapi kedua orang tua Dinda tak percaya. Mereka malah menyebut Dinda sedang berhalusinasi karena suka menonton film.

Trauma itu membuat Dinda takut berdekatan dengan pria. Hingga saat SMA, ia mengenal Ardi. Sikap Ardi yang ramah dan lembut, membuatnya ingin belajar untuk tidak takut lagi dengan laki-laki. Dinda yang pendiam dan feminim pada saat itu, membuat Ardi menyukainya.

Setelah lulus SMA, Tristan yang berkuliah di Australia itu ternyata kembali. Delapan tahun tristan berada di Ausy dan tiba-tiba ia tinggal di rumah orang tua Dinda, lalu ingin menetap di Malang. Untung saja, Dinda kuliah di Surabaya dan kos di kosan khusus wanita, sehingga Tristan tidak dengan mudah menemui keponakannya. Namun, Dinda sadar kemanapun ia pergi, Tristan selalu menghantui. Oleh karenanya, ia menjadi pribadi yang galak sekarang, hanya untuk membentengi diri. Kedatangan Tristan membuatnya kembali seperti dulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status