Pagi-pagi, tahan emosi YESS! 😂
******
Hampir seminggu ini aku terus menghindar dari mas Tala, menghilang dari pandangan pria itu.
Dengan tujuan dan pengharapan pria yang telah menjadi suamiku itu merasa kehilangan dan mencari keberadaanku.Namun rasanya nihil melihat mas Tala tak urung mendatangi kamarku walaupun hanya sekadar untuk mengetuk pintunya saja. Tersenyum meringis ketika aku mendengar deru mesin suara mobil mas Tala. Lagi, untuk kesekian kalinya malam ini mas Tala kembali pergi, aku mengintip dari balik jendela kamar dan menatap kepergian mas Tala dalam diam.
Aku marah, kecewa, sedih dan juga cemburu atas apa yang mas Tala lakukan selama ini. Tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Tidak, bukannya tidak bisa, hanya saja aku sadar diri bahwa keluhanku juga pasti tidak akan di dengarkan mas Tala. Justru pria itu malah senang melihatku terluka dan bersedih.
Hal itulah yang membuatku menghindar darinya, aku sudah memutuskan tidak ingin bertemu dan bertatap muka dulu dengan mas Tala untuk beberapa waktu ini. Aku tidak yakin bisa bertahan hanya diam saja tanpa menanyakan siapa wanita yang ada di club malam bersamanya dan kenapa mas Tala berada disana?
Dugaanku begitu kuat menebak jika wanita yang tengah bersama mas Tala di club malam itu adalah kekasihnya, Sally. Wanita yang begitu di cintai mas Tala, hal ini pun aku ketahui dari mulut mas Tala sendiri setelah sehari menjadi istrinya.
Di tambah lagi dengan bumbu ucapan mas Tala selanjutnya yang begitu menohok hatiku. Ia mengatakan bahwa pernikahan ini hanyalah kesialan saja untuknya. Bahkan dengan sangat tidak punya hatinya ia akan tetap melanjutkan hubungannya dengan Sally tanpa perlu repot dan pusing memikirkanku sebagai istrinya.
Yang membuatku sangat-sangat terluka adalah, kenapa mas Tala mengatakan semua kebenaran tentangnya yang sudah memilki kekasih setelah kami resmi menikah? Kenapa ia tidak mengatakannya saja saat proses perkenalan dan pendekatan kami dulu, yang memang terbilang sangat singkat.
Seandainya mas Tala sudah mengatakannya lebih dulu, kemungkinan pernikahan ini tidak terjadi. Aku bahkan heran kenapa mas Tala justru malah sangat antusias dengan pernikahan kami, dan saat aku tanya barulah mas Tala memberikan alasannya jika ia melakukan semua ini demi kedua orang tuanya.
Benar-benar sangat sempurna, semua memang sudah di rencanakan mas Tala. Ia ingin membuat pernikahan seakan nyata dengan kebahagiaan.
Ya Tuhan! Ujianmu sungguh-sungguh menakjubkan. Tetapi, aku tetap tidak akan kalah dan menyerah. Hanya saja, beri aku sedikit kekuatan untuk terus bertahan dan bersabar.
Apakah masih ada sedikit harapan untuk bahagia dengan pernikahan ini? Jika ada, tolong beri aku jalan yang mudah untuk melaluinya.
*****
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun seperti biasa, beranjak turun dari ranjang dan lekas melangkah ke dapur untuk membuat sarapan. Meskipun aku menghindar dari mas Tala, tetapi aku tak melupakan kewajibanku yang satu itu. Sebagai seorang istri tentu aku bersedia melayani suamiku lahir dan batin.
Tetapi apa daya jika sampai sekarang ini mas Tala juga belum mau menyentuhku ataupun meminta diriku untuk melayaninya di ranjang. Padahal aku sudah sangat siap jika mas Tala memintanya. Astaga! Apa yang aku pikirkan.
Tak ingin terlalu lama maka aku lekas melakukan semua pekerjaan dengan cepat, agar saat nanti mas Tala bangun tak perlu merasa terganggu dengan kehadiranku.
Setelah siap menyelesaikan masakan untuk sarapan segera ku sajikan ke dalam piring dan menatanya sedemikian cantik. Ku letakkan makanan itu ke atas meja makan dengan pengharapan kali ini masakan aku akan dimakan oleh mas Tala. Tidak seperti yang lalu-lalu, masakan ku tak pernah sekalipun di makannya dan berakhir aku yang memakannya hingga sampai merasa kekenyangan. Terkadang aku memberikan makanan yang telah ku masak kepada para tetangga, atau berakhir terbuang sia-sia di tong sampah karena sudah mengeluarkan bau tak sedap yang menyengat.
Baru saja aku ingin membersihkan dapur dan peralatan masak yang kotor namun terhalang karena aku menangkap derap langkah kaki yang berjalan mendekat ke sini. Memekik bingung apa yang harus aku lakukan?
Tetap bertahan dan menyapa mas Tala seperti biasa atau segera berlari kabur.Aku segera bersembunyi ketika melihat mas Tala sudah masuk ke area dapur. Sedikit mengintip dari balik celah tempatku sekarang bersembunyi. Ku lihat mas Tala melihat makanan di atas meja itu, begitu tak sabarannya aku sangat mengharapkan mas Tala untuk duduk di kursi lalu menikmati sarapan yang ku buat dengan susah payah dan lelah.
Namun harapan tinggalah harapan, semuanya pupus ketika ku lihat mas Tala melenggang pergi tanpa menoleh sekali lagi ke makanan itu. Perlahan aku keluar dari tempat persembunyianku dan melangkah lesu ke meja makan.
Mendelik kaget saat mataku tak sengaja menemukan secarik kertas yang terselip di bawah piring. Ah, aku baru ingat, tadi sebelum pergi mas Tala memang sempat membuka tas kerjanya dan tampak menuliskan sesuatu. Apakah ini?
Duh, aku penasaran dengan isinya. Semoga saja bukanlah isi yang berupa kata-kata kasar dan menyakitkan. Dengan sangat perlahan dan hati-hati aku membuka secarik kertas itu.
Sebenarnya, permainan apa yang sedang kau mainkan?
Aku mengerutkan dahi membaca kalimat pertama yang dituliskan mas Tala. Apa maksudnya? Permainan apa? pikirku seketika tak mengerti.
Ku sarankan padamu untuk berhenti bermain-main denganku. Kalau kau sudah tak tahan dan ingin pisah maka segeralah lakukan, karena tidak mungkin jika aku yang mengajukan perceraian lebih dulu. Tetapi jika kau tetap mengujiku maka jangan salahkan aku kalau pada akhirnya aku yang akan mengajukan perceraian lebih dulu.
Berhentilah untuk bersikap sok kuat dan sabar menghadapiku, bagiku itu terlihat sangat munafik sekali. Ah, aku ingin melihat seberapa kuatnya sih dirimu?
Dan satu lagi, jangan lagi melakukan kebiasaan menyebalkanmu itu. Kau tau kan, rasanya sangat percuma apabila kau repot-repot dan lelah memasak untukku setiap harinya. Karena apa? Karena percuma saja, aku tidak akan pernah mau dan sudi untuk memakannya. Jangankan untuk memakannya, untuk memegang ujung piring itu saja rasanya aku enggan.
Dan ya, semua yang kau lakukan itu adalah pemborosan. Pengeluaran bulanan membengkak tanpa ada hasil yang bisa di nikmati dengan layak.
Jadi, ku sarankan padamu untuk tidak melakukan apapun yang membuatku rugi dan merasa terganggu. Mengerti?!
Atala Malik.
Dadaku terasa sesak, sakit sekaligus nyeri. Dan tanpa sadar tanganku terkepal kuat meremas kertas itu. Ya Tuhan! Kenapa isinya begitu menyakitikan hatiku?
Tidak bisakah mas Tala menuliskan kata-kata yang sedikit manis untukku? Hanya sedikit yang ku minta, apakah tidak bisa ia melakukannya?
Haruskah ia menulis sekasar dan sekejam ini? Oh, mas Tala, aku ini istrimu. Tetapi, kenapa kau begitu jahat dan kejam memperlakukanku? Apa salahku sampai membuatmu begitu membenciku? Hah, apa mas?! Ratapku menangis seorang diri dengan posisi tubuh duduk meringkuk memeluk lutut di atas lantai yang dingin.
Aku menatap lesu Lista yang datang bertamu disaat yang tak tepat. Aku sedikit kehilangan semangat setelah membaca isi singkat tulisan tangan mas Tala di secarik kertas tadi.Aku tidak ingin Lista mengetahui raut wajah sedihku. Mencoba berusaha tegar aku memaksakan senyum untuk sahabatku ini."Jangan membohongiku, Lana." kata Lista menatapku kesal."Ah, aku ketahuan," sahutku masih dengan senyuman yang menghiasi wajahku."Kau tidak bisa membohongiku, Lan. Kita sudah bersahabat sejak lama, jelas diantara kita berdua tak ada yang bisa berbohong satu sama lain." aku mengangguk seraya mengigit bibir bawahku pelan."Jadi, katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Lista terlihat sedikit menuntut jawaban.Aku menarik nafas sesaat seraya menggelengkan kepala, "tidak ada yang terjadi, Lis. Semuanya baik-baik saja.""Lana!" tegur Lista memanggil namaku, "sudah ku katakan bahwa kau tidak bisa membohongiku.""
Pagi ini aku bangun seperti biasa, setelah mandi aku langsung berkutat di dapur untuk membuat sarapan. Bedanya dimulai hari ini aku hanya membuat sarapan untuk diriku sendiri.Sedikit memekik saat membuka lemari pendingin aku baru sadar kalau isi di dalamnya sudah ludes tak bersisa. Ah iya, aku dan Lista sudah menghabiskannya kemarin.Bingung ingin sarapan apa akhirnya aku memutuskan untuk membuat mie goreng saja, kebetulan masih ada stok beberapa bungkus mie instan yang aku beli minggu lalu. Cukup butuh waktu beberapa menit saja untuk mengolah mie goreng dan selesai.Menaruhnya ke dalam piring dan langsung saja untuk mengeksekusinya, biar lebih mantap aku juga membuat kopi susu panas untuk teman makan mie.Saat asyiknya menikmati sarapan aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Sedikit mendengkus aku mencoba untuk mengabaikannya, itu pasti mas Tala."Sedang apa kau disini?" pertanyaan lantan
Aku segera menepiskan cekalan tangan mas Tala. "Apa, Mas? Mama dan Papa mau datang menginap disini?""Ya, dan mereka sudah dijalan menuju kemarin." sahut mas Tala, "aku syok mendengarnya saat Papa menghubungiku. Karena itulah aku pulang cepat untuk langsung mengatakannya padamu.""Kemana saja kau ini sebenarnya, huh? Nomor ponsel tidak aktif, apa kau tidak tahu betapa paniknya aku hanya untuk menyampaikan berita tentang ini?" ucap mas Tala berang.Aku terperangah mendengarnya, mas Tala panik tapi bukan padaku melainkan karena tak bisa menyampaikan pesan jika orang tuanya akan datang menginap di rumah kami."Maaf, ponselku mati Mas. Kehabisan baterainya sepertinya," tukasku menjelaskan agar mas Tala tak salah paham.Mas Tala mengibaskan sebelah tangannya, "lupakan. Itu tidak penting sekarang ini, yang terpenting saat ini adalah kita harus membereskan semua kekacauan yang terjadi."
Niat hati ini ingin egois namun kenyataannya aku tidak bisa, bagaimanapun juga aku menyayangi mertuaku. Aku sudah menganggap mereka seperti orang tuaku sendiri, ya tentu saja.Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat dua puluh menit ketika mertuaku sampai di rumah. Aku dan mas Tala menyambut mereka dengan suka cita.Setelah menyalami dan memeluk mama dan papa, aku mengajak mereka untuk segera masuk ke dalam."Waah, rumah kalian nyaman banget nak." ucap mama yang saat ini sebelah tangannya tengah memeluk pinggangku dari samping. Kami berjalan beriringan dengan mama di sampingku, dan papa di samping mas Tala."Iya, benar kata Mama. Nyaman," sambung papa menimpali.Aku tersenyum mendengarnya dan sedikit tertegun saat mataku tak sengaja melihat mas Tala juga ikut tersenyum. Astaga, baru kali ini aku melihatnya tersenyum dan tampak sangat tulus. Hmm, sepertinya."Mama
Pagi ini kami semua sarapan lewatdelivery onlinelagi. Mas Tala memesankan nasi uduk paling enak langganannya yang sering dia santap tiap pagi. Aku hampir cemas setengah mati saat mas Tala mengatakan itu dengan entengnya, syukurlah mama dan papa tidak mempertanyakan kata 'langganan' yang diucapkan mas Tala tadi.Dan rencananya siang ini mas Tala ingin mengajakku berbelanja bahan makanan untuk stok persediaan di lemari pendingin kami yang saat ini kosong melompong.Setelah pamit pada mama dan papa, kami langsung memutuskan pergi. Butuh waktu cukup lama untuk sampai di pusat perbelanjaan karena tadi kami sempat mengalami macet yang lumayan panjang. Seluruh kesabaran kami hampir terkuras sepenuhnya disana."Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya mas Tala yang sepertinya risih saat aku terus melihat ke arahnya."Mas tidak bekerja?" tanyaku sehati-hati mungkin agar tak menyinggung per
Tak terasa sudah seminggu juga mertuaku tinggal dan menginap disini. Dan selama seminggu ini pula mas Tala tampak gelisah, bahkan mulutnya sering kali mengeluarkan decakan sebal.Kadang aku menjadi bingung dan berpikir keras. Hal apa yang tengah mengganggu pikiran mas Tala sampai merasa resah begini.Timbul sebersit pemikiran negatif padanya, apakah mas Tala tidak suka dengan kehadiran Mama dan papa? Yang notabenenya adalah orangtua kandungnya sendiri. Ah, tapi tidak mungkin. Aku menggelengkan kepala kuat menepiskan pemikiran buruk itu."Mas," aku terkesiap dan langsung memanggil mas Tala kala melihat ia melempar ponselnya ke atas ranjang."Ada apa?" dengan berani dan sangat lantang aku bertanya seraya menyentuh pelan sebelah bahunya.Mas Tala menepiskan tanganku kuat dan sedikit melangkah jauh dariku. Aku mengerjap beberapa kali melihat tingkah mas Tala."Maaf."
Aku memekik bahkan nyaris menjerit saking takutnya pada kegelapan, berusaha berjalan dengan baik dengan cara meraba-raba. Namun tanganku menyentuh sesuatu yang bidang dan terasa keras, seperti ... dada pria?"Mas Tala?" panggilku.Ah, aku hampir lupa jika ini kamar mas Tala. Tentu saja dia ada disini."Ssstt, iya ini aku, Lana." sahut mas Tala membuatku lega. Namun tidak denganku yang merasa sesak dan pengap akibat keadaan gelap gulita seperti ini."Kenapa kamu menjerit?" tanya mas Tala menyentuh tanganku yang masih setia bertengger di depan dadanya.Aku tersentak dan berusaha menarik tanganku namun mas Tala mencegahnya. Alhasil aku tidak jadi berhasil menarik tanganku dari dadanya."Mas, aku takut gelap." cicitku dengan suara berbisik."Sebentar.""Mau kemana?" tanyaku panik seraya menahan tubuh mas Tala agar tak beranjak dari tempatnya.Sungguh, aku sangat takut."Aku mau mengambil lilin dulu, Lana." katanya memberitahu m
"M-mau yang rasa apa, Mas?" tanyaku gugup dan terbata.Sungguh, aku masih merasa tidak percaya kalau mas Tala memintaku untuk membuatkannya mie kuah instan juga."Sama kayak kamu aja.""Yang ini?" aku menunjukkan bungkus mie instan rasa kari pada mas Tala."Yang itu rasa apa?" mas Tala menunjuk bungkus mie instan yang satu lagi."Soto.""Kamu suka yang rasa apa?""Hah? Aku?" Mas Tala mengangguk."Keduanya aku suka Mas," sahutku jujur."Ya sudah, buat saja keduanya. Kebetulan aku juga suka semua rasa mie instan." kata mas Tala yang kemudian beranjak melangkah ke meja makan."Aku nunggu disini ya," mas Tala menarik salah satu kursi meja makan dan duduk disana sembari menatapku.Aku langsung memalingkan wajah dan mulai fokus memasak dua bungkus mie instan dengan rasa berbeda ini. Walaupun sejujurnya aku