Atala pov.
Ada yang berbeda hari ini, tak seperti biasanya setiap saat pasti aku akan merasa selalu terganggu dengan suara wanita yang terus bicara dan bertanya ini-itu. Tetapi, pagi ini setelah pulang dari club malam aku bahkan belum melihat sosok wanita itu.
Ada sedikit gerangan dalam benakku bertanya-tanya, dimana Lanaya saat ini? Apakah masih di kamarnya?
Ya, kami memang tidur terpisah. Sejak menikah dan pindah ke rumah ini aku sudah memutuskan bahwa kami akan tidur di kamar yang berbeda. Awalnya Lanaya menolak dengan menggunakan alasan licik bahwa kami sudah sah dan tak seharusnya tidur terpisah.
Ku akui memang seharusnya tak boleh seperti itu, tapi mau bagaimana lagi jika aku sama sekali tak tertarik dengan pernikahan ini. Tak ada yang aku harapkan dari pernikahan yang dilandasi perjodohan ini. Tak ada cinta, tak ada ketertarikan dan masih banyak yang lainnya.
Aku menerima pernikahan ini demi kedua orang tuaku yang tentu saja bahagia apabila putranya penurut dan mau melakukan apapun yang mereka minta. Sebagai seorang anak tentu saja aku tidak ingin dicap sebagai anak durhaka yang berani melawan keinginan sekaligus perintah orang tuanya.
Aku mematut diriku di depan sebuah cermin besar, meneliti kembali penampilanku hari ini. Kata kesempurnaan harus melekat pada diriku dan juga penampilanku. Salah satunya kerapihan, wangi, juga warna dasi dan setelan pakaian kantor yang nyambung itu adalah yang paling penting.
Setelah puas dan merasa percaya diri aku bergegas keluar kamar dan menuruni anak tangga, sesampainya dibawah aku juga tak melihat sosok Lana disana.
Aneh! pikirku. Tidak biasanya wanita itu menghilang tak menampakkan dirinya di depanku seperti hantu yang selalu bergentayangan.
Perutku terasa keroncongan karena lapar yang mendera begitu hebatnya, aku melangkah ke ruang makan dan melihat sarapan sudah tersaji disana.
Ada nasi goreng dan juga roti tawar yang sudah diolesi selai, kebiasaan rutin yang selalu dilakukan wanita itu. Biasanya Lana pasti sudah duduk nyaman disana sembari menunggu kedatanganku dan menyuruhku untuk segera sarapan. Tetapi tetap saja, selapar apapun aku tidak pernah mau memakan masakan yang dibuatnya. Rasanya jijik saja jika barang ataupun makanan yang sudah di sentuhnya, seakan-akan telah terkontaminasi olehnya.
Aku bergidik dan bergegas melangkah keluar dari rumah, sudah ku putuskan untuk makan di kantor saja nanti. Tanpa memikirkan dua kali dimana keberadaan Lana hari ini aku langsung tancap gas mengemudi mobilku.
Bodo amatlah! batinku mengendikkan kedua bahu tak acuh. Masa bodoh sekali memikirkan Lana, kalaupun wanita itu sudah pergi dari rumah... bukankah bagus untukku?
Ya, itu sangat bagus!
****
Setelah menyelesaikan segala pekerjaan kantor aku langsung bergegas pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika aku sampai di rumah.
Hal pertama yang aku tangkap setelah membuka pintu dan masuk rumah adalah kesunyiaan. Lagi-lagi tak kudapati sosok Lana yang biasanya akan menyambutku pulang dengan senyumannya yang sangat menyebalkan itu.
Meskipun sering ku marahi, ku bentak dan juga melarangnya keras untuk melakukan hal-hal yang menjadi kebiasaannya itu. Nyatanya Lana tak jera dan tetap saja melakukan kebiasaannya itu.
Ku longgarkan dasi yang terasa mencekik seraya masuk ke dalam kamar. Penat dan lelah yang ku rasakan bercampur jadi satu, hingga akhirnya aku memutuskan untuk segera membersihkan diri.
Sekitar dua puluh menit aku telah selesai mandi dan kini tampak lebih segar dari sebelumnya. Aku membuka lemari pakaian dan mengambil satu set pakaian santai, malam ini aku lebih memilih untuk di rumah saja. Entah kenapa rasanya aku malas sekali untuk keluar, jadi begitu selesai berpakaian aku langsung membaringkan tubuhku di ranjang. Memejamkan mata seraya mencari posisi ternyaman, baru hitungan detik mataku terbuka kembali.
Tubuhku lelah dan juga mengantuk, tetapi kenapa aku merasa gelisah. Seakan ada sesuatu yang mengganggu diriku, tapi apa?
Ku urungkan niatku dan perlahan bangkit dari posisi rebahan menjadi duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Begini pun aku masih merasakan gelisah, argh!
Pikiranku teringat akan Lana, kenapa wanita itu tidak terlihat sama sekali sejak pagi?
Apakah dia pergi dari rumah ini?
Hmm, bagus! Kalau memang benar begitu, pergilah selamanya! batinku tersenyum senang tapi kenapa dadaku terasa sesak setelah mengatakan itu?
Aku menggeleng dan turun dari ranjang, ku ayunkan kakiku melangkah keluar dari kamar. Aku harus memastikan sendiri apakah benar wanita itu sudah pergi.
Tepat di depan pintu kamar Lana aku hanya berdiam diri bagai patung. Dilanda rasa bingung dan juga gengsi, haruskah aku mengetuk pintu ini? pikirku menimbang-nimbang.
Tidak, tidak. Kenapa juga aku harus melakukan itu hanya untuk demi memastikan Lana sudah pergi dari sini atau belum.
Bukannya bagus dia pergi? Yang itu artinya semakin memudahkan kami untuk berpisah. Dan apa katanya? Dia akan bertahan dan menungguku untuk jatuh cinta padanya?
Hah, omong kosong sekali! Belum apa-apa saja dia sudah kalah dan menyerah. Dasar pembual! Ah, sudahlah, tak ada gunanya juga aku memikirkannya. Lebih baik aku melakukan hal lain.
Ku putuskan untuk kembali saja ke kamar, namun terhenti saat langkah kakiku justru membawaku menuju ruang makan. Dan tercengang hebat begitu menatap beberapa menu makanan yang sudah tersaji rapi di meja makan.
Apa-apaan ini? Berarti itu tandanya Lana masih di rumah ini, terbukti dari menu makan malam ini. Tak mungkin jika hantu yang memasak dan menyajikannya secantik mungkin.
Ciihh! Aku berdecak kesal, wanita itu masih saja bertahan dan sok-sokan kuat menghadapiku. Tapi, baiklah, jika dia tak ingin menyerah maka aku pun juga tidak akan berhenti untuk membuatnya goyah dan kalah.
Ku lirik kembali makanan-makanan yang ada di meja, lapar semakin mendera namun aku tetap tidak ingin menyentuh masakannya. Tidak akan pernah, sampai kapanpun!
Lekas ku tinggalkan area ruang makan, melangkah cepat dan masuk ke dalam kamar lalu mengganti pakaian. Pikiranku berubah dan memutuskan untuk pergi saja malam ini. Pelarianku tentunya adalah club malam, disana aku bisa melampiaskan semua perasaanku yang berkecamuk. Terkadang aku minum, berdansa bahkan aku juga sering melakukan pertemuan dengan kekasihku.
Ya, setelah menikah aku tetap melanjutkan hubunganku dengan Sally. Wanita yang aku cintai beberapa bulan terakhir sebelum menikah dengan Lana. Aku bahkan belum sempat memperkenalkan Sally pada keluargaku dan malah keduluan usulan perjodohan yang dicetuskan oleh kedua orang tuaku.
Proses perkenalan dan pendekatan dengan Lana terbilang sangat singkat karena setelahnya kami menikah. Setelah resmi menikah aku langsung mengeluarkan segala unek-unekku pada Lana mengenai pernikahan ini dan juga mengenai Sally.
Jika bukan karena orang tuaku maka aku pun tak akan pernah mau dan sudi menikah dengannya. Tidak akan.
Pagi-pagi, tahan emosi YESS! 😂 ******Hampir seminggu ini aku terus menghindar dari mas Tala, menghilang dari pandangan pria itu.Dengan tujuan dan pengharapan pria yang telah menjadi suamiku itu merasa kehilangan dan mencari keberadaanku.Namun rasanya nihil melihat mas Tala tak urung mendatangi kamarku walaupun hanya sekadar untuk mengetuk pintunya saja. Tersenyum meringis ketika aku mendengar deru mesin suara mobil mas Tala. Lagi, untuk kesekian kalinya malam ini mas Tala kembali pergi, aku mengintip dari balik jendela kamar dan menatap kepergian mas Tala dalam diam.Aku marah, kecewa, sedih dan juga cemburu atas apa yang mas Tala lakukan selama ini. Tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Tidak, bukannya tidak bisa, hanya saja aku sadar diri bahwa keluhanku juga pasti tidak akan di dengarkan mas Tala. Justru pria itu malah senang melihatku terluka dan bersedih.
Aku menatap lesu Lista yang datang bertamu disaat yang tak tepat. Aku sedikit kehilangan semangat setelah membaca isi singkat tulisan tangan mas Tala di secarik kertas tadi.Aku tidak ingin Lista mengetahui raut wajah sedihku. Mencoba berusaha tegar aku memaksakan senyum untuk sahabatku ini."Jangan membohongiku, Lana." kata Lista menatapku kesal."Ah, aku ketahuan," sahutku masih dengan senyuman yang menghiasi wajahku."Kau tidak bisa membohongiku, Lan. Kita sudah bersahabat sejak lama, jelas diantara kita berdua tak ada yang bisa berbohong satu sama lain." aku mengangguk seraya mengigit bibir bawahku pelan."Jadi, katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Lista terlihat sedikit menuntut jawaban.Aku menarik nafas sesaat seraya menggelengkan kepala, "tidak ada yang terjadi, Lis. Semuanya baik-baik saja.""Lana!" tegur Lista memanggil namaku, "sudah ku katakan bahwa kau tidak bisa membohongiku.""
Pagi ini aku bangun seperti biasa, setelah mandi aku langsung berkutat di dapur untuk membuat sarapan. Bedanya dimulai hari ini aku hanya membuat sarapan untuk diriku sendiri.Sedikit memekik saat membuka lemari pendingin aku baru sadar kalau isi di dalamnya sudah ludes tak bersisa. Ah iya, aku dan Lista sudah menghabiskannya kemarin.Bingung ingin sarapan apa akhirnya aku memutuskan untuk membuat mie goreng saja, kebetulan masih ada stok beberapa bungkus mie instan yang aku beli minggu lalu. Cukup butuh waktu beberapa menit saja untuk mengolah mie goreng dan selesai.Menaruhnya ke dalam piring dan langsung saja untuk mengeksekusinya, biar lebih mantap aku juga membuat kopi susu panas untuk teman makan mie.Saat asyiknya menikmati sarapan aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Sedikit mendengkus aku mencoba untuk mengabaikannya, itu pasti mas Tala."Sedang apa kau disini?" pertanyaan lantan
Aku segera menepiskan cekalan tangan mas Tala. "Apa, Mas? Mama dan Papa mau datang menginap disini?""Ya, dan mereka sudah dijalan menuju kemarin." sahut mas Tala, "aku syok mendengarnya saat Papa menghubungiku. Karena itulah aku pulang cepat untuk langsung mengatakannya padamu.""Kemana saja kau ini sebenarnya, huh? Nomor ponsel tidak aktif, apa kau tidak tahu betapa paniknya aku hanya untuk menyampaikan berita tentang ini?" ucap mas Tala berang.Aku terperangah mendengarnya, mas Tala panik tapi bukan padaku melainkan karena tak bisa menyampaikan pesan jika orang tuanya akan datang menginap di rumah kami."Maaf, ponselku mati Mas. Kehabisan baterainya sepertinya," tukasku menjelaskan agar mas Tala tak salah paham.Mas Tala mengibaskan sebelah tangannya, "lupakan. Itu tidak penting sekarang ini, yang terpenting saat ini adalah kita harus membereskan semua kekacauan yang terjadi."
Niat hati ini ingin egois namun kenyataannya aku tidak bisa, bagaimanapun juga aku menyayangi mertuaku. Aku sudah menganggap mereka seperti orang tuaku sendiri, ya tentu saja.Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat dua puluh menit ketika mertuaku sampai di rumah. Aku dan mas Tala menyambut mereka dengan suka cita.Setelah menyalami dan memeluk mama dan papa, aku mengajak mereka untuk segera masuk ke dalam."Waah, rumah kalian nyaman banget nak." ucap mama yang saat ini sebelah tangannya tengah memeluk pinggangku dari samping. Kami berjalan beriringan dengan mama di sampingku, dan papa di samping mas Tala."Iya, benar kata Mama. Nyaman," sambung papa menimpali.Aku tersenyum mendengarnya dan sedikit tertegun saat mataku tak sengaja melihat mas Tala juga ikut tersenyum. Astaga, baru kali ini aku melihatnya tersenyum dan tampak sangat tulus. Hmm, sepertinya."Mama
Pagi ini kami semua sarapan lewatdelivery onlinelagi. Mas Tala memesankan nasi uduk paling enak langganannya yang sering dia santap tiap pagi. Aku hampir cemas setengah mati saat mas Tala mengatakan itu dengan entengnya, syukurlah mama dan papa tidak mempertanyakan kata 'langganan' yang diucapkan mas Tala tadi.Dan rencananya siang ini mas Tala ingin mengajakku berbelanja bahan makanan untuk stok persediaan di lemari pendingin kami yang saat ini kosong melompong.Setelah pamit pada mama dan papa, kami langsung memutuskan pergi. Butuh waktu cukup lama untuk sampai di pusat perbelanjaan karena tadi kami sempat mengalami macet yang lumayan panjang. Seluruh kesabaran kami hampir terkuras sepenuhnya disana."Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya mas Tala yang sepertinya risih saat aku terus melihat ke arahnya."Mas tidak bekerja?" tanyaku sehati-hati mungkin agar tak menyinggung per
Tak terasa sudah seminggu juga mertuaku tinggal dan menginap disini. Dan selama seminggu ini pula mas Tala tampak gelisah, bahkan mulutnya sering kali mengeluarkan decakan sebal.Kadang aku menjadi bingung dan berpikir keras. Hal apa yang tengah mengganggu pikiran mas Tala sampai merasa resah begini.Timbul sebersit pemikiran negatif padanya, apakah mas Tala tidak suka dengan kehadiran Mama dan papa? Yang notabenenya adalah orangtua kandungnya sendiri. Ah, tapi tidak mungkin. Aku menggelengkan kepala kuat menepiskan pemikiran buruk itu."Mas," aku terkesiap dan langsung memanggil mas Tala kala melihat ia melempar ponselnya ke atas ranjang."Ada apa?" dengan berani dan sangat lantang aku bertanya seraya menyentuh pelan sebelah bahunya.Mas Tala menepiskan tanganku kuat dan sedikit melangkah jauh dariku. Aku mengerjap beberapa kali melihat tingkah mas Tala."Maaf."
Aku memekik bahkan nyaris menjerit saking takutnya pada kegelapan, berusaha berjalan dengan baik dengan cara meraba-raba. Namun tanganku menyentuh sesuatu yang bidang dan terasa keras, seperti ... dada pria?"Mas Tala?" panggilku.Ah, aku hampir lupa jika ini kamar mas Tala. Tentu saja dia ada disini."Ssstt, iya ini aku, Lana." sahut mas Tala membuatku lega. Namun tidak denganku yang merasa sesak dan pengap akibat keadaan gelap gulita seperti ini."Kenapa kamu menjerit?" tanya mas Tala menyentuh tanganku yang masih setia bertengger di depan dadanya.Aku tersentak dan berusaha menarik tanganku namun mas Tala mencegahnya. Alhasil aku tidak jadi berhasil menarik tanganku dari dadanya."Mas, aku takut gelap." cicitku dengan suara berbisik."Sebentar.""Mau kemana?" tanyaku panik seraya menahan tubuh mas Tala agar tak beranjak dari tempatnya.Sungguh, aku sangat takut."Aku mau mengambil lilin dulu, Lana." katanya memberitahu m