Tak terasa sudah seminggu juga mertuaku tinggal dan menginap disini. Dan selama seminggu ini pula mas Tala tampak gelisah, bahkan mulutnya sering kali mengeluarkan decakan sebal.
Kadang aku menjadi bingung dan berpikir keras. Hal apa yang tengah mengganggu pikiran mas Tala sampai merasa resah begini.
Timbul sebersit pemikiran negatif padanya, apakah mas Tala tidak suka dengan kehadiran Mama dan papa? Yang notabenenya adalah orangtua kandungnya sendiri. Ah, tapi tidak mungkin. Aku menggelengkan kepala kuat menepiskan pemikiran buruk itu.
"Mas," aku terkesiap dan langsung memanggil mas Tala kala melihat ia melempar ponselnya ke atas ranjang.
"Ada apa?" dengan berani dan sangat lantang aku bertanya seraya menyentuh pelan sebelah bahunya.
Mas Tala menepiskan tanganku kuat dan sedikit melangkah jauh dariku. Aku mengerjap beberapa kali melihat tingkah mas Tala.
"Maaf."
Aku memekik bahkan nyaris menjerit saking takutnya pada kegelapan, berusaha berjalan dengan baik dengan cara meraba-raba. Namun tanganku menyentuh sesuatu yang bidang dan terasa keras, seperti ... dada pria?"Mas Tala?" panggilku.Ah, aku hampir lupa jika ini kamar mas Tala. Tentu saja dia ada disini."Ssstt, iya ini aku, Lana." sahut mas Tala membuatku lega. Namun tidak denganku yang merasa sesak dan pengap akibat keadaan gelap gulita seperti ini."Kenapa kamu menjerit?" tanya mas Tala menyentuh tanganku yang masih setia bertengger di depan dadanya.Aku tersentak dan berusaha menarik tanganku namun mas Tala mencegahnya. Alhasil aku tidak jadi berhasil menarik tanganku dari dadanya."Mas, aku takut gelap." cicitku dengan suara berbisik."Sebentar.""Mau kemana?" tanyaku panik seraya menahan tubuh mas Tala agar tak beranjak dari tempatnya.Sungguh, aku sangat takut."Aku mau mengambil lilin dulu, Lana." katanya memberitahu m
"M-mau yang rasa apa, Mas?" tanyaku gugup dan terbata.Sungguh, aku masih merasa tidak percaya kalau mas Tala memintaku untuk membuatkannya mie kuah instan juga."Sama kayak kamu aja.""Yang ini?" aku menunjukkan bungkus mie instan rasa kari pada mas Tala."Yang itu rasa apa?" mas Tala menunjuk bungkus mie instan yang satu lagi."Soto.""Kamu suka yang rasa apa?""Hah? Aku?" Mas Tala mengangguk."Keduanya aku suka Mas," sahutku jujur."Ya sudah, buat saja keduanya. Kebetulan aku juga suka semua rasa mie instan." kata mas Tala yang kemudian beranjak melangkah ke meja makan."Aku nunggu disini ya," mas Tala menarik salah satu kursi meja makan dan duduk disana sembari menatapku.Aku langsung memalingkan wajah dan mulai fokus memasak dua bungkus mie instan dengan rasa berbeda ini. Walaupun sejujurnya aku
"Loh, Mas mau kemana?" tanyaku terhenyak kaget saat keluar kamar dan menemukan mas Tala yang sepertinya juga baru keluar kamar dengan penampilan yang sudah rapi."Pergi." sahut mas Tala singkat dan terkesan datar.Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat tak berani bertanya lagi, dan mas Tala berlalu pergi begitu saja tanpa mempedulikanku.Aku meringis melihat perubahan sikap mas Tala yang kembali dingin, ia tak penasaran dan tak bertanya kemana aku akan pergi? Jangankan itu, mas Tala bahkan tak melihat penampilanku saat ini yang berbeda dari sebelumnya.Apa aku tidak terlihat menarik dimatanya? pikirku bertanya-tanya.Aku jadi tidak berminat untuk pergi dan ingin mengurungkan saja niat itu, tetapi lagi-lagi gagal karena Lista yang terus mengirimkan pesan memaksa diriku untuk datang.Aku menghela nafas kasar dan mengirimkan pesan pada Lista.Sebenarnya ada hal menarik apa si
Lista menyarankanku untuk bersikap biasa saja seolah aku tidak pernah melihat kehadiran mas Tala yang sedang bermesraan dengan Sally di tempat ini.Ya, Lista kembali menyeretku masuk ke dalam club malam tersebut dan langsung mengajakku berdansa di lantai dansa.Aku yang sama sekali tidak terbiasa bahkan nyaris tidak pernah seperti ini tentu saja merasa kikuk seperti orang tolol. Lista berulang kali mengedipkan sebelah matanya padaku sebagai kode agar aku merasa rileks.Aku menghembuskan nafas panjang sebelum mencoba memulai seperti apa yang Lista pinta. Berusaha mencoba sesantai mungkin. Namun alih-alih seperti itu aku justru malah terkesan terpaksa. Ini bukan seperti diriku."Rileks, Lana," bisik Lista lagi entah sudah yang ke berapa kalinya.Aku mengangguk patuh, perlahan-lahan ku coba menggoyangkan tubuhku berdansa mengikuti irama yang dimainkan oleh DJ. Akhirnya lama-kelamaan aku mulai terb
Sesuai keinginan pria ini dan Lista, akhirnya aku pun menghabiskan satu gelas minuman laknat ini. Hah, sepertinya aku termakan omongan sendiri yang tidak ingin menyentuh sampai kapanpun minuman semacam ini. Tapi nyatanya, aku telah meminumnya dalam ukuran yang lumayan."Sudah, aku tidak ingin minum lagi." tolakku saat pria itu kembali menuangkan wine ke dalam gelasku."Menyerah?" tanyanya dengan wajah mencemohku.Sialan!"Hei, kamu ini sebenarnya berniat ingin membuatku mabuk atau bagaimana sih?"Ku lihat pria itu tertawa kecil, "kalau mau mabuk ya silakan saja. Tidak ada juga yang melarangmu," katanya begitu enteng."No!" aku menggeleng kuat."Ya sudah," pria itu meraih gelas milikku yang sudah terisi penuh wine. Lalu dalam sekali teguk ia menghabiskan wine itu.Ia tersenyum bangga seraya menunjukkan gelas kosong bekas wine tadi. Dan kembali menu
Aku berdiri di depan pintu kamar mas Tala dengan senyuman mengembang yang tak ingin surut menghiasi wajahku. Dadaku berdebar kencang tatkala ingin melihat mas Tala dan mengatakan sesuatu padanya.Hufffh! Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku hembuskan secara perlahan. Berpikir ulang pada niatku, ketuk atau tidak ya? batinku bimbang dan ragu-ragu.Perlahan sebelah tanganku terangkat dan mengetuk cukup kuat daun pintu kamarnya. Berulang kali sampai mas Tala mau dan sudi membukanya.Cklek...."Mas," sapaku riang."Ada apa?" tanya mas Tala berkerut alis."Itu Mas....""Itu apa?""Anu Mas....""Apa sih?" tanya mas Tala kembali dengan nada berdecak kesal.Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat, lidahku terasa keluh ingin bicara. Hufffh, entah kemana perginya keberanian dalam diriku tadi."Hei," mas Tala men
Pagi-pagi aku dibuat kaget kembali dengan perubahan sikap mas Tala, bagaimana tidak? Hari ini ia bertingkah sangat aneh menurutku.Aneh? Ya, aneh.Beberapa pekerjaan rumah yang selalu ia larang kini malah ia menyuruhku untuk melakukannya. Seperti mencuci pakaian kotor miliknya, memasak bahkan sampai menyiapkan setelan pakaian kerjanya.Aku syok setengah mati, tentu saja. Dalam benakku bertanya-tanya, apakah ini hanya sebuah jebakan dari mas Tala atau memang sungguh keinginan dari dirinya sendiri."Mas, kamu yakin nyuruh aku?" tanyaku memastikan apa yang mas Tala pinta."Iya, memang kenapa? Kamu gak mau ngelakuinnya?""B-bukan begitu, Mas. Hanya saja agak aneh, maksudku sedikit aneh.""Aneh?" sebelah alis mas Tala terangkat, "aneh apanya?""Ya sikap Mas. Tak biasanya Mas Tala begini, biasanya 'kan Mas Tala marah bahkan melarang keras aku—"
Aku tidak bisa menyembunyikan rona merah serta raut wajah bahagia di depan Lista, sehingga sahabatku ini begitu mudah menebak dan langsung tahu suasana hatiku saat ini."Lis, rencanamu berhasil." ucapku tersenyum sumringah."Tala cemburu?""Uhm, sepertinya.""Kamu yakin, Lan?" aku mengangguk semangat."Aduh, coba ceritakan padaku. Aku kepo," pinta Lista tak sabaran.Aku terkikik geli melihat tingkah sahabatku ini yang kelewat kepo. Lista akan terus menagih cerita padaku untuk menuntaskan rasa penasarannya."Lan, ayo dong cerita. Jangan diam aja!""Iya, ini aku juga mau cerita kok."Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Lista, mengenai mas Tala yang cemburu karena aku begitu mesra dengan Javis di club malam saat itu. Aku juga bilang pada Lista bahwa mas Tala telah salah paham mengira jika aku dan Javis adalah sepasang kekasih.