Share

BAB 3

Dibantu oleh salah seorang tentara, dengan lembut dia membantu Coralie masuk ke rumah yang dia tinggalkan tiga perempat jam yang lalu. Coralie membiarkan lelaki itu melakukan apa yang dia suka. Mereka semua memasuki apartemen di lantai dasar dan pergi ke ruang duduk, di sana api dari kayu perapian menyala terang. Lelaki itu menyalakan lampu listrik.

"Duduklah." Katanya.

Coralie mengempaskan diri ke sebuah kursi, dan kapten langsung memberikan perintah, "Kau, Poulard, pergi dan ambil gelas di ruang makan. Dan kau Ribrac, ambil kendi air dingin di dapur. Chatelain, kau cari sebotol rum di ruang penyimpan makanan. Atau, tunggu, dia tidak suka rum. Kalau begitu..."

"Kalau begitu," ujar perempuan itu, tersenyum, "segelas air saja."

Pipi yang memang pada dasarnya pucat itu sedikit pulih kehangatannya. Darah mengalir kembali ke bibirnya dan senyum di wajahnya penuh percaya diri. Wajah memesona dan lembut itu memiliki raut sempurna, lekukan-lekukannya nyaris terlalu halus, kulit putih dan ekspresinya lugu seperti kanak-kanak yang takjub menatap hidup dengan mata yang selalu terbuka lebar. Dan semua keelokan dan kejelitaan yang pada saat-saat tertentu memancarkan energi ini tak diragukan lagi berkat mata hitamnya yang berbinar, dan helaian rambut hitam lembut yang tergerai di kedua sisi wajahnya dari bawah topi putih yang mengurung kening.

"Aha!" seru Si Kapten dengan riang, ketika perempuan itu meminum air. "Kau merasa lebih baik, bukan, Bunda Coralie?"

"Jauh lebih baik."

"Bagus. Tapi, kita baru saja melewati menit-menit yang buruk! Petualangan yang luar biasa! Kita harus membahasnya dan mencari penjelasannya, bukan begitu? Sementara itu, anak-anak,beri hormat kepada Bunda Coralie. Teman-teman, siapa sangka, sewaktu dia memanjakan kalian dan menepuk-nepuk bantal kalian supaya kepala kalian bisa terbenam dalam kelembutannya, suatu hari kita akan merawatnya dan anak-anak bisa memanjakan bunda mereka?"

Mereka semua berdesakan mengelilingi perempuan itu, yang bertangan satu dan berkaki satu, yang cacat dan yang sakit, semua gembira melihatnya. Coralie menjabat tangan mereka dengan penuh kasih sayang,

"Nah, Ribrac, apa kabar tungkaimu?"

"Aku sudah tidak merasakannya lagi, Bunda Coralie."

"Dan kau, Vatinel? Luka di pundakmu?"

"Sama sekali tidak terasa bekasnya,Bunda Coralie."

"Dan kau, Poulard? Dan kau, Jorisse?"

Emosinya memuncak karena bertemu mereka lagi, orang-orang yang dia sebut sebagai anak-anaknya.

Patrice Belval berseru, "Ah, Bunda Coralie, sekarang kau menangis! Bunda, Bunda, begitulah caramu menaklukkan hati kami. Saat kami berusaha sekuat tenaga untuk tidak berteriak, di ranjang penderitaan kami, kami sering melihat matamu digenangi air. Bunda Coralie menangisi anak-anaknya. Lalu, kami semakin kencang mengertakkan geraham."

"Dan air mataku semakin deras mengalir," timpal Coralie, "hanya karena kalian takut membuatku sedih."

"Hari ini kau melakukannya lagi. Hatimu memang terlalu lembut! Kau mencintai kami. Kami mencintaimu. Tidak ada yang ditangisi. Ayolah, Bunda Coralie, mana senyumanmu... Nah, itu Ya-Bon datang, dan Ya-Bon selalu tertawa."

Tiba-tiba Coralie bangkit.

"Apa menurutmu dia bisa mengalahkan salah satu dari kedua orang itu?"

Apa menurutku bisa? Aku menyuruh Ya-Bon membawa pulang satu orang dengan membekuk lehernya. Dia tidak akan gagal. Aku hanya mengkhawatirkan satu hal..."

Mereka pergi ke aula. Si orang Senegal sudah berada di tangga. Dengan tangan kanannya dia mencengkram leher seorang laki-laki, lebih tepatnya buntalan kain lunglai, yang dipegangnya sejauh rentangan tangan, seperti boneka wayang.

"Lepaskan dia," kata Kapten.

Ya-Bon mengendurkan cengkramannya. Laki-laki itu jatuh ke ubin aula.

"Itulah yang kukhawatirkan,"gumam perwira itu. "Ya-Bon hanya punya tangan kanan, tapi, saat tangan itu mencengkram siapa saja di bagian leher, sungguh suatu keajaiban orang itu tidak tercekik. Orang-orang Jerman sudah tahu itu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status