Share

BAB 8

Air muka Belval terbuka, warna kulitnya agak gelap, terbakar matahari dan kecoklatan karena cuaca, dengan ekspresi yang tulus, ceria, dan kocak. Usianya dua puluh delapan sampai tiga puluh tahun. Sikapnya menunjukkan perilaku para perwira dari kekaisaran Pertama, yang menunjukkan kekhasan kehidupan mereka di kamp yang pantas dibawa kedalam ruang duduk perempuan.

Dia berhenti untuk memandang Coralie, yang sosok rupawannya tampak menonjol diterpa sinar perapian. Dia lalu duduk di samping perempuan itu.

"Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu," desahnya. "Di rumah sakit para dokter dan perawat memanggilmu Madame Coralie. Para pasienmu lebih suka memanggilmu Bunda. Siapa nama pemberian suami atau nama gadismu? Apa kau punya suami atau sudah janda? Di mana kau tinggal? Tidak ada yang tahu. Kau datang setiap hari pada jam yang sama dan pulang melewati jalan yang sama. Terkadang seorang pelayan tua, berambut kelabu panjang dan janggut jabrik, dengan syal wol melilit leher dan kacamata kuning bertengger di hidungnya, mengantar atau menjemputmu. Kadang-kadang dia juga menunggumu, selalu duduk di atas kursi yang sama di halaman. Dia sering ditanyai, tapi tidak pernah menjawab."

"Oleh karena itu, aku hanya tahu satu hal tentangmu, yaitu kau sangat baik hati dan juga--bolehkah aku mengatakannya?--sangat cantik. Dan mungkin karena aku tidak tahu apa pun tentang hidupmu itulah, Bunda Coralie, aku jadi membayangkan kau begitu misterius, dan dalam beberapa hal, sangat menyedihkan. Kau memberi kesan hidup di tengah kesedihan dan kecemasan, perasaan bahwa kau sendirian. Tak ada orang yang mengabdikan diri untuk membuatmu bahagia dan mengurusmu. Jadi, kupikir--sudah lama aku berpikir dan menunggu kesempatan untuk memberitahu--kupikir kau pasti membutuhkan teman, kakak laki-laki, yang bisa memberimu nasihat dan melindungimu. Apaaku benar, Bunda Coralie?"

Sementara Belval berbicara, Coralie tampak menciutkan dirinya dan membuat jarak lebih besar di antara mereka, seolah-olah tidak ingin Belval menembus wilayah rahasia yang dibicarakannya.

"Cukup," katanya, "kau keliru. Kehidupanku sangat sederhana. Aku tidak perlu dilindungi."

"Kau tidak perlu dilindungi?" seru Belval, dengan semangat meninggi. "Bagaimana dengan orang-orang yang mencoba menculikmu? Rencana jahat terhadapmu? Rencana yang begitu dirahasiakan oleh para penyerangmu sampai-sampai mereka bersedia membunuh orang yang membuat dirinya tertangkap? Apa itu tidak berarti apa-apa? Apakah aku sekedar berkhayal ketika kukatakan bahwa kau dikelilingi bahaya, kau punya musuh-musuh nekat, dan kau harus dilindungi dari mereka dan, kalau kau menolak tawaran bantuanku, aku... Yah, aku..."

Perempuan itu bersikeras sambil membisu, bersikap semakin menjauh dan menjauh, nyaris bermusuhan. Si perwira menghantam marmer di rak perapian dengan tinjunya, dan, sambil membungkuk di hadapan Coralie, menyelesaikan kalimatnya dengan nada tegas, "kalau kau menolak tawaran bantuanku, aku akan memaksanya kepadamu."

Coralie menggeleng.

"Aku akan memaksakannya kepadamu," ulang Belval tegas. "Itu sudah menjadi kewajiban dan hakku."

"Tidak," sanggah Coralie lirih.

"Hak mutlakku," tandas Kapten Belval, "untuk alasan yang melampaui semua alasan lain dan bahkan seharusnya aku tidak perlu meminta pertimbanganmu."

"Apa maksudmu?"

"Aku cinta kepadamu."

Dia mengungkapkan kata-kata itu dengan gamblang, bukan seperti seorang kekasih yang memberanikan diri membuat pernyataan malu-malu, melainkan seperti seorang laki-laki yang bangga dengan keyakinan yang dirasakannya dan dengan senang hati mengungkapkannya. Coralie menurunkan pandangannya dan tersipu.

Belval berseru penuh kemenangan, "Kau boleh yakin, Bunda. Tidak ada ledakan penuh gairah, tidak ada desahan, tidak ada lambaian tangan, tidak ada tepukan tangan. Hanya tiga kata pendek, yang kukatakan kepadamu tanpa berlutut. Dan itu lebih mudah bagiku karena kau mengetahuinya. Ya, Madame Coralie, tidak mengapa merasa malu, tapi kau tahu rasa cintaku kepadamu dan kau sudah lama mengetahuinya, sama sepertiku. Kita bersama-sama melihatnya lahir saat tangan mungilmu yang penuh kasih sayang menyentuh kepalaku yang babak belur. Tangan perawat lain menyiksaku. Denganmu, tidak ada yang lain selain belaian. Begitu juga rasa iba di matamu dan air mata yang menetes karena aku sangat kesakitan. Tapi, bisakah siapa pun melihatmu tanpa mencintaimu? Ketujuh pasienmu yang baru saja berada di sini semuanya jatuh cinta kepadamu, Bunda Coralie. Ya-Bon memuja tanah yang kau injak. Hanya, mereka prajurit. Mereka tidak bisa bicara. Aku perwira dan aku bicara tanpa keraguan atau merasa malu, percayalah kepadaku."

Coralie menempelkan tangan ke pipi yang membara dan tak bersuara, sambil membungkukkan badan.

"Kau mengerti yang kumaksud, bukan," Belval melanjutkan, dengan suara lantang, "saat kubilang bahwa aku berbicara tanpa keraguan dan rasa malu? Seandainya sebelum perang aku adalah diriku yang sekarang, seorang laki-laki cacat, kepercayaan diriku tidaklah sama dan aku pasti menyatakan cintaku kepadamu dengan kerendahan hati dan memohon maaf atas kelancanganku. Tapi, sekarang! Percayalah, Bunda Coralie, ketika aku duduk di sini bertatap muka dengan perempuan yang kupuja, aku tidak memikirkan kecacatanku. Tak sekejap pun aku mendapat kesan di matamu aku akan tampak konyol atau sombong."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status