"Cao Cao, bawa pasukan kavaleri maju duluan. Pasukan kita masih lama memasuki kota," perintah He Jin.
"Laksanakan!"
"Kenapa Tuan mempercayakan semua pasukan kavaleri ringan ke Cao Cao?" tanya salah satu jenderal di bawah kuasa He Jin. "Harusnya kehormatan itu diberikan kepadaku, anak dari keluarga Yuan."
"Hmmp! Aku punya banyak alasan untuk melepas Cao Cao ke sana."
"Maaf karena mempertanyakan keputusanmu, Tuan He."
"Dengar, Cao Cao adalah jenderal kavaleri pemberantas pemberontakan Yellow Turban. Aku yakin para kasim pasti telah mendengar berita jika kita masuk membawa pasukan. Terlebih,aku ingin dia mati di sana."
"Maksud Tuan dengan mati …."
"Apa kamu tidak melihat reaksi Cao Cao ketika di depan kaisar? Jelas bedebah itu lebih setia pada Kaisar ketimbang padaku."
Sementara itu Cao Cao memacu kuda melewati jalan berbatu rata kota Luo Yang. Beberapa penduduk langsung menepi melihat berpuluh-puluh pasukan melintas dengan kencang.
Cao Cao menghitung jumlah pasukan, hanya ada sekitar tiga puluhan. Dia mengira sepertinya He Jin menahan sisa pasukan karena suatu hal.
Cao Cao memacu kuda hitam berbelok ke arah pasar. Dia melihat seorang pria aneh melangkah memandangnya tanpa berkedip. Seketika waktu seakan berhenti.
(Cao Mengde, di antara dua kaisar, mana yang benar-benar anak Naga? Aku tahu, satu di antara mereka bukan keturunan Liu ….)
Cao Cao terkejut, suara itu mengenali nama kecil Cao Cao. Dia melihat pria itu tersenyum kepadanya. Tercium bau mayat dari tubuh pria itu dan bukan Cao Cao saja yang mencium aroma tidak sedap. Beberapa warga di sekitar pria misterius menutup hidung mereka.
(... Kau adalah cahaya, Mengde …)
Cao Cao hendak berhenti untuk bicara langsung dengan pria bertopi jerami, tapi misi utama menanti.
Dia kembali berbelok ke arah jalan menuju paviliun kasim tua. Di depan terdapat pasar aneh. Banyak orang berjualan dan banyak pembeli, tapi semua lelaki. Seharusnya pasar didominasi oleh perempuan, ke mana para wanita? Perasaan Cao Cao tidak enak.
Benar saja, Cao Cao melihat beberapa pria berpakaian hitam bersiap memanah ke arahnya.
"Penyergapan!" teriak Cao Cao. Sayang sekali pasukan yang dikomandoi hanya pasukan kavaleri biasa, bukan para veteran.
Para pasukan kebingungan ketika melihat banyak orang menarik keluar golok dan puluhan abak panah menerjang ke arah mereka.
Naas, Cao Cao tidak sempat memacu kuda untuk kabur. Kaki kudanya ditebas putus oleh para penyergap. Cao Cao menggelinding, balas menebas kaki penyerang.
Dia bertarung melawan empat orang dan terdesak. Cao Cao bukan pesilat, dia jenderal pemberi komando. Sekarang para pasukan tewas, para penyergap mengepungnya. Ajal berada di depan mata.
(Cao Mengde, Cao Mengde … takdirmu masih panjang. Jangan mati di tempat seperti ini.)
Tiba-tiba pasukan kavaleri yang tewas kembali bangkit. Mereka membunuh beberapa penyergap. Bahkan beberapa pasukan bisa terbang ke atap, mengejutkan para pemanah.
Cao Cao bersyukur dengan apa yang terjadi, tapi juga ketakutan. Para pasukan menggigit para penyergap, bahkan memakan hati mereka.
"Siapa kamu sebenarnya?" Cao Cao memandang ke sekitar mencari sosok aneh yang dari tadi bicara dengannya, tanpa ada sosoknya. "Aku minta keluarlah!"
(Belum saatnya. Kelak aku akan keluar, jika kekuatanku telah pulih seutuhnya.)
Para pasukan ambruk ketika para penyergap tewas. Cao Cao berdiri dengan badan bergetar melihat jalanan dioenuhi mayat.
Suara ringkik kuda membuatnya menoleh ke sumber suara. Segera dia membungkuk memberi hormat pada He Jin yang membawa pasukan infanteri.
"Cao Cao? Ada apa ini? Kenapa banyak mayat bergelimpangan?"
Cao Cao tahu He Jin tidak percaya klenik. Percuma menceritakan kepada jenderal besar Han. "Hamba berhasil membersihkan pasukan penyergap, tapi pasukan hamba tewas semua. Mohon maaf untuk itu, Jenderal."
"Mereka hanya semut-semut merah, mati beberapa tidak masalah. Jasamu tidak akan terlupakan."
Cao Cao memandang sengit jenderal yang sekarang menarik pedang keluar dari sarung pedang. Tidak ada terima kasih atau hadiah.
"Serang paviliun para dedengkot itu sekarang juga!"
Para pasukan infanteri merangsak maju menuju bangunan utama paviliun. Mereka membabat habis siapapun yang mereka temui, kecuali beberapa kasim tua. Para pasukan menyeret mereka hidup-hidup menemui He Jin.
Seketika para kasim merangkak memeluk kaki He Jin. "Jenderal, maafkan kami, semua ide Tua Bangka Zhong!"
"Haiya! Berani kalian memfitnahku?" sahut Zhong.
Para kasim mendorong Zhong hingga tersungkur.
He Jin terbahak puas. Dia tidak ingin memberi ampun pada mereka, tetapi biar Zhong merasakan bagaimana rasanya di khianati.
"Akan aku ampuni kalian semua, jika kalian mau membunuh kasim Zhong. Ayo, ambil pedang dan bunuh tua bangka itu."
Zhong menunjuk He Jin dengan jari bergetar. "Kau! Dasar tukang daging sialan! Berani kau memerintahkan mereka membunuhku? Kau bukan kaisar!"
He Jin berubah pikiran, dia mengambil pedang, mendekati kasim tua Zhong. "Berani kamu mengataiku seperti itu? Aku ingin kau mati dengan mudah, tapi sekarang akan kucincang kau!"
Cao Cao membuang muka ketika He Jin mencabik-cabik kasim tua di depan banyak warga yang berkumpul. Kebrutalan macam apa ini?
Tiba-tiba muncul iring-iringan kereta kuda yang dikawal pasukan istana. Cao Cao segera menahan lengan He Jin.
"Jenderal, cukup."
"Apa pedulimu? Lepas! Atau kau mau merasakannya juga?" ancam He Jin.
"Jenderal, ada iring-iringan datang. Apa Anda tidak malu jika mereka melihat Anda seperti ini? Nanti timbul gosip, Jenderal."
Ucapan Cao Cao membuat He Jin menoleh ke arah iring-iringan. Dia melihat bendera dengan rajut tulisan He berkibar di belakang kereta kuda. Dia sadar siapa yang datang.
He Jin melempar pedang menyambut sosok di dalam kereta kuda.
Kereta kuda berhenti. Ibu suri turun dari kereta kuda.
Cao Cao terkesima melihat kecantikan janda Kaisar terdahulu. Kulitnya putih terawat, wajah anggun, seketika dia menjatuhkan pedang begitu saja.
Ibu suri pun terdiam melihat Cao Cao yang tampan dan gagah. Dia seperti terhipnotis dengan mata sipit dengan alis hitam tebalnya.
"Hormat pada ibu suri," ucap He Jin, menyadarkan adiknya dari lamunan.
Ibu suri marah melihat kasim Zhong tewas dalam keadaan seperti daging tercincang. "Kamu melakukan ini? Tanpa Tuan Zhong, keluarga kita tidak akan menjadi seperti sekarang!"
Ibu suri berdebat dengan He Jin hingga perdebatan menjadi semakin panas dan He Jin naik pitam.
Kasar He Jin hendak menampar adiknya, tapi Cao Cao berhasil menangkap tangan jenderal besar.
Kemarahan jenderal beralih ke Cao Cao. "Berani kau melawanku?"
"Hamba tidak berani, tapi coba Tuan pikirkan sekali lagi, menampar ibu suri sama saja menampar kaisar, Tuan."
Cao Cao berhasil membawa He Jin ke kesadarannya. He Jin meminta maaf pada ibu suri, tapi ibu suri lebih suka memandang wajah Cao Cao.
"Sudah cukup, aku bilang hentikan," ucap ibu suri. "Dengar He Jin, kalau para kasim tua kau bunuh semua, lalu siapa yang menjalanlan birokrasi? Siapa yang akan mengatur keuangan negara? Sekarang berdamailah dengan mereka. Cepat!"
Perintah ibu suri sama saja seperti perintah kaisar. He Jin memaafkan sisa kasim asal mereka bekerja untuknya.
Kala semua sibuk, ibu suri menjatuhkan giok putih pada Cao Cao, tanda jika dia mengundang Cao Cao ke kamarnya. Tiada yang tahu akan hal ini, kecuali Cao Cao.
****
Satu minggu berlalu. Bian memimpin dengan tenang. He Jin, tidak menghalangi untuk melayani masyarakat, dia hanya memberi saran dan 'mengambil sendiri' uang di kas negara. Akan tetapi tragedi terjadi, semua karena efek dari insiden yang He Jin lakukan. Sembilan kasim menyergap He Jin ketika hendak bertemu Ibu suri, mereka berhasil membunuh Jenderal Besar dan membuang kepalanya keluar istana. Hal ini membuat Cao Cao, Zhu Cun, dan Yuan Shao membawa pasukan mendatangi istana di tengah jalannya rapat negara. Mereka membunuh semua kasim, baik sembilan kasim dan kasim-kasim muda yang tidak bersalah untuk membalas dendam kematian He Jin. Para menteri dan dayang kabur ke berbagai arah, bahkan Bian dan Xian terpisah dari pada abdi mereka. Sementara itu di luar, suara pedang beradu, jeritan kematian menebar terror sampai bulu roma Bian berdiri. Kobaran api melahap apapun hingga tercipta asap hitam pekat yang menusuk hidung.
Setelah menyelamatkan Bian, Dong Zhuo memproklamasikan diri sebagai Perdana Menteri. Kaisar tidak bisa bertindak banyak, akibat insiden sepuluh kasim dan He Jin, terjadi power vacuum di kekaisaran. Jabatan-jabatan kosong terisi oleh orang-orang kepercayaan Dong Zhuo, membuat status quo Dong Zhuo semakin besar. Hal ini nampak pada rapat mingguan di kekaisaran. “Kaisar datang!” teriak seorang kasim. Para pejabat membungkuk mengucapkan kalimat panjang umur kepada Bian. Bian duduk di singgasana. “Berdiri lah kalian semua.” Harusnya pada rapat seperti ini, semua pejabat masuk dan harus menunggu Kaisar. Mereka berbaris rapi, tanpa membawa senjata, juga wajib melepas sepatu. Kali ini berbeda, satu orang dari mereka merusak tatanan krama. “Perdana Menteri tiba!” Suara derap sepatu semakin mendekat. Dong Zhuo melangkah santai menenteng pedang juga memakai pakaian perang masuk ke ruang rapat. Beberapa menteri yang baru menjabat,
Setelah mendapat kehormatan memimpin pasukan kerajaan, Cao Cao bagai mendapat berkah dari langit. Dia semakin mudah masuk ke kamar Ibu Suri. Berdua mereka memadu cinta terlarang, sebuah skandal perusak moral kekaisaran. Dia lalai dalam tugas, memilih meniduri Ibu Suri dari pada menjaga Bian dan Xian. Cao Cao mengira tidak akan ada yang berani mengancam nyawa Bian, selama Bian dan Xian berada di dalam wilayah istana. Terlebih Zhu Cun menjaga pintu gerbang bersama para pasukan loyal. Walau Dong Zhuo berniat memberontak, dia perlu memanggil pasukan Xi Liang yang berada di barak istana. Namun, dugaannya meleset. Setelah selesai rapat harian bersama para pejabat Luo Yang, Bian menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Xian. Di sana mereka membaca banyak buku, karena memang keduanya sangat suka buku. Ruang yang dipenuhi buku adalah surga bagi mereka. “Kak Bian, coba lihat ini.” Xian berlari kecil menghampiri Bian yang tengah santai me
Beberapa bulan setelah Liu Bian turun tahta, keadaan negara makin kacau. Satu persatu pejabat loyal dibunuh tanpa sebab, membuat mereka yang beruntung menjadi takut dan bergabung dengan Dong Zhuo. Bahkan Zhu Cun dan Cao Cao menyatakan loyalitas kepada hewan itu. Sementara itu, Yuan Shao membangun kekuatan di daerah utara, mengirim banyak pesan bagi pejabat ibukota untuk berkomplot membunuh Dong Zhuo dan gerakan untuk mengembalikan Bian menjadi kaisar semakin besar. Dong Zhuo ingin menghabisi semua pejabat yang tidak berguna. Dia mempersiapkan pasukan untuk bergerak, tetapi Li Ru mencegah. "Minggir!" teriak Dong Zhuo. "Biar aku penggal mereka semua!" "Jika Anda melakukan itu, pemberontakan akan terjadi," ucap Li Ru. Nasihat itu membuat Dong Zhuo duduk di lantai melempar pedang. Berkali-kali dia mengumpat geram. "Jika begini terus, aku bisa digulingkan dari kekuasaanku!" Li Ru berdecak, duduk di sebelah Dong Zhuo. D
"Serahkan mantan Kaisar!" sentak Lu Bu. Dengan suara keras yang menggelegar seperti bunyi halilintar, dua membuat kuda Zhu Cun meringkik ketakutan. "Ayo, menyerahlah!" lanjut Lu Bu. "Atau keluargamu akan mati!" "Hmmp!" sentak Zhu Cun. "Demi Han, keluargaku siap mati, kamu dengar?" Lu Bu terbahak. "Lucu sekali. Ayo berhentilah bercanda, serahkan kaisar sekarang juga. Kamu akan diampuni kelak, Cun." "Kamu mau memiliki Bian? Langkahi mayatku dulu!" tantang Zhu Cun. Lu Bu memberi kode bagi beberapa penunggang kuda di sekitar Zhu Cun untuk menyerang. Tiga penunggang kuda dari kiri, kanan, dan belakang maju. Dengan tangkas Zhu Cun meladeni mereka. Permainan tombaknya lumayan lihai hingga berhasil menghabisi dua penyerang. Perut penyerang terakhir dia tusuk memakai tombak lalu dia lempar ke arah Lu Bu. Dengan sekali tebas Lu Bu membelah pria yang melayang menjadi dua. Dia tertawa keras karena rasa puas. "Cukup me
Hujan semakin brutal menghantam bumi. Tapal kuda menghantam jalanan berkubang. Cao Cao memimpin pasukan berkuda untuk mencari Zhu Cun dan Liu Bian. Dia tak peduli jika besok demam lantaran hujan-hujanan. Mereka berputar cukup jauh mengikuti jalan, karena jurang terlalu terjal dan dalam untuk bisa langsung dituruni. Dia berharap dua orang itu baik-baik saja. Cao Cao punya rencana untuk kabur bersama Bian, Xian, dan Ibu Suri, memakai perahu pergi ke utara bergabung dengan Yuan Shao, tapi Zhu Cun merusak segalanya. Zhu Cun membawa Bian pergi begitu saja. Memikirkan hal itu membuat Cao Cao mengepal kencang. Dewa, kenapa tidak membantuku? Kenapa malah merusak rencanaku? batin Cao Cao. Setelah lama b
Cao Cao meluncur menuju tempat penggalian makam. Belum sampai ke tujuan, nyala obor di tengah hujan membuat langkah melambat. Tiga pasukan memeriksa mayat teman mereka. Seketika kerongkongan Cao Cao kering. Dia bukan pendekar, tidak terlalu jago bermain pedang. Menghadapi satu atau dua pasukan dia bisa, tapi tiga terlalu banyak. Hanya dengan kejutan dia bisa menang. "Kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya Cao Cao. Dia memandang bingung ketiga pasukan. Akan tetapi ketiga pasukan menjaga jarak, mundur. Mungkin mereka mengetahui apa yang terjadi? Begitu isi kepala Cao Cao. Satu dari mereka menjawab, "Lapor Tuan, kami menemukan mayat teman-teman--" "Bagaimana dengan kuburan pesananku, beres?" sela Cao Cao, melangkah pelan mendekat. Pria itu memandang kedua temannya di belakang, lalu menjawab, "Kami berhasil membuat makan itu dengan baik." Cao Cao mengangguk, sembari tersenyum pelan. Dia menepuk pundak pria itu. "Ke
Nu An melihat Cao Cao membunuh teman-temannya. Dia bersembunyi di kegelapan malam. Setelah dirasa aman, dia bergegas pergi dari sana. Dia harus menceritakan apa yang dia lihat kepada Jenderal Lu Bu. Beruntung di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang bocah di atas kuda, tepat di bawah pohon tua besar. "Bocah, aku pinjam kudamu!" bentak Nu An. Bocah menggeleng. "Ini kuda Kakakku" "Mana Kakakmu?" tanya Nu An. "Itu, di sana." Nu An berjinjit melihat semak. Di sana nyala obor nampak terang, sepertinya lokasi itu memang menjadi tempat ideal untuk membuang kotoran. "Ayo turun, nanti aku kembalikan." Bocah kecil menggeleng. "Aku bayar lima keping tembaga, mau?" tanya Nu An. Bocah itu menggeleng. Sikap ini membuat Nu An geram. Diam enarik jatuh bocah kecil dari atas kuda, lalu menggantikan bocah itu di pelana. "Pencuri kuda!" teriak bocah, menarik kaki Nu An. Sua