Share

4. Kobaran Api

Satu minggu berlalu. Bian memimpin dengan tenang.

He Jin, tidak menghalangi untuk melayani masyarakat, dia hanya memberi saran dan 'mengambil sendiri' uang di kas negara.

Akan tetapi tragedi terjadi, semua karena efek dari insiden yang He Jin lakukan.

Sembilan kasim menyergap He Jin ketika hendak bertemu Ibu suri, mereka berhasil membunuh Jenderal Besar dan membuang kepalanya keluar istana. Hal ini membuat Cao Cao, Zhu Cun, dan Yuan Shao membawa pasukan mendatangi istana di tengah jalannya rapat negara.

Mereka membunuh semua kasim, baik sembilan kasim dan kasim-kasim muda yang tidak bersalah untuk membalas dendam kematian He Jin.

Para menteri dan dayang kabur ke berbagai arah, bahkan Bian dan Xian terpisah dari pada abdi mereka.

Sementara itu di luar, suara pedang beradu, jeritan kematian menebar terror sampai bulu roma Bian berdiri.

Kobaran api melahap apapun hingga tercipta asap hitam pekat yang menusuk hidung. 

Dia berinisiatif membawa Xian sembunyi demi keselamatan nyawa mereka.

“Kaisar!” teriak Zhu Cun, memasuki ruang singgasana yang sepi. Di tangannya terdapat pedang berlumur darah. “Kaisar di mana? Jangan takut, aku akan melindungi Kaisar dari para pengkhianat!”

Dia mencari ke mana-mana, bahkan ke balik kursi singgasana, tetapi gagal menemukan Bian dan Xian. Dia tidak sadar jika di dalam kendi raksasa dekat kursi kasim Bian dan Xian bersembunyi. Bian perlahan mengintip.

“Zhu Cun! Apa kamu berhasil menemukan Kaisar?” tanya Cao Cao, masuk bersama pasukan kerajaan.

“Tidak, bagaimana denganmu?”

“Haiya! Gawat jika begitu."

Suara Cao Cao terdengar sangat panik. Dia memandang sekitar sambil berpikir, lalu mengangguk mantap.

“Kalau begitu kamu bawa pasukan mencari Kaisar dan Adiknya, sementara aku akan mengamankan Ibu Suri, mengerti?”

“Ide bagus!” sahut Zhu Cun.

Zhu Cun membawa pasukan pergi, sementara Cao Cao beranjak menuju ruang Ibu Suri yang terletak tidak jauh dari ruang singgasana.

Keadaan mendadak kembali tenang, setidaknya dalam ruang ini.

Bian membantu Xian keluar dari kendi.

“Kakak, kita mau ke mana?” bisik Xian.

“Tenang, sebagai keturunan naga kita harus berpikir jernih,” jawab Bian, keluar dari kendi.

Dia menggandeng Xian menuju dinding di balik kursi singgasana. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar mereka, dia menekan dada lukisan seorang wanita cantik dan pintu rahasia terbuka di lantai. Terbentuk tangga masuk ke sana.

“Dik, kamu masuk duluan.”

Xian memeluk pinggang Bian sambil menggeleng. Dia benci gelap, hingga tidur pun harus ditemani lilin.

“Jangan takut, kita keturunan naga, kan? Ayo masuk.”

Walau gelap Bian menggandeng Xian masuk ke ruang rahasia. Dia tahu jalan itu hanya lurus menuju pintu keluar.

Keduanya mengikuti jalan panjang menuju cahaya remang di ujung sana hingga tiba di sebuah pintu batu. Dengan mendorong sedikit pintu, benda itu terbuka dan keduanya keluar dalam semak belukar di sebelah dinding besar Luoyang. 

Mereka berhasil menghirup udara segar, juga merasakan hangat matahari lagi. 

“Kakak, kita mau ke mana?” tanya Xian.

“Sabar Adikku, yang penting kita selamat dari derita.”

Mereka melangkah tanpa tujuan, menjauh dari ibukota. Lama mereka melangkah hingga Xian mulai sempoyongan. Bocah itu tidak memakai alas kaki. Bebatuan tajam membuat telapak kaki luka-luka. Bian sebagai Kakak yang baik langsung menggendong adik di punggung.

“Terima kasih, Kak.”

“Ya.”

Bian cukup kuat menggendong tubuh mungil, sosok yang sangat dia sayangi. Keduanya tiba di lengan sungai luas. Mereka duduk berteduh dari terik matahari di bawah pohon besar. Perut mereka mulai berkicau meminta makan.

"Kak, lapar."

“Aku akan mencari makan untukmu.”

Akan tetapi Xian menarik tangannya. “Jangan pergi.”

Bian tidak mungkin membiarkan Xian menangis. Akan tetapi jika tidak mencari makan, mereka bisa tewas kelaparan.

Dia teringat akan roti yang dia sembunyikan pagi ini untuk dimakan ketika rapat kekaisaraan. Dia mengambil roti kering dari dalam hanfu hitam suteranya.

“Makanlah.” Bian memberi kudapan yang dia punya untuk Xian. “Katamu lapar, kan?”

Xian membelah roti menjadi dua, memberi setengah untuk Bian.

“Aku akan makan jika Kakak juga makan, kalau tidak mau, aku juga tidak mau makan.”

Begitu polos dan baik hati Xian, membuat Bian tersenyum sambil mengangguk. Bian menggigit kecil roti supaya Xian mau makan, lalu dia menyimpan roti bagiannya untuk Xian makan nanti ketika bocah itu kembali merengek lapar. Bagi Bian mending kelaparan daripada adiknya yang kelaparan.

Keduanya duduk di rerumputan hijau memandang sungai jernih. Bian mulai bermain seruling untuk mengisi waktu, membuat Xian tertidur di pangkuan.

Ikatan kakak beradik sangat erat, bahkan di kala kritis mereka selalu bersama.

Suara merdu suling mengundang perhatian dari beberapa warga. Salah satu dari mereka pergi memberi tahu pihak kerajaan tentang keberadaan Bian dan Xian.

Tak lama kemudian Zhu Cun datang bersama dua pengawal kerajaan.

“Panjang umur Kaisar Bian, panjang umur kekaisaran Han!” ucapnya. “Kaisar, akhirnya kita bertemu.”

“Mau apa kamu?” tanya Bian. “Mau membunuhku?”

“Hamba tidak berani! Hamba datang untuk membawa Kaisar kembali ke ibukota. Semua sudah usai. Sepuluh kasim tewas!”

“Lalu kamu mau menjadikanku boneka, seperti yang para kasim lakukan kepada ayahku?”

Bian memandang cukup tajam hingga membuat jenderal bergidik karena Aura kekaisaran kental dalam diri Kaisar.

Sementara Xian menangis, memeluk pinggang Kakaknya. Dia memang keturunan Kaisar, akan tetapi aura kekaisaran nyaris tidak ada dalam dirinya.

Dari kejauhan pasukan lain muncul. Bukan pasukan dari ibukota, akan tetapi dari penampilan garang dan pakaian perang lengkap mereka, mereka adalah pasukan perbatasan barat Xi Liang. Bendera berkibar tinggi di tengah barisan ratusan pasukan, bertulis, ‘Dong Zhuo’.

“Haiya, kenapa orang barbar itu datang kemari?” gumam Zhu Cun.

Zhu Cun cukup cerdas untuk tidak melawan, tapi menyimpan pedang ke sarung pedang. Dia memberi hormat pada kereta kuda yang membawa seorang pria gendut berberewok hitam tebal.

“Hormat, pada Jenderal Perbatasan Barat. Kaisar ada di sini bersama adiknya, mohon Anda untuk memberi hormat.”

Dong Zhuo turun dari kereta kuda, bersujud memberi hormat pada Bian dan Xian. Dia yakin jika Kaisar saat ini tanpa pengawalan. Hal ini membuatnya berani menarik kedua bocah mendekat.

“Biar aku melindungi kalian berdua. Pasukanku banyak! Siapapun yang melawan kita, akan kubinasakan!” 

“Lancang!” bentak Bian. Suaranya membuat Dong Zhuo langsung bersujud. “Berani kamu menyentuh Kaisar? Pasukan itu bernama pasukan Han, aku yang memiliki mereka, bukan kamu!”

“A-ampuni hamba—“

“Kak, kasihan dia. Paman ini baik, dia ingin menolong kita, mohon ampuni, ya,” pinta Xian, menarik-narik lengan hanfu Kakaknya.

Bian tidak tega menolak permintaan si kecil Xian. Dia menghela napas.

“Kamu aku ampuni karena permohonan Xian. Bangunlah.”

“Terima kasih Kaisar!” ucap Dong Zhuo, perlahan bangun.

Dia memberi hormat, membiarkan Bian dan Xian mengendarai kereta kuda menuju Ibujota bersama pasukan.

Dia memandang jengkel pada kereta kuda. Dia sadar keadaan ibukota sedang genting. Pasukannya bisa mengambil alih kekuasaan dan kaisar muda bisa menjadi bonekanya. Bian memiliki aura Kekaisaran, jelas akan sulit dikontrol.

"Aku harus menyingkirkan dia,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status