Satu minggu berlalu. Bian memimpin dengan tenang.
He Jin, tidak menghalangi untuk melayani masyarakat, dia hanya memberi saran dan 'mengambil sendiri' uang di kas negara.
Akan tetapi tragedi terjadi, semua karena efek dari insiden yang He Jin lakukan.
Sembilan kasim menyergap He Jin ketika hendak bertemu Ibu suri, mereka berhasil membunuh Jenderal Besar dan membuang kepalanya keluar istana. Hal ini membuat Cao Cao, Zhu Cun, dan Yuan Shao membawa pasukan mendatangi istana di tengah jalannya rapat negara.
Mereka membunuh semua kasim, baik sembilan kasim dan kasim-kasim muda yang tidak bersalah untuk membalas dendam kematian He Jin.
Para menteri dan dayang kabur ke berbagai arah, bahkan Bian dan Xian terpisah dari pada abdi mereka.
Sementara itu di luar, suara pedang beradu, jeritan kematian menebar terror sampai bulu roma Bian berdiri.
Kobaran api melahap apapun hingga tercipta asap hitam pekat yang menusuk hidung.
Dia berinisiatif membawa Xian sembunyi demi keselamatan nyawa mereka.
“Kaisar!” teriak Zhu Cun, memasuki ruang singgasana yang sepi. Di tangannya terdapat pedang berlumur darah. “Kaisar di mana? Jangan takut, aku akan melindungi Kaisar dari para pengkhianat!”
Dia mencari ke mana-mana, bahkan ke balik kursi singgasana, tetapi gagal menemukan Bian dan Xian. Dia tidak sadar jika di dalam kendi raksasa dekat kursi kasim Bian dan Xian bersembunyi. Bian perlahan mengintip.
“Zhu Cun! Apa kamu berhasil menemukan Kaisar?” tanya Cao Cao, masuk bersama pasukan kerajaan.
“Tidak, bagaimana denganmu?”
“Haiya! Gawat jika begitu."
Suara Cao Cao terdengar sangat panik. Dia memandang sekitar sambil berpikir, lalu mengangguk mantap.
“Kalau begitu kamu bawa pasukan mencari Kaisar dan Adiknya, sementara aku akan mengamankan Ibu Suri, mengerti?”
“Ide bagus!” sahut Zhu Cun.
Zhu Cun membawa pasukan pergi, sementara Cao Cao beranjak menuju ruang Ibu Suri yang terletak tidak jauh dari ruang singgasana.
Keadaan mendadak kembali tenang, setidaknya dalam ruang ini.
Bian membantu Xian keluar dari kendi.
“Kakak, kita mau ke mana?” bisik Xian.
“Tenang, sebagai keturunan naga kita harus berpikir jernih,” jawab Bian, keluar dari kendi.
Dia menggandeng Xian menuju dinding di balik kursi singgasana. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar mereka, dia menekan dada lukisan seorang wanita cantik dan pintu rahasia terbuka di lantai. Terbentuk tangga masuk ke sana.
“Dik, kamu masuk duluan.”
Xian memeluk pinggang Bian sambil menggeleng. Dia benci gelap, hingga tidur pun harus ditemani lilin.
“Jangan takut, kita keturunan naga, kan? Ayo masuk.”
Walau gelap Bian menggandeng Xian masuk ke ruang rahasia. Dia tahu jalan itu hanya lurus menuju pintu keluar.
Keduanya mengikuti jalan panjang menuju cahaya remang di ujung sana hingga tiba di sebuah pintu batu. Dengan mendorong sedikit pintu, benda itu terbuka dan keduanya keluar dalam semak belukar di sebelah dinding besar Luoyang.
Mereka berhasil menghirup udara segar, juga merasakan hangat matahari lagi.
“Kakak, kita mau ke mana?” tanya Xian.
“Sabar Adikku, yang penting kita selamat dari derita.”
Mereka melangkah tanpa tujuan, menjauh dari ibukota. Lama mereka melangkah hingga Xian mulai sempoyongan. Bocah itu tidak memakai alas kaki. Bebatuan tajam membuat telapak kaki luka-luka. Bian sebagai Kakak yang baik langsung menggendong adik di punggung.
“Terima kasih, Kak.”
“Ya.”
Bian cukup kuat menggendong tubuh mungil, sosok yang sangat dia sayangi. Keduanya tiba di lengan sungai luas. Mereka duduk berteduh dari terik matahari di bawah pohon besar. Perut mereka mulai berkicau meminta makan.
"Kak, lapar."
“Aku akan mencari makan untukmu.”
Akan tetapi Xian menarik tangannya. “Jangan pergi.”
Bian tidak mungkin membiarkan Xian menangis. Akan tetapi jika tidak mencari makan, mereka bisa tewas kelaparan.
Dia teringat akan roti yang dia sembunyikan pagi ini untuk dimakan ketika rapat kekaisaraan. Dia mengambil roti kering dari dalam hanfu hitam suteranya.
“Makanlah.” Bian memberi kudapan yang dia punya untuk Xian. “Katamu lapar, kan?”
Xian membelah roti menjadi dua, memberi setengah untuk Bian.
“Aku akan makan jika Kakak juga makan, kalau tidak mau, aku juga tidak mau makan.”
Begitu polos dan baik hati Xian, membuat Bian tersenyum sambil mengangguk. Bian menggigit kecil roti supaya Xian mau makan, lalu dia menyimpan roti bagiannya untuk Xian makan nanti ketika bocah itu kembali merengek lapar. Bagi Bian mending kelaparan daripada adiknya yang kelaparan.
Keduanya duduk di rerumputan hijau memandang sungai jernih. Bian mulai bermain seruling untuk mengisi waktu, membuat Xian tertidur di pangkuan.
Ikatan kakak beradik sangat erat, bahkan di kala kritis mereka selalu bersama.
Suara merdu suling mengundang perhatian dari beberapa warga. Salah satu dari mereka pergi memberi tahu pihak kerajaan tentang keberadaan Bian dan Xian.
Tak lama kemudian Zhu Cun datang bersama dua pengawal kerajaan.
“Panjang umur Kaisar Bian, panjang umur kekaisaran Han!” ucapnya. “Kaisar, akhirnya kita bertemu.”
“Mau apa kamu?” tanya Bian. “Mau membunuhku?”
“Hamba tidak berani! Hamba datang untuk membawa Kaisar kembali ke ibukota. Semua sudah usai. Sepuluh kasim tewas!”
“Lalu kamu mau menjadikanku boneka, seperti yang para kasim lakukan kepada ayahku?”
Bian memandang cukup tajam hingga membuat jenderal bergidik karena Aura kekaisaran kental dalam diri Kaisar.
Sementara Xian menangis, memeluk pinggang Kakaknya. Dia memang keturunan Kaisar, akan tetapi aura kekaisaran nyaris tidak ada dalam dirinya.
Dari kejauhan pasukan lain muncul. Bukan pasukan dari ibukota, akan tetapi dari penampilan garang dan pakaian perang lengkap mereka, mereka adalah pasukan perbatasan barat Xi Liang. Bendera berkibar tinggi di tengah barisan ratusan pasukan, bertulis, ‘Dong Zhuo’.
“Haiya, kenapa orang barbar itu datang kemari?” gumam Zhu Cun.
Zhu Cun cukup cerdas untuk tidak melawan, tapi menyimpan pedang ke sarung pedang. Dia memberi hormat pada kereta kuda yang membawa seorang pria gendut berberewok hitam tebal.
“Hormat, pada Jenderal Perbatasan Barat. Kaisar ada di sini bersama adiknya, mohon Anda untuk memberi hormat.”
Dong Zhuo turun dari kereta kuda, bersujud memberi hormat pada Bian dan Xian. Dia yakin jika Kaisar saat ini tanpa pengawalan. Hal ini membuatnya berani menarik kedua bocah mendekat.
“Biar aku melindungi kalian berdua. Pasukanku banyak! Siapapun yang melawan kita, akan kubinasakan!”
“Lancang!” bentak Bian. Suaranya membuat Dong Zhuo langsung bersujud. “Berani kamu menyentuh Kaisar? Pasukan itu bernama pasukan Han, aku yang memiliki mereka, bukan kamu!”
“A-ampuni hamba—“
“Kak, kasihan dia. Paman ini baik, dia ingin menolong kita, mohon ampuni, ya,” pinta Xian, menarik-narik lengan hanfu Kakaknya.
Bian tidak tega menolak permintaan si kecil Xian. Dia menghela napas.
“Kamu aku ampuni karena permohonan Xian. Bangunlah.”
“Terima kasih Kaisar!” ucap Dong Zhuo, perlahan bangun.
Dia memberi hormat, membiarkan Bian dan Xian mengendarai kereta kuda menuju Ibujota bersama pasukan.
Dia memandang jengkel pada kereta kuda. Dia sadar keadaan ibukota sedang genting. Pasukannya bisa mengambil alih kekuasaan dan kaisar muda bisa menjadi bonekanya. Bian memiliki aura Kekaisaran, jelas akan sulit dikontrol.
"Aku harus menyingkirkan dia,"
Setelah menyelamatkan Bian, Dong Zhuo memproklamasikan diri sebagai Perdana Menteri. Kaisar tidak bisa bertindak banyak, akibat insiden sepuluh kasim dan He Jin, terjadi power vacuum di kekaisaran. Jabatan-jabatan kosong terisi oleh orang-orang kepercayaan Dong Zhuo, membuat status quo Dong Zhuo semakin besar. Hal ini nampak pada rapat mingguan di kekaisaran. “Kaisar datang!” teriak seorang kasim. Para pejabat membungkuk mengucapkan kalimat panjang umur kepada Bian. Bian duduk di singgasana. “Berdiri lah kalian semua.” Harusnya pada rapat seperti ini, semua pejabat masuk dan harus menunggu Kaisar. Mereka berbaris rapi, tanpa membawa senjata, juga wajib melepas sepatu. Kali ini berbeda, satu orang dari mereka merusak tatanan krama. “Perdana Menteri tiba!” Suara derap sepatu semakin mendekat. Dong Zhuo melangkah santai menenteng pedang juga memakai pakaian perang masuk ke ruang rapat. Beberapa menteri yang baru menjabat,
Setelah mendapat kehormatan memimpin pasukan kerajaan, Cao Cao bagai mendapat berkah dari langit. Dia semakin mudah masuk ke kamar Ibu Suri. Berdua mereka memadu cinta terlarang, sebuah skandal perusak moral kekaisaran. Dia lalai dalam tugas, memilih meniduri Ibu Suri dari pada menjaga Bian dan Xian. Cao Cao mengira tidak akan ada yang berani mengancam nyawa Bian, selama Bian dan Xian berada di dalam wilayah istana. Terlebih Zhu Cun menjaga pintu gerbang bersama para pasukan loyal. Walau Dong Zhuo berniat memberontak, dia perlu memanggil pasukan Xi Liang yang berada di barak istana. Namun, dugaannya meleset. Setelah selesai rapat harian bersama para pejabat Luo Yang, Bian menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Xian. Di sana mereka membaca banyak buku, karena memang keduanya sangat suka buku. Ruang yang dipenuhi buku adalah surga bagi mereka. “Kak Bian, coba lihat ini.” Xian berlari kecil menghampiri Bian yang tengah santai me
Beberapa bulan setelah Liu Bian turun tahta, keadaan negara makin kacau. Satu persatu pejabat loyal dibunuh tanpa sebab, membuat mereka yang beruntung menjadi takut dan bergabung dengan Dong Zhuo. Bahkan Zhu Cun dan Cao Cao menyatakan loyalitas kepada hewan itu. Sementara itu, Yuan Shao membangun kekuatan di daerah utara, mengirim banyak pesan bagi pejabat ibukota untuk berkomplot membunuh Dong Zhuo dan gerakan untuk mengembalikan Bian menjadi kaisar semakin besar. Dong Zhuo ingin menghabisi semua pejabat yang tidak berguna. Dia mempersiapkan pasukan untuk bergerak, tetapi Li Ru mencegah. "Minggir!" teriak Dong Zhuo. "Biar aku penggal mereka semua!" "Jika Anda melakukan itu, pemberontakan akan terjadi," ucap Li Ru. Nasihat itu membuat Dong Zhuo duduk di lantai melempar pedang. Berkali-kali dia mengumpat geram. "Jika begini terus, aku bisa digulingkan dari kekuasaanku!" Li Ru berdecak, duduk di sebelah Dong Zhuo. D
"Serahkan mantan Kaisar!" sentak Lu Bu. Dengan suara keras yang menggelegar seperti bunyi halilintar, dua membuat kuda Zhu Cun meringkik ketakutan. "Ayo, menyerahlah!" lanjut Lu Bu. "Atau keluargamu akan mati!" "Hmmp!" sentak Zhu Cun. "Demi Han, keluargaku siap mati, kamu dengar?" Lu Bu terbahak. "Lucu sekali. Ayo berhentilah bercanda, serahkan kaisar sekarang juga. Kamu akan diampuni kelak, Cun." "Kamu mau memiliki Bian? Langkahi mayatku dulu!" tantang Zhu Cun. Lu Bu memberi kode bagi beberapa penunggang kuda di sekitar Zhu Cun untuk menyerang. Tiga penunggang kuda dari kiri, kanan, dan belakang maju. Dengan tangkas Zhu Cun meladeni mereka. Permainan tombaknya lumayan lihai hingga berhasil menghabisi dua penyerang. Perut penyerang terakhir dia tusuk memakai tombak lalu dia lempar ke arah Lu Bu. Dengan sekali tebas Lu Bu membelah pria yang melayang menjadi dua. Dia tertawa keras karena rasa puas. "Cukup me
Hujan semakin brutal menghantam bumi. Tapal kuda menghantam jalanan berkubang. Cao Cao memimpin pasukan berkuda untuk mencari Zhu Cun dan Liu Bian. Dia tak peduli jika besok demam lantaran hujan-hujanan. Mereka berputar cukup jauh mengikuti jalan, karena jurang terlalu terjal dan dalam untuk bisa langsung dituruni. Dia berharap dua orang itu baik-baik saja. Cao Cao punya rencana untuk kabur bersama Bian, Xian, dan Ibu Suri, memakai perahu pergi ke utara bergabung dengan Yuan Shao, tapi Zhu Cun merusak segalanya. Zhu Cun membawa Bian pergi begitu saja. Memikirkan hal itu membuat Cao Cao mengepal kencang. Dewa, kenapa tidak membantuku? Kenapa malah merusak rencanaku? batin Cao Cao. Setelah lama b
Cao Cao meluncur menuju tempat penggalian makam. Belum sampai ke tujuan, nyala obor di tengah hujan membuat langkah melambat. Tiga pasukan memeriksa mayat teman mereka. Seketika kerongkongan Cao Cao kering. Dia bukan pendekar, tidak terlalu jago bermain pedang. Menghadapi satu atau dua pasukan dia bisa, tapi tiga terlalu banyak. Hanya dengan kejutan dia bisa menang. "Kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya Cao Cao. Dia memandang bingung ketiga pasukan. Akan tetapi ketiga pasukan menjaga jarak, mundur. Mungkin mereka mengetahui apa yang terjadi? Begitu isi kepala Cao Cao. Satu dari mereka menjawab, "Lapor Tuan, kami menemukan mayat teman-teman--" "Bagaimana dengan kuburan pesananku, beres?" sela Cao Cao, melangkah pelan mendekat. Pria itu memandang kedua temannya di belakang, lalu menjawab, "Kami berhasil membuat makan itu dengan baik." Cao Cao mengangguk, sembari tersenyum pelan. Dia menepuk pundak pria itu. "Ke
Nu An melihat Cao Cao membunuh teman-temannya. Dia bersembunyi di kegelapan malam. Setelah dirasa aman, dia bergegas pergi dari sana. Dia harus menceritakan apa yang dia lihat kepada Jenderal Lu Bu. Beruntung di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang bocah di atas kuda, tepat di bawah pohon tua besar. "Bocah, aku pinjam kudamu!" bentak Nu An. Bocah menggeleng. "Ini kuda Kakakku" "Mana Kakakmu?" tanya Nu An. "Itu, di sana." Nu An berjinjit melihat semak. Di sana nyala obor nampak terang, sepertinya lokasi itu memang menjadi tempat ideal untuk membuang kotoran. "Ayo turun, nanti aku kembalikan." Bocah kecil menggeleng. "Aku bayar lima keping tembaga, mau?" tanya Nu An. Bocah itu menggeleng. Sikap ini membuat Nu An geram. Diam enarik jatuh bocah kecil dari atas kuda, lalu menggantikan bocah itu di pelana. "Pencuri kuda!" teriak bocah, menarik kaki Nu An. Sua
"Berani sekali kalian memperebutkan Kaisar?" Suara itu menggema di hutan yang gelap. Baik pasukan penunggang kuda dan Cao Cao menoleh ke berbagai arah, mencari sumber suara. "Keluar kamu!" bentak penunggang kuda. Dari kegelapan muncul selendang putih memukul mata penunggang kuda. Seorang pria tua melayang di udara, menendang jatuh penunggang dan mendarat ke pelana kuda sebelum Bian terjatuh. Dari pakaiannya pria tua itu petapa Taoist. "Keparat!" Pasukan hendak menyerang petapa. Petapa menyentil kerikil menembus kening penyerang. Seketika badan penyerang ambruk. "Haiya, aku membunuh satu makhluk. Semoga Dewa mengampuniku." Cao Cao memungut pedang, mendekati petapa memberi hormat. "Guru, terima kasih karena datang menolong. Sekarang biar aku--" "Kamu kira aku tidak tahu siapa bocah ini? Sekarang ikuti aku, kita harus segera menolongnya." Petapa melayang ke udara, menghilang ditelan kegelapan malam. Cao Cao