Setelah menyelamatkan Bian, Dong Zhuo memproklamasikan diri sebagai Perdana Menteri.
Kaisar tidak bisa bertindak banyak, akibat insiden sepuluh kasim dan He Jin, terjadi power vacuum di kekaisaran. Jabatan-jabatan kosong terisi oleh orang-orang kepercayaan Dong Zhuo, membuat status quo Dong Zhuo semakin besar. Hal ini nampak pada rapat mingguan di kekaisaran.
“Kaisar datang!” teriak seorang kasim.
Para pejabat membungkuk mengucapkan kalimat panjang umur kepada Bian.
Bian duduk di singgasana. “Berdiri lah kalian semua.”
Harusnya pada rapat seperti ini, semua pejabat masuk dan harus menunggu Kaisar. Mereka berbaris rapi, tanpa membawa senjata, juga wajib melepas sepatu. Kali ini berbeda, satu orang dari mereka merusak tatanan krama.
“Perdana Menteri tiba!”
Suara derap sepatu semakin mendekat. Dong Zhuo melangkah santai menenteng pedang juga memakai pakaian perang masuk ke ruang rapat.
Beberapa menteri yang baru menjabat, orang-orang yang dia masukkan, memberi hormat kepadanya selayak memberi hormat pada Kaisar.
“Lancang kalian semua, memberi hormat pada Menteri?” ucap Bian sampai menggebrak meja.
Akan tetapi tidak ada yang membantunya. Hal ini hanya membuat Dong Zhuo memandang sinis pada Kaisar, lalu dia memberi salam.
“Panjang umur Kaisar! Maaf atas kelancangan orang-orang baru ini. Mereka hanya memberi hormat pada kaisar dan orang yang mereka hormati.”
Dong Zhuo masuk ke dalam barisan menteri perang dan rapat pun dimulai.
Satu persatu para menteri memberi laporan tentang apapun yang terjadi di kerajaan dan menunggu perintah Kaisar.
Dong Zhuo menyerobot. Dia memberi hormat pada Kaisar lalu berkata dengan lantang.
“Pasukan Xi Liang sangat menderita, mereka hidup di perbatasan demi menjaga ketenteraman. Akan tetapi gaji mereka sedikit. Kita bisa menaikkan pajak untuk menutupi biaya pengeluaran militer.”
“Kita sedang dalam keadaan genting,” jawab Bian. “Baru-baru ini pemberontakan Yellow Turban terjadi, dan banyak rakyat menderita. Menaikkan pajak tidak bisa terjadi. Mungkin esok ketika perekonomian pulih, baru kita naikkan gaji mereka.”
“Mereka akan memberontak jika Yang Mulia tidak memberi gaji yang pantas,” ucap Dong Zhuo, dengan lantang tanpa memberi hormat. Dia meremas gagang pedang. “Harap Anda bijaksana.”
Semua pejabat yang hadir berbisik-bisik tanpa bisa menjawab. Mereka tahu Dong Zhuo hanya ingin meminta uang pada Kaisar untuk kepentingannya sendiri.
Hanya saja mereka lebih tahu dari siapapun juga mengenai ratusan pasukan yang menanti di luar sana. Pasukan Xi Liang hanya setia pada Dong Zhuo, bukan Han.
“Kalau begitu memberontak saja, biar kuhabisi mereka semua. Han tetap berjaya, selama aku masih hidup,” jawab Bian.
Kedua tangan Bian bergetar, kaki serasa layu. Dia berkata demikian hanya menggertak, tiada kekuatan untuk membuktikan semua itu.
“Anda pasti akan menyesal.”
Tanpa memberi hormat atau meminta ijin untuk pergi, Dong Zhuo melangkah keluar dari ruang singgasana. Beberapa menteri yang mendukungnya ikut keluar, membuat keributan di setiap langkah.
Bian ambruk terduduk di singgasana. Kaisar muda tiada yang membimbing, apalagi punya suporter. Dia sadar, aura kaisar saja tidak cukup untuk memimpin kekaisaran, terlebih yang diambang kehancuran.
“Rapat ditutup!” teriak kasim muda.
Sisa pejabat di ruang singgasana bersujud ketika Kaisar melangkah pergi.
Setelah rapat, Bian mengumpulkan jenderal kepercayaan. Mereka yang setia kepada mendiang He Jin, sekarang setia padanya.
Di ruang paviliun, Bian duduk sementara ketiga jenderal bertekuk lutut, sama seperti tempo hari ketika He Jin memperkenalkan mereka.
"Yang Mulia jangan takut, hamba akan menjaga Yang Mulia," ucap Cao Cao. "Pasukan kavaleri tidak kalah kuat ddari para bar-bar Xi Liang. Kami akan memukul mereka keluar dari istana jika perlu."
Bian menyeringai. "Ketika keadaan genting, apa kamu akan menolongku, atau Ibuku?"
Pertanyaan itu membuat Cao Cao bingung, tetapi dengan mantap dia menjawab.
"Aku akan menolong kalian semua, karena aku telah berjanji pada Kaisar Ling--"
Bian terbahak lepas. "Baik, tidak usah terlalu serius. Loyalitasmu tidak sedang aku pertanyakan. Zhu Cun, kamu siapkan para pasukan loyal di sekitar istana. Jika pemberontakan terjadi, langsung masuk."
"Siap Laksanakan!"
"Yuan Shao, kembali ke kota Ye, siapkan pasukan terhebat di sana. Aku yakin Dong Zhuo akan memberontak dan membawa lebih banyak pasukan Xi Liang. Pasukan Istana tidak bisa bertempur melawan mereka."
"Laksanakan!"
Bukan tanpa sebab semua ucapan Bian. Dia tahu, pasukan Ibukota memang terlatih dengan baik. Akan tetapi mereka tidak pernah bertempur.
Melawan pasuan elit yang setiap hari bertempur di perbatasan melawan para bandit di taring basin, mereka tidak akan bisa bertahan lama.
Yuan Shao dan Zhu Cun pergi, meninggalkan Cao Cao sendiri bersama Bian. Cao Cao bingung dengan keadaan ini.
"Cao Cao. Aku percaya padamu, jadilah pelindungku. Pimpin pasukan penjaga Kaisar, mengerti?"
"Hamba mengerti!" Dia bersujud berkali-kali.
Akan tetapi Bian punya tujuan lain kenapa memilih Cao Cao. Dia tahu, Cao Cao akan mengorbankan nyawa, walau bukan demi dirinya, tapi demi Ibu Suri.
Cao Cao berkata, "Yang Mulia tenang saja, hamba akan selamanya berada di sebelah Yang Mulia dan Ibu Suri, juga Pangeran Xian. Hamba akan menjaga kalian seperti menjaga keluarga sendiri."
Setelah mendapat kehormatan memimpin pasukan kerajaan, Cao Cao bagai mendapat berkah dari langit. Dia semakin mudah masuk ke kamar Ibu Suri. Berdua mereka memadu cinta terlarang, sebuah skandal perusak moral kekaisaran. Dia lalai dalam tugas, memilih meniduri Ibu Suri dari pada menjaga Bian dan Xian. Cao Cao mengira tidak akan ada yang berani mengancam nyawa Bian, selama Bian dan Xian berada di dalam wilayah istana. Terlebih Zhu Cun menjaga pintu gerbang bersama para pasukan loyal. Walau Dong Zhuo berniat memberontak, dia perlu memanggil pasukan Xi Liang yang berada di barak istana. Namun, dugaannya meleset. Setelah selesai rapat harian bersama para pejabat Luo Yang, Bian menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Xian. Di sana mereka membaca banyak buku, karena memang keduanya sangat suka buku. Ruang yang dipenuhi buku adalah surga bagi mereka. “Kak Bian, coba lihat ini.” Xian berlari kecil menghampiri Bian yang tengah santai me
Beberapa bulan setelah Liu Bian turun tahta, keadaan negara makin kacau. Satu persatu pejabat loyal dibunuh tanpa sebab, membuat mereka yang beruntung menjadi takut dan bergabung dengan Dong Zhuo. Bahkan Zhu Cun dan Cao Cao menyatakan loyalitas kepada hewan itu. Sementara itu, Yuan Shao membangun kekuatan di daerah utara, mengirim banyak pesan bagi pejabat ibukota untuk berkomplot membunuh Dong Zhuo dan gerakan untuk mengembalikan Bian menjadi kaisar semakin besar. Dong Zhuo ingin menghabisi semua pejabat yang tidak berguna. Dia mempersiapkan pasukan untuk bergerak, tetapi Li Ru mencegah. "Minggir!" teriak Dong Zhuo. "Biar aku penggal mereka semua!" "Jika Anda melakukan itu, pemberontakan akan terjadi," ucap Li Ru. Nasihat itu membuat Dong Zhuo duduk di lantai melempar pedang. Berkali-kali dia mengumpat geram. "Jika begini terus, aku bisa digulingkan dari kekuasaanku!" Li Ru berdecak, duduk di sebelah Dong Zhuo. D
"Serahkan mantan Kaisar!" sentak Lu Bu. Dengan suara keras yang menggelegar seperti bunyi halilintar, dua membuat kuda Zhu Cun meringkik ketakutan. "Ayo, menyerahlah!" lanjut Lu Bu. "Atau keluargamu akan mati!" "Hmmp!" sentak Zhu Cun. "Demi Han, keluargaku siap mati, kamu dengar?" Lu Bu terbahak. "Lucu sekali. Ayo berhentilah bercanda, serahkan kaisar sekarang juga. Kamu akan diampuni kelak, Cun." "Kamu mau memiliki Bian? Langkahi mayatku dulu!" tantang Zhu Cun. Lu Bu memberi kode bagi beberapa penunggang kuda di sekitar Zhu Cun untuk menyerang. Tiga penunggang kuda dari kiri, kanan, dan belakang maju. Dengan tangkas Zhu Cun meladeni mereka. Permainan tombaknya lumayan lihai hingga berhasil menghabisi dua penyerang. Perut penyerang terakhir dia tusuk memakai tombak lalu dia lempar ke arah Lu Bu. Dengan sekali tebas Lu Bu membelah pria yang melayang menjadi dua. Dia tertawa keras karena rasa puas. "Cukup me
Hujan semakin brutal menghantam bumi. Tapal kuda menghantam jalanan berkubang. Cao Cao memimpin pasukan berkuda untuk mencari Zhu Cun dan Liu Bian. Dia tak peduli jika besok demam lantaran hujan-hujanan. Mereka berputar cukup jauh mengikuti jalan, karena jurang terlalu terjal dan dalam untuk bisa langsung dituruni. Dia berharap dua orang itu baik-baik saja. Cao Cao punya rencana untuk kabur bersama Bian, Xian, dan Ibu Suri, memakai perahu pergi ke utara bergabung dengan Yuan Shao, tapi Zhu Cun merusak segalanya. Zhu Cun membawa Bian pergi begitu saja. Memikirkan hal itu membuat Cao Cao mengepal kencang. Dewa, kenapa tidak membantuku? Kenapa malah merusak rencanaku? batin Cao Cao. Setelah lama b
Cao Cao meluncur menuju tempat penggalian makam. Belum sampai ke tujuan, nyala obor di tengah hujan membuat langkah melambat. Tiga pasukan memeriksa mayat teman mereka. Seketika kerongkongan Cao Cao kering. Dia bukan pendekar, tidak terlalu jago bermain pedang. Menghadapi satu atau dua pasukan dia bisa, tapi tiga terlalu banyak. Hanya dengan kejutan dia bisa menang. "Kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya Cao Cao. Dia memandang bingung ketiga pasukan. Akan tetapi ketiga pasukan menjaga jarak, mundur. Mungkin mereka mengetahui apa yang terjadi? Begitu isi kepala Cao Cao. Satu dari mereka menjawab, "Lapor Tuan, kami menemukan mayat teman-teman--" "Bagaimana dengan kuburan pesananku, beres?" sela Cao Cao, melangkah pelan mendekat. Pria itu memandang kedua temannya di belakang, lalu menjawab, "Kami berhasil membuat makan itu dengan baik." Cao Cao mengangguk, sembari tersenyum pelan. Dia menepuk pundak pria itu. "Ke
Nu An melihat Cao Cao membunuh teman-temannya. Dia bersembunyi di kegelapan malam. Setelah dirasa aman, dia bergegas pergi dari sana. Dia harus menceritakan apa yang dia lihat kepada Jenderal Lu Bu. Beruntung di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang bocah di atas kuda, tepat di bawah pohon tua besar. "Bocah, aku pinjam kudamu!" bentak Nu An. Bocah menggeleng. "Ini kuda Kakakku" "Mana Kakakmu?" tanya Nu An. "Itu, di sana." Nu An berjinjit melihat semak. Di sana nyala obor nampak terang, sepertinya lokasi itu memang menjadi tempat ideal untuk membuang kotoran. "Ayo turun, nanti aku kembalikan." Bocah kecil menggeleng. "Aku bayar lima keping tembaga, mau?" tanya Nu An. Bocah itu menggeleng. Sikap ini membuat Nu An geram. Diam enarik jatuh bocah kecil dari atas kuda, lalu menggantikan bocah itu di pelana. "Pencuri kuda!" teriak bocah, menarik kaki Nu An. Sua
"Berani sekali kalian memperebutkan Kaisar?" Suara itu menggema di hutan yang gelap. Baik pasukan penunggang kuda dan Cao Cao menoleh ke berbagai arah, mencari sumber suara. "Keluar kamu!" bentak penunggang kuda. Dari kegelapan muncul selendang putih memukul mata penunggang kuda. Seorang pria tua melayang di udara, menendang jatuh penunggang dan mendarat ke pelana kuda sebelum Bian terjatuh. Dari pakaiannya pria tua itu petapa Taoist. "Keparat!" Pasukan hendak menyerang petapa. Petapa menyentil kerikil menembus kening penyerang. Seketika badan penyerang ambruk. "Haiya, aku membunuh satu makhluk. Semoga Dewa mengampuniku." Cao Cao memungut pedang, mendekati petapa memberi hormat. "Guru, terima kasih karena datang menolong. Sekarang biar aku--" "Kamu kira aku tidak tahu siapa bocah ini? Sekarang ikuti aku, kita harus segera menolongnya." Petapa melayang ke udara, menghilang ditelan kegelapan malam. Cao Cao
Seorang pria paruh-baya dengan panik menggendong Sima Zhou yang terluka parah masuk ke rumah. "Petapa Zuo Ci, tolong anak saya!" Seketika Cao Cao memberi jalan baginya untuk masuk. Dia enggan keluar, penasaran dengan apa yang terjadi. Terutama dia melihat sosok yang Sima Yi bawa, bocah kecil itu, Cao Cao menginginkan bocah itu sebagai bejana, Petapa bangkit menggusur gelas di atas meja untuk mempersiapkan meja sebagai kasur dadakan. "Mari temanku, taruh sini, biar aku periksa Sima kecil." Petapa membuka pakaian anak kecil di atas meja untuk memeriksa kondisi. Suara detak yang tidak teratur dan begitu tipis serta darah yang keluar semakin banyak dari luka membuatnya cemas. "Gawat, tenaga chi-nya terlalu kecil." Telapak tangan petapa berputar mengumpulkan energi sebelum mendarat ke dada kiri bocah. Asap putih keluar dari sana dan membuat badan petapa bergetar hebat. Darah segar keluar dari kedua sisi bibir petapa menetes membasahi pakaian, tapi beliau t